NovelToon NovelToon

Jase Is Mine

Bab 1 - Ibu Jatuh Sakit

...༻♚༺...

Dedaunan dari pohon sycamore nan rindang beterbangan diterpa angin. Nuansa cerah musim semi selalu tampak khas dengan beragam bunga yang bermekaran. Seorang gadis sibuk dengan desain pakaian yang terbuat dari koran bekas. Dia menyambungnya hingga menjadi gaun yang indah.

Jasmine Eden namanya. Sering dipanggil dengan sebutan Jase oleh orang-orang terdekatnya. Dia gadis cantik sederhana, yang sudah berusia dua puluh satu tahun. Selalu percaya bahwa mimpinya bisa menjadi nyata. Jasmine tinggal bersama neneknya di desa Devory, Inggris. Sementara ibunya harus pergi ke kota London untuk bekerja.

Menjadi seorang perancang busana. Itulah mimpi Jasmine. Dia selalu menantikan momen untuk pergi ke kota London. Gadis itu ingin mengembangkan bakatnya menjadi lebih baik. Jasmine sedang mempersiapkan diri untuk kuliah tahun ini.

Jasmine memang sering menghabiskan waktunya di rumah pohon. Bangunan peninggalan mendiang ayahnya tersebut, selalu menjadi tempat favoritnya. Ada tiga manekin yang diletakkan di sana. Semuanya mengenakan pakaian yang di desain oleh Jasmine. Kebetulan sekarang dia tengah berada di pelataran rumah pohon. Sibuk mempercantik gaun yang terbuat dari koran bekas.

Tes...

Tes...

Tes...

"No! No! No!" Jasmine kaget dengan tetes air hujan yang berjatuhan mengenai gaun buatannya. Dia bergegas menyelamatkan manekin tersebut masuk ke rumah pohon. Namun karena kecerobohan Jasmine, manekinnya malah terjatuh ke tanah. Sekarang gaun yang terbuat dari koran bekas itu basah akan air. Perlahan luntur dan hancur menjadi kertas-kertas basah yang sobek.

"Tidak..." Jasmine hanya bisa menatap karyanya dari atas. Seluruh badannya basah akibat hujan lebat yang turun. Namun dia malah lebih mencemaskan gaun buatannya dibanding dirinya sendiri. Begitulah Jasmine.

"Jase! Apa yang kau lakukan? Jangan berhujan!" Nathalie, neneknya Jasmine meninggikan suaranya. Meskipun telah tua, suaranya masih bisa terdengar nyaring. Nathalie memanggil dari rumah, sebab letak rumah pohon berada di halaman belakang.

Bukannya menuruti perintah Nathalie, Jasmine justru terpaku menatap gaun buatannya yang telah hancur. Sebab dirinya butuh waktu berhari-hari untuk membuat gaun tersebut.

"Jase!!" Nathalie menegur untuk yang kedua kalinya. Dia dapat melihat Jasmine melalui pintu belakang.

"I'm fine!" sahut Jasmine sembari bergegas masuk ke dalam rumah pohon. Dia berteduh di sana. Gadis tersebut memutuskan akan turun saat hujan reda.

Ada alat vinyl tersedia di rumah pohon. Salah satu barang pemberian ibunya itu selalu menemani Jasmine. Jika rumah pohon merupakan tempat favoritnya, maka alat vinyl adalah barang favoritnya. Dua hal tersebut sangat berharga bagi Jasmine. Meskipun tidak mewah dan mahal, Jasmine selalu menghargai sesuatu dari sebuah kenangan.

Jasmine berusaha melupakan rasa sedihnya akibat insiden kehancuran gaunnya tadi. Dia memasang piringan hitam ke alat vinyl. Lagu You Really Got Me dari The Kinks langsung terputar. Saat itulah Jasmine memposisikan dirinya di depan cermin. Suara tetesan hujan yang menghantam atap kini telah kalah dengan musiknya.

...🎶...

...Girl, you really got me goin'...

...You got me so I don't know what I'm doin'...

...Yeah, you really got me now...

...You got me so I can't sleep at night...

...🎶...

Jasmine bernyanyi dengan suara seadanya. Tidak jelek, tetapi tidak juga indah. Merias dirinya dengan gayanya sendiri.

Semua orang punya selera musik masing-masing. Begitu pula Jasmine. Dia tidak seperti anak seusianya yang menyukai musik EDM, Rap atau lagu dari musisi tampan. Jasmine lebih suka musik jadul. The Kinks, The Beatles, Cilla Black, dan sebagainya. Bukan tanpa alasan dirinya menyukai jenis musik tersebut. Semuanya dikarenakan orang tuanya sering memainkan lagu-lagu jadul itu semenjak Jasmine kecil.

