“Mama,” panggil anak perempuan kecil berusia delapan tahun pada Saleha.
Saleha, perempuan sholihah yang tengah menyelesaikan gelar doktornya di Belanda. Selain fisik, hatinya juga sangat cantik. Hal ini senantiasa terpancar di wajahnya yang selalu dihiasi dengan senyum manis.
Ia sangat ambisius dalam mengejar karier. Cinta itu nomor sekian. Masa muda difokuskan untuk membangun karier, kurang memperhatikan kehidupan percintaannya. Hal inilah yang membuat Saleha terlambat menikah.
Ia melirik ke sekitar, mencari perempuan yang anak itu sebut mama. Dari tadi, tak ada seorang pun di situ. Kebingungan benar-benar melandanya.
“Duh, maaf ya. Muka kamu mirip sekali dengan mantan istriku. Makanya Nayla panggil mama tadi,” ujar Andi Agung.
Andi Muhammad Agung, Ceo asal Makassar. Usia 33 tahun, duda anak satu. Postur tubuh tinggi, kulit putih, dan berwajah tampan. Ia juga sangat manis ketika tersenyum.
Andi, dalam suku Bugis merupakan gelar bagi keturunan bangsawan. Zaman dulu, gelar Andi yang diletakkan di depan nama orang yang bersuku Bugis diciptakan oleh Belanda untuk menandai kaum bangsawan yang terpelajar di provinsi Sulawesi Selatan. Hal ini terus berlanjut hingga sekarang.
Berdasarkan aturan budaya yang ada di tengah-tengah masyarakat Sulawesi Selatan, gelar Andi hanya boleh diturunkan dari garis ayah. Jika ayahnya tidak Andi, maka anaknya juga tidak Andi.
“Tidak apa-apa ji pak. Eh, maksud saya tidak apa-apa pak.” Saleha keceplosan menggunakan logat Makassar.
“Orang Makassar juga ya?” Agung jadi begitu antusias melanjutkan percakapan dengan perempuan yang baru saja ia temui beberapa menit lalu di Belanda.
“Asal Sulsel, tapi di Pinrang. Kalau bapak tinggal di Makassar kota ya?”
“Iya, di Makassar kota. By the way, buat apa di sini?”
“Lanjut S3. Kalau bapak ngapain di sini?” Saleha sedikit berbasa-basi karena merasa sangat senang. Selama tiga tahun menimba ilmu, baru kali ini ia bertemu dengan sesukunya di negara dengan ibu kota Amsterdam ini.
“Wizzz, keren sekali. Ambisius dalam mengejar karir, persis seperti Alya. Cocok nih jadi ibu barunya Nayla,” batin Agung sebelum menjawab pertanyaan Saleha.
“Just traveling sih. Ini Nayla katanya mau lihat langsung kincir anginnya Belanda.”
“Oh, Windmills ya. Memang sangat terkenal, wajar kalau anaknya mau lihat langsung. Putrinya cantik pak.” Saking gemesnya, Saleha mencubit lembut pipi kanan Nayla.
“Iya cantik, kayak kamu. Bercanda. Oh ya, nama saya Agung. What is your name? Sudah dari tadi kita berbincang-bincang tapi belum kenalan.”
“Nama saya Saleha pak.”
“Salam kenal ya Saleha,” ucap Agung sembari mengulurkan tangannya untuk menjabat.
“Salam kenal pak.” Saleha tidak menyambut jabat tangan Agung. Ia menarik tangannya, kemudian meletakkan keduanya di dada sembari menundukkan kepala sebagai jawaban atas permintaan lelaki itu.
Agung menarik kembali tangannya. Kemudian menggaruk kepala karena malu. Baru kali ini ada perempuan yang menolak untuk bersalaman.
“Cantik, ambisius, mahal lagi. Benar-benar perempuan yang berkualitas. Saya harus bisa menjadikannya istri.” Agung bermonolog dalam hati.
