NovelToon NovelToon

Sahabatku Suami Muhallilku

TALAK TIGA

"Ameera Zahra, aku Dion Laksmana, menjatuhkan talak 3 kepadamu. Dan mulai malam ini, kau bukan lagi istriku!" ucap Dion tegas tanpa kegusaran sedikitpun di wajahnya.

Bagaimana dengan Ameera? Dia hanya bisa tertunduk menahan air mata yang sudah menganak di pelupuk matanya. Dia sudah menahan sekuat tenaganya untuk tak menangis. Tapi, wanita mana yang akan bahagia saat orang yang disayanginya, yang sudah mengikatnya dengan janji suci dan berjanji untuk sehidup semati. Melanggar itu semua, memotong tali pernikahan mereka dan membuangnya begitu saja.

Pernikahan mereka baru berlangsung dua Minggu, tapi ini sudah ketiga kalinya Dion menjatuhkan talak padanya. Jika ditanya alasannya, Ameera sendiri tahu alasannya. Ibu mertuanya selalu saja menghasut Dion agar menceraikannya. Karena dia hanya gadis biasa, tidak pantas bersanding dengan Dion yang seorang manager.

Setelah mengucapkan talak, Dion pergi entah ke mana. Meninggalkan Ameera yang masih diam mematung di tempatnya, sambil menahan suara, agar tangisannya tidak terdengar oleh orang lain.

Dan di sofa, terlihat Wenda, Ibu dari Dion tengah tersenyum penuh kemenangan. Dia bahagia karena lagi-lagi, Dion mau mendengarkannya. Memang inilah tujuannya. Dari awal, saat Dion memperkenalkan Ameera padanya, dia sudah bisa menilai penampilan Ameera yang biasa saja. Tentu dia tidak akan menyetujui anaknya menikah dengan wanita sederhana seperti Ameera. Namun, sayangnya Dion tak menggubris larangannya. Jadi, dia hanya bisa melakukan ini, agar mereka berpisah. Kini, keinginannya terwujud sudah.

"Ameera, kau sudah bukan lagi Istri anakku. Jadi, segera bereskan barang-barangmu dan pergi dari rumah ini." usir ibu Dion, yang entah sejak kapan sudah berdiri di depan Ameera.

"Tenang saja, Bu. Aku pasti akan segera pergi. Karena aku tahu, sejak awal, tidak ada yang menerimaku di sini." sahut Ameera yang terlihat tegar dan tetap berusaha sopan.

"Bagus kalau kamu sadar diri. Jadi, tunggu apa lagi? Segera kemasi barang-barangmu. Ingat, jangan bawa apapun pemberian Dion!" celetuknya tak berperasaan, menambah luka di hati Ameera.

Bukankah itu sudah menjadi miliknya? Dion saja tak mengatakan apa-apa. Tapi biarlah, dia juga bukan tipe orang yang serakah. Dia juga merasa kalau itu semua bukanlah miliknya, jadi dia tak akan membawanya.

Tanpa membalas ucapan mantan Ibu mertuanya, Ameera langsung meninggalkan Wenda yang berdecak karena merasa dicueki oleh Ameera.

Sesampainya di kamar, Ameera mengambil sebuah tas yang sedikit terlihat usang, memasukkan semua pakaian yang dia bawa saat memasuki rumah ini. Pakaian yang diberikan Dion, hanya dilirik begitu saja olehnya.

Sesekali air matanya terjatuh, dia hanya bisa menghapusnya dengan hijab yang dikenakannya. Meskipun matanya sembab karena air mata terus mengalir, tapi tetap tak mengurangi kecantikan dirinya.

Ameera adalah seorang gadis muda yang pintar dan shalihah. Sekarang umurnya bahkan baru berjalan dua puluh dua tahun. Wajahnya yang oval, matanya sedikit sipit, bulu matanya tebal dan hidungnya juga tak terlalu mancung. Kulitnya seputih salju, dan kecantikannya bertambah karena hijab yang dia gunakan.

Ameera dan Dion sudah menjalin hubungan sejak Ameera duduk di bangku sekolah menengah atas. Ameera yang tak mau menjalin kasih, membuat Dion penasaran hingga memutuskan untuk segera menikahi Ameera.