Jasmine menanggalkan kaos bajunya yang basah. Sekarang dia hanya mengenakan tanktop putih dan celana jeans pendek. Memasang kalung serta gelang yang terbuat dari biji tumbuh-tumbuhan. Semuanya adalah buatan Jasmine. Meskipun dirinya tinggal di desa, Jasmine berusaha terus mengikuti trend. Kini dia mengambil topi fedora sebagai pelengkap tampilannya. Tersenyum lebar kepada pantulannya di cermin.

Hujan mulai mereda. Namun Jasmine masih asyik menikmati musik dan aktifitasnya. Nathalie perlahan mengamati ke arah jendela rumah pohon. Di sana dirinya bisa menyaksikan cucunya sedang bersenang-senang. Lengkungan senyum tercipta dimulut Nathalie. Dia selalu senang bisa melihat keceriaan Jasmine. Padahal sikap cerianya tersebut sempat hilang dalam beberapa waktu. Apalagi saat ayahnya meninggal. Namun segalanya berubah, kala Jasmine mendalami bakatnya. Dia semakin bangkit, ketika ibunya selalu memberikan dukungan.

Suara mesin mobil mendadak terdengar, berhasil membuyarkan lamunan Nathalie. Wanita tua itu yakin kalau yang datang adalah ibunya Jasmine, Selene.

"Jase, aku pikir ibumu datang!" pekik Nathalie sembari menangkup mulut dengan satu tangannya.

Jasmine langsung menghentikan kegiatannya. Dia bergegas turun dari rumah pohon. Kemudian berlari ke halaman rumah. Telinganya dapat mendengar suara mesin mobil. Jasmine yakin ibunya baru saja datang. Dirinya tidak sabar untuk segera bertemu. Senyuman lebar terpatri diwajahnya yang cantik.

"Mom!" Jasmine mendekati mobil yang berhenti di depan rumahnya. Dia mengamati orang yang ada di dalam mobil. Anehnya, Jasmine tidak melihat sang ibu. Dahinya mengukir kerutan heran. Benak Jasmine bertanya-tanya.

Hanya ada seorang lelaki paruh baya yang ada di dalam mobil. Lelaki itu berpakaian sangat rapi. keluar dan memancarkan binar nanar dimatanya.

"Apakah kau yang bernama Jasmine Eden?" tanya lelaki berpakaian rapi tersebut.

Jasmine menganggukkan kepala untuk mengiyakan. Seketika sang lelaki berpakaian rapi menghampiri. Sebelum berbicara ke intinya, dia memperkenalkan dirinya terlebih dahulu. Namanya adalah Ronald. Merupakan orang suruhan pangeran untuk memberitahukan sesuatu kepada keluarga Selene.

"Masuklah, lebih baik kita bicarakan di dalam." Nathalie yang sudah berdiri di depan pintu, mempersilahkan Ronald untuk masuk ke rumah. Ronald lantas tidak kuasa untuk menolak. Dia tersenyum tipis, lalu melangkah melewati pintu kediaman Jasmine.

"Anda mau teh?" tawar Nathalie. Bersiap hendak beranjak ke dapur. Namun Ronald melambaikan tangan dan menggelengkan kepala. Pertanda kalau dia menolak.

"Tidak perlu repot-repot. Aku membawa kabar yang kurang mengenakkan..." lirih Ronald.

Nathalie dan Jasmine sontak bertukar pandang. Mereka dirundung perasaan khawatir.

"Apa ibuku baik-baik saja?" Jasmine langsung menimpali.

"Ssshhhh... Jase! Biarkan Ronald bicara." Nathalie memberikan teguran kepada Jasmine. Agar gadis itu bisa berperilaku sopan kepada orang yang lebih tua. Jasmine otomatis tertunduk, seolah menyesali perkataannya.

"Tidak apa-apa." Ronald tersenyum singkat. Selanjutnya dia memasang ekspresi serius, kemudian berucap, "Selene sedang sakit. Dia ada di rumah sakit sekarang. Itulah alasanku datang ke sini..."

"A-apa? Dia memangnya sakit apa?" respon Nathalie tak percaya. Sementara Jasmine reflek membekap mulutnya sendiri. Cairan bening perlahan bergumul dimatanya.

"Kanker..." Ronald menyendu. Seakan ikut sedih dengan apa yang telah terjadi kepada Selene.

