Tik ... tik ... tik
Coffeshop sepi sekali sore ini sampai suara rintik hujan yang menerpa atap kanopi coffeshop terdengar lumayan lantang.
Nara melaburkan lamunannya, matanya menerawang ke arah luar jendela, dia tatap pemandangan membosankan di depannya. Hanya memandangi kendaraan yang berlalu lalang dan orang-orang yang bergegas mencari tempat berteduh karena hujan sore ini cukup deras.
"Ya ampun ... pencuri hati terbaru nih! Muach muach muach ...." kata lulu sembari dia kecup layar ponselnya berkali-kali, entah apa yang merasuki lulu sampai dia bersikap receh seperti itu.
Nara tak terlalu peduli, dia lanjutkan lamunannya.
"Daripada galau galau kayak gitu mending lo lihat ini deh!" kata lulu lalu dia gusur kursinya mendekat pada Nara, Nara hanya menoleh dengan muka datar dan tidak menyahut apa pun.
"Nih gue kenalin, namanya Azka, shooting guard baru dari sunrise! Ini musim debut nya tapi dia udah mencuri perhatian! oh my wow oh my wow ... sexy banget sih dia!" kata Lulu dengan gaya lebaynya. Lulu emang fans fanatik Sunrise, club basket kebanggaan ibu kota yang tengah mengarungi musim kompetisi nasional. Bahkan perilaku Lulu hampir seperti groupis yang sangat terobsesi pada para atlet basket itu.
Melihat ekspresi Nara yang masih datar, Lulu jadi cemas. Dia perhatikan sejak pagi Nara cenderung jadi pendiam padahal biasanya tidak begitu. Lulu tahu, pasti Nara punya masalah yang mengganggu moodnya hari ini.
"Kenapa sih?? Cerita dong. Masalah lo gak akan selesai kalo lo kunyah sendiri!" tanya Lulu dengan sedikit gurauan berharap itu bisa mencairkan suasana hati Nara yang sangat beku hari ini.
"Biasa, ini masalah biasa yang selalu gue hadapi sepanjang hidup gue," tukas Nara pelan lalu dia menjatuhkan wajahnya di atas meja, tampak ada ribuan beban yang merundung pundak dan kepalanya saat ini sehingga tampak begitu berat.
"Ibu sama sodara tiri lo lagi?" tanya Lulu, Nara hanya mengangguk pelan.
"Gue pikir ini usah saatnya lo pergi dari rumah itu Nar, selama lo tinggal sama mereka, lo akan sulit keluar dari zona merah ini! Biarkan mereka hidup mandiri! Lo gak cape apa? Menafkahi mereka sementara mereka duduk manis menikmati hasil keringat lo? Udah deh, cape gua denger balada lo ini Nar." Dengan tegas Lulu sampaikan saran dan unek-uneknya, itu membuat Nara kembali memikirkan rencananya untuk pergi dari rumah dan memulai hidup baru sendiri.
"Gue yakin, mereka pasti kesulitan tanpa lo! Dengan begitu, mudah-mudahan mereka bisa lebih menghargai lo!" tambah Lulu semakin memompa keyakinan Nara untuk pergi.
***
Sepulang dari coffeshop, Nara segera pulang kerumah. Dia sudah mantap dengan keputusannya untuk meninggalkan Soraya dan Nadia, saudara tirinya. Soraya adalah ibu tiri yang telah merampas banyak hal dalam hidup Nara.
Dia temui Soraya dan Nadia di ruang tengah, mereka sedang asyik menikmati malam dengan gawai mereka dan seabreg cemilan di meja.
Nara duduk di antara mereka.
"Ada waktu sebentar, Bu? Ada yang harus aku bicarakan sama ibu," ujar Nara mencoba menyadarkan Soraya akan kehadirannya, tapi Soraya masih memandangi layar ponselnya sambil senyum-senyum sendiri, entah apa yang dia lihat?
"Bu!" Panggil Nara sedikit lebih keras dan kali ini Soraya bereaksi, dia menoleh ke arah Nara.
"Bicara saja, ibu denger kok," sahutnya enteng lalu kembali fokus pada layar ponselnya.
"Bu ... Bu! Lihat ini! Edisi terbaru musim panas! Limited edition pula! Kita harus punya ini, harus gerak cepat Bu keburu soldout nih!" kata Nadia menyela Nara yang baru saja mau bicara serius dengan mereka. Nara kesal, sangat kesal!
