NovelToon NovelToon

Bersabar Dalam Luka (Perjodohan)

1. Menerima Perjodohan

°°°

Menikah dan hidup bahagia dengan pasangan adalah impian semua orang. Namun, bagaimana jika kalian menikah tapi tidak bahagia. Apa tujuan pernikahan sebenarnya. Apa hanya mengucapkan janji suci di hadapan sang pencipta, atau hanya sekedar mempunyai teman hidup.

Ini yang dirasakan Mahira atau biasa disapa Rara, gadis yang dipaksa menikah muda oleh orangtuanya karena sebuah janji yang di buat almarhum kakeknya di masa lalu dengan sahabatnya, demi membalas semua kebaikan yang telah sang sahabat berikan.

"Ra, kau maukan menikah dengan cucu kakek Tio. Beliaulah orang yang sangat berjasa dalam hidup kakek Abdul, dulu kakekmu berjanji padanya akan menikahkan cucu perempuannya dengan cucu kakek Tio jika mereka dipertemukan kembali, agar mempererat hubungan antar keluarga," ujar Pak Aziz kepada putri keduanya.

"Tapi Rara masih sekolah Abi."

"Tidak apa-apa nak, kau akan menikah setelah lulus SMA nanti, beberapa bulan lagi."

"Kenapa harus Rara Bi, kenapa tidak kak Luna saja." Jelas-jelas kakaknya Luna sudah lebih dewasa dari pada Rara, tapi kenapa Abi lebih memilih Rara.

"Kakakmu itu sudah terlanjur masuk kuliah nak, biarkan dia menyelesaikan kuliahnya. Kau nanti bisa kuliah setelah menikah, mereka pasti mengijinkan mu."

Pria yang disapa Abi oleh putrinya itu masih bersikeras dengan keputusannya.

Rara menangis pilu, ia masih ingin menikmati masa mudanya dengan bersekolah, kuliah dan menghabiskan waktu bersama teman-temannya tapi dia harus dihadapkan pada perjodohan yang kakeknya ucapkan dulu.

"Abi mohon nak, Abi juga tidak tau jika kakekmu dulu menjodohkan cucunya. Tiba-tiba kakek Tio datang dan menagih janji almarhum kakekmu."

Abi sebenarnya juga tidak tega, tapi ia tidak punya pilihan lain. Alasan kenapa ia memilih Rara hanya karangan yang ia buat, sebenarnya kakek Tio lah yang memilihnya sendiri.

"Sabar nak, mungkin ini jalan yang Allah tentukan untuk mu. Jodoh tidak ada yang tau nak dan kapan ia datang juga tidak bisa ditebak." Umi mencoba memberi pengertian pada putrinya.

Dulu kakek Abdullah berteman dekat dengan kakek Tio. Mereka kemana-mana selalu bersama dan juga membangun pabrik Tahu bersama, tapi semua modal usaha dari kakek Tio karena dia anak dari orang yang cukup berada pada saat itu.

Suatu hari karena orang tua kakek Tio sakit dan harus di bawa ke rumah sakit yang lebih besar di kota, mereka akhirnya berpisah dan sebelum kakek Tio pergi, beliau menyerahkan sepenuhnya pabrik tahu itu pada kakek Abdul yang saat ini masih dijalankan oleh putranya yaitu ayahnya Rara. Mereka pun berjanji suatu saat nanti jika bertemu kembali, mereka akan menjodohkan salah satu cucunya.

Karena dulu alat komunikasi masih sangat susah jadilah komunikasi mereka terputus tak ada kabar lagi dari kakek Tio. Dan tiba-tiba seminggu yang lalu kakek Tio datang ke pabrik mencari sahabatnya, setelah tau jika kakek Abdul telah meninggal beliau langsung mengutarakan niat kedatangannya kemari pada Abi.

Abi juga tidak menyangka ada perjanjian seperti itu dulu, kakek Abdul hanya mengatakan jika pabrik tahu itu bukan hanya miliknya itu hanya titipan dari sahabatnya. Jika suatu saat ada yang meminta maka Abi harus rela menyerahkannya.