"Dia sudah berjuang selama satu tahun. Selene menutupi penyakitnya dari semua orang. Tetapi sekarang sudah tidak bisa, karena penyakitnya sudah parah. Selene tidak ingin aku memberitahukan kabar ini lewat telepon. Aku tidak tahu kenapa..."

"Dia sudah di stadium berapa?" tanya Nathalie, cemas. Dua tetes air mata sudah berjatuhan dipipinya.

"Aku rasa empat." Mata Ronald tampak berkaca-kaca. Ucapannya berhasil membuat tangis Jasmine pecah. Nathalie segera memeluknya erat.

"Tidak apa-apa, Jase. Ibumu adalah orang yang kuat. Aku yakin keajaiban selalu ada. Kita tidak boleh berhenti berharap. Yang terpenting ibumu masih bersama kita. You know that..." ucap Nathalie mencoba menenangkan cucunya. Dia mengusap pundak Jasmine puluhan kali. Sedangkan Jasmine hanya meresponnya dengan tangisan histeris. Terdengar begitu menyayat hati.

..._______...

...Bonus Visual Karakter Utama...

Keterangan :

Usia 21 tahun. Memiliki bakat menggambar dan merancang baju. Seorang gadis desa yang bermimpi mewujudkan cita-citanya.

..._______...

Keterangan :

Usia 23 tahun. Seorang pangeran yang menyembunyikan identitasnya karena suatu alasan.

Bab 2 - Bertemu Edward

...༻♚༺...

Nathalie dan Jasmine segera bersiap pergi ke kota London. Butuh waktu sekitar empat jam untuk sampai ke sana. Perasaan keduanya sama-sama tidak karuan. Akibat mengkhawatikan keadaan Selene.

Jasmine berupaya menelepon ibunya, akan tetapi selalu tidak ada jawaban. Dia hanya bisa mendengus kasar saat dirinya tak bisa mendengar suara Selene. Padahal kemarin Jasmine baru saja saling bicara ditelepon dengan Selene.

Setelah benar-benar memasukkan semua barang ke bagasi, Ronald siap menjalankan mobilnya. Nathalie terlihat baru saja muncul dari balik pintu. Tetapi tidak untuk Jasmine. Gadis itu belum menampakkan batang hidungnya semenjak pergi lewat pintu belakang.

"Tunggu di sini. Aku akan memanggilnya!" ucap Nathalie kepada Ronald. Dia bergegas mencari cucu semata wayangnya.

Selagi orang-orang sibuk mencarinya, Jasmine malah berada di kandang ternak. Semua binatang yang ada di sana adalah milik neneknya. Jasmine memang hampir setiap hari mengurusnya. Jadi sebelum pergi, Jasmine merasa harus melihat keadaan hewan-hewan ternak. Ada beberapa sapi perah dan kuda di sana. Namun yang menjadi sahabat baik Jasmine adalah seekor kuda yang diberi nama Freedy.

"Aku harus pergi, Freedy. Tolong doakan ibuku, agar dia bisa mendapatkan keajaiban dan bisa sehat kembali. Seperti halnya dirimu dulu, kau ingat bukan?" Jasmine memegang kepala Freedy, sambil menempelkan jidatnya ke dahi sahabat terbaiknya itu. Freedy hanya meringik dan menggerakkan kedua telinganya sebagai respon terbaiknya. Selanjutnya, Jasmine segera memberikan makanan kepada seluruh hewan-hewan ternak yang ada. Dia melakukannya dalam keadaan tergesak-gesak.

"Ini makanan untuk kalian selama aku pergi. Aku tidak tahu akan pergi berapa lama." Jasmine terus berbicara kepada para hewan. Dia memang sudah terbiasa begitu. Tidak hanya berdampak baik untuk ketenangan pikirannya sendiri. Tetapi juga berguna untuk menjinakkan hewan-hewan tersebut.

"Jase! Apa yang kau lakukan?! Kita harus pergi sekarang!" tegur Nathalie dari kejauhan.

"Ya, sebentar lagi, Granny..." sahut Jasmine. Dia bergerak lebih cepat. Setelah dirasa selesai, gadis itu langsung berlari menghampiri Nathalie.

"Kau tidak perlu mengkhawatirkan ternak kita. Tuan Gregory akan menjaganya. Aku sudah menghubunginya tadi." Nathalie memegangi pundak Jasmine dengan kedua tangannya. Perkataannya mengharuskan Jasmine mengangguk dan tersenyum tipis.

Jasmine dan Nathalie beranjak pergi dari desa Devory. Menuju kota London yang selama ini di idam-idamkan Jasmine. Namun sekarang Jasmine sama sekali tidak bersemangat. Sebab kabar mengenai ibunya membuat hatinya merasa kalut.

