NovelToon NovelToon

Mendadak Mama

Awal mula kerumitan

“Aku Pulanggg!” Seru Gendis dengan nada ceria, ia sudah membayangkan ekpresi wajah kaget bercampur senang dari wajah kedua orang tuanya saat melihatnya. Kedatangannya kali ini memang ia rahasiakan, ia berencana menjadikannya sebuah kejutan untuk keluarganya.

Gendis selama ini tengah berkuliah di Singapore, sementara Ayah dan Ibunya tinggal di Semarang. Awal bulan ini, Gendis telah menyelesaikan tugas akhir dari kuliahnya secara teknis ia bisa di katakan telah lulus, tinggal menunggu waktu wisudanya. Jadi jarena itulah, ia memutuskan pulang, menghabiskan waktunya bersama keluarganya sambil membuat rencana yang akan ia ambil setelah lulus kuliah.

Gendis tengah dibimbangkan dengan keinginannya melanjutkan lagi kuliahnya ke S2 atau mencoba masuk ke dunia kerja. Ia akan mendiskusikan hal ini dengan keluarganya juga.

“Gendis pulang!!” Seru Gendis lagi karena belum mendapat jawaban dari dalam rumahnya.

Hening. Seruan Gendis tidak ada yang menyahuti.

Gendis mencoba melongok jendela rumahnya dan berusaha memutar kenop pintu rumahnya. Terkunci.

“Apa Bapak sama Ibu belum pulang ya?!” Gumam Gendis seraya melihat jam di layar depan handphonenya, yang menunjukan hampir pukul 6 sore.

“Apa masih dirumah bu Anggi ya?” Gumam Gendis lagi seraya mulai melangkahkan kakinya ke arah rumah besar nan mewah yang terletak persis disamping rumahnya.

...***...

Rumah besar dan megah yang didominasi warna putih dan emas ini masih tampak sama seperti yang ada diingatan Gendis. Meskipun ia hampir 4-5 tahun tidak berkunjung kesini karena kuliahnya di luar negeri, Gendis sekali melirik saja sudah dapat menilai jika rumah ini dirawat dengan sangat baik. Tentu saja sangat baik, karena ia sangat tahu, didalamnya terdapat berpuluh orang yang bekerja disana, terdiri ART, sopir dan satpam yang ikut membantu merawatnya.

Gendis nampak tersenyum cerah saat melihat sosok bayangan lelaki bertubuh agak gempal yang tengah agak kesulitan membawa tangga lipat.

“Pak Isman!” sapa Gendis ramah seraya melambaikan tangan. Pak Isman yang kemudian menoleh ke arah Gendis, nampak terkejut dan refleks menjatuhkan tangga yang tengah dibawa, untung Gendis cukup cepat berlari kearahnya membantu Pak Isman yang tampak terhuyung-huyung dan ikut terjatuh juga.

“Bapak nggak apa-apa? ada yang sakit nggak pak?” tanya Gendis khawatir seraya menilik kaki dan tangan pak Isman, khawatir ada luka-luka disana.

“Gendisss? ini beneran Gendis toh?” tanya Pak Isman dengan logat jawanya yang khas, wajahnya tampak kaget sambil terus menilisik menatap Gendis.

“Beneran loh Pak! Ini Gendis!” Sahut Gendis sambil sedikit tertawa. Kemudian Pak Isman spontan menjabat tangan Gendis erat-erat “Oalah.. nduk... selamat datang!”

Gendis tersenyum senang meilhatnya. Ia baru benar-benar terasa di Semarang, melihat Pak Isman yang sudah ia kenal sejak kecil benar-benar membawanya ke suasana pulang ke rumah.

“Pak Isman bawa-bawa tangga buat apa? udah alih profesi jadi tukang bangunan bukan sopir lagi?” tanya Gendis seraya membantu mengambil tangga yang tampak jatuh disampingnya.

“Oalah! Iya bener! Aku kan lagi disuruh bu Anggi ambil tangga! Waduh! Nanti keburu Non Shila makin ngamuk terus jatuh nanti!” Pak Isman tiba-tiba panik ketika diingatkan masalah tangga yang tengah ia bawa.

“Gendis bantuin pak Isman gotongan tangga yuk! oh ya.. Bapak sama Ibu mu juga ada di dalem! Ibu Anggi juga! Ayo.. ayoo sekalian ketemu semua!” Seru Pak Isman mengajaknya.

Gendis dan Pak Isman menyusuri jalan seraya membawa tangga, yang ia hafal betul itu sebagai jalan menuju kebun belakang halaman rumah mewah ini.

Disana terdapat banyak pepohonan, ada rambutan, jambu dan mangga dimana di masa kecilnya Gendis sibuk memanjati pohon-pohon itu yang membuatnya diteriaki khawatir oleh Ayah dan Ibunya.