Abi sama sekali tidak keberatan jika kakek Tio mengambil pabrik tahu yang ia jalankan, karena ia paham di dunia ini semuanya hanyalah titipan Allah. Tetapi kakek Tio telah meminta salah satu putrinya untuk dinikahkan dengan cucu laki-lakinya. Bukankah kita juga di ajarkan agar jangan menolak niat baik seseorang dan Abi sadar anak juga hanyalah titipan dari Allah. Tugasnya sebagai seorang ayah menikahkan putrinya dengan laki-laki yang baik.

Rara masih menangis di dalam kamarnya, ia bukan tidak mau dijodohkan karena mempunyai kekasih tapi Rara merasa belum siap dan masih sangat muda.

"Nak..." panggil Umi dari balik pintu.

"Makan dulu nak, kau belum makan dari siang, Umi tidak mau putri umi sakit." Umi tak kuasa menahan air matanya, sebagai seorang ibu ia bisa merasakan apa yang putrinya rasakan saat ini.

"Rara tidak lapar Umi." Selera makannya sudah hilang sejak Abi bilang ia akan dijodohkan.

Umi semakin sedih mengkhawatirkan keadaan putrinya, dari siang ia mengurung diri di kamar tidak mau makan sama sekali.

"Apa Rara masih tidak mau makan?" tanya Abi dari arah belakang.

Umi menggelengkan kepalanya lemah.

Mereka berdua jadi merasa sangat bersalah karena sudah membuat si bungsu bersedih.

"Apa tidak bisa kita dibatalkan saja perjodohan itu, Bi." Umi dan Abi baru selesai melaksanakan sholat isya.

"Tidak umi, itu amanah dari almarhum ayah. Abi tidak berani mengingkarinya." Abi pun sebenarnya ingin menolak.

"Tapi apa lelaki itu baik untuk Rara, kita belum mengenalnya."

"Kita pasrahkan semuanya pada yang di atas, biarkan Allah yang menentukan jalan hidup putri kita."

Mereka sebenarnya juga tidak tega memaksakan kehendaknya pada Rara.

...

Satu minggu kemudian, kakek Tio datang ke rumah. Beliau kembali mengutarakan niatnya untuk menikahkan cucunya dengan Rara.

"Assalamu'alaikum."

"Wa'alaikumsalam, silahkan masuk Tuan." Abi menyambut kakek Tio dengan ramah.

"Sudah aku bilang jangan memanggilku Tuan, panggil saja kakek Tio." Pria yang sudah berumur lebih dari setengah abad itu menegur Abi.

"Maafkan saya Tu.. kakek Tio, saya belum terbiasa." Abi terdengar kaku saat mengatakannya.

"Mulai sekarang, kau harus terbiasa."

Mereka masuk ke dalam, Abi mempersilahkan kakek Tio duduk lalu ia memanggil istrinya.

"Umi, tolong buatkan minuman untuk kakek Tio." Umi pun segera bergegas ke dapur.

Rara yang mendengar kakek Tio datang hanya diam dikamar, seminggu ini ia sudah memasrahkan semuanya, hidup, mati dan jodoh semuanya sudah diatur oleh sang pencipta.

Kakek Tio datang tidak dengan tangan kosong, ia membawa beberapa buah tangan. Sangat banyak sampai memenuhi ruang tengah rumah itu.

"Jadi, apa kau sudah mengatakannya pada putrimu?" tanya kakek Tio langsung pada intinya.

"Sudah kakek, tapi bolehkah saya tau alasan kakek memilih putri kedua saya bukannya yang pertama."

Kakek Tio tampak mengembangkan senyumnya.

"Tidak ada alasan apa-apa nak. Namun, saat aku melihat wajah mereka di foto saat itu, putri keduamu berwajah sangat teduh dan sepertinya gadis yang penyabar."

Memang benar apa yang dikatakan kakek Tio, dibandingkan dengan kakaknya Rara jauh lebih sabar dalam menghadapi masalah.

