NovelToon NovelToon

Trouble Lady (Project Of Love)

Bab 1. Belajarlah dengan Benar!

Lingkungan mempengaruhi orang.

Lalu orang berubah karena lingkungan.

Itulah kalimat yang pernah diucapkan oleh seseorang yang ikut campur dalam hidupku, yang tak tahu apa-apa tentangku, yang tak tahu bagaimana sifatku ataupun cara berpikirku. Tapi, kalimat itu berhasil mengubah cara pandangku.

Aku berpikir, di dunia ini tidak pernah ada seorang anak yang terlahir jahat sejak awal.

Tapi ternyata ...

SALAH! SEMUA ITU SALAH! AKU SUDAH TERLAHIR UNTUK JADI JAHAT SEJAK AWAL!

...KISAH DIMULAI...

...-◇-<◇>-◇-...

Di sebuah rumah pribadi milik keluarga yang menurut pandangan orang-orang adalah keluarga yang biasa saja dan sentosa, hanya saja sudah menjadi rahasia umum bagi orang sekitar bahwa anak-anak dari keluarga itu terkenal dengan kenakalan nya.

Pagi hari, di sebuah ruangan kerja. Seorang pria dewasa yang sudah memakai setelan jas rapi sedang duduk menghadap ke arah jendela. Namun suasananya tegang, karena di belakang pria itu ada seorang gadis SMA yang sudah berpakaian seragam namun tak lengkap.

"Nisa." panggil pria itu. Gilang Sutadharma, pria berumur 41 tahun yang merupakan ayah kandung Nisa.

"Hoamm ..." jawab gadis berumur 16 tahun itu dengan cara menguap. Nama lengkapnya Nisa Sania Siwidharwa, anak pertama dari tiga bersaudara.

"Dimana badge namamu?" tanya pria itu dengan tatapan sinis yang mengarah ke pantulan kaca jendela.

Nisa menunduk lalu melirik ke sisi kanan dadanya. "Seragamku baru, jadi badge nya nggak ada." jawabnya dengan nada santai yang membuat ayahnya mengernyit.

"Lalu seragam yang kemarin?" tanya Gilang lagi.

"Robek." jawab Nisa singkat.

"Kenapa bisa robek?"

"Ck, memangnya inspeksi seragam?!"

Gilang menggelengkan kepala. Di sisi lain Nisa terlihat malas, dia dengan santainya membuang muka lalu menyisir rambutnya yang dicat berwarna pirang ke belakang.

"Aku selalu merasa bersalah padamu. Kau sudah melihat banyak hal yang seharusnya tidak kau lihat. Aku berharap kau bisa memiliki kehidupan yang berbeda dengan ayahmu ini. Kau ..." sejenak Gilang terdiam.

"Belajarlah dengan benar. Berhenti membuat masalah dan lulus SMA dengan baik. Lalu masuk universitas."

Nisa menundukkan kepala.

Omong kosong! Kau sudah membentangkan jalan seperti ini, tapi kau menyuruhku untuk membuangnya?!

Jalanku sudah ditentukan dari lahir. Jika aku bisa memanfaatkan semua itu dengan baik maka aku bisa melampaui manusia sepertimu!

"Baik ayah," ucap Nisa dengan senyuman.

"Sehubungan dengan itu, kemarin kantorku ditelepon. Katanya kau membolos dan merusak kendaraan milik guru, apa itu benar?"

Sontak saja Nisa mendongak dan menatap ayahnya dengan tatapan tidak percaya.

"Jelas ayah sudah mengatakannya, ayah ingin kau punya hidup yang berbeda. Kemarin ayah dapat surat dari pihak sekolah. Kau diskors selama 2 minggu. Tapi hari ini kau bisa tetap berangkat, karena koneksi yang ayah punya, dan ayah juga sudah menebus semua kerugian yang kau buat. Ayah akan membiarkanmu sekali ini saja, camkan ini baik-baik!"

Nisa menggertakkan giginya, tangannya juga mengepal sekuat mungkin. "I-iya, aku pasti akan sekolah dengan baik."

Gilang memutar kursi dan berbalik menghadap ke arah Nisa. "Satu hal lagi, posisi penerus bukan milikmu, tapi Marcell. Dari segi mana pun dia lebih cocok dibanding kau. Kau berhenti saja dan belajarlah jadi gadis lembut seperti ibumu."

"Kenapa? Kenapa ayah seperti ini terhadapku?! Kenapa sampai sekarang aku masih belum dapat pengakuan dari ayah?! Semua paman-paman yang lain sudah mengakuiku, kenapa ayah yang ayah kandungku sendiri malah begini?! Ayah pikir aku jadi seperti ini karena siapa?! Semua ini karena ayah! Ayah yang salah! Sudah terlambat jika ayah ingin aku berubah!!"

Nisa langsung keluar dari ruangan begitu meneriakkan semua rasa tidak adil yang dia tahan. Bahkan dia juga membanting pintu dengan keras.

BRAAKK!

Begitu sampai di lantai bawah dia secara kebetulan berpapasan dengan ibunya. Rika Fatmawati, panggilan sehari-hari Rika, namun  orang-orang sekitar kadang iseng memanggilnya dengan sebutan Bu Rik.

"Sudah mau berangkat? Lalu sarapanmu?" tanya Rika.

"Berikan saja ke Reihan atau Dimas!" bentak Nisa penuh kekesalan.

"Dih, habis dilabrak ayah ya begitu." celetuk Dimas yang datang dari belakang sambil menenteng tas sekolahnya. Nama lengkapnya Adimas Rian Sutadharma, 13 tahun, siswa kelas 2 SMP, adik kandung Nisa. Ciri khas darinya adalah tidak bisa mengontrol mulut.

