NovelToon NovelToon

Aku Yang Tak Setia

satu

Pengenalan tokoh

"Aku mencintai dia, tapi bukan dia yang menjanjikan cinta untukku pertama kali. Salahkah bila aku berpaling saat dia yang ku cinta, mengungkapkan cintanya saat aku telah menerima cinta yang lain?"

Cahaya Kamila, umur dua puluh satu tahun. Mencoba merubah tarap ekonomi keluarga dengan pergi ke Korea, sebagai karyawan di sebuah perusahaan elektronik. Penolakan dari orangtua pacarnya membuatnya nekad pergi jauh.

"Saat aku melihatnya, aku tau hatiku tertambat padanya. Gadis manis dengan lesung pipi saat dia tersenyum membuatku terpesona pada cinta pandangan pertama. Namun, sayang cintanya ternyata bukan untukku."

Rajendra Subrata, dua puluh lima tahun. Blasteran Pakistan-Indonesia. Tampan, dewasa, mapan. Tapi tak dapat membuat gadis yang dicintainya membalas perasaannya. Bahkan dengan lapang dada, harus melihat yang dicintainya menangisi seseorang yang juga mencintai gadis itu, sahabatnya sendiri.

"Aku mencintaimu. Saat aku melihatmu pertama kali di bandara Gimpo Airport, aku yakin kaulah yang dikirim Allah untuk menemaniku, pengganti dia yang telah pergi selamanya dari hidupku. Will you be my lady?"

Kim Young Jin, dua puluh empat tahun. pemuda gagah keturunan Korea Indonesia, mencintai seseorang yang sudah menjadi kekasih dari sahabatnya, tepatnya akankah dia menjadi orang ketiga di antara mereka? Setelah tiga tahun hatinya tertutup karena kepergian Sang Kekasih untuk selamanya, hatinya kembali tersentuh dengan kehadiran seseorang yang harus dijemputnya di bandara. Akankah cintanya bersatu?

"Kamu jahat! Kenapa harus dia yang kau pilih? Tak cukupkah kau mendapatkan Raja sebagai pacarmu? Kau tau aku menyukainya, tapi dengan teganya kau rebut dia!"

Alya Sabrina, dua puluh satu tahun. Gadis periang yang harus merasa dikhianati. Menyukai Kim, yang ternyata tidak sedikit pun menaruh rasa padanya. Lalu siapakah yang akan bisa memiliki hatinya di saat kepercayaan pada sosok teman tak dimiliki lagi? Akankah persahabatannya akan kembali menjadi baik?

"Terlalu rumit kisahmu. Tapi, tak bisakah kau lihat kalau aku pun merasa tertarik padamu? Tak dapatkah kau melihat kalau aku juga memujamu? Tapi, apalah aku bila dibandingkan dengan mereka? Mereka terlalu tinggi untuk ku saingi. Untukmu bahagialah dengan siapa pun pilihanmu, yakinlah akan selalu ada aku yang akan mendengar semua keluh kesahmu. Bukankah cinta tak harus memiliki? Melihatmu tersenyum, cukuplah bagiku."

Adrian Nugraha, dua puluh tiga tahun, mencintai Cahaya, tapi tak pernah punya keberanian untuk menyatakan. Hanya bisa menjadi tempat berbagi saat gadis yang dicintainya butuh teman. Walau kadang harus menahan diri untuk tidak menyentuh tangan, atau sekedar memberikan rasa tenang pada Cahaya.

"Entah siapa yang salah di sini. Alya ataukah Cahaya? Yang aku tau, kini aku mulai menyukainya, menyukai semua tentangnya, walaupun dia tidak menganggapku ada. Gadis manis yang merasa dikhianati oleh teman baiknya. Hey, kamu! aku ada untukmu!"

Andri Susanto, dua puluh tiga tahun. Humoris, dengan gayanya yang kadang nyebelin, menjadi teman untuk seseorang yang diam-diam mulai disukainya.