"Iya, ibu udah tahu, tapi itu terlalu mahal sayang, budget kita kurang!" sahut Soraya dan masih fokus pada gawainya.
"Bu, aku udah pikir matang matang dan aku udah putuskan ...." Nara menahan kalimatnya lalu menghela nafas, Soraya belum begitu bereaksi.
"Aku akan pergi dari rumah ini!" tegaskan Nara, kali ini Soraya tertarik, dia simpan gawainya lalu dia fokus menatap Nara yang sudah yakin dengan keputusannya.
"Serius? Kamu mau pergi dari rumah ini?" tanya Soraya meyakinkan keputusan Nara yang terkesan spontan itu.
"Ya! Aku mau mulai hidup mandiri!" jawabnya dengan sedikit sindiran. Selama ini, justru Nara telah bekerja keras untuk menghidupi ibu dan sausara tirinya itu.
"Baguslah kalo begitu,"gumam Nadia, tapi Nara bisa dengar dengan jelas gumaman itu.
"Aku gak mau berdebat tentang harta yang ayah tinggalkan untuk kita! Tapi ayo kita buat kesepakatan, rumah ini untuk kalian, dan coffeshop itu milikku!" tambah Nara tegas.
"Hey Nara! Kamu ... serius??" tanya Soraya sekali lagi mencoba meyakinkan.
"Ya! Aku mau hidup mandiri, kita harus buat lebih cepat kesepakatan ini supaya kita bisa menjalani hidup kita masing-masing!" tukasnya tanpa kompromi lagi.
"Menarik! Oke, ibu pikir pembagian ini cukup adil, kalo kamu mau lebih cepat, oke deal! Ambil cafe
itu dan pergilah dari rumah ini!"
"Kalau begitu, cepat serahkan sertifikat Coffe shop itu! Aku akan menyimpannya!" pinta Nara.
"Heum, oke, nanti ibu cari dulu yaa ... sertifikat coffe shop itu tersimpan di dalam bundelan penting di brankas ayahmu! Secepatnya ibu akan menyerahkannya padamu, Nara!"
"Baiklah! Ini adalah malam terakhir aku tinggal di rumah ini!"
"Oke, nikmatilah malam terakhirmu!" kata Nadia dengan nada sarkasnya.
Nara bangkit dan pergi dari ruangan itu tanpa basa-basi lagi dan tanpa pamit pada keduanya.
Nara menikmati setiap jengkal langkahnya. Dia sentuh dindingnya, juga barang-barang peninggalan ayahnya. Rasanya berat sekali.
Ya, Nara adalah seorang yatim piatu yang kini terjebak dengan ibu dan saudara tiri yang menyebalkan. Kisah hidupnya sudah seperti cinderella saja, tapi sialnya pula, belum ada tanda-tanda pangeran tampan akan menjemputnya ke sebuah istana besar.
Nara masih saja jomblo! Padahal, dia memiliki wajah yang menarik, dia juga adalah gadis yang ulet dan rajin.
'Ayaaah, maafkan aku ... aku akan meninggalkan rumah ini dan semua kenangan tentang kita, bersama mendiang ibu ....' lirihnya lalu ia dekat sebuah figura kecil berisi foto dirinya dan almarhum kedua orang tuanya. Rasanya sesak sekali.
Tapi, Nara memang harus cepat-cepat memutuskan, dia tak bisa lebih lama lagi tinggal bersama keduanya.
***
Sejak malam itu Nara mencoba melupakan ibu dan saudara sambungnya yang selama ini sangat tidak menghargainya. Mereka serakah dan sudah menjual beberapa aset peninggalan ayah yang ayah raih dengan jerih payah. Nara khawatir kalo lama-lama aset ayah habis mereka jual untuk gaya hidup mereka yang berlebihan.
Dia cari tempat tinggal baru, dia dapat sebuah kamar sewa yang cukup nyaman. Dia merasa lebih damai sekarang, walaupun dia mempertaruhkan rumah peninggalan ayah tapi setidaknya dia bisa menyelamatkan cafenya dari ketamakan Soraya.
Siang ini cafe sangat rame tidak seperti hari-hari biasanya. Nara dan Lulu sampai kewalahan, lari ke dapur lalu ke meja tiap pelanggan dan terus seperti itu mencoba memberikan pelayanan terbaik untuk para konsumen. Walaupun sibuk dan lelah, Nara kelihatan sangat senang karena sudah lama sekali cafenya ini tidak seramai hari ini.