"Hah?! Emangnya kakak buat masalah apa lagi?" tanya Reihan yang menuruni tangga sambil menenteng tas sekolah juga. Nama lengkapnya Reihan Raka Sutadharma, 14 tahun, siswa kelas 3 di SMP yang sama dengan Dimas, adik kandung Nisa juga. Punya predikat playboy sejak dini karena menyalahgunakan ketampanan wajahnya.

"Urus saja urusan kalian sendiri!" teriak Nisa sekeras mungkin yang kemudian langsung bergegas keluar dari rumah.

***

Sekitar jam 9 pagi. Di jam-jam seperti ini biasanya para murid akan berada di sekolahnya, namun berbeda halnya dengan Nisa. Saat ini Nisa berada di sebuah taman bernama Racy Park, sebuah taman yang asri berada di tengah kota yang sangat ramai dikunjungi orang.

Nisa yang masih mengenakan seragam sekolah saat ini sedang duduk di sebuah bangku taman yang di dekatnya terdapat air mancur. Orang-orang yang melihatnya sekilas bisa tahu kalau dia membolos, tetapi gadis itu sama sekali tidak memedulikan tatapan dari orang-orang.

Nisa melihat ponselnya, dia membuka situs berita di internet. Dari raut wajahnya dapat dilihat bahwa dia sangat kesal dengan berita yang dia temui.

INFO BERITA TERBARU》》

Direktur Moon Department Store Gilang Sutadharma, donasi 500 juta pada Yayasan Bakti Pertiwi. Orang-orang menilai dia adalah sosok yang peduli pada blablabla ...

Nisa mematikan ponselnya, lalu tersenyum sinis sambil bergumam, "Haha, apa jadinya jika orang-orang tahu bahwa ayah adalah mantan ketua gangster?"

Nisa kembali termenung, lalu melihat ke arah gedung besar sebuah perusahaan yang berada di dekat taman. Gedung itu adalah milik perusahaan HW Group, perusahaan properti terbesar dan ternama. Dan kemudian Nisa kembali tersenyum sinis.

"Apakah seperti itu mimpi ayah yang baru?"

Pantas saja tadi ayah bicara begitu, ternyata maksudnya adalah memperingatkan aku agar jangan menjadi penghalang. Apa gunanya punya gedung besar? Apa gunanya punya banyak uang tanpa kekuasaan? Apa gunanya dicap baik oleh masyarakat?

Ayah hanya memanipulasi orang, padahal dengan dia tetap jadi ketua gangster, dia bisa saja mendapat semuanya dengan instan. Reputasi, kepercayaan, sanjungan orang-orang itu cuma omong kosong.

Yang namanya orang dewasa itu sama saja. Di dalam nasihat mereka, pada akhirnya terdapat perhitungan keuntungan yang akan kembali pada mereka sendiri. Seperti halnya yang dilakukan ayah.

"Nggak tau ahhh ... males banget, pengen ke warnet." Nisa meregangkan tubuhnya, setelah itu dia menyentuh rambutnya dan memandang rambut itu dengan tatapan ilfeel.

"Ke salon aja deh, ganti warna merah."

Nisa bangkit dari bangku dan beralih tujuan ke salon. Dia berjalan dengan langkah riang, sambil bersenandung menyanyikan lagu Jepang favoritnya.

Ketika Nisa sampai di sebuah penyeberangan jalan, dia masih terhanyut di dalam nyanyian nya sendiri. Hingga tanpa sadar dia malah menyeberang saat lampu sudah berubah menjadi merah.

TIIINNNNN!!!

Klakson mobil berbunyi sangat keras, namun si pengemudi mobil sudah terlanjur menginjak gas. Karena jaraknya yang sangat singkat otomatis mobil itu belum melaju kencang, tapi sayangnya Nisa masih terserempet mobil itu dan berakhir berguling di atas aspal. Pejalan kaki lain langsung mengerumuni tempat kejadian.

Menyadari hal itu si pengemudi mobil langsung mengerem mendadak. "Sial, please jangan mati!"

Si pengemudi mobil adalah seorang laki-laki muda, tepatnya seorang mahasiswa. Kemudian dia turun dari mobil, menghampiri orang-orang yang sudah berkerumun.

"Permisi, bagaimana kondisi orang tadi? Apa terluka parah?" tanya pemuda itu kepada salah satu pejalan kaki perempuan yang ikut berkerumun.

"Ohh ... dia kabur," perempuan itu menunjuk ke arah Nisa yang sudah berlari menjauh.

"Hah??"

Kalau di berita kan biasanya si pelaku yang kabur, kok ini korban yang kabur? Tapi syukurlah dia nggak luka parah, bisa repot kalau sampai berurusan sama polisi.

"Yahh ... kamu lagi beruntung, padahal kan bisa saja dia pura-pura luka parah untuk memerasmu. Mobil mu bagus, kamu pasti anak orang kaya." tanpa berkata apa pun lagi si pejalan kaki langsung pergi, diikuti oleh pejalan kaki lainnya yang juga pergi.

"..."

Apa sih? Dasar orang yang suka ngejudge seenaknya. Mobil itu aku beli pakai uangku sendiri, meskipun masih kredit. Seenggaknya aku ini mandiri.

Pemuda itu kembali melanjutkan perjalanannya menuju ke kampus. Selama di perjalanan dia merasa tidak tenang, pikirannya dipenuhi oleh gadis yang barusan dia serempet.

"Siapa sih cewek tadi? Aku belum sempat lihat mukanya, tapi kalau dari seragam ..." sejenak terdiam dan berusaha mengingat-ingat.

"SMA Langit Biru!"

Mampuss aku! Sekolah itu kan SMA swasta yang isinya anak-anak orang kaya, gimana kalau bapaknya pejabat? Tapi anehnya kok dia kabur? Dia beneran nggak luka, kan?

"Tapi ... seingatku tadi rambutnya warna pirang, mungkin ini bisa jadi petunjuk. Pokoknya sebisa mungkin aku harus minta maaf kalau ada kesempatan ketemu lagi."