Selene memang masih bernafas sekarang. Akan tetapi penyakit yang dideritanya cukup mampu mengancam nyawanya. Itulah yang membuat Jasmine khawatir. Kecemasan dan harapan bertempur hebat dalam pikirannya.

Setibanya di kota London, Jasmine hanya menundukkan kepala. Dia lebih mementingkan sang ibu dari pada pesona yang ditunjukkan kota London.

Kala sudah sampai di rumah sakit, kedatangan Jasmine dan Nathalie langsung disambut oleh Selene. Ibu kandungnya Jasmine itu tampak segar. Walau dikepalanya terdapat topi kupluk yang menempel.

Jasmine segera berlari memeluk Selene. Dia mendekap sangat erat sembari meluruhkan cairan bening dimatanya. Selene lantas tidak kuasa menahan haru. Tangannya perlahan mengusap lembut pundak putrinya.

Selene mengajak Jasmine dan Nathalie untuk duduk di kamar. Selene hendak membicarakan sesuatu. Terutama kepada Jasmine.

"Apa kau senang bisa datang ke London?" tanya Selene seraya merekahkan senyuman tulus. Seolah tidak ada beban yang sedang ditimpanya.

Kening Jasmine mengernyit dan menjawab, "Bagaimana aku bisa senang. Sementara dirimu..."

"Jase..." Selene sengaja menghentikan perkataan Jasmine. Dia kembali tersenyum. "Aku sudah menyiapkan segalanya untuk perkuliahanmu. Biaya, tempat tinggal, dan pendaftaran," lanjutnya memberitahu.

Kedua kelopak mata Jasmine melebar. Menampakkan manik birunya yang indah. Dia otomatis menggeleng. "Tidak! Kenapa Ibu melakukannya. Seharusnya kau pakai saja uangnya untuk biaya pengobatanmu!" ujar Jasmine. Disertai dengan raut wajah masamnya.

"Itu berbeda, Sayang. Uang pengobatanku berbeda dengan biaya kuliahmu. Ibu tidak mau keadaan ini membuat mimpimu terhambat." Selene memegang lembut wajah Jasmine. Penuh kasih dan tulus. "Besok, kau harus pergi ke kampus. Kau harus mengurus beasiswamu," ucapnya lagi.

Jasmine hanya membisu. Dia perlahan menoleh ke arah Nathalie. Tidak tahu harus berkata dan berbuat apa. Apalagi dia tidak ingin mengecewakan ibunya sendiri. Padahal keinginan terdalamnya sekarang adalah terus berada di samping Selene sampai akhir.

Jasmine keluar dari kamar Selene. Duduk di bangku kosong seraya menundukkan wajah. Saat itulah Nathalie ikut menemaninya. Merangkul Jasmine pelan.

"Kau ikuti saja kata ibumu. Setidaknya itu membuatnya bahagia. Bukankah begitu?... Biarkan aku yang menjaga ibumu di sini. Aku akan segera menghubungimu jika terjadi apa-apa, oke?" tutur Nathalie dengan senyuman yang dihiasi kulit keriputnya.

"Thank you..." Jasmine menatap Nathalie dengan sudut matanya. Keduanya lantas saling mendekap satu sama lain.

"Tapi, aku tidak membawa pakaian dan beberapa buku." Jasmine teringat kalau dirinya tidak membawa semua barangnya. Hal itu terjadi karena dirinya pergi dalam keadaan tergesak-gesak.

"Itu mudah. Aku akan mengurusnya," sahut Nathalie.

Keesokan harinya. Jasmine telah siap pergi ke kampusnya yang bernama Golden Brit University. Salah satu universitas ternama di Inggris.

Sebelum pergi, Jasmine berpamitan kepada Selene dan Nathalie terlebih dahulu. Kebetulan gadis tersebut mengenakan pakaian yang cukup bergaya. Sesuai dengan reputasinya sebagai calon mahasiswi jurusan fashion designer. Memakai pakaian atasan panjang berompi. Dia bahkan menambahkan beberapa aksesoris seperti kalung serta gelang. Semuanya adalah buatan Jasmine, kecuali celana jeans-nya.

"Semoga berhasil. Dan sedikit terbukalah kepada orang-orang. Ibu ingin melihatmu punya banyak teman," ungkap Selene. Jasmine lantas menjawab dengan anggukan kepala dan senyuman. Selanjutnya dia beranjak pergi menaiki taksi.

Jasmine memasang headsetnya. Mendengarkan lagu Cilla Black yang berjudul Streets Of London. Kini dia mulai menikmati suguhan pemandangan kota London. Gedung pencakar langit, alat transportasi dan juga orang-orang berpakaian rapi yang berlalu lalang di jalanan trotoar.

