PERKENALAN
Namanya Ayuna Oktavia Bramasta yang akrab di panggil Yuna, dia lahir di Seoul, Korea Selatan pada 28 oktober 1997. Yuna hanya lahir di Korea, ia bukan keturunan atau pun berdarah Korea. Catat, mungkin ia hanya dilahirkan di sana dan mungkin Yuna berdarah Korea dan Indonesia.
Nama depannya adalah Ayuna dan panggilannya Yuna, ayahnya sengaja memberikan nama itu, Ayuna asal kata Soo Yun yang berarti sempurna. Ayahnya ingin semua yang terjadi dalam hidup Yuna dapat menjadi sempurna. Tapi, hal itu tidak pernah terjadi, karena dalam kehidupannya yang sempurna hanyalah namanya saja.
Saat ini, Yuna sudah menginjak usia 23 tahun, di usia yang cukup muda ini, Yuna berhasil membuka usaha kedai kopi miliknya sendiri dan terbilang sangat sukses di Korea serta memiliki banyak pelanggan setiap harinya. Ya, karena suatu hal, dia memutuskan menetap di Seoul, Korea Selatan.
Sudah hampir 5 tahun ia menetap di negara kelahirannya itu untuk membuat kenangan serta suasana baru. Yuna ingin melupakan semua yang telah terjadi selama ia pernah menjalani hidupnya di Indonesia.
Ketidakberuntungan serta malapetaka yang melekat di dalam dirinya, semuanya ingin ia hilangkan. Membuktikan pada mendiang ayah dan ibunya bahwa ia bukan anak pembawa sial.
****
Gadis manis itu kini terduduk di dekat jendela kafe miliknya, menangkup secangkir kopi kesukaannya dan matanya masih bersitatap pada tanah yang dibasahi oleh rintikkan hujan. Dia suka suara hujan yang sudah bersentuhan dengan tanah, menurutnya suara itu menenangkan hati dan pikiran.
'Cling'
'Cling'
bell kafe berdering berkali-kali yang menandakan ada banyak pelanggan yang ingin memesan kopi hangat di tengah cuaca dingin kota Seoul. Hujan tak kenal henti sejak pagi tadi hingga matahari sudah terbenam sekarang. Yuna beranjak dari duduknya dan bergegas melayani para pelanggan dengan kopi lezat buatannya.
Meskipun kafe itu miliknya tapi ia tetap membantu dua pegawai lainnya. Ya, baru dua pegawai yang bekerja padanya dan saat ini Yuna sedang mencari pegawai baru untuk di tempatkan sebagai barista.
Sudah banyak yang melamar di kafenya dan semuanya laki-laki, tapi ketika di interview mereka terlihat tidak serius menjawab, sebab itu Yuna tidak menerima satupun. Kebanyakan dari mereka tertarik melamar karena CEO kafe itu perempuan muda nan-cantik serta dua pegawainya yang tidak kalah cantik darinya.
Sungguh, tidak ada bedanya kaum adam di sini dengan di Indonesia, hingga Yuna sempat mengurungkan niatnya untuk mencari seorang barista pria tapi hal itu dicegah oleh kedua pegawainya saat ini. Alasannya, karena tenaga pria sungguh di butuhkan.
Waktu berlalu begitu cepat, tak terasa sudah pukul sebelas malam. Sudah waktunya kafe tutup, Yuna dan dua pegawainya sedang bersih-bersih saat ini, ia membersihkan meja bagian dalam, satu pegawainya membersihkan dapur dan satunya lagi membersihkan meja bagian luar.
Yuna memperhatikan seorang pria yang sedang mengobrol dengan pegawainya di luar, ia berpikir pria itu adalah pacarnya Naeun-pegawai yang sedang membersihkan meja luar, jadi ia mengurungkan niatnya untuk menegur. Tapi, Yuna salah! Naeun menghampirinya dengan membawa sebuah amplop coklat besar.
"unnie, tadi ada seorang pria memberikan surat lamaran ini. Aku sempat tidak yakin untuk menerimanya, karena unnie sudah malas menerima pegawai lagi, kan?" tukasnya memberi amplop coklat tersebut dan membuyarkan lamunannya.
"hmm? Ah ... tidak-tidak. Aku akan menerimanya! Aku kira dia pacarmu," jawabnya terkekeh dan mengambil amplopnya.
"Hey, mana mungkin! Ohya unnie, pria itu mengatakan, dia lupa tidak mencantumkan pas foto untuk lamaran itu. Tidak masalah, kan?"