Setibanya dia di kampus. Tepatnya Universitas Grand SC, universitas swasta dengan standar internasional, mendapat perhatian khusus dari pemerintah karena selalu menghasilkan banyak orang-orang yang kompeten. Alhasil banyak juga yang menempuh jalur beasiswa dari pemerintah. Mayoritas anak orang kaya yang diterima di sini, namun terdapat 1 golongan spesial, yaitu bukan asal kaya tapi juga berasal dari keluarga yang berpengaruh.

Laki-laki yang telah menyerempet orang itu bernama Ardian Ricky Pamungkas, 20 tahun, mahasiswa fakultas kedokteran yang bercita-cita menjadi dokter spesialis bedah. Ricky tergolong orang yang genius, dia sudah memasuki perguruan tinggi sejak umur 14 tahun. Dia banyak menorehkan prestasi dan mengharumkan nama universitas, oleh sebab itu dia dikagumi banyak orang.

Ricky juga berasal dari kalangan berada. Orang tuanya mempunyai perusahaan di bidang farmasi. Dia juga anak tunggal. Kekurangan Ricky adalah dia tak begitu pandai bergaul, namun justru dia semakin populer. Seperti halnya sekarang, sejak Ricky turun dari mobil sudah banyak gadis-gadis yang menyanjung tentang dirinya.

"Ssshhhh ... Lihat senior itu deh! Demi apa sih ganteng banget!"

"Demi firaun bangun dari hibernasi!"

"Idih, bagusan demi negeri ini bebas dari korupsi!"

"Terserah demi apa pun! Pokoknya dia jodoh akuhh!"

"Bunga kampus jurusan seni yang cantiknya selevel putri fantasi aja enggak dilirik!"

"Tapi siapa tau aja kalau seleranya yang unik, kan?"

"Ckck, masih belum mau sadar diri juga nih anaknya Supri ..."

"Ihhh, papi aku namanya Gilbert!"

"Bodo amat!"

Ricky sudah terbiasa dengan itu tentu saja tidak peduli. Tidak sedikit juga laki-laki lain menyimpan rasa iri terhadapnya. Namun Ricky tetap bersikap tuli, karena dia tak peduli pada hal-hal semacam itu.

Ketika Ricky masih dalam perjalanan menuju kelas, tiba-tiba seseorang dari jurusan yang sama menghampiri dirinya. Orang itu mengatakan ada hal mendesak bahwa Ricky dipanggil ke salah satu ruangan guru besar.

Sesampainya di tempat yang dia tuju, sejenak Ricky masih tampak ragu untuk mengetuk pintu.

Ricky akhirnya memantapkan diri mengetuk pintu dan masuk setelah dipersilakan untuk masuk. Tetapi setelah masuk, dia kaget karena satu-satunya teman sekaligus sahabatnya yang berasal dari jurusan yang sama sudah berada di sana.

"Aslan?" tanya Ricky dengan wajah bingung.

"Jangan banyak cingcong, duduk sini!" ucap Aslan sambil menunjuk pada kursi di sebelahnya yang berada di depan meja kerja profesor.

Ricky mengangguk lalu duduk di kursi itu. Dia semakin gugup karena di meja yang berada di hadapan profesor terdapat sebuah berkas.

"Tumben telat, mau ganti image jadi bad boy yaaa ..." celetuk Aslan.

"Tadi ada urusan sedikit." Ricky lalu menatap profesor dengan tatapan gugup.

"Urusan apa cihhh? Sama cewek yaa?" tanya Aslan dengan muka minta dihajar.

BRAKK!

Profesor itu menggebrak meja. "Berhenti bermain-main!"

"Iya ayah ..." jawab Aslan dengan nada malas.

Prof. Dr. Arman Haydan, M.Psi., M.M. Dia ayah kandung Aslan Haydan, di universitas menjabat sebagai guru besar, dia juga berprofesi sebagai psikiater yang sudah membuka tempat praktiknya sendiri dan cukup memiliki pengaruh di dunia kedokteran.

"Aku ada hal penting yang ingin dibicarakan dengan kalian. Terlebih lagi Ricky." Arman menatap Ricky dengan serius.

"Aku?"

"Kamu adalah orang yang terpilih dari sekian banyaknya orang, bahkan anakku sendiri tidak sebaik dirimu."

"Terus ... terus aja begitu, anak sendiri dibilang jelek." celetuk Aslan.

"Diam dulu beo! Nyaut aja kalau orang tua ngomong!" Ricky lalu tersenyum canggung. "Silakan profesor lanjutkan."

Arman lalu menyodorkannya lebih dekat pada Ricky. "Aku punya proyek karya ilmiah, mengingat sebentar lagi kamu sudah menyelesaikan pendidikanmu di sini, proyek ini adalah proyek terakhirmu. Aku sangat berharap padamu kali ini, karena proyek ini sudah aku pikirkan sejak lama."

"Kita akan melakukan riset tentang apa?" tanya Ricky yang hanya dibalas dengan senyuman oleh Arman. Namun kemudian Arman menyerahkan berkas itu pada Ricky.

"Bukalah, subjek penelitian kali ini adalah dia."

"Dia ...??" Ricky segera membuka berkas itu, dia terkejut bahwa sosok "dia" yang dimaksud adalah seorang siswi SMA. Di dalam berkas itu terdapat biodata mengenai siswi tersebut.

"Siswi SMA Langit Biru, Nisa Sania Siwidharwa?!"

Bab 2. Hasutan

Ricky masih berusaha mencerna keadaan, kemudian dia menatap Arman dengan tatapan ragu. "Profesor, apa maksudnya ini?"

"Sudah aku katakan sebelumnya, dia adalah subjek. Aku memilihnya karena kondisinya yang cukup menarik, sekitar 2 tahun lalu dia pernah berkonsultasi denganku, tapi sayangnya dia cuma datang 1 kali. Tapi jika proyek ini berhasil, maka itu akan membuahkan hal positif bagi seluruh dunia."

