NovelToon NovelToon

Not Figurann??

Ch 1

Pagi Hari...

Salsabilla Rinjania, si bunda yang sabar tapi galak, sudah berdiri di depan pintu kamar dengan ekspresi setengah marah setengah kasihan. Anak gadisnya, Meera Ziafasa, masih terlelap dengan posisi tidur ala ratu malas, pakai selimut segambreng sampai ke dagu.

"ANAK BUNDA, BANGUN! UDH SIANG LOH! KALO GAK BANGUN, BUNDA SIRAM PAKAI AIR CUCIAN!" teriaknya, suaranya nyaris bikin tetangga sebelah ikut bangun.

"Euuungh..." suara ngorok manis keluar dari mulut Zia, diiringi guling-guling pelan seperti kucing yang enggan meninggalkan tempat tidur.

"IYA, BUNDA! ZIA BANGUN! TAPI JANGAN TERIAK GITU, INI KAN RUMAH, BUKAN HUTAN!" balas Zia setengah mengomel sambil ngucek-ngucek mata dan melirik jam dinding yang masih menunjukkan pukul 6 pagi.

"Astagfirullah, baru jam 6 aja bunda sudah macam orang kebakaran hutan! Dasar bunda galak, sih," gumam Zia malas, tapi wajahnya mulai sedikit merekah tanda mau bangun.

"KAMU JUGA TERIAK! SEKARANG MANDI, TERUS CEPET TURUN, KITA SARAPAN! BUNDA LAPAR! DAN INGAT, SARAPAN ITU PENTING, BIAR OTAK GAK KOSONG! INGAT, YA!" bentak Billa, sang bunda, dengan nada yang bikin gemas sekaligus takut kalau sampai nggak nurut.

"IYAAA, IYAAA! Santai, bunda, santai... Ntar aku mandi, jangan sampai bunda siram beneran ya, nanti aku basah semua, bisa demam," balas Zia sambil ngeloyor ke kamar mandi dengan langkah setengah malas, setengah kucing yang ogah-ogahan.

 

Zia ini siswi SMA biasa, bukan selebgram atau yang terkenal di sekolah, jadi gak ada drama lebay ala sinetron yang bikin kepala pusing. Tapi satu hal yang pasti, dia jago banget urusan males, apalagi di pagi hari.

Tiba-tiba dari kejauhan terdengar suara teriakan khas yang membahana, "ZIAAAA, BEBEB, GUEEE!"

Shenaya, sahabat setia sekaligus partner in crime Zia, datang dengan gaya khasnya, rambut berantakan, tas melorot, dan ekspresi penuh semangat (atau mungkin kebingungan).

"Ya ampun, jangan teriak gitu juga, aku gak budeg, kok," Zia jawab sambil melirik malas ke arah Shena yang sudah kayak dirigen orkestra sedang memimpin konser.

"Kamu sih, masa gak nungguin aku tadi di parkiran! Aku sampe bingung, lho! Kirain kamu diculik alien atau kabur ke planet Mars," omel Shena dengan ekspresi nyebelin tapi lucu, sambil narik-narik tangan Zia biar jalan.

"Aku gak liat kamu, She. Aku kan gak punya mata di belakang kepala, masa aku bisa baca pikiran? Lagian, alien di Mars kayaknya juga bingung ngurus bumi, masa aku juga harus?" balas Zia santai sambil nge-roll bola matanya.

"Ah, lo mah emang gitu, stecu! Aku kayak temennya hantu aja, kadang ada kadang nggak!" Shena cemberut sambil nunjuk-nunjuk, tapi wajahnya tetap imut banget.

"Yah, jangan cemberut mulu, nanti aku contekin pelajaran. Tapi kalau kamu cemberut mulu, aku nggak jamin deh, nanti aku malah ketawa terus terusan" godain Zia sambil nyengir.

"Hah? Ketawa? Aku juga bisa ketawa, tau! Tapi ketawa kamu kayak suara sapi ngorok!" Shena balas dengan gaya lebay.

"Nah, itu baru bestie." kata Zia sambil nyengir lucu.

Mereka pun berjalan bersama menuju kelas, melewati lorong yang penuh dengan suara riuh siswa lain yang juga memulai hari dengan berbagai drama khas SMA.

 

Setelah aku dan Shena sampai di kelas, suasana mulai rame. Temen-temen pada ngobrol, ada yang lagi sibuk ngerjain tugas, ada juga yang lagi pamer baju baru.

Aku duduk di bangku tengah sambil ngeluarin buku catatan. Shena duduk di sebelah aku, masih cemberut.

Tiba-tiba guru masuk dengan ekspresi serius, langsung menatap ke arahku, “Zia, sini ke depan! Tunjukkan catatanmu sekarang juga."

Aku berdiri dengan santai, tapi dalam hati mulai panik. Pas aku buka tas, ternyata bener, buku tugasnya gak ada!