"Maafkan aku, Neng, semua harus berakhir seperti ini. Aku tak mampu menolak keinginan Ambu. Yakinlah, walau dia yang menjadi Istriku, kamulah yang aku cintai. Maafkan aku!"

Yusuf Abdullah, dua puluh tiga tahun. Kekasih Cahaya, hubungan keduanya ditentang orang tua Yusuf, karena menganggap bahwa kasta mereka berbeda. Yang akhirnya pasrah dan memilih menerima perjodohan dengan gadis pilihan orang tuanya.

Dua

Cahaya menatap langit di mana kini dia berpijak, Korea. Negeri yang dulu sering dilihatnya di layar kaca, kini tengah dijamahnya. Serpihan putih perlahan luruh dari langit, menyentuh rambut hitam panjang sepinggangnya. Gadis cantik itu tersenyum, merasakan dinginnya serpihan salju yang perlahan menempel di kulit putih wajahnya. Sangat beruntung baginya, bisa sampai merasakan satu lagi dari kebesaran Illahi.

Walau sebenarnya, keberaniannya meninggalkan Bumi Pertiwi awalnya hanya ingin mengobati luka hati. Luka karena cinta yang tak pernah dia kira akan sebegini hebat, hingga membuatnya nekad pergi jauh, bahkan sangat jauh dari sumber sakit itu sendiri. Dua minggu menghirup udara negeri asing ini, sedikit tapi pasti bisa membuatnya melupakan tentang seorang Yusuf Abdullah. Cinta yang dirajut selama dua tahun itu kandas. Hilang. Tak berbekas.

Sakit?

Tentu. Belum lagi saat mendengar kata-kata hinaan yang berhamburan keluar dari mulut wanita yang sudah melahirkan laki-laki yang pernah dicintainya.

"Dasar tidak tahu diri! Kamu itu cuman anak dari petani yang kerja di sawahku, sekarang mau jadi menantuku? Apa kata dunia? Pasti kamu sudah mengguna-gunai Yusuf agar mau sama kamu 'kan?"

"Bu, jangan seperti itu. Kami saling mencintai, Bu. Sudah lama kami berhubungan. Tolong restui kami."

"Diam kamu, Yusuf! Kamu tidak sadar saja, kalau sedang diperalat oleh gadis kampungan ini. Apa sih yang kamu lihat dari dia? Lagi pula kamu sudah Ayah sama Ibu jodohkan dengan Sari anaknya Pak Joko yang punya peternakan sapi di kampung sebelah."

"Apa, Bu? Ya, Allah, Bu... Yusuf bisa mencari Istri sendiri. Buat apa harus jodoh-jodohan segala?"

Yusuf yang mendengar perkataan ibunya kaget. Dia menoleh kearah Cahaya, yang dari tadi menundukkan kepala dengan bahu bergetar karena menangis. Hati Yusuf tercabik, melihat gadis yang selama ini dicintainya terluka dengan semua perkataan wanita yang sangat dihormatinya.

"Iya bisa cari sendiri, tapi lihat yang kamu pilih. Cuman gadis miskin!"

"Kita bicarakan di rumah ya, Bu. Malu. Orang-orang ngelihatin kita."

Yusuf mencoba menenangkan ibunya yang tengah emosi, saat melihatnya bersama Cahaya di satu kedai bakso. Hubungan mereka memang tidak banyak yang mengetahui. Yusuf yang kuliah di Bandung, sedang Cahaya yang lulusan SMA dan sekarang bekerja di salah satu perusahaan elektronik di daerah Purwakarta, harus rela berjauhan karena kesibukan masing-masing. Keduanya berasal dari desa yang sama. Saling mengenal dari kecil, bahkan sempat satu sekolah saat duduk di bangku SMP, Yusuf yang setingkat di atas Cahaya sudah mengagumi gadis itu, orang tua Cahaya bekerja pada keluarga Yusuf sebagai buruh tani di sawah dan ladang keluarganya.