Sejak awal, hubungan mereka sudah ditentang oleh Wenda, Ibu Dion. Namun, karena kegigihan Dion dalam meyakinkan Ameera, dan wanita itu juga sudah terlanjur jatuh hati pada setiap kemanisan yang diberikan Dion selama beberapa tahun ini, membuat Ameera mau menjalani biduk rumah tangga bersama Dion.

Tapi ternyata, kenyataan tak semanis harapan. Pernikahan yang dikiranya akan indah, restu yang akan ia dapat seiring berjalannya waktu dan kehadiran buah hati di tengah-tengah mereka, harus kembali dikubur oleh Ameera.

"Jangan melamun! Cepat pergi dari sini." suara Wenda mengagetkan Ameera yang memang sedang termenung. Dia bingung, sesampainya di rumah nanti, apa yang harus dikatakannya pada Ayahnya.

Tanpa menjawab, Ameera langsung mengambil tas yang sudah ia kemas, dan meninggalkan rumah itu. Namun tangannya dicekal oleh Wenda.

"Kamu tidak membawa barang berharga, kan? Berikan tasmu, aku ingin memeriksanya sendiri." pinta Wenda yang secara tidak langsung menuduhnya pencuri.

"Maaf, Bu. Tas ini adalah privasiku. Ibu bisa melihatnya sendiri, semua masih utuh pada tempatnya." jawab Ameera yang menampik segala macam tuduhan Wenda yang menyudutkan dirinya.

"Huh! Bagus kalau begitu, cepat pergi sana!" usirnya lagi yang menolak tubuh Ameera hingga sedikit terhitung ke depan. Seakan-akan, dia sudah sangat muak melihat Ameera di hadapannya.

"Ah iya, jangan katakan apapun di luar. Jangan menjelekkan nama Dion. Dia sudah berbaik hati mau menikahimu. Sekarang dia menceraikanmu karena dia sudah sadar, kalian tidak cocok. Jadi, sadar dirilah." Wenda memberikan peringatan pada Ameera. Seolah-olah, Ameera akan meminjam kesempatan ini untuk menjatuhkan nama baik Dion.

"Aku pergi. Assalamu'alaikum." pamit Ameera. yang disambut senyuman oleh Wenda.

Ameera keluar dari rumah itu, dia berbalik sekejap dan melihat rumah yang baru ditinggalinya dua Minggu. Air matanya kembali luruh.

Bagaimana bisa ia tak menangis, ini adalah pernikahan impiannya bersama Dion. Dia tulus mencintai pria itu. Selama ini, hatinya telah dipenuhi oleh nama Dion.

Berharap semuanya akan berjalan sempurna seiring waktu.

Ameera membalikkan badannya. Jam sudah menunjukkan pukul 9:00 WIB. Dia harus berjalan kaki untuk keluar dari karangan perumahan ini. Rumah Dion berada di perumahan elit, jadi tak mungkin akan ada taxi yang lewat di depan rumah, sepertinya di tempatnya.

Setelah sepuluh menit berjalan, Ameera akhirnya sampai di jalan besar. Dia menyeka keringatnya dan langsung menyetop taxi yang lewat di depannya.

Setelah menyebutkan alamat, taxi itu pun melenggang pergi, membelah jalanan, membawanya ke arah tujuan.

Sepanjang jalan Ameera hanya diam memperhatikan jalanan. Gedung-gedung yang menjulang tinggi dan lampu-lampu yang bersinar membuat jalanan kota Jakarta tampak indah.

Namun, hatinya tak begitu. Sekarang hatinya begitu gelap dan kosong. Semua terasa hampa, perih dan getir. Itulah yang cocok untuk menggambarkan hati Ameera sekarang.

Yang lebih membuatnya bingung, setibanya di rumah nanti, apa yang harus dikatakan pada sang Ayahanda? Hatinya kembali remuk dan hancur jika sampai Ayahnya bersedih karena dirinya.

Namun, selain rumah itu, dia juga tak punya persinggahan lain. Jika dia berbohong, lambat laun Ayahnya pasti akan tahu dari mulut orang lain. Dan dia tidak mau itu terjadi, hal itu pasti akan sangat menyakiti hati sang Ayah.

"Nona, sudah sampai tempat tujuan." suara sang supir taxi mengagetkannya dari lamunan.