Seperti flash back, kini Gendis melihat Ayah dan Ibunya tengah meneriaki membujuki seseorang untuk turun dari pohon mangga. Tidak.. tidak hanya ada Orang tua Gendis, bahkan ada Bu Iyem, Bu Tari, Pak Joko, Pak Tris dan bahkan ada Ibu Anggi.

Benar Kata Pak Isman, semua orang memang tengah berkumpul di Kebun Belakang.

Pak Isman dengan cepat menyandarkan tangga yang sudah susah payah ia bawa bersama Gendis. Ia dengan sigap menaikinya seraya membujuk “Non Shila cantik.. ayu.. ayoo turun sama Pak Isman! Jangan lama-lama diatas… khawatir nanti Jatuh! Sakit loh Non!”

“Iya… ayoo turun Non Shila sayang.. nanti Ibu buatin kue putu lagi yuk!” kali ini suara Ibu Gendis yang tengah membujuki.

“Atau mau keliling ke alun-alun lagi sama bapak yuk?” Kali ini Ayah Gendis yang bersuara.

“ENGGAK MAU!!!” Suara nyaring Shila kembali terdengar.

Semua orang tengah sibuk memandang ke atas pohon, sampai rasanya tidak ada yang sadar akan kehadiran Gendis disana.

Gendis ikut memicingkan mata, menatap keatas pohon mencari sosok yang saat ini tengah menjadi pusat perhatian semua orang. Tampak sesosok gadis kecil mungil berusia sekitar 6-7 tahun, berkulit putih dengan rambut panjang sebahu berwarna kecokelatan gelap. Anak yang cantik dan menggemaskan sebenarnya.

Tapi melihat ekspresinya sekarang terlihat sedikit menakutkan. Wajahnya tampak kesal mengeras dan matanya melotot bulat. “Pokoknya Shila nggak mau turun kalo belum ada Papa! Biar aja Shila jatuh!” teriak anak itu seraya menangis kencang.

“Jangan bilang begitu dong Shila sayang.. Eyang Uti jadi sedih loh! Papa mu kan masih kerja di luar kota sayang” Ucap Bu Anggi seraya terisak.

Gendis dapat mengambil kesimpulan kalau anak ini pasti keluarga Bu Anggi. Pantas saja keras kepala, tipikal anak dari keluarga kaya raya yang terlalu dimanjakan.

“POKOKNYA SHILA ENGGAK MAU!!!” Sahut anak itu lebih kencang lagi.

Semua orang tampak semakin gaduh dan cemas mengahadapinya. Masing-masing mencoba membujuki dengan macam-macam cara.

“Ya sudah Shila nggak usah turun!” Tiba-tiba Gendis berteriak tidak kalah keras menyahuti Shila.

Semua orang tampak kaget, mereka baru menyadari kehadiran Gendis disitu. Dengan cepat, Gendis memberi isyarat agar yang lainnya tetap tenang untuk tidak menyambut kehadirannya dulu.

“Terus saja disitu sampai malam! Mau tidur ditemani kelelawar dan ular ya?” sahut Gendis mencoba menakuti Shila.

“…” Shila tampak terdiam mendengar ucapan Gendis.

“Oke ya.. Shila kalo nggak mau turun ya terus aja diam-diam disitu ya.. nanti diambilin bantal juga deh buat bobok di pohonnya ya!” Seru Gendis lagi, seraya memberi isyarat menyuruh semuanya untuk pergi kedalam rumah.

Bu Anggi nampak berat meninggalkan Shila. Gendis tersenyum tenang seraya berbisik “Percaya sama rencana Gendis bu.. Shila pasti mau turun kok!”

“Semua orang mau kemana?” tanya Shila dengan suara sedikit panik saat melihat orang-orang mulai berjalan meninggalkannya.

“Ya mau masuk kerumah lah… ini kan udah sore menjelang maghrib! Jam nya kelelawar dan ular naik ke pohon! Hiiy.. Kami sih takut.. kayaknya cuma Shila deh yang berani.” Seru Gendis seraya membuat ekspresi ketakutan.

Dan dalam hitungan detik tangisan Shila tampak pecah “Huaaaa… Shila mau turun.. Shila nggak mau ketemu kelelawar dan Ularrr!!!”

...***...

“Ya ampun.. Tiga Jam? Tiga Jam anak itu diatas pohon? dan semua udah bujukin tapi nggak ada yang mempan juga?” Gendis tampak berdecak heran mendengar cerita kelakuan Shila hari ini.

“Hampir tiap hari anak itu pasti bikin ulah ya bu?” tanya Gendis kesal. Ia membayangkan Ibu dan Ayahnya dibuat repot oleh kelakuan bocah tengil itu.