Yuna tersenyum. "Ya, tentu. Pas foto tidak begitu dipentingkan yang terpenting ia serius ingin bekerja disini!"
"Baiklah, kalau gitu aku akan lanjut bersih-bersih, bos!" tukasnya lagi lalu pergi dan Yuna mengangguk sebagai jawaban.
Keesokan harinya, Yuna sedang sibuk membaca seluruh surat lamaran kerja di ruang kerjanya. Dari banyaknya surat tersebut, salah satunya ada yang menarik perhatian Yuna.
"Park Jeong Woo ... Jeong Woo?" ia terus bergumam menyebut nama pria yang tertulis di surat lamaran kerja itu. Seperti tidak asing pikirnya, tapi Yuna segera menepis pikirannya tersebut.
Yuna kembali membaca surat lamaran kerja milik Jeong Woo. Pada bagian pengamalan tertulis Jeong Woo memiliki banyak pengalaman kerja serta pernah menjadi salah satu pegawai terbaik di perusahaan terkenal milik Seoul dan ternyata ia memiliki nama dan pernah tinggal di Indonesia.
"Rama Joseph Mahendra!"
Yuna tersenyum menyebut namanya, mahendra seperti nama seseorang yang ia kenal.
Yuna beranjak dari tempatnya, menghampiri Naeun lalu menyuruhnya untuk menghubungi beberapa orang yang sudah menaruh surat lamarannya di kafe ini dan orang-orang itu lah yang terpilih untuk melakukan wawancara esoknya.
****
*EPILOG
Langkah kaki panjangnya terhenti di sebuah kedai kopi, dia menatap serius pada tembok hitam kedai itu. Di sana terpampang pencarian lamaran pekerjaan untuk pria dan akan di tempatkan sebagai barista.
Dia tersenyum bahagia, sepertinya dia tertarik. Lalu, pria itu meninggalkan kedai kopi tersebut. Malamnya dia kembali saat kafe akan tutup, untungnya dia masih sempat memberikan amplop coklat yang berisi surat lamaran kepada salah satu pegawai di sana.
Saat akan berjalan kembali, dia merasakan ada seseorang yang terus melihat kearahnya. Dia lalu berbalik dan berhasil melihat seorang wanita sedang salah tingkah ketika dia menatap balik sosoknya dari balik kaca besar kedai itu. Ia tersenyum miring. "Menarik!" tukasnya berlalu pergi.
Waktu sudah menunjukkan pukul 12.55 dan satu jam lagi Yuna akan melakukan wawancara sesi kedua untuk calon pegawainya. Tiga jam yang lalu sesi pertama telah selesai dilaksanakan dan lagi ... mereka tidak benar-benar ingin bekerja di sini dengan serius. Yuna tak habis pikir waktunya terbuang sia-sia mendengarkan jawaban lelucon mereka.
Lucunya, hanya satu yang lolos di sesi pertama dan esoknya ia resmi menjadi pegawai di kafe ini. Kali ini, Yuna sudah siap mental mendengar jawaban mereka yang mungkin berisi rayuan dan lelucon nantinya. Yuna hanya berharap sikapnya nanti tidak berlebihan dan tidak ingin menyakiti siapapun.
Tok
Tok
"Masuk!" teriaknya.
Naeun membuka knop pintu ruang kerja bosnya dan menghampirinya. "Unnie, pria bernama Park Jeongwoo memaksa ingin bertemu denganmu dan ingin melakukan wawancaranya sekarang juga, bagaimana?"
Yuna berpikir sejenak, melihat berapa banyak kerjaannya saat ini. Sepertinya tidak begitu banyak. Mungkin jika di percepat akan mengurangi bebannya nanti. "Baiklah, biarkan dia masuk."
Naeun sedikit membungkuk sebagai jawaban dan meninggalkan ruang kerja Yuna.
"Bagaimana?" tanya laki-laki itu.
"Kamu boleh masuk, jawab yang serius jika ingin diterima di sini. Bos kami orang yang menjunjung tinggi keseriusan dan kerja keras."
"Ya! terima kasih."
ia melangkahkan kaki memasuki ruang kerja Yuna.
"Permisi, selamat siang," sapanya membungkuk.
"Selamat siang, silahkan duduk," balas Yuna yang masih menatap layar komputer di depannya dan segera mengalihkan pandangan melihat ke arah pria itu yang sudah duduk di hadapannya.
"Siapa tadi namamu?" Yuna bertanya sambil mencari surat lamaran milik Jeongwoo.
"Saya Park Jeong Woo. Panggil saja Jeongwoo."