"Memangnya tujuan penelitian kali ini untuk apa?" tanya Ricky.

"Menghapus perasaan manusia." jawab Arman penuh keyakinan.

"Apa ayah sudah gila?! Jika manusia tanpa perasaan memangnya itu bisa disebut sebagai manusia lagi?! Pokoknya aku nggak dukung proyek ini!" bantah Aslan.

"Cih, semua penemu pada awalnya juga dianggap gila. Manusia yang ingin terbang akhirnya menciptakan pesawat. Pikirkan ini, dengan adanya perasaan, manusia bisa sedih, marah, depresi, takut. Manusia yang memiliki perasaan itu sudah menghasilkan teknologi-teknologi yang canggih seperti saat ini. Bagaimana jika ada seseorang yang tidak punya perasaan apa pun dan hanya fokus pada ilmu pengetahuan? Bukankah ini sebuah terobosan baru untuk dunia?"

"Tapi ayah ..."

"Diam! Tidak ada tapi! Lagi pula bukan kamu yang paling berperan di sini!"

Seketika suasana menjadi hening, Aslan merasa geram namun tak kuasa melawan ayahnya, sedangkan Arman malah mengabaikan ucapan dari anaknya dan malah terus menatap Ricky dengan tatapan berharap. Tetapi setelahnya Ricky malah meletakkan kembali berkas itu ke meja.

"Maaf profesor, sepertinya aku kurang cocok untuk proyek penelitian ini. Aku berfokus pada pembedahan, sebaiknya cari saja seseorang dari jurusan psikiatri." ucap Ricky yang langsung membuat tatapan Arman berubah sinis.

"Keluar!!"

"Eh?!" Ricky tersentak. "I-iya aku keluar ..."

"Bukan kamu! Tapi Aslan yang keluar!"

"Kok aku ...??" Aslan kebingungan namun ayahnya masih menatapnya dengan tatapan memaksa, akhirnya pun dia keluar dan sekarang hanya tinggal Ricky dan Arman saja yang berada dalam ruangan.

"Hahh ... sulit juga ya meyakinkanmu, sepertinya aku harus mengatakan semuanya." ucap Arman sambil menggelengkan kepala.

"..."

Aku baru pertama kali lihat profesor yang punya temperamen begini.

Arman membenarkan posisi duduknya serta melipat kedua tangan. "Aku akan langsung saja, ini adalah kesempatan emas bagimu untuk meraih lebih dari yang kamu impikan. Sebentar lagi kamu akan menghadapi ujian sertifikasi dokter, aku sangat yakin kamu akan lulus dengan mudah mengingat kemampuanmu itu. Tapi ... tidakkah pernah kamu punya ambisi yang lebih dari itu?"

"Menjadi dokter spesialis bedah adalah mimpiku sejak lama. Tapi apakah maksud dari profesor barusan adalah sesuatu yang berhubungan mengenai jabatan?" tanya Ricky yang juga mulai serius.

"Benar, dan lewat proyek penelitian ini aku bisa membantumu. Karya-karya ilmiah mu sebelumnya memang mengagumkan, tetapi yang satu ini akan lebih menantang dan berpengaruh besar. Jika berhasil, bila saatnya tiba nanti aku akan membantumu mendapatkan gelar sebagai profesor dengan merekomendasikanmu menjadi guru besar yang baru di universitas ini."

"Apa?!" Ricky membelalak.

"Kita tahu kalau profesor bukanlah derajat akademik, tetapi suatu jabatan yang erat kaitannya dengan dengan kedudukan di perguruan tinggi. Dengan begitu, kamu mungkin akan mencetak rekor sebagai profesor termuda di negara ini. Dan bukan cuma itu, tidak sedikit juga kesempatanmu untuk andil dalam Asosiasi Kedokteran. Singkatnya, ini adalah kesempatan yang sangat sayang untuk dilewatkan."

"Tapi ... tetap saja ini bukan bidang yang aku tekuni, bagaimana jika aku melakukan kesalahan? Meneliti mental seseorang itu bukan hal yang pasti, dan juga apakah subjek itu sendiri sudah tahu akan hal ini?" tanya Ricky dengan nada ragu.

"Subjek belum tahu, karena ini bersifat rahasia. Kamu sudah melihat sendiri reaksi Aslan, sangat mungkin jika di luar sana akan ada banyak orang yang menentang hal ini dengan alasan kemanusiaan dan sebagainya. Tetapi jika berhasil pasti tidak sedikit juga orang yang tertarik, intinya penelitian ini akan menimbulkan pro dan kontra."

"Lalu bagaimana jika subjek melawan lewat jalur hukum?" tanya Ricky lagi.

"Kamu tenang saja, akan ada kenalanku yang mengurusnya. Jadi sebenarnya sudah ada beberapa yang mendukung proyek ini, sponsor kali ini juga tidak sembarangan, jika kamu butuh apa pun dalam penelitian ini maka bilang saja apa yang kamu butuhkan."

"Ohh ... Jika ini bersifat rahasia, bagaimana caraku mengamati subjek dari dekat? Dengan memalsukan identitas?"

"Tepat! Aku memang tidak salah memilih orang! Identitasmu akan dipalsukan menjadi mahasiswa Jurusan Ilmu Pendidikan MIPA, nantinya kamu akan datang ke sekolah itu sebagai mahasiswa yang melaksanakan PPL atau Program Pengalaman Lapangan. Mengingat kemampuanmu, aku rasa PPL akan lancar karena itu jauh lebih sederhana dari bidang yang kamu tekuni sekarang. Mungkin akan terasa aneh karena itu sekolah swasta dan hanya kamu seorang, jika ada yang bertanya maka kamu jawab saja kalau kepala sekolah di sana adalah kerabatmu. Lagi pula kepala sekolah SMA Langit Biru juga adalah kenalanku."

Arman sekali lagi menyodorkan berkas itu ke arah Ricky.