“Jadi nama panggilannya apa? Saleh atau Leha?” Agung sedikit bercanda, mencairkan suasana yang begitu awkward karena penolakan Saleha.
“Bukan keduanya sih, panggil Ega saja. Yang lain juga panggilnya gitu.” Untuk kesekian kali, ia menatap layar gawai.
“Kamu sudah menikah atau belum?”
“Belum. Saya duluan yah pak, ada kelas soalnya.” Saleha begitu buru-buru.
“Tunggu sebentar! Nomor HP kamu dong.” Agung menyodorkan gawainya.
Saleha mulai mengetik nomor HPnya. Tanpa sepengetahuannya, Agung ternyata menyimpannya dengan nama Calon Istri.
Sudah dua tahun Agung menduda. Alya memutuskan untuk meninggalkannya saat Nayla baru saja masuk sekolah dasar. Pertemuan dengan Saleha hari ini, tiba-tiba saja menggerakkan hatinya untuk menikah lagi.
***
Keesokan harinya, Agung menemani anaknya jalan-jalan di taman bunga Keukenhof. Tanpa janjian, ia bertemu dengan Saleha. Memang banyak wisatawan yang suka berkunjung ke sini.
Koleksi bunga tulip sangat indah dipandang. Tak hanya itu, terdapat bunga sub tropis lainnya. Seperti anggrek, mawar, lavender, dan sakura.
Di antara semua bunga tersebut, Saleha paling suka lavender yang melambangkan pertumbuhan dan juga keanggunan seorang wanita. Warnanya yang ungu menunjukkan kesan feminin. Karena ungu jugalah ia menyukai bunga anggrek.
Saleha mulai menyukai bunga lavender sejak menonton serial anime Detective Conan beberapa tahun yang lalu. Detik itu juga, tersave di otaknya bahwa lavender adalah bunga yang menonjolkan sisi feminisme dengan cara berbeda.
Baginya indah itu bukan sekedar penampilan yang mempesona. Ada yang lebih indah dari itu, ketegasan. Berani menjalani hidup tanpa kepalsuan, kemampuan menyampaikan pemikiran dengan jujur, serta mau mengakui kesalahan sendiri.
“Jangan dipetik bunganya sayang! Tidak boleh.” Saleha menarik pelan tangan Nayla yang hampir saja menyentuh bunga tulip.
Agung merasa meleleh karena sikap Saleha yang begitu keibuan. Ia sudah tidak tahan lagi untuk cepat-cepat mempersuntingnya.
“Kemarin kamu bilang kalau kamu itu belum menikah. Kalau boleh tahu alasannya apa ya?”
“Belum ketemu yang tepat pak. Masih sibuk mengejar karir juga. Tamannya luas ya.” Saleha tak ingin berlama-lama membahas pernikahan.
“Iya cantik sekali. Jika saja bisa dipetik. Saya akan memberikanmu yang ini,” tunjuk Agung pada tulip berwarna merah.
“Saya tidak begitu menyukai warna mencolok. Dari semua warna yang ada, kenapa memilih tulip merah?”
“Karena bunga tulip merah melambangkan kecintaan yang mendalam serta kesempurnaan kasih sayang.”
“Cinta? Ke saya maksudnya?” Saleha melotot ke arah Agung, mata mereka kini berpapasan. Secepat kilat ia menundukkan pandangan.
“Mungkin ini terdengar tidak logis. Baru saja kita bertemu kemarin dan saya sudah menyatakan cinta. Entah kenapa, bertemu dengan kamu membuat saya ingin menikah lagi setelah dua tahun menduda.”
“Maaf, bukannya ingin menolak. Saat ini fokus saya hanya kuliah dengan serius, menikah nanti belakangan.”
“Tidak apa-apa jika kamu menolak hari ini. Jika suatu saat ingin menikah dan belum menemukan lelaki yang cocok, hubungi saja saya. I am ready to marry you. It is my phone number,” tutur Agung setelah menelepon Saleha via WhatsApp.