Hari itu, Yusuf sengaja bertemu dengan Cahaya di salah satu pusat perbelanjaan di daerah Purwakarta, setelah puas hanya sekedar melihat-lihat. Yusuf mengajak Cahaya ke sebuah kedai bakso. Tapi tak disangka di sana justru ada ibunya bersama beberapa orang saudara sepupu. Ibu Yusuf marah, saat mengetahui kalau ternyata Yusuf ada hubungan dengan anak dari pegawainya.

"Biarkan semua orang tahu. Dan kamu Cahaya, cukup sampai di sini hubungan kalian. Lupakan Yusuf! Sadarlah siapa kamu dan siapa Yusuf. Itu pun kalau kamu masih peduli dengan kedua orang tuamu juga adikmu!"

"Bu...!"

"Diam, Yusuf! Kamu berani melawan Ibu karena gadis ini? Pulang sekarang. Sebelum Ibu berkata yang jauh lebih menyakitkan lagi."

Cahaya semakin tergugu di tempatnya. Air mata semakin deras membasahi pipi. untunglah sore itu kedai bakso tempat di mana kejadian itu berlangsung, dalam keadaan tidak ramai pengunjung, setidaknya rasa malu tidak terlalu besar ditanggungnya.

Yusuf mencoba mengusap tangan Cahaya, tapi dengan sigap ibunya menarik tangan anak Semata Wayangnya menjauh dari Cahaya.

"Aku pulang. Tapi izinkan aku mengantarkan Cahaya dulu ke tempat kostnya, Bu."

"Tidak! Biarkan dia pulang sendiri."

"Bu...!"

"Pulang!" mata ibunya semakin membulat menatap Yusuf dengan marah.

Cahaya yang tidak mampu mengeluarkan suara sedikit pun, perlahan mengangkat wajahnya. Dilihatnya Yusuf yang diseret paksa Sang Ibu menuju keluar. Jelas gurat sesal dan luka di mata lelaki yang sudah mengisi hatinya.

"A!" jerit hati Cahaya.

Bugh!!

"Mianhe-mida!" (Maaf.)

Lamunan Cahaya tentang kejadian dua bulan yang lalu di tanah air terputus, seorang anak perempuan berumur sekitar delapan tahun, menabraknya yang tengah memejamkan mata, sambil menengadah wajah kelangit merasakan setiap serpihan salju yang menyentuh kulitnya. Anak perempuan itu membungkukkan tubuh, sebagai tanda permintaan maaf.

"Ne, gwencana!" (Iya, tidak apa-apa.) jawab Cahaya seraya ikut membungkukkan badan seperlunya. Anak itu pun berlalu kemudian setelah memberikan senyum malu.

Cahaya kembali menatap langit. Tapi, hasratnya untuk kembali menikmati salju seakan hilang. Perlahan ditinggalkannya taman yang ada di sekitar gedung apartemen tempatnya tinggal sekarang.

Perusahaan tempatnya bekerja, mengadakan pengiriman karyawan untuk magang kerja langsung di Korea. Setelah bersaing dengan sekitar dua puluh orang karyawan lainnya, Cahaya berhasil lolos dan bisa pergi ke Korea dengan kontrak kerja selama setahun.

Cahaya bersama satu orang karyawan lainnya, menempati satu unit apartemen yang cukup nyaman. Dengan dua kamar, ruangan berukuran 6x9 meter itu, cukup membuat Cahaya dan Alya --teman seperjuangannya dari Indonesia-- merasa kerasan.

Hari Minggu pagi, harusnya mereka lembur, tapi karena mereka bangun kesiangan jadi mereka ketinggalan bis jemputan, dan akhirnya mereka memutuskan untuk libur saja.

Sebenarnya Cahaya sudah mengajak Alya untuk sekedar duduk-duduk di taman, tapi dengan alasan dingin dan lebih nyaman bergelung di dalam selimut, akhirnya Cahaya pergi sendiri.