Lima belas menit berlalu. Jasmine baru saja sampai di kampus barunya. Dia berdecak kagum saat melihat betapa luasnya bangunan Golden Brit University. Gadis itu tidak sendiri. Ada banyak anak muda seusianya berjalan silih berganti di sekelilingnya. Akibat terpaku pada pesona, Jasmine tidak sengaja menabrak seorang lelaki.

"I'm so sorry!" Jasmine reflek meminta maaf.

Bukannya marah, lelaki yang ditabraknya malah tersenyum dan berkata, "It's ok."

Jasmine balas tersenyum. Dia berpikir untuk sekalian bertanya saja. "Bisakah kau membantuku? Aku harus mengurus sesuatu yang berkaitan dengan beasiswaku, kira-kira aku harus pergi kemana?" tanya-nya.

"Aaah... kau baru?" respon lelaki berambut kecokelatan itu. Dia kembali memancarkan senyuman manis. Entah kenapa senyuman itu berhasil membuat perasaan Jasmine tidak karuan. Apalagi lelaki di depannya kini dirasa sesuai dengan tipe yang disukai Jasmine.

"Kau hanya perlu pergi ke ruangan Profesor Alvin. Dia akan membantumu. Pergi saja ke gedung sebelah sana, oke?" si lelaki menunjukkan tangannya ke sebuah gedung untuk memberitahu.

"Oke, terima kasih banyak." Jasmine tersenyum sembari beranjak pergi.

Hanya memakan waktu satu menit, Jasmine tiba di gedung yang diberitahukan oleh sang lelaki tadi. Sekarang dia hanya perlu tahu siapa dan bagaimana rupa Profesor Alvin.

Seorang lelaki yang berdiri sambil memasukkan kedua tangan ke saku celana, menarik perhatian Jasmine. Berambut pirang, berpakaian rapi dan tampak menggedik-gedikkan kakinya santai. Hidungnya mancung, serta berbadan tinggi tegap dengan kulit putih bersihnya. Kerupawanannya bisa dibilang nyaris sempurna. Jasmine sempat terpaku sejenak. Bukan karena wajahnya, tetapi karena lelaki itu memakai pakaian bermerek ternama. Dari sepatu, jam tangan, kemeja dan celana. Bisa disimpulkan semua barang yang dipakainya berjumlah hingga jutaan Pound Sterling. Meskipun begitu, Jasmine lekas menggeleng tegas. Mencoba menghilangkan keterpakuan. Dirinya hanya bisa menyimpulkan kalau sosok lelaki tersebut pasti orang dari keluarga kaya raya. Jasmine lantas menghampiri untuk sekedar bertanya.

"Halo, apakah kau tahu dimana aku bisa menemui Profesor Alvin?" tanya Jasmine dengan nada ramah. Lelaki pirang itu menoleh. Sama halnya Jasmine, dia menilik dari ujung kaki hingga kepala. Kemudian mengukir senyuman ambigu. Tidak ramah tetapi juga tidak terlihat sinis.

"Profesor Alvin?" si lelaki pirang memastikan. Jasmine segera mengiyakan dengan anggukan.

"Oh, dia ada di gedung belakang. Berada di lantai paling atas. Biasanya dia menghabiskan waktu di sana," jelas lelaki berambut pirang dengan senyuman yang terkesan dipaksakan.

"Tetapi kata lelaki tadi, dia..."

"Apa kau tidak percaya kepadaku?" sang lelaki berambut pirang menatap lurus ke arah Jasmine. Menyebabkan Jasmine tidak mampu berkutik. Sebab dia sadar, kalau dirinya masih baru berada di Golden Brit University.

"Aku sudah satu tahun kuliah di sini. Jadi, kau tidak perlu meragukanku." Lelaki pirang tersebut memberikan alasan kuat. Jasmine otomatis percaya saja, dan melangkah menuju gedung yang disebutkan oleh sang lelaki pirang.

"Edward?"

Sebelum benar-benar jauh, telinga Jasmine sempat mendengar seseorang memanggil nama si lelaki berambut pirang. 'Edward', Jasmine akan mengingat nama itu.

Bab 3 - Dipedulikan Atau Diabaikan?

...༻♚༺...

Jasmine melangkahkan kakinya menuju gedung belakang. Sesampainya di sana dia langsung menuju lantai atas. Persis seperti yang diberitahukan Edward kepadanya. Suasana yang sunyi senyap malah menyambut kedatangannya. Jasmine memeriksa satu per satu ruangan yang ada, dan dirinya tidak melihat siapapun. Apalagi seseorang yang bernama Profesor Alvin.