Setelah beberapa jam berkutat dalam kesibukan, Nara dan Lulu akhirnya bisa duduk istirahat. Mereka pandangi para pelanggan yang sedang menikmati kopi dan santapan mereka. Nara sangat bangga karena dia merasa dia bisa meneruskan usaha yang ayah tinggalkan.
"Gue rasa, ini berkat karena lo tinggalkan ibu dan sodara tiri lo Nar, lihat! kapan terakhir kita punya pelanggan sebanyak ini dalam satu hari, gue gak ingat itu kapan," kata Lulu lalu sesekali dia teguk air dari tumblernya. Nara hanya tersenyum bangga.
"Mudah-mudahan keramaian ini terus berlanjut ya. Kita harus buat menu baru nih biar pelanggan gak bosen datang kesini," tambah Lulu.
"Iya, kita juga harus buat promosi, biar mereka makin senang datang kesini!" imbuh Nara penuh semangat.
"Oh iya nar, stok kopi gayo kita hampir habis lho, creamer, gula dan yang lainnya juga. Gue rasa kalo cafe rame terus kayak gini stok yang tersisa di dapur gak akan cukup sampai lusa deh."
"Oh ya udah, lo pesen lagi kopinya sama Uda Firman, kebutuhan lainnya biar gue yang urus."
"Oke!"
"Mbak, minta latte satu lagi ya."
Seorang pelanggan kembali meminta pesanan dengan semangat Lulu bangkit .
"Oke."
***
Di tempat lain ....
Lulu memang gak salah tergila-gila pada Azka, dia memang nyaris sempurna. Badan kekar atletis dan tinggi layaknya para atlet basket. Ditambah paras tampan dan penampilan yang selalu swag semakin menunjang penampilannya. Bahkan diketahui bahwa Azka ini adalah anak tunggal dari seorang pengusaha kaya yang bergerak di bidang properti. Wah ... sulit rasanya menemukan cela pada sosok Azka.
Selesai latihan rutin bersama tim, Ia pulang ke rumah dan langsung memanjakan diri di dalam bath up nya, dia terbaring di antara busa busa dengan aroma therapi yang menenangkan jiwa ditambah dengan sebotol sampange semakin menambah kemewahan di acara mandi Azka malam ini.
Kriing!!!
Dering ponsel mengganggu relaksasinya, dia tatap ponselnya dan yang menelphonenya saat ini adalah Budi, tim medis Sunrise yang merangkap menjadi assisten pribadi Azka. Azka tarik earpiece-nya lalu mengangkat panggilan telpon itu.
"Halo Az, gue usah di depan rumah lo nih!" Sejurus sambungan telponnya terhubung, Budi langsung bicara padanya.
"Oh, lo udah sampe? Ya udah tunggu sebentar," kata Azka lalu dia segera menyelesaikan acara mandinya. Dia bangkit, membasuh badan berbusanya di bawah guyuran shower dan selesai.
Setelah beberapa saat dia kembali dalam keadaan fresh. Aura ketampanannya semakin terpancar. Dia bukakan pintu utama rumah dan sudah ada Budi disana dengan makanan yang Azka pesan.
"Bener yaa, pantesan aja cewek-cewek pada klepek-klepek sama sosok lo! Lo ini emang beneran sempurna sih!" kata Budi, Azka sama sekali tak tersanjung dengan pujian itu.
"Heh, berlebihan!" cibirnya lalu berjalan lebih dulu menuju ruang tengah, Budi mengikuti.
"Emangnya lo gak nyadar ya, Bro?"
"Biasa saja!"
Azka memang seorang yang layak dijuluki sebagai pria kulkas. Dia juga cenderung introvert. Dia tak bisa berbaur dengan banyak orang. Itu lah sebabnya dia kesulitan menemukan pasangan hidupnya.
Di usianya yang akan menginjak ke 27 tahun, Azka masih saja menjomblo. Entah apa sebab utamanya. Padahal Azka memiliki semua kriteria yang diinginkan mayoritas para wanita di luar sana.
Tampan, jagoan, kaya raya dan tak pernah menggoda perempuan. Tak pernah sekali pun.
Keduanya pun duduk di sofa di ruang tengah itu, menikmati malam mereka dengan seabreg makanan di meja.