"Kakek merasa dia akan sangat cocok dengan cucuku." Kakek Tio tampak berbinar.

"Apa cucu kakek sudah tau tentang perjodohan ini, apa dia setuju kek. Mengingat putri saya hanya gadis desa, mungkin cucu kakek tidak akan menyukainya." Abi terlihat khawatir. Umi yang sudah duduk disebelahnya pun mengusap punggung Abi.

"Mau tidak mau, dia harus mau. Kakek sangat ingin cucu menantu seperti Rara, baik, sabar, penyayang dan cantik. Gadis kota hanya luarnya saja yang cantik, tidak dengan hati dan perilakunya."

Kakek Tio ingat kenapa tiba-tiba ia mencarikan jodoh untuk cucu satu-satunya, saat itu cucunya memperkenalkan pacarnya. Dari penampilannya saja kakek Tio bisa menebak seperti apa gadis itu, dan untuk meyakinkan kakek Tio menyuruh orang untuk menyelidiki gadis itu. Seperti dugaannya, gadis itu bukanlah wanita yang pantas untuk dijadikan istri oleh cucunya.

Kakek Tio pun menolak dengan tegas hubungan mereka dan mengancam akan mencoret namanya sebagai ahli waris. Kakek Tio mengancam akan memberikan seluruh warisannya pada panti asuhan. Padahal ia sudah mengatakan dan memberikan semua bukti tentang gadis itu tapi cucunya lebih percaya pada kekasihnya.

Kakek Tio tidak ingin memulai hubungan persaudaraan mereka dengan kebohongan, maka dari itu ia menceritakan semuanya pada Abi.

Awalnya ini sangat berat untuk Abi, bagaimana ia tega memberikan putrinya pernikahan yang tidak dilandasi cinta dan salah satunya bahkan terpaksa. Abi pun menyerahkan semuanya pada Rara.

Kakek Tio pulang dan akan kembali seminggu lagi untuk menanyakan keputusan mereka. Ia juga paham jika nantinya pihak keluarga almarhum temannya itu menolak lamarannya.

Maafkan aku Abdullah, aku tidak berniat menjerumuskan cucumu dalam kesedihan dan mungkin sulit, tapi aku percaya cucumu bisa membuat cucuku menjadi lebih baik dan terbuka mata hatinya.

Kakek Tio berkali-kali meminta maaf di depan pusara teman masa mudanya. Ya setelah berkunjung ke rumah Abi, kakek Tio menyempatkan diri untuk singgah di pemakaman.

,,,

Rara benar-benar dilanda kebimbangan, mendengar apa yang dikatakan Abi nya. Pasti sulit jika ia menerima perjodohan itu, selain nanti suaminya hanya terpaksa demi harta dan mungkin hatinya juga masih milik wanita lain.

Akan tetapi kalimat terakhir yang kakek Tio ucapkan membuatnya merasa iba. Dengan wajah yang memohon kakek Tio sampai bersimpuh di lantai, memohon agar Rara mau menyelamatkan cucunya agar tidak terjerumus dengan wanita yang salah. Beliau merasa sudah sangat tua dan tidak lama lagi hidup di dunia ini. Dirinya tidak akan tenang bila menyerahkan cucunya pada wanita seperti itu.

Wajah kakek Tio yang sudah mengeriput bahkan berjalan pun ia sudah menggunakan tongkat sungguh membuat miris siapa saja yang melihat. Bagaimana bisa Rara tega melihat kakek Tio memohon seperti itu.

Rara hanya bisa berdoa dan berharap semoga keputusan yang akan ia ambil tidaklah salah.

"Apa kau benar-benar akan menerima perjodohan ini nak?" tanya Abi saat mendengar putrinya berkata mau.

"Iya nak, ini akan sulit untukmu." Umi tidak kalah khawatir.