“Nggak juga kok.. Shila itu begitu kalo perasaannya lagi nggak bagus aja. Kalo lagi ga ada apa-apa ya selayaknya anak-anak biasa yang manis dan baik.” sahut ibu dari arah dapur.

"Anak itu nggak ada pengasuh khususnya gitu Bu? Baby Sitternya?" tanya Gendis lagi.

"Belum ada yang bener-bener cocok.. udah berapa kali gonta-ganti."

“Bener-bener deh anak itu bikin repot semua orang aja!” gerutu Gendis lagi. Anak itu juga merusak moment kejutan Gendis untuk kedua Orangtuanya. Bahkan kepulangannya setelah hampir 4 tahun tidak bertemu jadi disambut biasa saja, karena energi orangtuanya sudah habis terpakai dalam menghadapi bocah nakal itu.

“Anak itu.. anak itu.. jangan kamu panggil gitu ah… panggil Shila gitu. Nama lengkapnya Ashila Zahran Wasesa. Dia itu Cucunya bu Anggi loh.” Jelas Ibu seraya menyodorkan segelas teh manis kepada Gendis.

“Bu Anggi udah punya cucu? cucu kandung?” tanya Gendis bingung. Wah banyak hal yang terjadi dan tidak ia ketahui setelah bertahun-tahun kemarin tidak pulang.

“Hus! Iyalah.. Cucu kandung.. menurut kamu!” kali ini Ayah yang menyahuti ucapan Gendis.

Sebentar.. Bu Anggi kan cuma punya 2 anak… yang paling kecil sebaya dengannya, Namanya Kaila, tengah kuliah di Jakarta. Sementara yang paling besar.. Mas Kaivan… iya sih beberapa tahun lalu ia mendengar berita pernikahannya yang dilangsungkan di luar negeri

“Huaaaa!!!!” tiba-tiba sebuah tangisan keras kembali terdengar di rumah ini. Membuyarkan pikiran Gendis yang tengah menebak siapa orang tua dari Shila.

Ibu dan Ayah segera bergegas menuju sumber suara tangisan itu, yang tidak lain adalah suara Shila.

Gendis kembali menatap jam di layar handphonenya yang menunjukan pukul 7 malam. “Ya ampun… baru juga setengah jam anak itu selesai dari drama turun pohon, sekarang udah nangis lagi!” gerutu Gendis tidak habis pikir.

Nampaknya kedua orangtua Gendis pulang terlambat malam ini. Padahal biasanya mereka sudah boleh pulang sejak pukul 5 sore.

Orang tua Gendis memang bekerja di rumah Ibu Anggi, istri dari keluarga konglomerat Indra Wasesa, yang dikenal memiliki banyak macam badan usaha, seperti penjualan furniture kayu yang berkualitas tinggi sampai properti. Ibu Gendis bekerja sebagai juru masak dan Ayahnya sebagai Sopir pribadi. Mereka sudah bekerja hampir 15 tahun di keluarga itu.

Ibu Anggi sangat baik, meski berasal dari keluarga kaya raya sifatnya selalu ramah dan lembut ke semua orang tidak terkecuali kepada pegawai dirumahnya. Begitu juga Pak Indra, meski ia lebih sedikit berbicara dibandingkan istrinya, namun Ia dikenal sebagai pribadi yang sangat jarang marah terhadap siapapun.

Kebaikan keduanya juga dirasakan oleh Gendis. Rumah yang kini ditempati keluarga Gendis juga hasil dari pemberian keluarga Wasesa. Bahkan Pak Indra secara khusus sangat mendukung dan menyokong secara materi segala kebutuhan pendidikan Gendis sehingga ia bisa menempuh kuliah di Singapore.

Pak Indra dan Bu Anggi adalah role model untuk Gendis dalam berkehidupan. Tetap rendah hati meskipun uang direkeningnya hampir tidak terhitung lagi.

...***...

“Kenapa lagi Shila Bu?” tanya Gendis saat melihat Ibunya dan Bu Iyem tengah membersihkan pecahan piring dengan berserakan nasi dan lauk pauk dimana-mana.

Gendis menebak pelakunya pasti lagi-lagi Shila.

“Non Shila nolak makan… piringnya dibanting” Bu Iyem tampak menyahuti dengan lesu.

Semua orang tampak kelelahan menghadapi kelakuan Shila.

Tampak Bu Tari tergopoh-gopoh membawa nampan berisi makan malam Shila yang baru. Tapi sesampainya di depan pintu kamar Shila ia tampak ragu-ragu mau memasukinya.

“Shila sebenarnya kasihan… sudah 2 hari ia menolak makan. Anak itu pasti sakit perutnya menahan lapar.” ucap Ibu Gendis sedih,

Gendis menghela nafas panjang. Bicara lapar, ia juga sebenarnya lapar. Bayangannya bisa makan malam bersama orangtuanya ikut kacau karena masalah Shila. Ampuun deh.. anak siapa sih itu.