"Ah iya, Pak." setelah men-scan code QR, Ameera turun dengan membawa tasnya.

Lama dia berdiri di depan rumahnya. Dia masih ragu untuk mengambil langkah apa. Tapi, dia sudah membulatkan tekadnya. Dia harus masuk.

TOK TOK TOK

"Assalamu'alaikum?" ucap Ameera

"Waalaikumsalam, tunggu sebentar." sahut orang dari dalam.

CEKLEK

"Kak Ameera?!" sapa adiknya yang bernama Alisa.

Alisa langsung memeluk Ameera kuat untuk melepaskan rindu pada Kakaknya itu. Setelah menikah, Ameera memang belum pernah pulang. Namun, pertama kali dia pulang setelah menikah, dia malah sudah mengganti statusnya.

"Di mana Kak Dion? Kenapa Kakak sendiri? tanya Alisa sambil celingak-celinguk. Kemudian matanya teralih pada tas yang dibawa oleh Ameera.

"Boleh Kakak masuk?"

"Tentu. Hehe, maaf, Kak." Alisa menggaruk tengkuknya yang tak gatal.

Ameera masuk dengan menenteng tas bawaannya. Bukan hadiah atau buah tangan yang dia bawa setelah sekian lama belum kembali mengunjungi sang Ayah. Tapi, kabar sedihlah yang dia suguhkan untuk Ayahnya yang kini sudah menyambutnya dengan senyuman.

AYO DUKUNG KARYA BARU AUTHOR, YUK!!!

❤️❤️❤️❤️❤️❤️❤️

PULANG KE RUMAH

Ameera masuk dengan menenteng tas miliknya. Bukan hadiah atau buah tangan yang dia bawa setelah lama tak mengunjungi sang Ayah. Namun, kabar sedihlah yang dia suguhkan untuk sang Ayah, yang kini sedang menyambutnya dengan senyuman.

"Ayah...." Ameera langsung berlari dan memeluk Ayahnya yang duduk di kursi roda.

"Ameera, kamu sehat, Sayang?" tanya Pak Arman, Ayah Ameera.

"Sehat, Ayah. Bagaimana kabar Ayah? Apakah pinggang Ayah masih sering sakit?" tanya Ameera yang terlihat khawatir dengan kondisi sang Ayah.

"Alhamdulillah, semuanya sudah membaik, Nak. Hem, di mana Dion? Kenapa kamu hanya sendirian?" tanya Ayahnya yang juga berusaha mencari keberadaan Dion, sama seperti yang dilakukan Alisa tadi.

Ameera menghapus jejak air matanya, kemudian dia menguraikan pelukan mereka. Dia memegangi tangan Ayahnya dan menatap manik hitam Ayahnya lekat.

Apakah aku harus mengatakannya sekarang? Ya Allah, apa yang harus aku lakukan. Ayah pasti sangat kecewa.

Ameera masih bimbang, dia benar-benar tak sampai hati untuk berbicara tentang perceraiannya sekarang. Namun, kenyataan tetap harus dihadapi, walaupun harus meneguk pil pahit sekalipun.

"Ayah, Ameera dan Dion sudah bercerai." ungkapnya, membuat mata Pak Arman terbelalak kaget mendengar pengakuan putrinya.

"Ameera, apakah benar begitu?" tanya Pak Arman. Tentu saja itu pertanyaan konyol, Ameera tak mungkin membuat lelucon pada Ayahnya. Apa lagi, ini hal penting.

Ameera hanya mengangguk, dia tak sanggup menjawab pertanyaan sang Ayah, yang membuatnya kembali teringat akan mantan Suaminya itu.

Pak Arman menelan saliva-nya dengan susah payah. Gurat kekecewaan terukir jelas di wajah tuanya. Dia hanya menarik nafas kasar, tak tahu mau mengatakan apa.

Pak Arman kembali memeluk Ameera, pelukan kali ini, dicampur dengan dukungan dan semangat dari Pak Arman. Dia ingin bertanya lebih jelas perihal ini, namun dia juga menangkap kesedihan yang mendalam dari wajah Ameera. Jadi, dia hanya bisa mengurungkan niatnya, memilih waktu yang tepat.

"Masuklah ke kamar mu, Nak. Istirahatlah." titah Pak Arman.