Akibat dirundung perasaan bingung, Jasmine kembali turun. Dia beberapa kali menggeliatkan kedua kakinya secara bergantian. Gadis tersebut merasa kakinya mulai pegal. Jarak gedung belakang memang sangat jauh dari halaman kampus.

Pintu lift perlahan terbuka, Jasmine segera keluar dan menghampiri seorang wanita berpakaian rapi. Dia langsung menanyakan perihal Profesor Alvin.

"Apa? Profesor Alvin?" wanita itu menggelengkan kepala, lalu melanjutkan, "aku pikir kau mendatangi tempat yang salah, my dear. Kamu seharusnya pergi ke gedung yang ada di depan. Letaknya ada di sebelah kanan. Sedangkan ruang Profesor Alvin berada di lantai dua seingatku."

"Be-benarkah?" respon Jasmine, tercengang. Dia kini sadar, gedung dimana dirinya tadi bertemu dengan Edward, adalah tempat yang tepat. Kesimpulannya, Edward memang sengaja mempermainkan Jasmine. Kedua tangan Jasmine sontak mengepalkan tinju. Dirinya tentu merasa sangat kesal.

Wanita berpakaian rapi di depan Jasmine mengerutkan dahi. Dia merasa kalau Jasmine tidak memahami perkataannya. Alhasil wanita tersebut memanggil seorang mahasiswa untuk membantu Jasmine.

"Jake, kemarilah! Bisakah kau membantu gadis ini?" sang wanita bersetelan rapi meninggikan nada suaranya. Jasmine yang mendengar merasa agak kaget. Sebab dirinya merasa tidak memerlukan bantuan apapun. Lagi pula Jasmine sudah mengetahui gedung yang benar dari awal.

"Tidak perlu, Miss. Aku yakin bisa menemukan--"

"Tidak, tidak. Aku tidak akan membiarkanmu tersesat lagi. Golden Brit University sangat luas." Wanita berpakaian rapi itu sengaja memotong ucapan Jasmine. Dia memaksa untuk memberikan bantuan. Beberapa saat kemudian, muncullah seorang lelaki yang bernama Jake.

Jasmine terkejut saat melihat Jake. Karena dia adalah lelaki yang awalnya memberitahukan Jasmine tempat Profesor Alvin. Hal serupa juga dirasakan Jake. Dia juga sedikit kaget saat menyaksikan Jasmine.

"Apa kau tersesat? Bukankah tadi aku menunjukkanmu ke gedung yang benar. Kenapa kau malah di sini?" tanya Jake seraya melebarkan kedua kelopak matanya. Hingga irisnya yang berwarna hazel terlihat lebih jelas.

"Kau mengenalnya?" tanya si wanita bersetelan rapi.

"Ya, Mary. Aku tadi sempat memberitahukannya jalan yang benar, tapi--"

"Aku pikir seseorang bernama Edward sudah menipuku. Itulah alasanku bisa sampai berjalan ke sini." Jasmine memberitahukan apa yang telah terjadi kepadanya. Dia bahkan menyebut nama Edward. Untung saja, dirinya mengetahui nama lelaki yang telah berani menjahilinya itu. Bahkan dipertemuan pertama.

"Edward?" pupil mata Jake membesar. Nampaknya dia mengenal orang yang disebut oleh Jasmine.

"Bukankah dia salah satu teman dalam gengmu?" pungkas wanita berpakaian rapi, yang ternyata sering disapa Mary. Dia memasang pose menyilangkan tangan didada.

"Aku akan mengantarkannya lebih dahulu. Aku akan kembali, Mary." Sambil bicara, Jake mengajak Jasmine untuk mengikutinya. Mengabaikan pertanyaan yang dilemparkan Mary untuknya.

"Thanks, Mary..." Jasmine menyempatkan diri untuk mengucapkan terima kasih. Setidaknya perilaku sopannya sukses membuat Mary tersenyum, serta melupakan pengabaian yang dilakukan Jake terhadapnya.

Sekarang Jasmine dan Jake berjalan berdampingan. Jake meminta maaf atas kelakuan Edward kepada Jasmine. Lelaki tersebut menjelaskan segalanya. Terutama mengenai kejahilan Edward.

"Dia memang sering begitu. Apalagi dengan orang baru. Kau hanya perlu terbiasa," tutur Jake pelan. "Ah, ngomong-ngomong, aku belum tahu namamu?" Jake menatap Jasmine dengan sudut matanya.