“Terima kasih sebelumnya atas pengertiannya.” Saleha merasa tidak enak hati menolak itikad baik lelaki yang berdiri agak jauh darinya itu.
“It is okay. By the way Ega, kami duluan ya. Nayla ingin sekali ke Kanal Amsterdam sekarang, mau ikut?”
“No, thanks sir. Ada kelas setelah ini.”
“Well, Nayla salim tante nak! Ega biasanya dipanggil apa? Kakak?”
“Tante saja, agak risih kalau anak seumuran Nayla manggilnya kakak.”
“Assalamu ‘alaykum,” ucap anak dan ayah ini pada Saleha yang juga bersiap untuk ke kampus.
“Wa’alaykumussalam warahmatullah.”
*Jangan lupa tinggalkan jejak kakak
Rasanya tak lengkap jika liburan ke Belanda tanpa mengunjungi wisata kanalnya. Kanal yang dibangun pada abad 17 ini, merupakan kebanggan tersendiri bagi kota Amsterdam.
Karena kanal ini memiliki nilai budaya yang sangat tinggi. Juga menjadi salah satu sumber perekonomian warga sekitar.
Agung memutuskan untuk menaiki kapal yang bentuknya mirip bus. Hanya dengan membayar 30 euro, ia dan Nayla sudah bisa mengelilingi kota Amsterdam tanpa harus menaiki mobil ataupun bersepeda.
Kanal-kanalnya bersih dan asri. Tak ada sampah, baik plastik maupun limbah rumah tangga.
Keindahan ini bisa bertahan, karena kapal pesiar yang beroperasi sebagian besar sudah memakai tenaga listrik. Sehingga tidak mencemari lingkungan.
Bangunan-bangunan tua yang cantik. Burung-burung, hinggap di pohon besar yang tumbuh di taman. Warga sekitar yang duduk berjemur di muka kedai sambil minum. Kapal pesiar yang lalu lalang di kanal. Membuat suasana tamasya di kanal ini semakin menyenangkan.
Cuaca juga sangat cocok untuk berpesiar di kanal ini. Matahari bersinar cerah, tetapi angin berhembus dingin. Membuat Agung dan Nayla merasa betah di kapal.
Keesokan harinya, Agung menghubungi Ega via WhatsApp. Memintanya untuk menemani anaknya, dengan alasan memiliki urusan yang penting. Kehadiran Nayla hanya akan mengganggu urusan pentingnya itu.
Agung kemudian meminta alamat Ega. Karena berasal dari negara bahkan suku yang sama, tanpa pikir panjang Ega langsung mengirimkan alamatnya.
Agung langsung melajukan mobil ke apartemen Ega. Gedung yang jendelanya besar dan menghadap ke jalanan. Ketika menatap ke luar, mata disuguhkan dengan pemandangan yang luar biasa indah dan menenangkan hati.
Pohon rindang di taman yang tanpa pagar. Membuat taman tampak lebih luas. Hunian lain di depan, dengan sentuhan klasik yang elegan. Membuat siapapun akan terpesona saat memandangnya.
Kucing jalanan yang gemuk dan bersih. Juga memberi kesenangan tersendiri bagi pecinta kucing seperti Ega saat melihatnya.
Di taman apartemennya, tampak Ega membaca novel karya Nisa yang berjudul My Teacher My Mate.
Sesekali ia menyeruput minuman hangat pencegah kanker payudara saat menanti Agung datang. Pickwick tea, teh kemasan favorit produksi Belanda.
Pagi ini ia juga sarapan dengan makanan anti ambeien, kacang-kacangan. Ertwensope, sup khas negeri kincir angin yang terbuat dari kacang ercis. Berwarna hijau kekuningan, bertekstur mirip bubur.
Bertepatan sekali. Setelah ia selesai sarapan, Agung datang bersama anaknya. Nayla si anak manis. Berhidung seperti penerapan hukum, tajam ke bawah. Tidak belang seperti ayahnya.