"Apa Kakak sudah makan?" tanya Alisa yang turut bersedih dengan kejadian yang menimpa Kakaknya.

Ameera menjawab pertanyaan Alisa dengan gelengan. Sekujur dia memang sangat lapar, tapi mulutnya terasa hambar, tak berselera untuk makan.

"Alisa ambilkan nasi ya, Kak?"

"Tidak perlu, Lisa. Kakak mau langsung tidur saja." tolak Ameera halus.

"Nanti Kakak sakit." Alisa justru memaksa. Sedari kecil, dia memang begitu, tidak mau melihat Ameera, Kakak yang begitu disayanginya kenapa-kenapa.

"Kakak tidak lapar. Kakak masuk dulu, sekalian mau shalat Isya." ujarnya memberi senyuman manis pada Adik dan Ayahnya. Tapi, orang pun bisa melihat, kalau itu adalah senyuman manis yang palsu.

Arman melihat kepergian putrinya dengan tatapan sendu. Setelah putrinya menghilang dari balik pintu, air mata yang sudah ia tahan dengan susah payah, mulai menetes.

Ayah mana yang menginginkan putrinya bersedih? Bahkan, mereka baru menikah dia Minggu. Tapi, kenapa sudah harus seperti itu. Mungkin memang inilah jalan takdirnya.

Arman mengerti, hati Ameera pasti merasa sangat sakit. Apa lagi, selama ini dia selalu membanggakan nama Dion disetiap kesempatan. Selalu mengelu-elukan nama itu, kalau pria itu sangat-sangat mencintainya.

Sudahlah, semakin dipikirkan, jantungnya semakin berdenyut sakit. Jadi, dia hanya berdoa agar diberikan keberkahannya umur agar bisa selalu menemani kedua putrinya hingga mereka mendapatkan pasangan hidup kelak.

Di kamar, Ameera baru saja menuntaskan shalat Isya nya. Sekarang dia sedang menengadahkan tangannya untuk berdoa pada Rabbi-Nya.

"Ya Allah, ikhlaskan hamba-Mu ini dalam menerima dan menjalani setiap cobaan yang Engkau berikan padaku. Karena aku tahu, setiap ujian yang aku lalui, semuanya berasal darimu. Jika berjodoh dengannya bukanlah takdirku, maka bantulah aku untuk segera mengiklaskannya." setelah itu Ameera mengambil tasbihnya dan berdzikir untuk menghilangkan gundah gulana yang berseru dalam hatinya.

********

Sudah dua hari berlalu sejak kepulangan Ameera ke rumah. Namun, Ameera menjadi pendiam, dia tidak akan keluar kamar jika tidak ada yang dia perlukan. Dia hanya menghabiskan waktunya di dalam kamar dengan beribadah.

Sudah dua hari pula, Dion tidak menghubunginya. Meskipun dalam hati dia berharap, laki-laki itu menghubunginya, tapi harapannya dipatahkan.

"Aku tidak bisa selalu seperti ini. Ini adalah sikap yang salah, Ayah akan sedih jika melihat kemurungan ku ini. Lebih baik, aku beraktivitas seperti biasa. Lama-lama aku pasti bisa melupakannya." Gumamnya berbicara sendiri.

Ameera keluar kamar, dia tidak mendapati Ayahnya yang biasa suka menonton Tivi pada jam segitu. Dia pun ke dapur, terlihat Alisa sedang memasak. Hati kecil Ameera merasa bersalah, melihat adiknya mengerjakan apapun sendirian tanpa mau mengeluh dan membebaninya. Seolah mengerti, kalau Kakaknya sedang tidak enak hati.

"Alisa?" sapa Ameera lembut, Alisa menoleh ke arah suara.

"Kakak? Sudah lama di sana?" Tanya Alisa sambil memberikan senyumannya.

"Baru saja. Apa yang kamu masak?" tanya Ameera melihat ke dalam kuali.

"Aku buatkan sup daging ayam untukmu dan Ayah, Kak. Agar kembali bahagia, bisa melupakan sejenak masalah yang sedang kalian hadapi." sahut Alisa.

Apakah Ayah juga sama sepertiku, terlihat murung? Ya Allah, aku sungguh berdosa. Telah membebani beliau dengan masalahku sendiri.