Guru makin tegas, “Zia, kamu gak bawa buku tugas? Itu berarti kamu gak siap. Keluar kelas sekarang!”

Aku cuma bisa pasang wajah polos sambil senyum kalem, “Iya, Bu. Aku keluar dulu, besok aku bawa beneran kok.”

Shena tertawa kecil sambil bilang, “Yah, Zia emang selalu bikin kejutan.”

“Tenang, Shena. Besok aku balikin deh reputasi aku.”

Sahabatku, Shena, di sebelahku menahan tawa sambil bilang, “Zia, kamu emang beneran deh, gak pernah bosen bikin aku ngakak.”

Guru semakin tegas, “ kamu harus keluar kelas sekarang juga!”

Aku ngedip-ngedip kayak lagi mikir strategi, terus bilang, "Tenang bu besok aku balik dengan buku tugas segudang!”

Keluar kelas, Shena langsung senyum sambil tepuk punggungku, “Lah, Zia, kamu bener-bener ratu drama ya.”

Aku senyum lebar, “Drama itu bagian dari kehidupan, Shena. Tapi aku tetap yang paling keren di sini.”

... 🌀🌀🌀...

Setelah keluar kelas, aku jalan pelan sambil mengerutkan dahi “Bentar ah, mending aku baca novel aja kalo gini. Cuss ke perpus... Ups, jangan sampe kedengeran guru, bisa mampus aku nih!”

Aku langsung lari-lari kecil ke perpustakaan yang ada di belakang sekolah. Angin disini nyegerin, tapi di kepala aku cuma mikir soal novel.

 

30 menit kemudian...

Wajahku yang tadi semangat, sekarang berubah kayak orang yang lagi nahan marah. Aku mukul-mukul novel itu kayak lagi adu jotos sama ceritanya. Bisa kebayang dong seberapa kesalnya aku.

"Kasiann banget sih para tokohnya, pada gila semua! Amit-amit deh kalo dapat cowok kayak gitu, ih!” Aku ngomel sambil gemas.

“ini juga antagonis cewek, udah tau protagonis pria gak suka sama dia, masih aja dikejar. Hello, kamu itu cantik anjir, ngapain milih cowok kayak psikopat sih!” Aku tambah geram.

“Aduh, cape deh. Mending pulang aja,” aku mutusin sambil buru-buru ke tempat motorku parkir.

...🌀🌀🌀...

Kriet, Brugh!

Akhirnya aku bisa rebahan juga. Untung bunda pergi, kalo dia liat aku bolos gini, bisa-bisa aku kena omel. Aku ngintip jam di dinding kamar, “Wah, masih ada waktu nih.”

Menghela napas panjang, aku ngacak-ngacak rambut sendiri, “Gara-gara novel itu jadi kepikiran terus, aisshh.”

“Hoam... ngantuk banget nih...” Ucapku setengah merem, tubuhku mulai melebur pelan-pelan, siap buat tidur nyenyak.

 

Setelah tertidur pulas, Zia kini sudah nggak di dunianya lagi.

🌀 Dunia Lain 🌀

"INI DIMANAAAA, YA AMPUNNN! SIAPA YANG MINDAHIN AKUUUU?!" Dengan linglung, dia lihat sekeliling yang terasa asing dan membingungkan.

Memproses data...

10%... 20%... 30%... 50%... 80%... 100%...

Ting!

"Hai, tuan. Saya sistem yang akan menemani Anda di dunia novel ini."

"ARGH! ITU SIAPA? ANJIR, YANG NGOMONG GAK MUNGKIN HANTU KAN?!" Zia jerit ketakutan.

"Saya bukan hantu, tuan. Saya sistem yang akan memandu Anda di dunia ini."

"Paan sih, jirr? aku gak percaya nih. Ini drama apa aku lagi casting apa gimana sih? Tiba-tiba banget. Udah deh, jujur aja!"

"Maaf, tuan. Tapi ini bukan drama."

Zia yang sekarang sedang berjalan menuju pintu — entah kamar siapa, dia nggak tahu — yang penting dia harus keluar dari tempat mencurigakan ini.

Dengan gerakan kaku, Zia menoleh, "Ha? Jadi ini beneran nyata, gak bohong?"

"Ya, tuan."

"Hahaha, aku yang gila apa gimana nih? Kayaknya gak masuk akal banget."

"Anda tidak gila, tuan. Anda sekarang berada di dunia novel yang pernah Anda baca waktu di dunia Anda."

"Terserah mau dunia anime, dunia Mars, atau apa aja, antar aku balik ke dunia aku!!"

"Maaf, tuan. Anda harus terima faktanya."

"JADI AKU HARUS TERIMA KENYATAAN KALAU JIWAKU DI DALAM TUBUH CEWEK INI? TERUS TUBUHKU MAU DI KEMANAIN, CIK?!!!"