Perlahan Cahaya berjalan meninggalkan area taman, sesekali kepalanya mengangguk saat berpapasan dengan penghuni apartemen yang lain. Lantai dua di mana unitnya berada menjadi tujuannya sekarang. Hawa dingin yang menggigit mulai membuatnya kebas. Hidungnya mulai berair, tanda dia sudah tidak kuat melawan udara dingin. sebenarnya Cahaya alergi dingin, tapi karena penasaran dengan salju, maka dia nekad.

Tiba di depan unit apartemennya, Cahaya langsung menekan bel yang berada di sebelah kiri pintu.

"Ya?" terdengar seseorang bertanya dari dalam unit apartemen Cahaya.

"Aku, Al!"

Tak lama pintu terbuka dan wajah manis tersembul dari sana.

"Aduh, Neng, udah main dingin-dinginnya?" tanya Alya yang kemudian berbalik masuk kembali ke dalam.

Cahaya melepas sepatu yang dipakainya dan meletakkannya di rak samping pintu. Jaket yang sedari tadi memeluk tubuhnya dibuka, hawa hangat dari pemanas ruangan langsung menyambutnya. Cahaya duduk melantai di samping Alya, yang tampak nyaman dalam balutan selimut tebal di depan TV yang menyala.

Dalam ruangan itu hanya ada TV berukuran dua puluh satu inch, menyatu dengan dapur. Satu buah kulkas dua pintu, kompor gas, dan rak jemuran. Di belakang ada balkon untuk menjemur pakaian dan mesin cuci.

Kamar mereka hanya ada selembar kasur lantai, selimut tebal, dan lemari plastik berukuran satu meter. Tapi itu semua sudah lebih dari cukup, membuat Cahaya dan Alya nyaman dalam dua minggu ini.

"Ya, unit sebelah ada yang ngisi. Tampaknya kerja di tempat kita juga sih, soalnya yang nganter Kim Oppa. Tapi sepertinya bukan dari Indonesia." kata Alya memulai pembicaraan.

"Kamu tahu dari mana?"

"Tadi pas aku keluar buang sampah ke bawah, papasan sama aku pas mau naik. Ngomongnya pake bahasa Inggris."

"Kamu ngga nanya sama Oppa?"

"Ngga, aku malu, soalnya bawa plastik sampah."

"Terus Oppa ngga ngomong apa-apa?"

"Dia cuma ngangguk aja sama senyum. Duh, aku meleleh dikasih senyum sama dia."

"Sama Oppa?"

"Ish, bukan sama orang yang sama Oppa, ganteng banget, Ya, mirip artis India. Kalau kamu lihat pasti klepek-klepek!" terang Alya antusias.

"Kirain disenyumin sama Oppa kamu jadi meleleh." Alya langsung terkekeh. Ya, Alya diam-diam menyukai sosok yang dijumpainya pertama kali setelah landing. Seseorang yang diberi tugas oleh perusahaan, untuk menjemput dan bertanggung jawab pada karyawan magang.

TBC

Tiga

Ting tong...

Suara bel menghentikan percakapan kedua gadis itu, Alya menatap ke arah Cahaya dan mengkode agar Cahaya membuka pintu.

"Kamu yang buka, Ya!"

"Kamu aja, Al."

"Ish, aku lagi nyaman nih. Kamu aja." sahut Alya, sambil membelit badannya dengan selimut.

"Yakin kamu, mau gitu aja pas ada yang datang?" Alya mengangguk tegas.

Dengan malas Cahaya bangun dari duduknya dan bergerak mendekat ke arah pintu.

"Ye? Nugu-seyo?" (Ya, siapa?) tanya Cahaya pada orang yang ada di balik pintu.

"Kim Oppa." sahut seseorang dari luar.

"Sebentar, Oppa!"