"Boleh Kakak bantu?" tanya Ameera

" Tentu saja, Kak." sahut Alisa dengan senang hati. Dia menggeser tubuhnya memberikan ruang untuk Kakaknya. Mereka melanjutkan kegiatan memasak mereka di ruang dapur yang sempit itu.

"Ameera?" panggil Arman, dia merasa bahagia karena Ameera sudah bisa tertawa seperti dulu.

"Ayah, Ayah dari mana?" tanya Ameera karena tadi dia tidak mendapati Ayahnya di mana pun.

"Ayah tadi di depan. Minta tolong pada anak-anak yang kebetulan lewat, untuk membelikan udang di warung Bu Kokom. Kamu kan paling suka udang." ucap Ayahnya sambil memegang sekantung udang segar.

"Ayah ... Ayah memang laki-laki cinta pertama Ameera." serunya sambil memeluk Arman sambil menangis haru.

"Maafkan Ameera, karena dua hari belakangan ini membuat Ayah dan Alisa bersedih." ujarnya meminta maaf.

"Tidak, Kak. Lisa dan Ayah mengerti. Jadi sekarang kami bahagia kalau Kakak sudah tidak lagi berada dalam kesedihan."

Ameera melanjutkan memasak, sedangkan Alisa membersihkan udang yang akan mereka sulap menjadi makanan enak khas daerah mereka.

"Ameera, setelah ini, kegiatan apa yang akan kamu lakukan?" tanya Arman yang juga berada di dapur.

"Rencananya, Ameera akan kembali mengajar di TPA(Taman Pendidikan Al-Qur'an) Yah. Ustadzah Nisa juga selalu menghubungi Ameera, jika ingin kembali, beliau selalu menerima kedatangan Meera kapan saja." jawabnya

"Ya sudah. Ayah selalu mendukung apa yang kamu lakukan." jawab Arman.

Bukan tanpa alasan Arman menanyakan itu. Dia hanya tidak ingin Ameera kembali berlarut-larut dalam kesedihan. Jika disibukkan dengan kegiatan, dia pasti bisa melupakan sakitnya sedikit demi sedikit.

Saat mereka sedang berbincang-bincang, tiba-tiba ada orang yang mengetuk pintu.

"Biar Ameera saja yang buka, Yah."

Ameera langsung berjalan, dia membuka pintu. Seketika, dia terdiam saat pandangan matanya bertemu dengan orang yang masih berdiri di depan pintu.

"Ameera...?" sapa orang itu.

YUK DUKUNG KARYA AUTHOR ❤️❤️

DUA TAMU TAK DIUNDANG

"Ameera...?" sapa orang itu.

Ameera masih berdiri mematung di tempatnya. Dia tidak menyangka, kalau yang datang adalah Farhan, sahabatnya.

"Farhan?" sapa Ameera.

Ameera langsung membuka lebar pintunya, mempersilahkan Farhan masuk ke dalam rumahnya.

Farhan Rafeef Syabani adalah sahabat Ameera. Mereka sudah bersahabat sejak kecil. Keluarga Farhan pindah ke luar negeri karena alasan pekerjaan. Sedangkan Ameera, masih betah tinggal di rumah lamanya.

"Assalamu'alaikum."

"Waalaikumsalam, silahkan duduk." ucap Ameera sambil tersenyum.

"Di mana Paman Arman?" tanya Farhan yang melihat ke sana ke sini.

"Ada di belakang." sahut Ameera.

"Kamu kemana saja selama ini? Di hari pernikahanku juga tidak hadir." sungut Ameera kesal karena sahabatnya ini menghilang begitu saja.

"A-aku banyak pekerjaan. Maaf karena tak menghadiri pernikahanmu." jawab Farhan terbata-bata. Karena sebenarnya, bukan itu alasan utamanya.

"Sebentar, aku buatkan minum." Ameera berlalu ke belakang untuk membuatkan Farhan teh hangat.

"Ternyata benar apa yang dikatakan oleh Bu inah. Dia memang sudah pulang ke rumahnya." gumam Farhan sambil melirik sekeliling.

Tidak ada yang berbeda, batinnya.

FLASHBACK ON

"Tuan Farhan, saya mau mengabari, barusan saya mendengar kalau Dion kembali menjatuhkan talak pada Nyonya Ameera. Dan Bu Wenda mengusir Ameera dari rumah ini." lapor sang ART pada Farhan.