"Rara sudah yakin Umi, aku sudah menyerahkan kepada Allah tentang keputusan ku. Ini adalah amanah dan takdir ku, bisa saja kan kakek Tio memilih gadis lain, tapi Allah memberikan jalan pada kakek Tio untuk memilihku. Semoga Allah memberikan jalan dan kesabaran untuk ku nanti, agar aku bisa membimbing suamiku dan kita sama-sama menuju surga yang Allah janjikan pada hambanya yang bersabar."

Umi dan Abi menangis memeluk putrinya, tidak menyangka pemikirannya begitu dewasa dan bijaksana. Sebagai orang tua mereka akan mendukung apapun keputusan yang Rara ambil, jika Rara menolak pun mereka akan menjelaskan pada kakek Tio.

to be continue.....

...****************...

...Sobat-sobat othor tersayang yang cantik dan ganteng. Jangan lupa favoritkan novel othor yang baru 🤗🤗...

...Judul: Belaian Tante Jelita...

...Rate: No Bocil Bocil 😂 area dewasa...

2. Akad

°°°

Acara pernikahan akan digelar secara sederhana di kediaman keluarga mempelai perempuan. Sanak saudara sudah berkumpul untuk membantu mempersiapkan acara yang berlangsung esok hari dan mereka juga mengucapkan selamat pada Abi dan Umi. Mereka ikut senang putri dari saudara mereka menikah dengan pria kaya dari kota. Begitulah gosip yang beredar dari para tetangga.

Padahal umi dan Abi tidak pernah bercerita pada siapapun tentang calon suami putrinya. Rara pun tidak pernah bercerita pada teman-temannya, ya mereka pun kaget saat mendengar temannya akan menikah padahal mereka baru saja lulus. Rara adalah murid yang pintar, dia juga mendapatkan beasiswa S1 dari sekolahnya. Teman dan guru-gurunya sangat menyayangkan keputusan menikah muda yang Rara ambil hanya karena pria kaya dari kota.

Usut punya usut, rumor itu beredar karena tetangga sering melihat mobil kakek Tio saat berkunjung. Mereka asal menebak dan menyebar luaskan tanpa bertanya kenyataannya. Umi dan Abi tidak memikirkan hal itu, bagi mereka fitnah adalah sarana untuk mengurangi dosa-dosa kita. Ada hal yang jauh lebih penting yaitu putrinya yang akan mulai berjuang menjalani bahtera pernikahan.

Kakak perempuan Rara baru pulang tadi malam dan baru diberi tau semuanya. Ia menangis sejadinya, sebagai kakak ia malah membiarkan adiknya masuk dalam pernikahan yang tidak jelas arahnya.

"Mbak, berhenti menangis nanti cantiknya ilang loh." Goda Rara.

Bukannya berhenti menangis kakaknya itu malah semakin terisak-isak dalam pelukannya.

"Kenapa kau mau menerimanya Dek?"

"Dia adalah jodoh yang Allah kirim, Rara tidak bisa menolak."

Selama tiga bulan ini Rara benar-benar memantapkan hatinya, hingga ia bisa sekuat sekarang.

"Kau masih terlalu muda untuk menjalani kehidupan pernikahan seperti itu. Mbak saja mungkin tidak akan kuat Dek."

"Itulah sebabnya Allah memberikan pria itu padaku Mbak, karena Allah tau Mbak Luna tidak akan kuat."

Rara sedikit terkekeh untuk mencairkan suasana. Kakaknya itu sejak pulang sampai pagi ini masih terus menangis.

"Kau itu..." Luna mencubit pipi adik kecilnya, ya baginya Rara selalu menjadi adik kecilnya.

Luna masih tidak menyangka kalau adiknya bisa berpikir sangat bijaksana, sama seperti umi dan Abi yang terkejut waktu itu.

"Jangan menangis lagi, adikmu ini mau menikah bukan mau pergi kemedan perang," ujar Rara seraya mengambil tissue di atas meja rias lalu mengelap air mata kakaknya.