"Aku nyesel banget baca novel itu, hidupku jadi gak tenang aja. Gak rela, anjir."

"Heh, suara-suara! Jawab dong, bikin kesel aja."

"Saya robot, tuan. Bukan suara-suara."

Dengan acuh, Zia jawab, "Penting bersuara sih."

"Ini gimana terusan?"

"Saya di sini bertugas menemani Anda saja, tuan. Lalu, jika Anda bisa menjaga diri dengan baik di dunia ini, saya akan pergi."

Mengerjap mata bingung, Zia bertanya, "Dih, kok gitu?"

"Eh, kamu nih sistem kayak di novel-novel, kan? Kok beda sih? Di novel biasanya ada kecantikan terus ada point-point ini, kok di sini gak ada?"

"Tidak semua harus sama, tuan. Saya di sini cuma menemani Anda."

"Gak ada misi-misi gitu kah?"

"Tidak, tuan."

"Terus, gunanya aku di sini buat apa? Toping di dunia ini gitu?"

"Mencari kebahagiaan Anda, tuan."

"BAHAGIAA APAAA? KOCAK!"

"Lama-lama aku ditipu juga nih. Eh, tapi kok kayak setan, gak ada bentuk, katanya robot, idih!"

"Terserah Anda saja, tuan. Saya ada urusan, saya akan pergi beberapa jam saja."

Cling!

"Lah, kocak banget. Aku ditinggalin tanpa tahu info apa-apa, minimal kasih tau dulu dong tentang dunia ini!"

Dengan kesal, Zia mengobrak-abrik isi kamar yang kini sudah jadi kamarnya, "Bodo amat, udah jadi kamar aku juga, orang tiba-tiba aku di sini."

"KENAPA HARUS INI NOVEL, JIRRR? INI NOVEL ORANG GILA ISINYA BIADAB BANGET."

"Aku jadi lava si tokoh sampingan itu?!."

Spontan dia melompat ke atas kasur, memejamkan mata erat. "Capek, butuh tidur..."

Ch 2

...Love for Sania...

Sania Anara, gadis polos dari desa kecil, hidupnya tiba-tiba berubah ketika ia pindah ke kota dan tinggal bersama keluarga Divison. Kehidupan yang awalnya sederhana kini dipenuhi kemewahan, tapi juga rahasia keluarga yang kelam dan intrik tersembunyi.

Sejak Sania hadir, perhatian keluarga yang dulu sepenuhnya untuk Fera Angelia Divison, gadis keras kepala dan dimanja, kini beralih kepadanya. Fera merasa diabaikan, tersingkir, dan lama-lama rasa cemburu itu berubah menjadi kebencian dingin. Sejak saat itu, Fera bersumpah untuk membuat hidup Sania menjadi neraka, dengan segala cara. manipulasi, gosip, dan bullying yang kejam.

Di tengah persaingan ini, hadir Rayan Virel Ahnaf Rexsa dan gengnya, The Vcouf, enam pria dingin dan mematikan yang terkenal di kota. Mereka dikenal brutal, tapi satu hal jelas, mereka akan melindungi Sania dengan segalanya. Ketika kabar tentang Fera dan Temannya sampai ke telinga mereka, amarah The Vcouf memuncak, dan mereka bersiap melakukan balas dendam tanpa ampun.

Namun, konflik itu menjadi semakin rumit dengan hadirnya Reyva Lavanya, seorang figuran yang niatnya hanya menolong Sania. Kesalahpahaman terjadi, The Vcouf mengira Lava ikut membantu Fera membully Sania. Tanpa menunggu klarifikasi, Lava dihukum dengan kejam, meninggal sebagai korban salah paham. Peristiwa itu meninggalkan trauma mendalam pada Sania, sekaligus menegaskan betapa ekstrem dan obsesifnya The Vcouf dalam melindunginya.

Hidup Sania kini dipenuhi ketegangan, Fera yang selalu mencari celah untuk menjatuhkannya, The Vcouf yang melindunginya dengan obsesi hingga brutal, dan bayangan Lavanya yang menjadi pengingat pahit bahwa salah langkah bisa berakhir tragis. Sania harus menemukan kekuatan dalam dirinya untuk bertahan, menghadapi obsesi gila Fera yang ingin menjatuhkannya, serta hubungannya dengan enam pria yang sekaligus menjadi pelindung, pengikat, dan ancaman dalam hidupnya.

“Love for Sania” adalah kisah tentang persaingan yang mematikan, obsesi yang membara, Dan konflik keluarga yang tersembunyi. Di dunia ini, cinta, dendam, dan kekuasaan saling bertabrakan, memaksa Sania untuk bertahan hidup di tengah bayang-bayang kekejaman dan obsesi.