Farhan memang menaruh orang suruhannya untuk mengawasi Ameera di rumah itu. Karena dia tahu kalau Wenda tidak suka pada Ameera. Dia hanya tidak ingin ada sesuatu yang buruk terjadi pada sahabatnya itu. Jadi, hanya hal kecil itulah yang bisa dilakukanya.

FLASHBACK OFF

"Siapa, Meera?" tanya Arman pada Ameera.

"Farhan, Yah." sahut Meera yang mulai memanaskan air di atas tungku.

"Ah, sudah lama sekali dia tidak datang."

"Iya Yah. Meera saja kaget saat melihatnya. Ameera pikir, dia sudah melupakan kita." jawabnya jujur yang kini sedang memasukkan gula ke dalam gelas.

"Biar Ayah temui dia."

"Hum!" jawab Ameera yang kini sudah menuangkan air panas ke dalam gelas. Mengaduknya dan jadilah teh buatan Ameera.

Ameera membawa teh buatannya ke depan. Terlihat Farhan yang sedang bercengkrama dengan Arman sambil sesekali tertawa. Entah apa yang membuat Arman bisa begitu lepas tertawa. Yang pasti, pemandangan itu sangat menyejukkan mata Ameera.

Ameera menyuguhkan teh pada Farhan, sesekali dia ikut tersenyum saat guyonan yang dilontarkan oleh Farhan maupun Arman, ikut menggelitik perutnya.

"Nak Farhan sekarang bekerja di mana?" tanya Arman setelah terdiam dari tawanya yang sudah membuat urat perut bergetar.

"Hanya usaha mandiri saja, Paman." jawabnya merendah.

Pasalnya, keluarga Ameera memang belum ada yang tahu tentang pekerjaan Farhan. Laki-laki itu tampak sederhana sekali. Farhan sesekali melirik ke arah Ameera, dia begitu merindukan wajah wanita yang selama ini selalu menembus pikirannya. Tak mampu membuatnya tenang barang sedetikpun.

Farhan memutuskan menyusul keluarganya, saat undangan pernikahan Ameera sampai di tangannya. Dia hanya tersenyum sambil berjanji akan hadir di hari kebahagiaan sahabatnya itu. Tapi, hati tak pernah bisa dibohongi. Sekuat apapun Farhan berusaha menutup lukanya sendiri, luka baru akan bermunculan di lain tempat.

Farhan menyeruput tehnya. saat itu bersamaan dengan datangnya seseorang yang membuat wajah Ameera berubah antara bahagia, masam, sedih. Semua itu dia rangkap menjadi wajah datar.

TOK TOK TOK

"Assalamu'alaikum?" dari pertama pria itu datang, dia sudah melihat ada seorang pria yang duduk di dalam sambil menyeruput teh.

"Waalaikumsalam." jawab mereka serempak, Ameera menjawab dalam diam, hanya bibirnya saja yang bergerak.

"Nak Dion?" sapa Pak Amran yang langsung tersenyum sumringah.

Dion langsung masuk dan duduk di sebelah Farhan. Dia melihat ke arah Ameera yang terlihat tertunduk dan meremas ujung bajunya.

"Yah, Meera buatkan air dulu untuknya." ujar Ameera kemudian bangkit dan menuju dapur.

Ameera berlalu ke dapur dengan wajah yang tak bisa diartikan. Alisa melihat itu dan bertanya pada Kakaknya. Karena dia belum tahu dengan kedatangan Dion.

"Kak Meera, Kakak kenapa?" tanya Alisa sambil menyentuh punggung Ameera.

"Tidak apa-apa, Lisa. Tolong buatkan satu cangkir teh lagi." pintanya.

Tanpa mau bertanya lebih, Alisa langsung menuruti permintaan Kakaknya. Dia membuatkan secangkir teh hangat.

Ameera membawa teh itu ke depan dan menyuguhkannya di depan Dion. Setelah itu Ameera kembali duduk dan memeluk talamnya dalam diam.

Perlakuannya itupun tak luput dari perhatian ketiga pria itu.

"Hem!" Dion berdehem, seperti untuk menghilangkan kegugupannya.

"Paman, ada yang ingin saya bicarakan dengan kalian." ucapan Dion terhenti, dia melirik ke arah Farhan yang sedang melihat teh di depannya. Seolah dia risih untuk berbicara kalau ada Farhan diantara mereka.