"Coach bakalan marah besar nih kalo dia tahu gue bawakan lo junkfood sebanyak ini!" kata Budi lalu ia lahap cheese burger berukuran deluxe itu.
"Dia gak akan tahu kalo lo gak ngasih tahu," sahut Azka sembari dia lahap makanannya, ayam goreng kesukaannya.
"Bro, gue rasa lo butuh pembantu deh! Sayang banget rumah se cozy ini dibiarin berantakan, lo gak sayang apa sama rumah ini?" tanya Budi beralih topik pembicaraan.
"Gue rasa juga begitu."
"Ya udah kalo gitu gue bantu carikan ya." Budi menawarkan jasa.
"Oke!"
"Oke deh, secepatnya gue carikan pembantu yang cocok buat majikan introvert seperti lo!" kata Budi menggoda, Azka hanya memicingkan matanya.
"Oh iya Bud, gimana soal cafe yang lo pantau itu, apa harganya sesuai sama tempatnya?" tanya Azka beralih topik.
"Gue lihat sih sepadan sama harga yang ditawarkan, letaknya trategis juga buat dijadikan Gym, lokasinya benar-benar strategis! Lo harus ambil sebelum pemiliknya berubah pikiran."
"Bukannya cafe itu masih beroprasi?"
"Iya sih tapi kalo udah jatuh ketangan lo ya mutlak jadi milik lo, lo bisa renovasi cafe itu jadi apa pun yang lo mau."
"Ya udah, ambil cafe itu. Lo aja yang urus semuanya." putuskan Azka.
"Siap!"
Entah cafe apa yang mereka bicarakan. Jangan-jangan cafe milik Nara?? Mungkin saja, tapi belum bisa dipastikan.
***
Nara menghitung pendapatan hari ini. Dia terlihat begitu bersemangat. Dia kibas-kibaskan uang hasil penjualannya hari ini, huuh, adeeem.
Sudah lama cafe-nya sepi, dan hari ini adalah hari terbaik sepanjang bulan ini. Jika biasanya dia hanya bisa menjual 15-20 gelas kopi, hari ini Nara dan Lulu melayani 100 gelas belum lagi side dish dan snack-snack lainnya.
'Ayaaah, aku akan mengembalikan kejayaan coffe shop ayah! Aku akan menjadikannya cafe modern, aku akan mengumpulkan uang yang banyak!' ucapnya lalu dia baringkan tubuhnya di atas kasur single di ruang sempitnya itu.
Nara harap, besok cafe-nya akan kembali ramai.
Bersambung.
Benar saja, cafe yang semalam Azka dan Budi bicarakan adalah bangunan cafe milik Nara. siang ini Budi sedang bernegosiasi dengan Ibu. ya, Ibu! ternyata dia yang hendak menjual cafe ini tanpa sepengetahuan Nara.
Sedikitpun Nara tidak menaruh curiga atas kedatangan Ibu dan Budi, dia malah beranggapan kalau Budi adalah pacar brondong Ibu.
"saya harap, kita cepat-cepat selesaikan urusan ini.. karena jujur saja banyak sekali orang yang tertarik dan menawarkan harga lebih tinggi dari yang kemarin kita bahas..tapi, saya sudah terlanjur menyimpan negosiasi ini dengan bos kamu.. jadi bagaimana?" kata ibu mencoba meyakinkan Budi.
"Bos saya sudah sepakat dengan harga yang kemarin kita bahas, tapi.. kenapa tempat ini belum dikosongkan?" tanya budi.
"m...itu.. soal gampang, kalau pembayarannya selesai saya akan langsung kosongkan cafe ini.."
"oh ya sudah, kalau begitu sekarang kita pergi ke notaris, bos saya mau tempat ini langsung menjadi atas namanya..dan transaksinya akan kita selesaikan setelah itu.."
"m.. oke.."
setelah itu Ibu dan Budi pergi meninggalkan cafe begitu saja tanpa berpamitan pada Nara. Nara agak curiga dengan apa yang mereka bicarakan tadi, dan dia juga tiba-tiba punya firasat buruk.
"pacar baru nyokap lo?" tanya Lulu, Nara hanya mengangkat ke dua belah bahunya. sebenarnya dia sudah tidak mau ikut campur lagi urusan Ibu tirinya itu.
***
Pagi ini..
Baru sampai didepan cafe, Nara dikejutkan dengan sejumlah orang yang mengeluarkan beberapa barang-barang dari dalam cafenya, Nara mulai gak enak hati. Nara segera berlari menghampiri Budi yang kebetulan ada disana memberi instruksi pada orang-orang itu.