Rupanya Agung, si lelaki hidung belang ini menitipkan anaknya pada Ega karena mau menemui l*nte. Kata l*nte sendiri berasal dari negara yang tengah mereka pijaki ini.
Istilah l*nte sendiri berasal dari dua kata, yakni “lonn” dan “tje”. Lonn berarti upah, sedangkan tje artinya disayangi.
Seiring perkembangan zaman, penyebutan lonntje berubah menjadi l*nte, bermakna upahan yang disayang. Istilah ini kemudian digunakan untuk menamai perempuan yang melayani lelaki hidung belang seperti Agung.
Agung kini asyik bermain-main dengan salah satu kupu-kupu tanpa sayap kelahiran Belanda. Sementara di sisi lain, anaknya tengah diajarkan berbagai hal positif oleh Ega.
“Nayla suka minuman bersoda ya? Tante lihat semua minuman yang Nayla bawa mengandung soda.”
“Minuman bersoda? Soda itu apa tante?”
“Soda adalah zat natrium karbonat yang berbentuk cair.”
“Saya tidak mengerti tante.” Nayla menggaruk kepalanya mendengar penjelasan Ega, benar-benar tak tercerna di otaknya.
“Astaghfirullah, tante lupa. Kamu kan masih SD, belum paham. Maksud tante soda itu bahan untuk membuat minuman seperti yang Nayla bawa ini. Kurangi minum yang seperti ini yah. Tidak baik untuk kesehatan.”
“Iya tante,” ucapnya sembari mengeluarkan beberapa makanan ringan dari tasnya.
“Ini juga tidak sehat sayang. Nayla belum sarapan ya?”
“Iya tante, saya lapar sekali.”
“Ayahmu itu keterlaluan sekali. Sibuk sekali pun makanan anak tetap harus diperhatikan. Isi tas anak kok snack semua, parah. Nayla makan buah saja ya. Lebih sehat juga.”
Ia kemudian membuka kulkas, mengeluarkan beberapa buah untuk Nayla makan. Ada jeruk, apel, dan pisang.
“Tante, kenapa sih kita harus rajin makan buah pisang?”
Nayla mulai menunjukkan sifat aslinya. Seperti George di kartun curious George, pikirannya aktif sekali.
“Makan pisang bisa bikin orang yang gemuk menjadi kurus, sayang.”
Ega tidak mengatakan manfaatnya adalah bisa menurunkan BB, karena Nayla pasti tidak mengerti seperti penjelasan tentang soda tadi.
“Kalau jeruk?”
“Supaya tidak batuk. Kalau apel menyehatkan sendi. Eh, maksud tante bikin tulang kuat. Sekarang Nayla sudah tahu kalau rajin makan buah bisa menyehatkan badan, rasanya juga enak. Jadi, mulai sekarang jangan makan snack terus ya. Kurangi juga minuman bersoda. Bahaya bagi kesehatan.” Ega menjelaskan panjang lebar sebelum Nayla bertanya lagi.
Nayla sudah kenyang, Ega mengajaknya untuk melaksanakan shalat dhuha. Anak cantik ini mengikuti gerakan Ega. Ia tampak begitu kikuk. Terlihat jelas, putrinya Agung ini jarang melaksanakan shalat.
“Tante, jalan-jalan yuk! Nayla bosan.”
“Ok sayang,” jawab Ega sambil mengambil whiskas.
Ada banyak kucing jalanan di sana. Uniknya, meskipun hidup di jalanan, kucingnya tampak sehat dan terurus.
Ega dan Nayla memberikan whiskas ke kucing-kucing yang mereka temui. Tidak hanya menggemaskan, kucing di Belanda juga sangat ramah. Meraka tak menggigit saat dielus.
Karena itulah senyum kedua perempuan cantik ini senantiasa merekah saat memberi makan ke kucingnya.
Kumbang nakal yang telah puas bermain-main dengan tulip liar Belanda kembali ke apartemen Ega, untuk menjemput putrinya. Sayangnya Ega dan Nayla sedang tidak berada di apartemen.