Yuna hanya mengangguk, suasana hening. Karena Yuna masih mencari dokumennya yang masih belum ketemu. Beberapa detik kemudian. "Akhirnya, ketemu!" gumamnya.
"Baik, Jeongwoo-ssi. Tidak perlu berlama-lama lagi, kita akan mulai sesi wawancara ini,"
Yuna mulai menatap sorot mata milik Jeongwoo dan begitu pun sebaliknya, ia terdiam sejenak. Ada perasaan hangat di sana dan juga ada perasaan dingin yang menjadi satu pada sorot matanya.
"Ya, tentu," jawab Jeongwoo memecahkan keheningan yang membuat Yuna tersadar dan membenarkan duduknya.
"Baik kita mulai! Ceritakan tentang dirimu?"
*****
Namanya Park Jeong Woo dan nama Indonesianya adalah Rama Joseph Mahendra, bagi yang dekat dengannya terbiasa memanggilnya Jeongwoo atau Rama. Dia blasteran Korea-Indonesia tapi lebih dominan berwajah Korea. Jeongwoo tiga tahun lebih tua dari Yuna.
Tidak banyak yang tahu kehidupan asli Jeongwoo, karena ia selalu hidup sederhana. Bahkan, sahabat karibnya hanya tahu bahwa dia adalah laki-laki kere yang hanya mengandalkan gajinya, didompetnya pun hanya berisi kartu identitas, ATM dan beberapa lembar won.
Sebelum dia menaruh surat lamaran kerja di kafe milik Yuna, ia sempat bekerja di salah satu perusahaan Gallery terkenal dan tidak bertahan lama hanya kisaran satu tahun, tapi Jeongwoo sudah memutuskan keluar dari sana.
Keesokan harinya, Jeongwoo telah resmi menjadi barista di Day Caffe milik Yuna. Hanya dua pegawai yang diterima di sana, betapa beruntungnya Jeongwoo. Jadi, total pegawai Yuna saat ini hanya empat pegawai.
Jeongwoo memperhatikan bosnya-Yuna- yang tengah asik berkutat dengan laptop di hadapannya. Melihatnya membuat Jeongwoo merasa iba padanya, kemarin ketika dia bersitatap dengan Yuna, Jeongwoo menemukan sorot mata yang dipenuhi kekosongan, amarah dan kesakitan yang mungkin berusaha ditutupi olehnya.
Entah kenapa, ada perasaan aneh di dalam diri Jeongwoo karena baru kali ini dia merasa iba dan kagum terhadap wanita. Biasanya, dia selalu bertemu dengan wanita yang selalu pura-pura lemah di depannya untuk mencari perhatiannya.
"Jangan ditatap melulu, bos kita memang manis. Enggak akan di culik kok!" ucapnya seperti berbisik.
Jeongwoo tersadar, ia berdehem lalu berbalik dengan cool dan pura-pura membuat kopi. "Siapa yang melihatnya?" tukasnya dingin.
"Hey, ayolah jujur saja! Aku sudah tahu," ledeknya dan tertawa puas.
"Naeun sunbaenim, sebaiknya kembali kerja. Tuh ada meja yang harus dirapihkan."
Naeun kembali tertawa dengan lebar tidak di sangka pria ini asik di ajak bercanda dan sangat geli dipanggil 'sunbaenim' olehnya.
"Enggak perlu pakai sunbaenim juga dong saat memanggilku. Cukup Naeun saja, oke?" ungkap Naeun menepuk bahu Jeongwoo masih tertawa. Jeongwoo terkekeh kecil dan mengangguk.
*****
Kaki kecilnya sibuk menendang-nendang pelan tanah dengan sepatu boots mahal miliknya, tatapannya kosong, ia melamun. Yuna hanya duduk di halte bus membiarkan beberapa bus yang lewat berlalu. Apakah dirinya tidak takut? Padahal dia sendirian di halte bus itu dan sudah sangat larut malam dan salahnya terburu-buru tadi pagi hingga lupa membawa mobilnya.
Seorang pria yang terus memanggilnya sama sekali tak mendapat balasan.
"Yuna-sajangnim! Kamu mendengarku?"
Lagi, tak ada balasan. Jeongwoo menepuk bahunya, Yuna tersentak dan mengalihkan pandangan pada Jeongwoo. Yuna menatapnya.
"Oh? Jeongwoo-ssi? Ada apa?"