"Jalan lurus tanpa hambatan sudah terbentang di depanmu, dan kamu sepertinya juga tertarik. Ambillah berkas ini, di dalamnya ada seluruh informasi tentang subjek yang diketahui oleh pihak sekolah."

Ricky membisu, sejenak dia melirik ke arah berkas itu namun setelahnya dia malah menunduk. "Bisakah profesor memberi waktu untuk berpikir?"

Arman menghela napas. "1 hari, bawa pulang berkas itu dan besok katakan apa keputusanmu. Jika kamu menolak maka lupakan semua yang aku katakan barusan!"

"Baik prof," ucap Ricky seakan tidak bertenaga.

***

Malam hari, di sebuah apartemen yang berada di pusat kota. Apartemen tipe loft 2 bedroom, Ricky memilih apartemen dengan 2 kamar karena terkadang orang tuanya juga berkunjung dan menginap di sana.

Ricky duduk di meja belajarnya sambil membolak-balik halaman berkas yang diberikan oleh Arman. Dia berpikir sangat keras hingga merasa kehausan, lalu dia meminum segelas kopi yang telah dia buat sebelumnya.

"Nisa ... Nisa ..." gumamnya.

Kenapa manusia satu ini harus lahir?! Bikin susah orang aja! Aku belum kenal tapi aku sudah membencimu. Gimana enggak? Karirku yang bahkan belum dimulai sekarang terancam hancur.

"Profesor Arman itu cukup terkenal dan berpengaruh, dia juga pakar dalam bidang psikologi. Jika aku bertentangan dengannya, bisa-bisa nanti dia akan mempersulitku. Aku bukannya takut, tapi rasanya susah kalau itu sampai kejadian."

Ricky mengacak-acak rambutnya akibat frustrasi.

"Arghhh! Bisa gila aku!"

"Padahal jelas-jelas ini menentang hukum! Subjek nya aja nggak tau atau bahkan setuju, gimana kalau nanti cuma aku yang kena terus aku dipenjara?"

"Nggak! Pokoknya jangan sampai! Mulai sekarang jaga-jaga ... tiap kali ketemu profesor harus diam-diam aku rekam, pokoknya juga kumpulkan bukti tentang profesor agar nanti dia nggak bisa lepas tangan gitu aja!"

Ricky lalu kembali melihat isi berkas itu.

"Aneh, di sini ditulis kalau dia berprestasi di pelajaran dan olahraga. Kejuaraan taekwondo, karate, kungfu blablabla ... Gila! Hampir semuanya diborong! Fisiknya bukan maen ..."

Ricky membalik halaman selanjutnya yang memuat tentang foto-foto Nisa.

"Loh?! Kok dia kecil begini? Dilihat-lihat dari mukanya ... Dia mirip penderita anemia yang nggak punya semangat hidup."

Profesor bilang sekitar 2 tahun lalu, Nisa ini sudah konsultasi di usianya yang ke-14 tahun. Tetapi nggak ada catatan medis penyakit atau pengalaman trauma sebelumnya. Sekarang aku jadi tau kenapa profesor menyebutnya dengan kondisinya menarik.

Ricky kemudian melanjutkan membaca hingga halaman terakhir. Sejenak dia merenung, lalu setelahnya dia kembali meneguk kopi hingga habis. Dia bahkan meletakkan gelas kosong itu dengan semangat.

TAKK!

"Sudah aku putuskan! Ayo lakukan meskipun nanti sulit! Aku nggak mau buat masalah sama profesor lalu ayah sampai terlibat, ayo mandiri!"

Kalau dipikir-pikir ... Mungkin ini yang namanya takdir kebetulan. Tadi pagi aku habis menyerempet siswi SMA Langit Biru, sekarang aku punya kesempatan buat cari tau siapa dia dan minta maaf.

Ciri-cirinya yang aku tau cuma dia punya rambut warna pirang. Sedangkan Nisa yang subjek ini di foto rambutnya hitam, mungkin nanti aku harus tanya apa dia kenal sama yang rambut pirang.

"Oke, sekarang ayo tidur! Siapa tau besok adalah hari yang melelahkan!"

***

Keesokan harinya. Hari ini Ricky bangun lebih awal dari biasanya dan cepat-cepat pergi ke kampus. Setibanya di kampus, tempat yang pertama kali dia datangi adalah ruangan Arman.

Di ruangan itu ternyata Arman sudah menunggu-nunggu kedatangan Ricky. Bahkan begitu Ricky duduk, tanpa basa-basi lagi dia langsung berkata, "Bagaimana keputusanmu?"

"Aku terima." jawab Ricky penuh keyakinan.

"Hahahaha! Bagus, bagus! Keputusan yang sangat tepat!" Arman tertawa gembira.

"Ehmm ... Profesor, bolehkah aku tahu alasan profesor memilihku selain karena kemampuanku? Bahkan jika dipikir-pikir secara kemampuan, di bidang ini sudah jelas anak didik profesor lebih unggul."

"Karena aku melihat potensi dalam dirimu. Dan itu harus diasah. Kecerdasanmu bukan penentu, mental jauh lebih penting. Kamu bisa saja super duper genius yang cuma butuh 1 kali baca untuk memahami seluk-beluk ilmu kedokteran. Tapi itu belum cukup untuk kamu menjadi dokter yang sebenarnya. Proyek penelitian ini juga akan bermanfaat untukmu, setelah ini mentalmu akan jauh lebih kuat dari sebelumnya."

"Begitu ya," Ricky lalu mengulurkan tangannya dan tersenyum. "Mari berjabat tangan prof, sebagai tanda dimulainya penelitian ini."

Arman juga tersenyum lalu berjabat tangan dengan Ricky. "Iya, mohon kerja samanya. Tapi ... kamu membawa pulpen perekam suara ternyata." ucap Arman sambil melirik ke arah saku almamater Ricky.