...🌷Happy Reading Guyss🌷...

Zia rebahan di kasur baru itu, matanya udah setengah merem tapi otaknya malah gak bisa diem. “Astaga, hidupku kok bisa segini ribetnya, dari mana aja nih drama kejam?"

Tiba-tiba suara sistem nyamber, “Tuan, kamu harus tidur supaya tubuh bisa istirahat dan siap menghadapi tantangan besok.”

Zia nyengir sinis, “Tidur? Enak aja! Aku malah kepikiran siapa yang bakal aku lawan, siapa yang bakal aku jaga, dan yang paling penting, kapan aku bisa makan cilok?”

Sistem jawab santai, “Tuan, kalau tidak tidur, kemampuan kamu nanti gak maksimal.”

Zia ngelus jidat, “Iya iya, aku ngerti. Tapi aku takut kalau aku tidur, aku malah mimpi ketemu para pembully dan... dikejar-kejar Rayan sama pawang- pawangan nya. Duh, mimpi buruk banget!”

Sistem ngakak kecil, “Itu wajar, tapi jangan sampai kamu menyerah, tuan."

Zia nyeletuk, “Ya udah lah, aku tidur, tapi kalau besok aku bangun dan masih jadi figuran, aku protes keras sama kamu!”

Sistem tertawa, “Deal, tuan. Selamat tidur.”

Zia pejamin mata, dalam hati bilang, “Semoga mimpi aku kali ini gak berubah jadi drama sinetron tv yang gak ada habisnya. Tapi kalau iya, ya sudahlah... aku siap tempur!”

 

...🌀🌀🌀...

Malam itu, Lava berdiri kikuk di depan kasir supermarket. Matanya masih setengah ngantuk, tapi pikirannya ribut kayak pasar malam—berisik, ramai, dan penuh kebingungan.

“Jadi totalnya tujuh ratus ribu, ya, Mbak,” ucap kasir sambil menyodorkan nota.

Lava otomatis menepuk jidatnya pelan.

“Aduh, mampus... gak bawa uang.” gumamnya panik, setengah berbisik, setengah nangis dalam hati.

Baru mau minta cancel belanjaan, suara laki-laki dari sebelah kirinya terdengar datar, nyaris tak berperasaan.

“Gabungin aja sama punya saya.”

Kasir menoleh, lalu mengangguk cepat. “Baik, Mas.”

Lava menoleh kaget. Seorang cowok berjaket hitam, ekspresi sedingin freezer, berdiri santai sambil nyodorin kartu debit.

Waduh... siapa nih? Aura-aura cowok misterius?!

Belanjaan udah dikemas, Lava langsung reflek nyamperin cowok itu.

“Eh, makasih banget ya, Nanti aku ganti kok, beneran deh! Maaf udah ngerepotin!”

Dia buru-buru ngubek saku. “Nomor rekening kamu mana? Aku catet—eh bentar... hape aku mana?!”

Pemuda itu melipat alis. “Lo ngapain, sih?”

“Hape aku ilang.” Lava hampir meringis sambil celingukan, kayak lagi ikut reality show prank.

“Udah, gausah diganti. Pulang aja. Ini udah malem,” ucap cowok itu datar, seperti membaca berita tanpa intonasi.

Lava masih menatap bingung. “Tapi... makasih ya. Eh, nama kamu siapa?”

Cowok itu tak menjawab. Ia hanya menatap Lava sejenak, lalu berucap singkat sebelum pergi.

“Hati-hati. Meski abang lo nggak di sini, dia tetap ngawasin lo. Jangan keluyuran malem-malem, lo itu cewek.

Setelah itu, dia berbalik dan pergi begitu saja.

Lava melongo.

“…Hah?”

ABANG? Dia kenal abangnya pemilik tubuh ini?! Lah... siapa tadi?! Kok misterius banget! Ganteng, nyelamatin gue dari dompet kosong, terus kabur. APA JANGAN-JANGAN ITU… MALA—eh bukan, bukan.'

...🌀🌀🌀...

Di seberang jalan, aku liat ada cowok terkapar kayak abis dihajar Alien.

“Aduh, bro, kamu kenapa? Mau minta tanda tangan aku atau mau aku jadiin fans kamu?” aku dekati sambil gaya kayak host TV.

Dia cuma ngelus kepala kayak bilang, “Tolong, aku udah gak kuat.”

“Woi, jangan lebay, aku dokter dadakan nih! Duduk dulu, biar aku kasih obat mujarab.” aku angkat dia sambil sok pahlawan.

“Nah, sini, aku bakal kasih plester super keren ini... eh tapi isinya cuma plester biasa, haha!” aku cengar-cengir.

Dia cemberut, “Sakit hati, bukan luka fisik.”