Sadarkah Rara jika yang akan ia hadapi mungkin jauh lebih berat dari medan perang yang saling membunuh secara terang-terangan. Luna tau betul bagaimana menjalani pernikahan seperti itu, karena ia kuliah di jurusan psikologi. Ia banyak belajar dan melakukan riset pada hubungan suami istri, dimana perang batin akan lebih menyiksa dari pada bunuh membunuh.

"Tidak bisakah kau batalkan saja perjodohan ini. Kau bisa mencari suami yang mencintai mu dan kamu cintai."

"Tapi aku tidak bisa mengangkat derajat ku di depan Allah Mbak. Ujian dan cobaan adalah sarana seorang hamba menaikkan derajatnya. Mbak tenang saja, doakan aku agar Allah memberikan adikmu ini kesabaran yang tiada batasnya."

Abi yang mendengar percakapan kedua putrinya dibalik pintu tanpa sadar menitikkan air mata. Esok adalah hari dimana ia menikahkan si bungsu pada laki-laki yang Abi sendiri belum pernah melihatnya.

Selama ini kakek Tio datang hanya sendiri, cucunya yang akan dinikahkan sama sekali tidak pernah datang untuk sekedar saling mengenal.

Hati Abi semakin nyeri, ayah mana yang tidak sedih jika tau anaknya akan menjalani kehidupan pernikahan yang tidak mudah. Lelaki seperti apa yang almarhum kakek Abdullah jodohkan dengan cucunya sendiri, meski kakek Tio sangat baik tidak menjamin keturunannya akan baik juga. Abi hanya bisa mendoakan putrinya dari jauh, karena setelah menikah Rara akan ikut suaminya.

,,,

Hari yang dinantikan pun tiba. Hari ini Rara akan dipinang oleh lelaki bernama Revan, hanya nama itu yang ia tau, seperti apa wajah atau sifatnya sama sekali tidak Rara ketahui. Bahkan jika berta'aruf saja kita boleh mengenal dan mengetahui sifat-sifat calon pasangan kita, tapi ini Rara hanya sekedar tau katanya. Kakek Tio lah yang telah menceritakan semuanya, Rara juga tidak tau apa calon suaminya itu tau seperti apa wajah calon istrinya.

"Kau cantik sekali, Dek." Luna baru saja akan memanggil adiknya dan mengabari jika keluarga calon suaminya sudah datang.

"Terimakasih Mbak," jawab Rara yang melihat kakaknya masuk dari cermin besar di depannya.

"Keluarga calon suamimu sudah datang," lirih Luna.

Rara tau betul apa yang dirasakan kakaknya, sampai tadi pagi pun Luna masih berusaha membujuk adiknya untuk membatalkan pernikahan ini.

"Apa lelaki itu juga sudah datang Mbak?" Ragu Rara saat akan menanyakan perihal lelaki yang akan menjadi suaminya.

"Iya dan dia juga tampan." Tidak ada kebahagiaan di wajah Luna saat mengatakannya. Dia sudah melihat sendiri tadi bagaimana sikap calon adik iparnya, sebagai calon psikolog Luna bisa membaca raut wajahnya.

Terlihat dingin dan agak kaku pria yang akan menikahi adiknya, keterpaksaan dalam menjalani pernikahan dengan sang adik sangat diperlihatkan.

"Mbak..." Rara menyentuh tangan sang kakak yang berada di pundaknya.

"Ada apa?" tanyanya yang melihat sang kakak melamun.

"Tidak apa-apa Dek." Segera Luna menormalkan raut wajahnya.

Semalam Rara berhasil membuat kakaknya berjanji akan mendukung apapun keputusannya. Tetapi dengan syarat, Rara harus selalu menceritakan padanya nanti jika menemui masalah.

"Ayo kita kedepan?"

Rara menggunakan kebaya putih yang membuatnya semakin terlihat cantik, bukan baju pengantin yang menjuntai seperti kebanyakan orang saat ini. Hanya kebaya sederhana tapi tetap membuat Rara semakin cantik memakainya.

Luna membantu adiknya berjalan menuju tempat untuk dilaksanakan akad.