"Eh?! Bagaimana profesor bisa tahu?" seketika Ricky melepas jabat tangannya dan ekspresinya panik.

"Karena aku juga punya satu yang model seperti itu di rumah. Ngomong-ngomong sekarang aku juga sedang membawanya," Arman lalu menunjuk ke arah tempat pensil yang berada di meja kerjanya.

"Haha, jangan panik begitu. Aku juga melakukannya untuk berjaga-jaga. Seandainya penelitian ini berhasil aku hanya khawatir kamu akan membuang namaku dan hanya mencantumkan namamu."

"O-ohh ... begitu toh," Ricky lalu tersenyum canggung sambil menggaruk tengkuknya. "Aku juga sama haha, aku khawatir kalau profesor nantinya akan membuangku jika penelitian ini berhasil."

"Tidak perlu merasa tidak enak. Wajar kok merasa khawatir."

"Iya, haha ..."

Syukurlah dia salah mengerti, malahan justru aku berpikir penelitian ini akan gagal. Tetapi profesor sangat optimis, sepertinya masih ada sesuatu yang belum aku ketahui.

"Oh iya, perlengkapanmu seperti almamater baru, kartu identitas dan lain-lain akan aku siapkan hari ini. Besok kamu sudah bisa pergi ke SMA. Jika ada kendala, kamu bisa minta bantuan Aslan."

"Eh? Bukannya kemarin Aslan menolak?"

"Semalam aku sudah bicara dengan anak itu. Lagi pula kalian berdua kan bersahabat, sudah pasti dia akan membantumu. Sisanya untuk urusanmu di kampus, sebisa mungkin aku akan mengaturnya agar tidak terlalu mengganggumu saat penelitian."

"Baik, terima kasih atas bantuannya profesor ..."

Bab 3. Trouble Maker

SMA Langit Biru, sebuah sekolah swasta dengan fasilitas serba lengkap. Ada tiga golongan siswa yang bisa diterima di sini. Pertama, golongan anak orang kaya. Kedua, punya orang dalam. Ketiga, orang yang hoki seumur hidup dipakai.

SMA elite ini tidak jauh berbeda dari SMA-SMA pada umumnya, terdapat berbagai macam organisasi dan klub ekstrakurikuler. Ada banyak jenis golongan murid mulai dari golongan pacaran dan rebutan pacar, golongan tukang bully, golongan tukang bolos, golongan tukang cari muka terhadap guru, golongan yang masa bodoh, golongan pemalu seolah tidak tampak, golongan murid teladan, golongan yang fokus belajar, golongan yang sok populer, golongan tukang gosip dan masih banyak lagi.

Yang membuat sekolah ini berbeda adalah sistem pembagian kelasnya. Tidak terdapat pengelompokan bidang keilmuan seperti IPA, IPS maupun Bahasa. Semua murid mendapatkan pembelajaran yang sama, total pembagian ruang kelas tiap tingkat sampai dengan G. Jadi terdapat 7 ruang kelas di setiap tingkatan kelas. Mungkin terkesan lebih sedikit daripada sekolah lain, karena itu pun menyesuaikan dengan keadaan bahwa tidak banyak orang yang mampu untuk membayar biaya sekolah di sana.

Di pagi hari ini sebelum waktunya bel masuk, di sebuah koridor lantai dua terdapat 2 orang siswa yang sedang berbincang sambil melihat-lihat lapangan upacara. Mereka tahu bahwa waktu bel masuk sebentar lagi akan berbunyi, namun mereka masih asyik bergosip di sana.

"Udah tau belum?"

"Belum."

"Jangan dijawab dulu dodol! Biarin aku selesai ngomong dulu!"

"Sok atuh, emangnya soal apa?"

"Tadi di gerbang sekolah aku lihat si Trouble Maker ganti warna rambut lagi, jadi warna merah! Untung dia cantik, kalau enggak pasti bakal mirip sama bencong-bencong." (Trouble Maker yang dimaksud adalah Nisa)

"Yahh ... sekolah kita kan punya peraturan bebas soal warna rambut, cuma si Trouble Maker emang gila aja. Masa warnanya merah nyala total begitu. Dulu ungu, terus biru, kemarin pirang, sekarang merah. Habis ini kira-kira apa lagi?"

"Mungkin pelangi! Dia itu kan wibu, diajak ngomong aja kadang-kadang dia pake bahasa Jepang. Dia juga sering buat masalah, baru-baru ini juga. Katanya dia ngerusak motornya Pak Doni cuma gara-gara Pak Doni bilang kalau nggak boleh main konsol game pas pelajaran."

"Wahh ... gila! Motor sport dipreteli. Tapi bukannya kalau begitu harusnya diskors?"

"Dih, lupa ya kalau backingan dia nggak main-main? Katanya dia itu anaknya mafia."

"Serius? Bukannya ayah dia itu direktur perusahaan department store?"

"Sekarang memang businessman, tapi dulunya ketua mafia. Ada gosip katanya sekarang dia masih mafia, makanya agak serem. Udah anaknya mafia, wibu lagi. Mending lari kalau ketemu!"

"Seriusan? Padahal dia cute begitu, tapi emang iya sih kalau dia susah diatur sama guru."

"Iya serius, nggak ingat kejadian waktu dia masih kelas 10?"

"Aku kan anak pindahan."

"Eh, iya juga. Pokoknya dulu itu pernah satu kali waktu berangkat sekolah, dia pakai iring-iringan mobil, mirip presiden lah pokoknya! Pas turun dari mobil juga banyak orang-orang berotot pakai jas hitam baris cuma buat nyambut dia jalan. Heboh banget waktu itu!"

"Wahhh ... keren banget gak sih?! Mafia lohh! Gimana ya biar bisa temenan deket sama dia. Bagi tips dong, kamu kan murid lama di sini!"

"Gampamg kok kalau mau deket, ikutan jadi wibu sana!"