Berkali-kali Agung menghubungi nomor Ega, tapi tak kunjung diangkat. Perempuan yang tengah ditaksirnya ternyata menyimpan gawai di apartemennya saat keluar.
Di taman apartemen perempuan incarannya, Agung mendapati novel yang lupa Ega simpan. Ia kemudian membaca novel tersebut, sampai Ega datang.
Dua puluh menit berlalu, Ega dan Nayla memutuskan untuk balik ke apartemen. Benar saja, ternyata sudah ada Agung yang menanti mereka. Agung mengucapkan terima kasih, lalu pulang membawa Nayla.
“Kamu kelihatan senang sekali sayang,” ucap Agung di perjalanan pulang ke hotel yang telah ia sewa untuk sepekan.
“Nayla suka sama tante Ega. Sering-sering ke apartemennya ya ayah,” bujuknya.
“Tidak bisa sering-sering sayang. Tante Ega itu sibuk kuliah. Jadi jarang-jarang ada di apartemennya.”
...****...
Sesampainya di apartemen, Agung memeriksa tas anaknya. Makanan dan minuman yang ia siapkan untuk Nayla ternyata tidak berkurang satu pun.
“Nayla sayang, ini makanannya kenapa tidak dimakan nak?”
“Tadi Nayla makan buah, dikasih sama tante Ega. Katanya jangan sering makan snack, kurangi minuman yang ada sodanya. Tidak sehat.”
“Sial perempuan itu membuatku semakin menggebu-gebu ingin memilikinya. Bisa cerah masa depan anakku kalau punya ibu sambung sepertinya,” batin Agung.
“Nayla tadi ngapain aja sama tante Ega?” Agung terus menggali informasi tentang Ega melalui putrinya.
“Makan, shalat, terus jalan-jalan.”
“Jalan-jalan kemana sayang?”
“Keliling ngasih makan kucing jalanan. Kucingnya lucu-lucu semua ayah. Nayla suka sekali jalan sama tante Ega, seru. Hari ini, Nayla senaaaaang sekali.”
“Nayla suka ya sama tante Ega? Kalau tante Ega jadi mama kamu, bagaimana sayang?”
“Iya, suka sekali ayah. Tante Ega jadi mama baru, senangnya. Kalau ayah sibuk bekerja nanti, ada tante Ega yang nemenin Nayla.”
“Tapi selama ini kan ada bibi di rumah, yang temenin kamu main kalau ayah sibuk di kantor.”
“Beda ayah, Nayla lebih suka sama tante Ega daripada bibi.”
“Kalau begitu, nanti kalau ketemu tante Ega bujuk dia supaya mau jadi mama baru kamu sayang.”
“Siap ayah.”
*Jangan lupa tinggalkan jejak, readers
Mendekati bulan Januari, terjadi musim dingin di kota Amsterdam. Nayla yang belum terbiasa dengan perbedaan cuaca di Indonesia dan Belanda, kini dilanda demam.
Agung benar-benar panik, ia sudah membelikan obat dokter untuk anaknya. Tapi tidak diminum, karena dari dulu Nayla memang tidak suka meminum obat dokter.
Setiap kali Nayla jatuh sakit, pembantunyalah yang meramukan obat herbal alami untuknya. Itu pun harus dibujuk berkali-kali agar mau meminumnya.
Sementara Agung bisanya hanya merayu perempuan dewasa. Kalau urusan merayu anak-anak, ia tak begitu handal.
Agung mengambil gawainya, lalu menghubungi Ega. “Assalamu’alaykum,” ucapnya teramat kalut.
“Wa’alaykumussalam warahmatullah,” tutur Ega sembari meletakkan kentang rebus yang baru setengah ia makan.
“Ega, kamu bisa datang ke hotelku? Seharusnya saya yang jemput kamu, tapi kasihan Nayla kalau sendirian di sini. Mau saya bawa ke apartemenmu, tapi kondisinya sangat tidak memungkinkan.” Agung menggigit kuat ibu jarinya.