Para tetangga dan sanak saudara sudah duduk di sekeliling penghulu dan seorang lelaki. Rara melihat punggungnya dari kejauhan, dari belakang terlihat jika calon suaminya itu tinggi dan tegap. Dengan balutan jas berwarna putih senada dengan kebaya yang Rara pakai.

"Mbak akan selalu mendoakanmu Dek." Bisik Luna saat mereka telah sampai di meja akad.

Rara duduk disebelah calon suaminya, ia menunduk tidak mempunyai keberanian untuk sekedar menoleh. Lelaki itu pun sama, tatapan matanya entah kemana padahal sang calon istri sudah ada disampingnya, mereka sama-sama enggan untuk menoleh.

"Kita bisa mulai sekarang pak penghulu." Kakek Tio sangat antusias.

Penghulu pun mulai memberikan sedikit wejangan dan nasehat pada sepasang calon suami istri itu, Rara mendengarkan dengan seksama dan menganggukkan kepalanya sesekali.

"Baiklah kita mulai saja, takutnya mereka sudah tidak sabar," kata pak penghulu sedikit bercanda mungkin tujuannya untuk mengurangi kegugupan si calon pengantin.

Sebagai wali dari Rara ternyata Abi sendirilah yang akan menikahkan putrinya. Abi dan calon menantunya sudah saling bersalaman tinggal mengucap ijab qobul.

"Saya nikahkan dan saya kawinkan engkau saudara/Ananda Revano Hermawan bin Roni Hermawan dengan anak saya yang bernama Mahira Nareswari dengan maskawin uang tunai sebesar lima juta rupiah dan seperangkat alat sholat, Tunai.”

"Saya terima nikahnya dan kawinnya Mahira Nareswari binti Abdul Aziz dengan maskawinnya yang tersebut, tunai.”

"Sah..."

Suara saksi dan para tamu bersahutan, bersamaan dengan tangis haru Abi yang menetes. Dengan tangannya sendiri Abi menyerahkan putri tercintanya pada seorang lelaki yang kini menjadi menantunya. Dengan penuh doa dan harapan agar rumah tangga mereka dilimpahkan karunia Allah dan dijauhkan dari hal-hal yang tidak diinginkan.

to be continue....

°°°

Jangan lupa like, komen dan favorit.

Terimakasih yang sudah mau mendukung dan membaca karya ini.

Bunga atau kopi juga author terima.

Sehat selalu pembacaku tersayang.

3. Perpisahan

°°°

Setelah proses ijab qobul yang penuh haru tadi Revan seolah hilang entah kemana. Rara sedari tadi hanya menemui para tamu sendirian, untunglah ada Abi, umi dan kakek Tio yang menemani. Pernikahan yang seharusnya membawa kebahagiaan tapi malah membuat Umi dan Abi sesekali meneteskan air matanya.

Dimata orang mungkin itu wajar, orang tua akan menangis di hari pernikahan putrinya, karena sebentar lagi sang putri akan ikut pergi bersama suaminya. Berbeda dengan apa yang sedang Abi dan Umi rasakan saat ini, mereka merasa telah menjerumuskan sang putri pada hubungan pernikahan yang sulit.

,,,

Dibelakang rumah, Revan sedang menelepon seseorang rupanya. Siapakah orang penting itu sehingga ia tega meninggalkan wanita yang baru beberapa menit yang lalu menjadi istrinya itu menghadapi omongan para tetangga.

"Iya sayang, bersabarlah ini tidak akan lama. Kau tau kan apa alasannya aku menerima perjodohan ini," ujar Revan pada seseorang di seberang sana.

Maaf, ini demi kakek. Harta atau masa depan bisa di cari tapi kakek, ia adalah keluargaku yang paling berharga. Setelah kepergian ibu hanya kakek yang merawatku.

"Aku tidak tau dia cantik atau tidak, aku sama sekali belum melihatnya," jujur Revan.

Aku tidak berani melihatnya, gadis itu yang sekarang menjadi istriku.

"Kau jangan menangis lagi, aku akan menemuimu nanti jika sudah sampai di Jakarta."