Jeongwoo menggeleng dan tersenyum, ia mendudukkan dirinya di samping Yuna kembali bersitatap dengannya. Lagi ... dia melihat di matanya tersimpan luka yang cukup dalam. "Wait ... tadi kamu memanggilku apa? Yuna-sajangnim?" serunya masih menatap.
"Ya, apakah salah?"
Yuna tertawa, persis seperti Naeun yang geli dengan panggilan Jeongwoo. "Panggil aku Yuna atau Yuna-ssi, lebih enak, kan? Aku tidak begitu suka dengan panggilan dengan embel-embel seperti itu! Sudahlah, ingat panggil aku apa?" tukasnya dan menatapnya dekat. Sangat dekat.
Jeongwoo terkejut, nafasnya tertahan. Mata mereka bertemu untuk kesekian kalinya tapi saat ini dengan jarak yang sangat dekat. Yuna dan Jeongwoo sama-sama bisa menghirup aroma parfum yang sangat khas di tubuh keduanya. Ia mengangguk, "Yu-yuna atau Yuna-ssi"
Seperti terhipnotis, akhirnya Yuna tersadar dan menjauhkan dirinya dari Jeongwoo. Canggung? Ya, keduanya canggung. Kecanggungan akhirnya berakhir ketika bus terakhir mulai datang. "Jeongwoo-ssi, aku duluan! Bye!" ucapnya melambaikan tangan dan terburu-buru menaiki bus.
Jeongwoo hanya tersenyum, sedikit membungkuk dan balas melambaikan tangan.
"Bye! Selamat malam, Yuna-yaa" gumamnya pelan.
****
- Sunbae : Senior
Langit masih terlihat sangat gelap dan jam pun masih menunjukkan pukul 04.00 dini hari tapi seorang Yuna sudah beranjak dari tidurnya, ada apa dengannya? Itu hanya kebiasaan Yuna setiap sabtu dan minggu pagi, dia akan bangun lebih awal untuk olahraga dan lari adalah pilihan utamanya agar tubuhnya kembali bugar. Yuna akan berlari berpuluh-puluh meter tanpa mengenal lelah, dimulai dan berakhir di depan gedung apartementnya.
Semenjak kejadian 7 tahun lalu, setelah dia mengetahui semua kebenarannya, satu persatu kejadian menyakitkan mendatanginya bahkan ia mengalami gangguan tidur hingga berbulan-bulan. Dia sempat tidak terima dilahirkan dari kedua orang tua yang sangat dia benci. Yuna selalu bertanya, kenapa harus dirinya yang terlahir dari ibu dan ayah yang seperti itu?
"Dasar anak tidak tahu diri! Beraninya menyebutku monster! Anak pembawa sial! Mati saja kau!"
Plak
Plak
"Lebih baik, kita bunuh saja anak itu, pah!"
Yuna berlari semakin cepat, keringat terus mengalir di dahinya. Dua kalimat yang terus terngiang-ngiang dipikirannya, kalimat itu selalu muncul ketika Yuna menginginkan ketenangan.
Dia melirik jam di tangannya, waktu memang berputar sangat cepat. Rasanya dia ingin terus berlari tanpa henti. Di kejauhan Yuna melihat seorang pria berperawakan tinggi yang berlari berlawanan arah mendekatinya, pria itu berhenti ketika Yuna semakin mendekat. "Selamat pagi, Yuna-ssi."
Yuna bergidik, ia berhenti dan menetralkan napas tepat dua langkah dari pria itu, Yuna berbalik kearahnya. "Jeongwoo-ssi?"
Yuna terpaku dengan Jeongwoo, bagaimana tidak? Coba bayangkan tubuh atletisnya saat memakai pakaian olahraga dan memperlihatkan otot-ototnya yang kekar tapi tidak terlihat ketika ia memakai pakaian biasa. Hey! Memikirkan apa dirinya, dia langsung menyadarkan dirinya.
"Sakitnya, aku tidak mendapat sapaan balik di pagi hari yang cerah, malah mendapat tatapan seperti itu," ucapnya dengan memegangi dadanya dan berpura-pura kesakitan. Ada apa dengannya? Apa dia habis terbentur sesuatu? Yuna menautkan kedua alisnya tidak mengerti dengan pria ini.
"Bercanda! Aku hanya bercanda. Tidak perlu seserius itu memikirkannya," ucapnya terkekeh. Jeongwoo mendekatinya dan menggenggam tangan kiri Yuna, menariknya paksa. "Ya! Ada apa denganmu? Kamu mau membawaku kemana?" Yuna berusaha menarik kembali tangannya.
"Tidak usah bawel, ikut aja!"