Aku geleng-geleng, “Ah, sakit hati itu obatnya ketawa, ntar aku bikin kamu ngakak sampe lupa sama sedihnya hidup”

Sambil tempelin plester, aku godain, “Eh, pipi kamu merah kayak cabe rawit, jangan malu dong! Aku gak gigit, cuma mau nyium aja."

Pemuda tersebut hanya mengelengkan kepalanya heran sekaligus gemas.

Dia cuma bisa senyum tipis, "makasii.."

“Sama sama oiya jangan kebanyakan drama, ntar aku yang disalahin gara-gara jadi dokter super nyeleneh” aku ngacir secepat kilat, takut dia tiba-tiba jadi vampir beneran.

Dia cuma bengong sambil mikir, “Gila, cewek ini levelnya beda banget.”

... 🌀🌀🌀...

Lava melangkah pelan sambil ngomel, "Sebenarnya niat pulang, tapi malah lupa jalan pulang. Aduh, sial mulu hari ini, bener-bener hoki abis."

Dia berhenti, ngelirik kanan kiri sambil nyengir kecut, "Huh, kumat lagi nih. Ngomong sendiri kayak orang lagi ngobrol sama cermin. Gawat."

Tiba-tiba dia nangkep suara ribut. Dengan mata penuh rasa penasaran, dia ngendap-ngendap mendekat.

Di sana ada bocah laki-laki sekitar enam tahun lagi nangis sesenggukan, mukanya merah padam. Ibu-ibu pada sibuk cari-cari, kayak lagi main petak umpet sama bocah itu.

Lava garuk-garuk kepala, "Wah, ini bocil siapa si? Kayaknya nyasar deh."

Dia maju pelan-pelan sambil senyum, "Eh, cill! Kamu kenapa, nih? Lagi cari papa mama ya?"

Bocah itu nyengir sambil nyeletuk, "Aku nyasar, Ante!"

Lava ngakak, "Ante? Wah, kamu keren juga jadi gaul banget"

Ibu-ibu yang panik ngeliatin Lava, terus salah satu ibu nyeletuk, "Mba, tolong bantu carikan orang tua dia, ya?"

Lava ngangguk, "Tenang, Bu. Aku bakal jadi detektif dadakan nih. Btw, kamu jangan lari-lari lagi ya, ntar aku dibilang tukang ilangin anak orang."

Lava yang kini lagi nge gendong bocah yang mengaku namanya farel. sambil jalan-jalan pelan, tiba-tiba berhenti dan ngelirik ke arah farel.

“Eh, kamu jangan-jangan bocah paling nakal di dunia nih ya sampe kabur kaburan ini tuh uda malem tau?!”

Farel nyengir jahil lalu mimik mukanya berubah sedih, “Iya aku memang nakal ante. habisnya papi marahin aku terus makanya aku pergi terus nyasar”

Lava ngangkat alis, “Kalo gitu, hati-hati ya, aku juga jago nakal loh.”

Farel langsung nyengir lebar, “Wah, kayaknya seru deh! Kita bisa jadi tim nakal ante yey!”

Lava nyengir sambil bilang, “Tim nakal? Ih, siap-siap kamu diajari cara ngacau yang keren sama aku”

Mereka berdua ketawa ngakak di pinggir jalan, bikin orang sekitar melirik heran tapi lucu.

Lava mikir, “Ya ampun, dari tadi aku cuma mikir ribetnya hidup, eh ketemu anak ini malah jadi hiburan dadakan. Lumayan lah, kadang hidup tuh perlu dosis gila-gilaan juga.”

... 🌀🌀🌀...

"Ayel mau permen"

Lava ngelus-elus dagunya sambil pura-pura serius, "Baru ketemu langsung minta permen. Nanti aku juga minta permen, biar jadi hamster kayak kamu"

Farel ketawa ngakak, "Hamster? Lucu banget te"

Lava nyengir, "Iya, hamster versi manusia, siap tempur lawan kelaparan"

Tiba-tiba ada suara langkah berat dari kejauhan. Lava langsung bisik-bisik, "Uh-oh, kayaknya bahaya deh, Farel Kita ngumpet dulu, yuk"

Farel didalam gendongan Lava lantas panik, "Ngumpet? Di mana, Ante?"

Lava membawa dirinya serta Farel ke balik tumpukan kardus sambil cengengesan, "Sini, sini, kita main petak umpet sama bahaya"

Ch 3

Lava dan Farel lagi ngumpet di balik tumpukan kardus, sambil cekikikan pelan.

“Ssssst! Jangan ketawa keras-keras! Ntar ketauan sama hantu kardus,” bisik Lava sambil nutup mulut Farel pake dua jari.

Tapi Farel malah makin ngakak, “Hantu kardus tuh apaan, Anteee!”

Belum sempet dijelasin, suara langkah berat makin deket. tap... tap... tap...