Cahaya langsung membuka pintu. Seorang pemuda tampan tersenyum setelah pintu terbuka dengan lebar. Kim Young Jin, atasan sekaligus orang yang diberi tugas oleh perusahaan, untuk bertanggung jawab pada karyawan magang. Tatapan keduanya bertemu. Ada gelenyar nyaman dalam hati Cahaya saat mata mereka beradu. Dari tatapan itu, bisa Cahaya lihat ada sesuatu yang beda dari pandangan Kim, bolehkah dia merasa kalau Kim menyukainya?

"Oppa, silahkan masuk!" sapa Cahaya melepas kecanggungan di antara mereka, setelah beberapa saat hanya saling menatap di ambang pintu.

"Oh, ya, lagi apa?" tanya Kim dengan logat bicara yang sedikit aneh terdengar.

Kim yang blasteran Indonesia-Korea, memang fasih berbahasa Indonesia. Hal itu juga yang membuatnya mendapat tugas mendampingi para karyawan magang. Sikapnya yang ramah membuat Cahaya dan Alya merasa nyaman untuk bertanya soal apapun.

"Tidak ada, hanya sedang menonton TV saja." Cahaya membalikan badan dan kembali duduk melantai di tempatnya tadi. Sedang Alya langsung ke kamarnya, menyimpan selimut yang sedari tadi dipakainya.

"Tadi dari mana?" tanya Kim setelah duduk tidak jauh dari Cahaya.

"Oppa tau saya keluar?"

"Ya, tadi waktu saya datang, saya lihat kamu di taman. Tidak dingin kah?"

"Oh, dingin. Cuman penasaran saja dengan salju, Oppa." jawab Cahaya sambil tersenyum malu.

Kim tersenyum penuh arti pada Cahaya, gadis di depannya ini semakin membuatnya tertarik. Ya, tanpa Cahaya sadari Kim menyukainya lebih dari sekedar atasan pada bawahannya.

Alya keluar dari kamarnya, langsung duduk di samping Cahaya. Wajahnya terlihat lebih segar, mungkin karena sapuan make-up tipis yang disapukan di wajahnya.

"Oppa, tadi siapa?" tanya Alya setelah nyaman dengan posisi duduknya.

"Karyawan baru, nanti kerja bareng kalian. Oh, tidak. Di Osan Dijitech bareng sama Cahaya satu orang, di Namsa Capasitor satu orang bareng Alya."

"Orang mana, Oppa?"

"Indonesia."

"Indonesia? Tapi tadi saya dengar bicaranya pake bahasa Inggris." sambung Alya dengan heran. Sedang Cahaya memilih jadi pendengar, dengan sesekali tertunduk saat matanya kembali bersirobok dengan mata Kim. Gelenyar itu semakin terasa saat Kim menatapnya lembut. Benarkah dia sudah bisa melupakan luka hatinya? Hingga rasa yang pernah dimiliki saat Yusuf menatapnya, kini dia rasa saat Kim memandangnya.

"Sepertinya yang bicara pake bahasa inggris bukan dari Indonesia?"

"Itu Raja, manager pemasaran dari Indonesia. Dia ada darah Pakistan, jadi mungkin tidak seperti orang Indonesia, padahal asli orang Bandung sama seperti Mama saya. Raja sudah beberapa kali datang ke Korea, karena tugas dari perusahaan. Kami sudah seperti saudara, best friend juga. Kenapa? Alya suka dengan Raja?" terang Kim yang diakhiri dengan kekehan.

"Ih, tidak, Oppa. Aya tuh yang suka sama pria yang mirip-mirip dengan aktor India." Alya menggerak-gerakan tangannya sambil terkekeh.

Wajah Kim berubah tak nyaman, saat mendengar kalau Cahaya mengidolakan pria dengan wajah aktor India. Ditatapnya gadis yang kini tengah menepuk pelan tangan Alya sambil tersipu.

Jangan sampai kamu menyukai Raja, Ya! Pandang aku!

Seakan mendengar suara hati Kim, Cahaya langsung memandang Kim yang menatapnya sedikit tajam.

"Bohong, Oppa, saya hanya suka dengan film India." kata Cahaya yang membuat Kim menghembuskan napas lega perlahan. Tatapan matanya kembali lembut, dan itu sangat disadari oleh Cahaya.