Seolah mengerti dengan kegundahan Dion, Arman akhirnya buka suara untuk menjelaskan, "Tidak apa-apa, Nak Dion. Dia juga termasuk keluarga kami."

Dion mengangguk, lalu dia kembali melanjutkan perkataannya yang sempat terhenti karena melirik Farhan tadi.

"Saya datang ke sini karena ingin mengajak Ameera untuk rujuk, Pak." ucapnya membuat semua orang yang ada di sana terkejut. Tak terkecuali Ameera, yang mengerti sifat plin-plan Dion.

Ameera hanya diam. Dia tak menjawab apapun, begitu pula dengan Arman.

Farhan juga tidak menjawab apa-apa. Tapi hatinya berkecamuk. Bukankah pria itu telah membuang Ameera, lalu kenapa sekarang dengan seenaknya masih ingin mengambil kembali yang telah ia buang itu. Ini sungguh tidak adil untuknya, kenapa setelah Ameera bercerai pun, dia tidak diberi kesempatan.

"Ameera, bagaimana menurut kamu?" tanya Arman karena melihat anaknya itu hanya diam saja.

"Yah, Mas Dion sudah menalak tiga Meera. Susah jika kami harus kembali." jelas Meera dengan wajah tertunduk.

Mata Arman membulat, dia tidak menyangka kalau ternyata Dion sudah menjatuhkan talak tiga pada putrinya. Farhan biasa saja, karena dia memang sudah tahu dari Bu Inah, mata-matanya.

BRUGH

Tiba-tiba Dion bersimpuh di kaki Ameera, berusaha memegang Ameera. Sontak Ameera langsung menarik tangannya.

"Maaf, Mas. Kita sudah bukan mahram." ucap Ameera.

Dion menarik kembali tangannya, dia mengusap wajahnya kasar. kemudian dia menatap wajah Ameera, wanita yang memang dicintainya itu.

"Ameera, ku mohon ... bersedialah rujuk denganku." pintanya sambil mengatupkan kedua tangannya.

"Mas, jika sikapmu masih seperti itu. Mungkin, suatu saat nanti kita bisa kembali bercerai." ujar Ameera yang sebenarnya masih mencintai Dion.

"Ameera, aku berjanji padamu. Aku akan mengubah sikapku ini. Dan aku akan menuruti semua keinginanmu." janjinya pada Ameera.

"Ibumu tidak menyukaiku, Mas. Aku tidak ingin kamu durhaka hanya karena diriku. Karena, setelah kita menikah pun, orang pertama yang harus kamu prioritaskan tetaplah Ibumu. Tapi, jika Ibumu tidak menyukaiku, aku harus apa?" air mata Ameera menetes, dia kembali teringat dengan sikap dan ucapan-ucapan Wenda yang selalu merendahkan dan memojokkannya. Hanya karena dia orang biasa.

"Aku berjanji, setelah kita kembali nanti, aku akan membeli rumah lain. Kita akan tinggal bersama di rumah itu, bersama anak-anak kita kelak. Jadi, ku mohon padamu, Ameera...." Dion masih mengatupkan kedua tangannya.

"Ameera, jika kamu masih mencintainya, terimalah. Sungguh, perceraian adalah hal yang dibenci oleh Allah SWT." jelas Ayahnya.

Ameera, ku mohon ... jangan menerimanya. Lihat aku Meera, aku menyukaimu. Aku menerima dirimu apa adanya.

Hal itu hanya bisa diungkapkan dalam hati oleh Farhan. Dia belum berani bersuara dalam keadaan yang seperti itu.

Ameera memejamkan matanya, dia memang harus mengambil keputusan. Dia sadar, jika menerima Dion kembali, jalan apa yang harus dijalani oleh Ameera ke depannya.

"Baiklah, aku menerima kamu untuk menjadi suamiku kembali." jawab Ameera.

Kalau ada yang bilang Ameera bodoh, kok mau sih? Kok gini sih? Kok gitu sih?

Hehe, maafken ya. Kalau Ameera gak nerima Dion, kisah kelanjutannya gak ada dong. Kan judulnya suami Muhallil 🤭 pantengin terus ya❤️❤️❤️❤️

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!