“Nayla kenapa pak? Sakit?” Ega yang tadinya duduk, refleks berdiri.
“Iya, dia demam. Saya minta tolong sekali, kamu ke sini ya. Saya tidak tahu harus berbuat apa sekarang. Biasanya kalau Nayla sakit, pembantu yang menangani.”
“Iya, iya bisa pak. Share loc alamat hotel bapak. Saya segera ke sana.”
Agung langsung mengirimkan hasil GPSnya ke Ega. Setelah membukanya, perempuan ini langsung meluncur ke alamat yang diberikan.
“Astaghfirullah, badannya panas sekali. Kenapa obatnya disimpan saja pak?”
“Dia tidak mau minum. Dulu Nayla memang tidak suka minum obat resep dokter. Saya kira sekarang sudah berubah, makanya saya belikan obat. Tapi ternyata kebiasannya masih tetap seperti dulu.”
“Kalau begitu kita obati secara alami saja. Kita butuh kelapa muda, madu, dan jeruk nipis. Ada?”
“Tidak ada, saya keluar dulu cari itu semua. Kamu tolong temani Nayla di sini.”
Agung bergegas keluar, mencari semua bahan yang Ega minta.
Sementara Ega mengompres dahi Nayla. Tak sampai sejam, Agung juga sudah kembali ke hotel. Ia mengeluarkan semua bahan tadi.
Ega mencampurkan madu ke dalam air kelapa muda. Mengaduknya, kemudian memberikannya ke Nayla untuk diminum.
Karena keduanya rasanya manis, tanpa ragu Nayla menghabiskannya. Kondisinya yang masih lemah, membuatnya merasa tak bertenaga. Hanya ingin berbaring saja. Ega memeluk Nayla, demi menghangatkannya.
Perasaan Nayla berangsur-angsur membaik. Setelah bangun tidur, demamnya berkurang. Hanya saja tenggorokannya masih terasa sakit.
Ega berdiri, mengambil limoennya. Memerasnya, kemudian menyeduhnya dengan air hangat. Nayla menolak untuk meminum ramuan pengobat tenggorokan itu.
“Diminum yah sayang, supaya cepat sembuh. Nanti kalau kamu sudah sehat, boleh nginap di apartemen bareng tante. Nanti aku bacain dongeng deh.”
Ega kembali mencoba menyuapi Nayla. Demi bisa nginap di apartemen Ega, Nayla meminum ramuannya. Meski sebenarnya ia tak suka mengonsumsi makanan yang over asam.
Nayla kembali tidur setelahnya. Ega kini keluar kamar, menghampiri Agung yang tengah mengeluarkan bola-bola asap dari mulutnya.
Melihat Ega mendekat ke tempat duduknya, Agung kalang kabut mematikan rokoknya. Agar terlihat sopan di hadapan targetnya.
“Kondisi Nayla sudah baikan. Saya pulang dulu, tidak enak kalau kelamaan di sini.”
“Kalau mau enak, menikahlah denganku. Biar Nayla bisa bebas ketemu kamu terus.”
Tiba-tiba saja raut muka Ega berubah. Ia sebenarnya tak suka dengan sikap Agung yang selalu saja merayunya. Ditambah lagi, baru saja ia menyaksikan duda anak satu ini begitu menikmati aktivitas merokoknya. Mencintai dirinya sendiri saja sulit, apalagi orang lain.
“Kalau mau hidupmu enak, sering-seringlah konsumsi jeruk dan ubi jalar.”
“Hah?” pekik Agung karena ucapan Ega yang di luar topik.
“Coba baca tulisan di sampul rokoknya!” pinta Ega tegas tapi tidak memaksa. Agung yang tergila-gila padanya menurut saja.
“Peringatan: Rokok Membunuhmu. Delapan belas plus. Merokok menyebabkan kanker mulut. Merokok dapat menyebabkan kanker paru-paru dan bronkitis kronis.” Agung membaca sampul rokok Surya yang ia bawa dari Indonesia.