Lava celingukan panik, “Wah! Ini bukan suara telapak kakinya ibu-ibu deh. Nih suara kayak telapak kaki... Bapak-bapak pemilik dunia.”

Dan bener aja.

Seorang pria tinggi dengan jas rapi dan tatapan kayak es batu Norwegia muncul dari balik lorong. Auranya dingin, mukanya datar, dan cara jalan dia tuh kayak... CEO abis berantem sama direksi.

“Farel,” suaranya dalam dan pelan. Tapi ngagetin.

Ayel yang awalnya ngakak langsung diam, terus teriak,

"PAPIIIIII!!”

Farel langsung lompat keluar dari kardus dan lari peluk pria itu. Lava masih ngumpet, shock.

“Anjir, itu manusia atau es krim vanilla yang nggak pernah cair?!” batin Lava.

Papi Farel menunduk sebentar, lalu memeluk anaknya. “Kau kabur lagi,” ucapnya dingin.

Lava akhirnya keluar juga dari persembunyiannya, ngelambai canggung. “Eh halo, aku... bukan penculik, sumpah.”

Tatapan pria itu langsung pindah ke Lava. Tatapannya... kayak sinar X, Lava sampe ngerasa dosa-dosa kecilnya kebaca semua.

“Siapa kamu?"

“Aku Lava... e-eh, Lavana. Aku cuma bantu Farel, dia nangis... terus aku ajak main kardus. Nggak ada niat nyulik, serius,” ucap Lava cepat, takut salah omong.

Pria itu diem. Serem. Matanya tajem banget.

Lava nahan napas, “Wah, ini mah bukan tipe-tipe tokoh cowok novel yang cool tapi manis... ini cool tapi kayak bisa ngelempar aku ke lubang buaya.”

“Terima kasih,” ucap pria itu tiba-tiba, datar tapi jelas.

Lava bengong. “Hah? Eh... iya, sama-sama... om.”

“Bukan om.”

“Oh, kakak?”

“Bukan.”

“Paman? Mas-mas? Mamah muda?”

Pria itu cuma menghela napas. “Panggil saja Mr. Varen.”

“Yhaa serem amat namanya... aku panggil Kak Vren aja yaa~” kata Lava sambil cengengesan biar nggak gugup. Tapi langsung nyesel"

Tatapan Varen makin dingin.

Farel malah ketawa, “Kak Vren! Kak Vren!!”

Varen melirik anaknya sekilas, lalu... mengangguk. “Terserah.”

Lava dalam hati “Wah... hidup aku resmi masuk dunia aneh.”

🌀🌀🌀

Mobil hitam mengkilap itu melaju pelan tapi pasti, membelah jalanan malam yang mulai sepi. Di dalamnya, duduk tiga orang satu bocah enam tahun yang asik ngemil, satu cewek random yang baru ketemu mereka beberapa jam lalu, dan satu pria super dingin yang auranya kayak kulkas 4 pintu merk Eropa.

Lava duduk di belakang bareng Farel. Dia merapat ke jendela, sambil ngomel dalam hati.

“WOI SISTEM! UDAH BALIK KAN KATANYA CUMA PERGI BEBERAPA JAM, NIH AKU UDAH MAU DIMUAT DI DALAM CERITA NIH, HADIR DONGG!!”

Tiba-tiba suara familiar muncul di kepala Lava.

“Saya sudah kembali, Tuan.”

“HOI! JANGAN MUNCUL TIBA-TIBA GITU DONG AKU KIRAIN BISIKAN SETAN!”

“Saya bukan setan, saya sistem.”

“Iya iya, sistem pembohong!”

Farel menoleh ke Lava yang lagi kesel sendiri. “Ante ngomong sama siapa sih? Aneh banget deh... ante kesurupan ya?”

Lava panik. “Eh enggak dong! Aku cuma... ini... lagi debat batin”

Farel cengar-cengir. “Berarti ante sering ngobrol sama otak ante ya?”

“Aku mah akrab banget sama otakku, sampe kadang lupa sama kenyataan hidup...” jawab Lava, pasrah.

Dari kursi depan, Varen yang menyetir cuma melirik sekilas lewat spion. Diam. Tapi... sudut bibirnya naik setengah milimeter. Senyum? Atau cuma kedutan? Nggak ada yang tahu. Yang jelas Farel heboh sendiri.

“PAPII! Ante Lavana lucu ya?!”

Lava menepuk pipinya. “Ya ampun Farel, aku sampe malu. Tapi makasih ya kamu juga lucu banget, gemoy parah hehe”

Farel mengangguk bangga sambil nyuapin Lava satu biskuit. “Ante makan ya Ini enak. Tapi jangan banyak-banyak, ini snack favorit Ayel.”

Lava makan satu biskuit, terus refleks langsung berkomentar, “ENAK BANGET ASTAGA! Ini tuh kayak... rasa bahagia dibungkus krisis identitas!”