"Nggak mau ah, nanti dikira aku stress bau bawang. Cara lain aja yang lebih manusiawi, ada enggak?"

"Ada satu! Download game online, main sampai level diamond baru ajak dia mabar, pasti dia mau. Bahkan anak cupu aja tapi kalau jago nge game bakalan bisa temenan sama dia!"

"Oke-oke, game yang mana tapi?"

"Game ..."

TRING ... TRING ... TRING ...

Bel sekolah berbunyi 3 kali yang menandakan masuk kelas. Semua murid yang masih berada di luar berbondong-bondong masuk ke kelasnya masing-masing.

Di sisi lain, di dalam ruangan kepala sekolah. Seorang pria dewasa yang berseragam pegawai sipil berwarna cokelat sedang duduk di kursi kerjanya, namanya Burhan. Di depannya ada seseorang yang tidak lain adalah Ricky.

"Jadi kamu orang yang dimaksud oleh Profesor Arman?" tanya Burhan.

"Iya, pak kepsek bisa panggil saja aku Ricky." jawab Ricky dengan wajah datar.

"Hemmm ... Profesor sudah menjelaskan seluruh garis besarnya saat pertemuan waktu itu, tapi perlu kamu ingat satu hal. Nisa yang merupakan subjek itu sedikit berbeda dari murid-murid lain, jadi jika dengar gosip apa pun tentang dia jangan dipercaya ya."

"Gosip? Gosip seperti apa?" tanya Ricky dengan tatapan curiga.

"Nanti kamu juga akan tahu sendiri. Biasalah, anak-anak dalam masa puber selalu melebih-lebihkan sesuatu. Tapi berhubungan soal itu ... kamu nikmati saja saat-saat di sini, aku yakin di hari pertamamu ini kamu pasti sudah populer."

TOK TOK TOK!!

Suara pintu diketuk yang seketika membuat Ricky dan kepala sekolah menoleh.

"Oh, wali kelas XII F sudah datang."

Wali kelas yang dimaksud kemudian memasuki ruangan setelah di persilakan. Kemudian dia duduk di kursi yang bersebelahan dengan Ricky, nama wali kelas itu adalah Efendi, para murid akrab memanggilnya dengan sebutan Pak Pendi, dia juga mengampu mata pelajaran geografi. Ciri khas nya adalah bicara dengan suara lantang, berkacamata dan berkumis agak tebal.

"Ada keperluan apa bapak memanggil saya?" tanya Pak Pendi namun melirik ke arah Ricky.

"Oh itu, perkenalkan mahasiswa yang ada di sebelahmu. Namanya Ricky, dia mahasiswa Jurusan Ilmu Pendidikan MIPA yang melaksanakan PPL di sini. Dia juga adalah kerabat jauhku yang dibesarkan di luar negeri."

"..." Pak Pendi kemudian melihat Ricky dari atas sampai bawah.

Baru pertama kali sekolah ini menerima mahasiswa PPL, tapi tidak mengherankan juga mengingat dia kerabatnya kepala sekolah.

"Pak kepsek, apakah hanya dia seorang?" tanya Pak Pendi lagi.

"Iya. Dan aku memanggilmu karena kamu wali kelas XII F, jam pelajaran ke-2 kelas itu kan biologi. Nah, kelas itu adalah kelas pertama yang akan dibimbing oleh nak Ricky. Karena hanya dia seorang, rencananya dia hanya akan membimbing kelas XII F dan XII G, dan mata pelajaran yang akan dia ajarkan antara lain matematika, fisika, kimia dan biologi. Aku juga minta tolong untuk sampaikan hal ini pada guru mapel yang aku sebutkan tadi. Nanti kalian bisa berdiskusi soal pembagian jam pengajaran. Oh iya, tolong sekalian ajak dia berkeliling ya!"

"Baik pak," jawab Pak Pendi yang sekali lagi melirik ke arah Ricky.

Haiss ... Aku kasihan, mungkin saja dia akan terlibat masalah dengan murid gila yang satu itu.

Pembicaraan pun berakhir. Sesuai dengan permintaan kepala sekolah, Pak Pendi memandu Ricky untuk berkeliling dan memperkenalkan setiap ruangan yang berada di sekolah. Mulai dari ruang kelas, lab komputer, lapangan olahraga, ruang kesehatan, kantin, perpustakaan, taman, dan lain-lain.

Setelah selesai memperkenalkan lingkungan sekolah, Pak Pendi mengajak Ricky untuk berkenalan dengan guru-guru yang bersangkutan yang sebelumnya disebutkan oleh kepala sekolah. Awalnya para guru itu juga sedikit bingung karena sekolah menerima mahasiswa PPL, namun kebingungan mereka terjawab saat Ricky menjelaskan bahwa dia adalah kerabat dari kepala sekolah.

TRING ...

Bel sekolah berbunyi satu kali yang menandakan bergantinya jam pelajaran. Ricky yang sudah siap memulai penelitian rahasianya kini sangat bersemangat, dia berjalan menuju ke kelas XII F didampingi oleh Pak Pendi.

Sesampainya di ruang Kelas, Pak Pendi masuk terlebih dahulu, sedangkan Ricky masih menunggu di luar.

"Selamat pagi semuanya!" sapa Pak Pendi yang membuat seluruh murid di kelas melongo kebingungan, sebab ini jam pelajaran biologi, bukan geografi.

Salah satu siswi yang duduk di bangku paling depan mengangkat tangan. "Pak, ini bukan jam nya bapak mengajar."

"Iya, saya tahu." Pendi kemudian menoleh ke arah pintu. "Kamu boleh masuk!"

Ricky berjalan memasuki kelas dan berdiri tepat di samping Pak Pendi. Semuanya murid langsung kaget sekaligus heboh, ada yang merasa heran dan terpesona seperti layaknya sekarang.

"Kyaaa! Siapa sih?! Ganteng banget mirip Tehyunk!"

"Ihhh bukan! Tapi mirim Miwon!"