Setelah dirasa gadis itu tenang, Revan akhirnya mematikan sambungan teleponnya, ia merasa sangat buruk karena perbuatannya ini mungkin akan menyakiti hati dua wanita. Ia belum bisa melepaskan Febby, dia sudah begitu baik mau mengalah agar aku menerima perjodohan itu.

Febby gadis yang mampu menarik hati seorang Revano yang terkenal dingin dan angkuh. Gadis itu mengejar cintanya saat ia baru masuk kuliah, lelaki yang dulu menjadi ketua ospek sangat membuatnya tertarik. Pertemuan yang semakin sering ternyata membuat sang gadis jatuh cinta pada sosok lelaki sepertinya, karena kegigihannyalah ia berhasil mendapatkan simpati dari seorang Revano yang banyak digilai oleh mahasiswi.

Namun, saat mereka berniat serius menjalani hubungan mereka. Kakek Tio menolaknya dengan tegas, entah apa alasannya, kakek bilang Febby bukan gadis yang tepat untuknya. Tentu saja Revan marah dan tidak terima alasan yang dibuat kakeknya itu, ia merasa telah mengenal Febby dengan baik dan tidak ada yang salah dengannya.

Hingga suatu hari kakek Tio menunjukkan bukti-bukti tentang Febby. Difoto itu menunjukkan jika kekasihnya sering pergi ke club' dan keluar masuk hotel dengan beberapa pria yang berbeda. Sementara gadis itu menolak mentah-mentah semua bukti itu dan mulai mengeluarkan jurus andalannya. Ya Revan paling tidak bisa melihat kekasihnya itu menangis.

Revan pun bersikeras akan menikahi Febby, hingga kakek Tio murka dan mengancam akan mencoret namanya dari daftar ahli waris. Hanya dengan menikahi gadis pilihan kakeklah Revan tidak akan kehilangan semua fasilitas dan perusahaan yang akan ia pimpin jika sudah lulus kuliah nanti.

Revan menghela nafasnya berkali-kali, dalam hatinya kekasihnya bukanlah gadis seperti yang kakek Tio tuduhkan tapi dia tidak bisa berbuat apa-apa. Menjalani pernikahan inilah jalan satu-satunya, Bukan karena harta dan warisan sebenarnya, itu hanya alasan yang ia pakai untuk meyakinkan Febby.

Sebenarnya ada hal lain yang Revan khawatirkan, apalagi saat melihat sang kakek memegangi dadanya saat marah waktu itu. Itu lah yang membuat Revan mengiyakan permintaan kakeknya, takut jika kondisi sang kakek memburuk karenanya.

"Maafkan aku." Ucapnya entah pada siapa seraya memandang langit sore yang masih cerah, seolah ikut merayakan pernikahannya yang ia sendiri belum tau akan seperti apa.

Tanpa sadar rasa bersalahnya terasa lebih besar pada gadis yang saat ini telah menjadi istrinya, saat melihat ayah dan ibu mertuanya menatap penuh kesedihan. Seolah mereka cemas telah menyerahkan putrinya pada Revan.

Revan memasukkan ponsel yang masih ia pegang kesaku celananya, lalu berjalan kembali kedalam rumah kecil yang menjadi tempat istrinya tumbuh besar.

,,,

Dek, Mbak harap kamu sudah benar-benar menyiapkan hatimu dalam menjalani pernikahan ini. Mbak saja merasa sangat sedih dan marah saat mendengar lelaki itu memanggil sayang pada wanita lain. Bagaimana kau yang akan menjalaninya.

Ternyata dari tadi Luna mendengar percakapan Revan dengan kekasihnya. Meskipun kakek Tio bilang mereka sudah berpisah tapi berdasarkan ilmu psikologi yang ia pelajari, tidak mungkin lelaki itu dengan gampangnya mengikuti perintah kakeknya.

Untungnya Luna telah menjelaskan semua kemungkinan yang terjadi pada sang adik semalam. Kemungkinan orang ketiga dan perjuangan mendapatkan cinta suaminya. Hal itu ternyata memang benar, Luna telah mendengarnya sendiri.