"Jasmine. Tapi, orang-orang terdekatku sering memanggilku Jase," jawab Jasmine.

"Beautiful name. Kalau begitu aku akan memanggilmu dengan sebutan Jase saja. Supaya aku juga bisa menjadi salah satu orang terdekatmu." Jake lagi-lagi mengukir senyuman, yang berhasil menular kepada Jasmine. Secara alami pipi Jasmine bersemu merah. Dia tidak tahu kenapa. Tetapi, dirinya merasa nyaman saat bersama Jake. Tidak peduli bahwa ini merupakan pertemuan pertamanya.

Jasmine menenangkan diri sambil mengamati pergerakan kakinya. Dia memberanikan diri untuk bertanya, "Apa Edward itu temanmu?"

"Ya, dia salah satu teman dekatku. Dia memang jahil, tetapi otaknya sangat encer. Edward salah satu mahasiswa berprestasi," jawab Jake.

Jasmine hanya mengangguk lemah untuk merespon. Dia agak miris ada orang pintar yang berperilaku sangat menyebalkan seperti Edward. Selanjutnya, Jasmine memilih bungkam. Dirinya tidak mau lagi membahas mengenai Edward. Membuat Jasmine merasa semakin kesal.

'Aku harap, aku tidak akan pernah lagi bertemu dengan Edward..." harap Jasmine dalam hati. Dia memejamkan matanya dalam sesaat. Membuktikan bahwa dirinya bersungguh-sungguh terhadap harapannya.

Jasmine dan Jake sudah memasuki area gedung yang benar. Jake segera pergi setelah memberitahukan ruangan Profesor Alvin. Sedangkan Jasmine akhirnya dapat bernafas lega. Urusan beasiswanya selesai dalam beberapa menit saja.

Kegiatan Jasmine selanjutnya adalah mendatangi kost-kostan yang telah dipesan Selene untuknya. Jaraknya tidak begitu jauh dari kampus. Hanya perlu memakan waktu delapan menit berjalan kaki. Kebetulan Jasmine akan satu kamar dengan seseorang.

Langkah Jasmine terhenti ketika melihat pintu kamar dengan angka nomor lima. Dirinya merasa telah menemukan kamar pilihan sang ibu. Tanpa basa-basi, tangannya segera membuka pintu. Tampaklah seorang gadis berambut panjang. Warna rambutnya bergaya kekinian. Diwarnai dengan cara gradasi, yang mana bagian atasnya berwarna hitam, sedangkan area ujung rambutnya berwarna pirang. Gadis itu langsung menoleh kala menyadari kehadiran Jasmine. Sebelum bicara, dia mengamati penampilan Jasmine secara keseluruhan.

"Apa kau yang namanya Jasmine Eden?" tanya gadis tersebut sembari bangkit dari tempat duduk. Senyumannya terlihat ramah.

"Benar sekali." Jasmine mengangguk sambil tersenyum lebar. Dia sedikit bersemangat dengan sambutan hangat kawan sekamarnya. Padahal dirinya sempat berprasangka kalau punya teman satu kamar merupakan sesuatu hal yang buruk.

"Senang bertemu denganmu. Kenalkan, aku Eva." Eva mengulurkan tangannya. Tidak butuh waktu lama, Jasmine segera menyalaminya.

"Kau dari mana? Aku lihat barang milikmu lumayan banyak. Seseorang baru saja mengantarnya untukmu tadi," ujar Eva seraya memperhatikan dua koper yang menumpuk di samping kasur Jasmine.

"Aku dari desa Devory," sahut Jasmine. Dia terdiam sejenak, kemudian melanjutkan pembicaraan. "Apa kau mahasiswa baru juga?" tanya Jasmine sembari duduk di salah satu kasur yang ada.

"Ya, aku mengambil jurusan fashion designer." Eva terdengar percaya diri dengan jalan pendidikan yang dia pilih. Semuanya dapat terlihat dari gayanya yang angkuh. Tetapi Jasmine benar-benar tidak menangkap hal itu, dirinya malah senang mendengar Eva satu jurusan dengannya.

"Benarkah? Aku juga! Kalau begitu kita akan sering juga bertemu di kampus." Jasmine bersemangat hingga gigi atasnya yang rapi tampak jelas oleh Eva.

"Ah, begitukah." Respon Eva berbeda sangat drastis dari yang ditunjukkan Jasmine. Dia terkesan seperti kecewa.

Ceklek!

Seseorang membuka pintu kamar secara mendadak. Muncullah gadis keturunan negro yang memiliki nama Hayley. Dia mengajak Eva dan Jasmine untuk jalan-jalan menyusuri sisi ramai kota London.