"Apa-apa an ini..???" tanya Nara pada Budi, Budi mengerutkan keningnya merasa heran dengan kepanikan dan kedatangan Nara.
"bos kamu belum kasih tahu kalo cafe ini sudah berpindah tangan?" tanya Budi semakin mengejutkan Nara.
"Apa?? berpindah tangan?"
"ya, bos kamu sudah menjual tempat ini sama bos saya.."
"Bos? siapa bos nya? cafe ini milik saya..!!" hentak Nara sampai membuat orang-orang yang bekerja sejenak menghentikan pekerjaan mereka. Budi juga agak terkejut dengan reaksi Nara.
"sebentar..bukannya kamu ini karyawan bu soraya?"
Kini Nara mengerti, ternyata benar firasatnya kalo ibu memang menjual cafe ini.
"Ini milik saya, bu Soraya itu ibu tiri saya..dia gak berhak jual cafe ini tanpa seizin saya!!" tegaskan Nara, Budi jadi bingung dengan situasi ini.
"Tapi, cafe ini sudah sah jatuh ketangan bos saya, pembayarannya sudah lunas..dan sertifikat tempat ini atas nama bu Soraya dan sekarang sedang diurus di notaris untuk di alih namakan. secara hukum tempat ini sudah jadi milik bos saya!!" kata Budi mencoba menjelaskan. Nara benar-benar gak habis pikir, dia gak tahu harus apa.
Tak lama kemudian Lulu datang, reaksinya gak kalah kaget dengan reaksi Nara.
"Ada apa ini ??" tanya Lulu benar-benar terkaget-kaget.
Nara gak mampu berkata-kata lagi, hanya air matanya yang menjawab tapi Lulu belum tahu pasti apa yang terjadi.
"bukannya.. dia pacar ibu tiri lo yang kemarin?" tanya Lulu kearah Budi.
"tolong pertemukan saya dengan bos kamu! dia harus tahu kalau tempat ini milik saya.." kata Nara memohon, Budi makin kebingungan.
"aduh..gimana ya, sebaiknya kamu temui bu Soraya, dia yang menjualnya pada kami, kami kan gak tahu apa-apa.." kata Budi.
kini Lulu mengerti apa yang terjadi.
"Jadi..Ibu tiri lo udah jual cafe lo ini nar??" tanya Lulu sangat kaget sampai mengagetkan orang-orang disekitar sana.Nara hanya mengangguk, Budi semakin risih dengan drama ini, dia benar-benar gak tahu kalau transaksi jual beli nya dengan ibu akan memicu sengketa seperti ini.
"Gak bisa, gak bisa kayak gini! hey kamu yang kemarin datang kesinikan? kamu gak tahu ya, tempat ini milik teman saya ini, bukan milik bu Soraya..mana bisa kalian bertransaksi tanpa melibatkan Nara.. yang benar saja??" Lulu langsung memberikan perlawanan.
"aduh..gimana ya..kok jadi ribet begini, sebaiknya.. kalau kalian merasa tertipu.. kalian temui bu Soraya, atau kalau kalian mau kalian lapor saja ke polisi, yang pasti,bos saya sudah melunasi pembayaran atas cafe ini.." kata Budi mencoba memberi solusi.
Nara sangat terpukul dengan kenyataan ini, yang dia takutkan benar-benar terjadi sekarang. saat ini Nara sudah tidak punya apapun lagi.dia gak habis pikir dengan apa yang ibu lakukan padanya.
Nara datangi rumahnya yang kini sudah mutlak jadi rumah Ibu dan saudara tirinya, tapi gerbangnya terkunci, Lulu terus mencoba membuka gerbang itu tapi apa daya, gerbangnya sudah terkunci rapat.
"sialan..kayaknya mereka gak ada dirumah!" kata Lulu kesal, Nara juga berkali-kali mencoba menghubungi Ibu tapi tidak berhasil. dia mulai putus asa..
"kejam banget mereka! semua peninggalan ayah lo habis mereka jual, gak habis pikir gue.. sekarang udah saatnya lo tuntut mereka!!" kata Lulu berapi-api mencoba mendorong Nara untuk membalas dan menuntut Ibu dan Nadia.
Karena terlalu emosi dan kecewa, Nara sampai gak mampu buat berkata-kata lagi.
Bersambung.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!