Ada apa dengan Kim? Tadi sepertinya dia merasa lega setelah aku menjelaskan.

"Nanti kita kenalan dengan mereka ya? Ada Andri dan juga Adrian. Mungkin sebentar lagi mereka kemari."

Ting tong...

"Itu pasti mereka!" Kim langsung bangun dan menuju pintu.

"Kim." suara tegas namun berwibawa, terdengar saat pintu sudah terbuka.

"Raja, masuk! Andri, Adrian. Ayo kenalan dengan para gadis." canda Kim yang disambut senyum dari ketiga orang lelaki yang ada di depan pintu.

Cahaya dan Alya yang sudah berdiri, langsung tersenyum pada para lelaki yang kini melangkah masuk mengikuti Kim.

Mata Cahaya terpaku pada seseorang yang berwajah Pakistan. Tinggi, putih, dengan hidung mancung, dan mata besar khas wajah orang Asia Selatan.

Pasti itu yang namanya Raja.

Guman hati Cahaya. Sedangkan Pria yang tengah menjadi pusat perhatiannya itu pun, menatapnya balik dengan intens.

Alya menyenggol lengan Cahaya pelan, membuat Cahaya mengerjap dan memalingkan muka ke arah Alya.

"Ganteng kan?!" bisik Alya sambil menaik turunkan alisnya menggoda Cahaya.

"Berisik, Al! Malu kalau sampai dia dengar."

"Udah sikat aja, dia juga lihatin kamu terus. Move on, Ya!" lanjut Alya semakin menggoda Cahaya. Alya tahu dengan pasti cerita cinta Cahaya yang kandas.

"Ish!"

"Alya, Aya. Kenalkan!" suara Kim menginterupsi adegan bisik-bisik kedua gadis itu.

Raja langsung mengulurkan tangan pada Cahaya, sementara tatapan matanya sangat tajam menatap. Senyum menghiasi bibir tebal namun seksinya.

"Kenalkan. Rajendra. Panggil saja Raja." sapanya dengan sopan.

Cahaya langsung menerima uluran tangan, yang terasa sangat halus untuk seorang lelaki.

"Cahaya. Panggil Aya saja." balasnya dengan senyum, yang membuat lesung pipi di kedua pipinya terlihat jelas.

"Cantik!" kata Raja spontan.

"Apa?"

"Maaf. Tidak apa-apa." Raja menggerakan tangan yang kini masih berpegangan erat dengan Cahaya.

Raja sedikit malu karena refleks mengatakan hal itu, namun Cahaya dengan jelas mendengar apa yang Raja katakan tadi.

"Aku ngga diajak kenalan nih?" goda Alya yang membuat Cahaya melepaskan tangannya, yang masih dalam genggaman tangan besar namun hangat milik Raja.

Raja tersenyum dan kembali mengulurkan tangan pada Alya. Diikuti oleh kedua orang yang turut bersamanya. Andri dan Adrian.

Tak ada yang menyadari tatapan tak suka dari Kim, saat melihat adegan perkenalan Cahaya dengan Raja. Dengan jelas Kim melihat ketertarikan Raja pada Cahaya. Apalagi saat tangan mereka bersentuhan dengan waktu yang cukup lama. Kalau saja dia mampu, ingin rasanya dia melepaskan genggaman tangan itu.

Dalam hati, Kim tak rela bila saja Cahaya tertarik pada Raja. Andai dia bisa mengungkapkan rasa yang tengah tumbuh di hatinya, sejak pertama kali dia melihat Cahaya di pintu kedatangan bandara Gimpo Internasional Airport, mungkin gelisah dan rasa takut ini tak pernah dirasakan.

Perasaan takut kalau Cahaya akan tertarik pada seorang Raja, yang mempunyai wajah yang sangat rupawan. Tapi dia tak kan menyerah sebelum berjuang.

TBC

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!