Varen melirik lagi lewat spion. Kali ini... senyum tipisnya lebih jelas. Tapi tentu, dia langsung balik lagi ke ekspresi datarnya.

Lava yang ngeliat itu, langsung bisik-bisik ke sistem.

“HOI SISTEM! TADI DIA SENYUM GA SIH?!”

"Benar, Tuan. Itu dinamakan ekspresi positif ringan.”

“BERARTI DIA GAK GITU GITU AMAT KAN?! AURANYA MEMANG DINGIN, TAPI HATINYA LEMBUT NIH KAYAK TAHU PUTIH!”

“Analogi Anda sangat... tidak ilmiah.”

“Eh ante, papi tuh kalo diem-diem gitu tandanya dia senang loh,” bisik Farel tiba-tiba.

Lava kaget. “Serius kamu?! Wah... jangan-jangan aku berhasil bikin es batu ini retak sedikit.”

Farel ketawa lagi. Varen tetap menyetir, tapi kali ini... dia menghela napas pelan. Seperti... lega.

Lava, masih sibuk mikir, menyandarkan kepalanya di jok. “Oke, kalau dunia novel ini isinya cowok-cowok psycho dingin tapi punya anak lucu kayak Farel... mungkin aku bisa bertahan hidup sedikit lebih lama.”

Mobil terus melaju. Tapi suasana di dalamnya... mulai terasa hangat.

🌌🌌🌌

Setelah menempuh perjalanan penuh bisik-bisik batin dan biskuit warisan Ayel, akhirnya mobil hitam elegan itu berhenti di depan sebuah apartemen mewah. Lava menatap ke luar jendela sambil menelan ludah.

“INI RUMAH SIAPA? KOK KAYA TEMPAT SYUTING DRAMA KOREA?! ASTAGA, KALO ADA TANGGA PUTIH MELINGKAR, FIX NIH AKU MASUK NOVEL DRAMA RICH PEOPLE.”

Farel udah duluan loncat keluar sambil nyeret tangan Lava. “AYO ANTE! INI TEMPAT TINGGAL KITA SEMENTARA”

Lava diseret kayak karung beras mini. “Eh eh eh jangan tarik-tarik dong, aku tuh fragile tau nggak? Aku tuh... kayak kerupuk pas lebaran—ringkih dan mudah hancur”

Varen masih tanpa suara, hanya membuka pintu depan gedung apartemen dengan kartu akses. Tatapannya? Tetap kayak robot abis reboot. Tapi... tangannya dengan refleks ngelindungi kepala Lava waktu cewek itu hampir kejedot pintu kaca.

Lava menoleh pelan.

“APAAN ITU TADI?! DIA PEDULI NIH?! AKU HARUS NULIS INI DI DIARY FIKTIFKU MALAM INI!”

Mereka masuk lift. Lava berdiri di antara Farel dan Varen, dengan canggung yang levelnya 300%.

“Hmm… jadi ini tempat tinggal kalian?” tanya Lava sambil celingak-celinguk, pura-pura tenang padahal deg-degan.

Farel langsung pamer. “Iyalah! Papi tuh orang kaya! Tapi galak, jangan bikin dia marah ya, ante bisa diusir pake sendal 😎”

Lava ketawa meringis. “Noted… dilarang nyebelin si kulkas berjalan.”

Varen melirik, “Aku dengar itu.”

Lava kaku. “Itu bukan aku yang ngomong, itu… suara biskuit, sumpah.”

Ting!

Pintu lift terbuka. Mereka masuk ke unit apartemen besar yang modern minimalis, lengkap dengan sofa empuk dan aroma lilin aromaterapi. Lava langsung ngedumel.

“INI TEMPAT APA?! SURGA?! AKU MAU TINGGAL DISINI SEUMUR HIDUP AKU NGGAK MAU PULANG!!!”batinya kegirangan.

“Ante tinggal sini aja ya?” pinta Farel sambil manja.

Varen menaruh jaketnya, lalu menatap Lava. “Kamu bisa tinggal di sini... kalau kamu nggak nyusahin.”

Lava langsung berdiri tegap, angkat tangan kanan. “SIAP KOMANDAN! AKU BISA JADI WARGA TERBAIK, BISA MASAK MI INSTAN, LIPAT BAJU, DAN NONTON DRAMA TANPA NANGIS KOK!”

Varen akhirnya... ngangguk. “Kamar tamu di sebelah kanan. Mandi dulu, kamu bau jalanan."

“BAU JALANAN KATANYA?! AJAIB NIH ORANG, NGOMONG DINGIN TAPI NUNJUKKIN CARE DENGAN CARA NYEBELIN!”

Farel ketawa keras sambil lari ke kamarnya. Lava, sambil nyeret kakinya, masuk ke kamar tamu.