Yuna tidak ingin berdebat dan akhirnya dia menurut mengikutinya. Jengwoo melepas genggamannya, mereka berdiri tepat di pinggiran sungai han. "Teriaklah," tukas Jeongwoo memerintah. Yuna terdiam semakin tidak mengerti dengannya.
"Jeongwoo-ssi, ada apa denganmu? Kenapa kamu membawaku kesini ? Lalu, tiba-tiba menyuruhku berteriak?" Yuna bersuara. Jeongwoo tersenyum lebar mendengar celotehan wanita itu.
"Aku tahu kita baru satu minggu kenal sebagai bos dan karyawan. Setiap kali kita bersitatap, apakah kamu menyembunyikan sesuatu di matamu?" ucapnya serius dan menatapnya lekat. Yuna membelalakan mata, tak percaya pria ini dapat menemukan sesuatu di matanya. Ia terdiam cukup lama, Jeongwoo terus menatapnya tanpa mau berpaling.
"Bukan urusanmu!"
Yuna memalingkan wajahnya dan menatap sungai han yang damai.
"Baiklah. Lagipula, aku hanya seorang karyawan yang tidak berhak mencampuri urusan bosku, kan?" tukasnya santai lalu terduduk menghadap ke sungai han.
Yuna lagi-lagi terdiam dan menatap punggung pria itu. Dia menghembuskan napas. "Bu-bukan ... bukan itu maksudku!" Dia tergagap. "Aku hanya tidak terbiasa bercerita pada orang lain!" Yuna menunduk, mengepalkan kedua tangannya.
"Apa kamu tidak memiliki teman?" tanyanya lalu berbalik menatap Yuna yang terlihat bergetar dan seperti menahan tangisnya. Apa Jeongwoo salah bertanya? Kenapa dia?
Jeongwoo berdiri dan mendekatinya perlahan tapi Yuna memundurkan langkahnya, dia berjongkok. Jeongwoo menautkan sebelah alisnya, membiarkannya dengan segala cara dia mengeluarkan perasaan dan pikirannya, menangis. Sepertinya harus perlahan agar ia mau terbuka padanya.
****
Tiga hari berlalu, Yuna dan Jeongwoo bersikap seperti biasa layaknya tak saling mengenal setelah kejadian itu. Sebenarnya Yuna ingin menceritakan semua hal yang dia pendam, tapi sulit bagi Yuna hanya untuk sekadar membuka mulutnya.
Hari ini hujan telah membasahi seluruh kota Seoul, bukan hanya Seoul. Lebih tepatnya, sebagian kota di Korea telah di guyur oleh hujan sejak pagi-pagi buta hingga saat ini.
Sejak tadi, pria bernama Park Jeong Woo itu tengah menatapnya. Dia sadar ada yang memperhatikannya, tapi Yuna tidak peduli. Baginya, apapun yang dia lakukan tidak merugikan orang lain dan juga dia tidak berbuat salah padanya.
Yuna sudah terbiasa di perhatikan orang lain, banyak yang menganggapnya dingin, tidak murah senyum dan sedikit bicara. Tidak masalah ia di anggap seperti itu karena bagi Yuna mereka tidak berpura-pura simpati padanya, tetapi Yuna paling benci jika ada orang yang mendekatinya karena kasihan dan itu sama saja tidak benar-benar tulus padanya.
Yuna menatap jam dinding besar di kafenya, dia beranjak dari duduknya, Jeongwoo menghampirinya dan menarik lengannya paksa, dia terkejut. Seluruh pengunjung kafe menatap ke arah keduanya termasuk ketiga pegawai kafenya, mereka saling pandang karena kebingungan.
"Ya! Park Jeongwoo! Lepaskan!" Yuna berusaha menarik tangannya, namun genggaman itu semakin kuat. Jeongwoo tidak berkata apa-apa, dia hanya terus membawanya keluar dan beruntungnya hujan sudah reda di luar. Jeongwoo melepas genggamannya, Yuna meringis karena tangannya terasa sakit.
"Wae neoya, Jeongwoo-ssi?"
Jeongwoo menghebuskan nafas panjang dan menatap Yuna tajam dan begitu pun sebaliknya. "Maafkan aku! Kamu setuju atau tidak, aku tetap akan menjadi temanmu. Aku tahu ada dinding sangat tinggi yang kamu buat agar tidak ada yang mendekatimu, tapi aku ... aku akan menghancurkan dinding itu! Cobalah untuk jujur pada dirimu sendiri."
****
- Wae neoya, Jeongwoo-ssi : Kamu kenapa, Jeongwoo
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!