"Kau sungguh wanita luar biasa Dek," gumamnya.

Mengingat saat Luna mengatakan jika suaminya mungkin masih berhubungan dengan kekasihnya dan apa jawaban Rara.

"Aku juga berpikir seperti itu kak, aku tau tidak akan mudah bagiku mendapatkan cinta suamiku sendiri dengan berbagai rintangan dan halangan, aku tidak akan melakukan apapun juga tidak akan memisahkan mereka. Biarkan saja Allah yang menentukan dimana hati suamiku nanti berlabuh."

"Aku akan menjalankan kewajiban ku sebagai seorang istri dengan baik dan pelan-pelan memasuki hatinya, aku akan bersabar sampai suamiku menyadari jika ada istrinya yang menunggu ia pulang jika ia berada di luar. Jika memang benar kekasihnya itu bukan wanita yang baik seperti kakek Tio katakan, Allah pasti akan menunjukkannya pada suamiku."

,,,

Rencananya Rara akan langsung ikut suaminya dan kakek Tio pulang ke Jakarta dan setelah tamu undangan pergi Rara segera berpamitan pada keluarganya.

"Umi terimakasih selama ini telah menjaga dan membesarkan Rara dengan sangat baik. Maafkan Rara jika selama ini banyak menyusahkan Abi dan Umi."

"Tidak nak, kau adalah putri yang baik sama sekali tidak pernah menyusahkan kami. Kau selalu membuat kami bangga nak." Umi memeluk putrinya dengan erat seolah tak rela jika sang putri melangkah keluar dari rumah itu.

"Umi jangan menangis, lepaskan kepergian putrimu ini dengan senyuman agar rumah tangga putrimu diberkahi." Rara mengusap air mata umi nya.

Lalu ia beralih pada kakaknya.

"Mbak, titip Umi dan Abi yaa..."

Memeluk erat dan saling memberikan kekuatan, hanya kakaknya yang tau jika ada orang ketiga dalam pernikahan sang adik. Rara melarang Luna menceritakan asumsinya pada Abi dan Umi, tak ingin menambah pikiran dan beban mereka.

"Cerita pada Mbak apapun yang kau rasakan, jangan memendamnya sendiri," bisik Luna, sebagai calon psikolog dia tau betul betapa bahayanya jika seseorang merasa tertekan dan menyimpan masalah seorang diri.

"Iya Mbak, doakan saja yang terbaik untuk adikmu ini." Rara mengulas senyumnya pada sang kakak.

Kemudian Rara mencari Abi nya hendak berpamitan juga, tapi ternyata Abi tidak ada disana sejak tadi.

"Abi dimana, Umi?" tanyanya pada Umi.

Umi menatap Rara kemudian mendekati putrinya.

"Abi tidak akan tega melihatmu pergi, ia bersembunyi di kamar. Pergilah... biar Umi yang sampaikan nanti."

Rara paham maksud Umi, tapi ia tidak bisa pergi begitu saja tanpa berpamitan pada Abi nya.

"Biarkan aku bicara pada Abi." Tatap Rara meminta ijin pada Umi.

Umi sempat ragu tapi akhirnya mengijinkan Rara menemui suaminya.

"Tenang saja Umi, biarkan Rara bicara sendiri dengan Abi dari hati ke hati. Biar dia tunjukkan jika dia adalah wanita yang hebat dan tidak selemah yang kalian khawatirkan."

Luna berusaha meyakinkan Umi. Saat ini kedua orangtuanya sangat membutuhkan dorongan ucapan yang positif agar mereka tidak terus merasa bersalah karena telah menikahkan putrinya pada sang menantu yang belum jelas bagaimana sifat dan sikapnya.

to be continue....

°°°

Selamat membaca, tinggalkan like dan komen jangan sampai ketinggalan. Favoritkan juga biar tidak ketinggalan kelanjutan ceritanya.

Sehat selalu pembacaku tersayang...

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!