“Kalau belum paham, silakan cari tahu manfaat dari mengonsumsi jeruk dan ubi jalar bagi kesehatan. Assalamu ‘alaykum.”
“Wa ‘alaykumsalam. Tunggu, sini saya antar kamu pulang. Nayla juga sudah tidur kan?”
”Tidak usah diantar pak. Kasihan Nayla kalau ditinggal sendiri.”
“Kalau begitu terima kasih ya. Kalau tidak ada kamu, saya pasti bingung harus berbuat apa.”
“Don’t mention it. Memang sudah seharusnya kita selalu menerapkan prinsip Malilu sipakainge, Mali Siparappe, Rebba Sipatokkong ke semua orang yang kita temui. Tanpa pandang bulu.”
“Jika keliru, saling mengingatkan. Jika hanyut, saling mendamparkan. Dan jika terjatuh, saling mengangkat. Kau benar, dimana pun kita berada. Di Belanda sekalipun, jati diri kita sebagai suku Bugis harus tetap terpatri.”
Ega tersenyum, lalu berpaling meninggalkan Agung yang semakin terkagum-kagum padanya.
Agung lalu berselancar di google. Mengetik manfaat dari makan buah jeruk. Tertera salah satu manfaatnya adalah menyehatkan jantung.
Ia kembali mengetik manfaat mengonsumsi ubi jalar. Agung semakin takjub membacanya.
Di blog yang ia buka tertulis, ubi jalar adalah salah satu makanan anti kanker.
“Sempurna sekali, Ega ini ternyata pandai. Akan sangat bagus jika anakku lahir dari rahimnya. Memiliki penerus yang berwawasan luas, impianku sejak dulu.”
Keesokan harinya Nayla meminta ayahnya untuk mengantarnya ke apartemen Ega. Sesuai janji Ega kemarin, Nayla boleh nginap di apartemennya kalau sudah sembuh.
Agung kini melajukan mobil sewaannya ke apartemen Ega. Selang beberapa menit mereka telah sampai di apartemen wanita baik hati itu.
“Silakan masuk Nayla sayang! Hanya Nayla ya. Kamu tidak,” titah Ega sewot.
“Kau terlalu angkuh sayang. Cepat atau lambat, pasti kamu akan jadi milikku. Setelah kembali ke Indonesia nanti, akan kugencarkan berbagai cara untuk mendapatkanmu.”
Agung membatin, kemudian berlalu meninggalkan Nayla bersama Ega.
Setelah masuk ke apartemen, Ega meletakkan tas Nayla. Anak manis ini mengeluarkan selimut kecil dari dalam tasnya.
“Lumayan perhatian juga ternyata si Agung,” batin Nisa.
Ia lalu duduk di samping Nayla untuk membacakan dongeng dari Sulawesi Selatan.
Sepak Bola Binatang, yang terjadi karena raja hutan jengah dengan sikap rakyat binatang yang suka berebut makanan.
Malam itu Nayla dan Ega tidur dengan nyenyak. Ega yang sedang menstruasi terbangun di pagi hari karena perutnya yang keroncongan.
Setelah mandi pagi, ia segera ke dapur. Ia yang kelaparan, tanpa pikir panjang langsung membuka kulkas. Bersiap-siap untuk memasak.
Di saat bersamaan, gawainya berdering. Ia segera ke kamar untuk mengangkatnya. Ega juga tak ingin Nayla terbangun karena ring tone yang berisik.
Rupanya itu panggilan masuk dari Agung. Lelaki hidung belang itu memintanya untuk tidak perlu repot-repot memasakkan Nayla makanan.
Lantaran Agung datang ke apartemen Ega dengan membawa olliebollen. Roti goreng ala Belanda yang ia beli di bakery.
Olliebollen dijual hanya menjelang dan beberapa hari setelah tahun baru. Ini karena salah satu tradisi orang Holland di malam tahun baru adalah makan ‘bola minyak’ Belanda ini.
*Jangan lupa tinggalkan jejak kakak
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!