"Oppa! Salang haeyo!"

"Oppa, sarang tawon." (gumam seseorang yang iri)

"Kakak buka pendaftaran buat jadi pacarnya kakak dong!"

"Nama igeh kakak apa?!"

"Kakak minum susu apa biar tinggi?! Susu MSG?"

"Kakak jadi sugar daddy aku dong!"

"Kalian semua tenang!!!" teriak Pak Pendi sampai urat lehernya terlihat.

Seketika suasana menjadi hening, namun beberapa siswi yang duduk semeja masih saling berbisik.

"Huft ... Kalian dengarkan baik-baik! Orang di sebelah bapak ini namanya Ricky, dia adalah mahasiswa dari Universitas Grand SC yang akan melaksanakan kegiatan PPL di sini. Dia akan menemani kalian di jam pelajaran matematika, fisika, kimia dan biologi. Tetapi tidak pada setiap jam pembelajaran, karena guru mapel juga akan masih membimbing kalian."

"Mungkin di antara kalian merasa bingung karena sekolah kita mendadak menerima mahasiswa PPL. Tetapi dia punya privilege sehingga bisa berada di sini." Pak Pendi menoleh ke arah Ricky. "Sekarang perkenalkan dirimu sendiri."

"Baik," ucap Ricky sambil mengangguk.

Ricky lalu memperkenalkan diri lebih jelas lagi, para murid perempuan hanya mengangguk dan terpana, namun murid laki-laki berdecih kesal karena iri akan kepopulerannya yang melonjak.

Sebelum pergi, Pak Pendi mengingatkan kepada para murid untuk berlaku baik dan sopan untuk menjaga reputasi sekolah. Namun ada satu murid yang sudah tidak sanggup lagi dia hadapi, yaitu seorang siswi yang duduk di pojok kiri paling belakang.

Namun sedari tadi, tanpa disadari siapa pun, Ricky diam-diam mengamati dan mencari tahu soal siswi dengan rambut pirang yang disemir total. Tetapi dia belum menemukannya, karena kebanyakan disemir pirang tetapi hanya sebagian.

Hal yang pertama dilakukan Ricky adalah melakukan pendekatan dengan cara memanggil nama setiap murid dengan daftar presensi. Urutan nomor absen berdasarkan nama, tetapi pembagian kelas menggunakan sistem acak dan bukan nilai. Jadi di setiap kelas terdapat murid pintar dan kurang pintar.

Presensi berjalan lancar mulai dari inisial A, ketika dia sampai di huruf N, terjadilah kendala. Ricky tidak ambil pusing, karena itu artinya penelitian rahasianya sekarang sudah benar-benar dimulai.

...[TAHAP PERTAMA, BERTEMU DENGAN SUBJEK SECARA LANGSUNG]...

"Nisa Sania Siwidharwa!" panggil Ricky yang seketika membuat kelas jadi sunyi senyap.

"Nisa Sania Siwidharwa!" panggil Ricky lagi.

"Nisa Sania Siwidharwa!!" Ricky berteriak lebih keras namun sama sekali tidak ada yang menyahut.

"Oke, berarti dia ALPA!" ucap Ricky penuh penekanan.

Para murid mendadak saling berbisik, tatapan mereka terlihat ragu saat menatap seseorang yang tidur di bangku pojok. Akhirnya salah satu siswi yang duduk di bangku tengah memberanikan diri mengangkat tangan. Namanya Amira, ketua kelas.

"Anu ... Kak, yang kakak panggil ... orangnya di sana, jangan beri dia keterangan alpa." ucapnya dengan nada gemetar.

Sejenak Ricky termenung, dia menyadari bahwa emosi Amira saat ini adalah takut. Dia menghela napas lalu berjalan mendekati bangun paling pojok.

Dia menatap gadis berambut merah yang tertidur itu. Setelahnya dia berganti menatap seorang murid laki-laki yang duduk semeja dengan Nisa, model rambutnya pendek, memakai kacamata dan mukanya standar, persis seperti image anak cupu.

"Siapa tadi namamu?" tanya Ricky.

"A-Amien Arwana ... kak," jawab Amien, akrab dipanggil Min atau Amin.

"Tolong bangunkan yang di sebelahmu itu ya!" pinta Ricky yang langsung mendapat reaksi gelengan cepat dari Amin. "Hahh ..."

Mental orang ini ciut, sebaiknya aku bangunkan sendiri.

"Amien, bisa berdiri dulu dan menyingkir?" tanya Ricky.

"B-bisa," Amin langsung menuruti permintaan Ricky.

Ricky duduk di kursi Amin, kemudian bergumam, "Rambut merah, mirip jengger ayam."

Ricky lalu menggoyangkan bahu Nisa. "Bangun! Sekolah bukan tempat untuk tidur!"

"Ehmmm ... sekolah ini sudah aku anggap rumahku, aku bisa tidur semauku." ucap Nisa dengan suara lirih, matanya masih terpejam.

"Bangun! Sekarang masih jam pelajaran!"

"Ikan Arwana diam ... Nyonya-mu ini masih ngantuk ... Aku pancing pantatmu baru tau rasa ..." jawab Nisa sambil merubah posisi kepalanya yang menempel di bangku.

Sontak saja siswa lain menahan tawa. Amin memang mendapat julukan khusus dari Nisa, yaitu "ikan arwana" atau kadang hanya "ikan"

"Ck, harus dengan cara keras ya." Ricky merasa kesal lalu menggebrak meja sekeras mungkin yang membuat Nisa langsung terbangun.

BRAAKKK!!!

"SIALAN! Ikan hias kalengan gak tau diri!" teriak Nisa sekencang mungkin yang membuat seluruh isi kelas ternganga. Tetapi Nisa sendiri masih setengah sadar, dia salah mengira bahwa Ricky itu Amin.

"Loh? Sejak kapan ikan glow up jadi ganteng??"

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!