Begitu pintu kamar tertutup...

“SISTEM, CATET. AKU UDAH MASUK APARTEMEN COWOK DINGIN PSIKO YANG BAIKNYA DIKETOK PAKE SENDAL JEPIT. TAPI KOK RASANYA... DAMAI YA?”

Sistem menjawab datar, “Ya.”

Setelah selesai mandi dan guling-guling sebentar di kasur empuk yang kayak awan, Lava duduk di ujung ranjang. Matanya nanar ke langit-langit, lalu...

“Nggak bisa... aku nggak bisa tinggal di sini. Nanti kalau aku kebanyakan nyaman gimana toh baru aja ketemu aku kaya kurang belaian gini deh. Lagian, ntar aku keterusan jatuh cinta bisa gawat kan? Astaga, aku emang gampang bapernya tau.”

Dengan semangat setengah matang, Lava keluar kamar. Dia ngintip-ngintip, memastikan nggak ada yang lagi bentak-bentak ayam di ruang tamu. Aman.

Langkah pelan-pelan—kayak maling mau curhat—ia sampai di depan Varen yang sedang duduk di sofa, ngetik sesuatu di laptop. Masih dengan wajah cuek dan aura dinginnya yang bisa bikin freezer iri.

Lava berdiri tegap.

“Permisi... Bapak Es Batu…”

Varen berhenti ngetik, ngangkat alis pelan. “Apa?”

Lava langsung gugup, tapi sok kalem. “Aku... maksud aku—aku kayaknya nggak bisa tinggal di sini. Aku mau balik ke apartemen aku sendiri. Tadi tuh cuma... yaa... salah paham. Aku kan emang sering kesesat di jalan kehidupan.”

Varen menatap Lava lama. “Kamu yakin?”

Lava senyum awkward. “Yakin banget. Aku udah siap pulang sendiri. Lagian... nanti aku ganggu bonding time kalian berdua. Aku juga takut salah duduk, salah napas, salah liat. Udah, aku pulang aja. Terima kasih.. um... ”

Farel yang dari tadi ngumpet di balik tembok langsung lari ke Lava. “Tapi anteee... aku mau tidur sama anteee...”

“Duh dek, bukan aku gak sayang. Tapi ante juga punya kasur sendiri. Kalo ante tidur di sini, kasur ante di apartemen bisa nangis loh, kesepian...”

“Serius?” mata Farel melebar.

“Banget.”

Varen berdiri, berjalan mendekat. “Kalau itu maumu, aku antarkan.”

Lava buru-buru geleng. “Nggak perlu—aku bisa naik angkot! Aku jago nanya-nanya orang, aku tuh survival girl.”

Tatapan Varen makin nyempil ke dalam hati. “Tidak. Malam. Berbahaya. Aku antar.”

Lava menelan ludah. “YA AMPUN NGOMONG DINGIN GITU KENAPA AKU DEG-DEGAN? ASTAGA JANTUNG AKU NIH.”

Akhirnya mereka bertiga keluar apartemen, dengan Farel yang masih manyun dan Lava yang bawa tas belanja kayak mau pindahan. Di dalam mobil, Lava duduk di belakang sambil peluk bantal belanjaan.

“Sistem, aku udah berani. Gimana? Keren ga?”

“Belum keren Tuan.”

“Ya ampun, ini tuh level yang... gila gitu ya ga si?”

“Kurang lebih.”

Lava mendesah. “Bodo amat. Yang penting aku bebas.”

--

Mobil hitam elegan itu akhirnya berhenti tepat di depan sebuah apartemen sederhana berlantai dua. Lava memandangi bangunan itu sambil menggigit bibir.

"Huft... rumah, I’m home... walau kayak kosan premium, tapi tetap rumah."

Varen turun lebih dulu, membuka pintu belakang tanpa ekspresi. Farel langsung lompat dari dalam mobil dan menempel ke Lava seperti lem korea.

"Anteee, ayoo tinggal sama ayel ajaa... ayel janji ga kentut di selimut lagi..." rengeknya dengan mata berkaca-kaca.

Lava kaget, lalu ketawa ngakak. "Astaga dek. Kok bisa ngaku dosa depan umum gini sih... ya ampun, udah yaaa... nanti orang kira kita syuting acara tobat nasional!"

Farel masih meringkuk di kaki Lava. Varen hanya berdiri di samping, menyilangkan tangan, menatap Lava dalam-dalam. Bukan galak, tapi kayak... nyimpen sesuatu.

"Kami pamit," ucap Varen singkat, suaranya seperti embun pagi yang disimpan di kulkas.

Lava mengangguk sambil memaksa senyum. "Oke... makasih ya udah nganter. Maaf aku bikin ribet terus. Dan... terima kasih juga udah... jadi manusia."

Varen menaikkan sebelah alis. “Aku memang manusia.”

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!