"Kau ikut?" Eva menatap ke arah Jasmine.

"Aku rasa tidak untuk sekarang..." lirih Jasmine dengan gelengan pelan. Dia merasa sangat berat menolak tawaran Eva dan Hayley.

"Kenapa begitu? Ayolah, Jasmine. Kapan lagi kita bisa pergi bersama-sama. Nanti kita tidak akan sempat, karena sudah sibuk dengan kegiatan kuliah masing-masing!" tukas Eva, memaksa. Ia tengah sibuk mengganti pakaian. Mengenakan sweater yang ditambah dengan jaket kulit hitam.

"Ayo, cepat bersiap-siaplah!" desak Eva. Wajahnya memasang ekspresi memelas. Matanya pun dikedipkan beberapa kali. Agar Jasmine tidak kuasa untuk menolak ajakannya.

Jasmine terdiam seribu bahasa. Alasan utama dirinya memilih tidak ikut, karena dia berniat ingin kembali ke rumah sakit secepatnya. Namun setelah mengingat nasehat Selene saat berpamitan dengannya pagi tadi, Jasmine akhirnya memutuskan untuk ikut.

"Aku tahu kau pasti akan berubah pikiran. Ayo!" Eva menarik Jasmine ikut bersamanya. Perlakuannya sontak membuat Jasmine terbawa suasana. Jujur, baru pertama kali ini Jasmine mempunyai teman dekat.

Eva tiba-tiba berhenti di depan pintu keluar. Dia mendekatkan mulut ke telinga Jasmine. "Aku dengar ada beberapa anak senior yang juga akan bergabung dengan kita..." bisiknya. Lalu langsung membuka pintu.

Eva bergabung dengan teman-teman kost lainnya. Meninggalkan Jasmine begitu saja berjalan sendirian di belakang. Eva dan yang lain terlihat akrab. Mereka berbicara mengenai sesuatu hal yang sama sekali tidak dimengerti oleh Jasmine. Seperti bicara tentang lelaki yang bernama Shawn Mendes, Justin Bieber, Ed Sheeran dan lain-lain. Jasmine memang mengetahui siapa nama-nama yang disebutkan teman-temannya. Hanya saja dirinya sama sekali tidak mengetahui apapun tentang hal itu. Jasmine memang mengikuti trend, namun tidak semuanya. Dirinya terlalu fokus pada dunia fashion saja.

Eva, Hayley dan yang lain masuk ke dalam sebuah bar. Jasmine otomatis menghentikan langkahnya. Dia enggan masuk ke tempat tersebut.

"Jasmine, kenapa kau diam di sana saja. Ayo! Para senior ada didalam!" Eva menarik tangan Jasmine. Bergabung bersama Hayley dan teman-teman lainnya.

"Jasmine, gaya pakaianmu sangat bagus. Kau membelinya dimana?" tanya Eva, penasaran. Dia sebenarnya bermaksud sarkas. Baginya pakaian yang dikenakan Jasmine adalah barang murahan. Bagus, tetapi tidak bermerek.

"A-aku membuatnya sendiri," ungkap Jasmine. Menyebabkan Hayley dan teman lainnya merasa terkagum kepadanya. Tetapi tidak untuk Eva, dia satu-satunya orang yang memasang raut wajah cemberut.

"Kalian tahu, jaket ini adalah buatan Teresa Holmes. Kalian pasti tahu kan siapa dia?" ucap Eva memamerkan bahwa pakaian yang dikenakannya merupakan rancangan designer terkenal. Dia sukses mengalihkan perhatian Hayley dan yang lain dari Jasmine. Sekarang mereka saling bicara dan kembali mengabaikan Jasmine.

Jasmine mendengus kasar beberapa kali. Dia bingung dengan sikap Eva. Sebenarnya teman sekamarnya itu memperdulikannya atau mengabaikannya?

Meskipun berada di keramaian, Jasmine merasa kesepian. Jujur, dia sekarang merindukan kampung halamannya. Berteman dengan seekor kuda mungkin lebih baik. Saat itulah matanya menangkap kemunculan dua orang lelaki yang dikenalnya. Jake dan Edward. Keduanya terlihat berjalan kian mendekat.

Jasmine menyaksikan lelaki yang disukainya sekaligus orang yang paling dihindarinya. Perasaannya menjadi tidak karuan. Kakinya reflek melangkah mundur. Hingga tanpa sengaja menyebabkan meja yang ada di belakangnya terdorong. Lalu memecahkan botol bir dan gelas. Dalam sekejap Jasmine menjadi pusat perhatian.

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!