“Bu Tari… coba biar Gendis yang kasih makan Shila” ucapnya menawarkan diri.

...***...

Begitu pintu kamar terbuka. Tampak sebuah gunungan selimut dikasur, yang Gendis yakin isinya adalah Shila yang tengah bersembunyi didalamnya.

Sekilas ia melihat sekeliling kamar Shila yang didominasi warna pink, mengingatkan akan kamar impiannya sewaktu kecil.

Perlahan ia menaruh nampannya dimeja samping tempat tidur shila. Dan tanpa bersuara, Gendis menyibakan gunungan selimut itu, dan benar saja tampak Shila yang tengah menangis tersedu-sedu dibalik selimut.

Gendis mendiamkan Shila yang menangis keras hampir selama 30 menit. Ia sama sekali tidak mencoba membujuk atau mengeluarkan kata apapun. Ia juga melarang orang lain masuk ke kamar Shila.

Shila yang sudah mulai mereda tangisnya, diam-diam melirik Gendis.

Gendis yang sadar akan ditatap oleh Shila kemudian tersenyum manis kepadanya. “Shila sudah selesai menangisnya? Capek? Mau minum?” ucapnya seraya menyodorkan segelas air.

Awalnya Shila mau menolaknya, tapi ternyata benar ucapan Gendis, Ia merasa capek dan haus karena habis menangis. Perlahan dia menerima gelas dari Gendis dan meminumnya.

Gendis masih tersenyum seraya menatap Shila yang tengah meminum air putihnya dengan cepat, ia yakin anak itu pasti sangat kehausan karena menangis terus-terusan. Selesai minum, Gendis menerima gelas kosong yang disodorkan oleh Shila.

“Sekarang Shila mau makan? ada ayam goreng loh…” Kali ini Gendis mencoba menawari makan kepada Shila.

Kali ini Shila menggeleng. Menolaknya.

“Beneran? Ada Nugget sama telur goreng juga loh? Shilla mau pilih yang mana?” Gendis kembali menyodorkannya makanan kepada Shila.

Shila kembali menggeleng.

Gendis pantang menyerah, kali ini ia mencoba menyuapkan sesendok nasi dengan potogan lauknya “Cobain sesuap dulu ya.. nanti kalo Shila nggak suka rasanya, Tante nggak bakal paksa lagi, oke?”

Dan entah seperti terhipnotis, shila bersedia disuapi oleh Gendis bahkan ia menghabiskan porsi makan malamnya dengan baik.

...***...

Shila sudah tampak jauh lebih tenang. Ia tampak diam saja saat Bu Iyem merapikan selimut yang tengah ia pakai. Shila tengah bersiap untuk tidur.

“Tante tadi siapa namanya?” tanya Shila tiba-tiba, membuat Bu Iyem agak sedikit kaget.

“Tante siapa?” tanya bu Iyem bingung.

“Tante yang rambutnya panjang cantik, yang nyuapin shila tadi itu loh?” tanya Shila gemas.

“Oh.. Tante Gendis maksudnya Non!” sahut Bu Iyem yang mulai paham.

“Rumahnya dimana?” tanya Shila lagi.

“Itu disamping rumah Non Shila loh… Tante Gendis itu anaknya Bu Tutik Sama Pak Arif loh” Jelas Bu Iyem panjang lebar. “Kenapa memangnya?”

“Nggak.. nggak apa-apa..” sahut Shila cepat seraya menarik selimutnya. “Udah Bu.. Shila mau bobok!” Shila tampak menghindari pertanyaan dari Bu Iyem.

...***...

TOK… TOKKK… TOKKKK…

TOK.. TOKKK…TOKKK…

“Iya Sebentar!! Tunggu sebentar!” Seru Gendis seraya menguncir rambutnya dengan asal, ia tampak terburu-buru menuju pintu depan. Siapa sih yang mengetuk pintu nggak sabaran pagi-pagi gini!

Ayah dan Ibu Gendis tengah ke pasar belanja bahan makanan. Gendis sendiri baru selesai mandi.

“Siapa ya?…” Ucapan Gendis terpotong saat melihat sosok orang dihadapannya. “Bu Iyem? Kenapa?”

Bu Iyem yang diajak bicara hanya tersenyum-senyum. “Ini loh Tante Gendis… ada yang mau ngajak main”

Gendis mengernyit heran mendengarnya “Main?”

Sampai sosok mungil tiba-tiba terlihat keluar dari bagian belakang badan Bu Iyem. Tampak Shila berjalan mendekati Gendis dengan menunduk malu-malu.

......***......

Shila

“Shila mau makannya disuapin sama Tante Gendis”

“Shila mau main sepedanya sama Tante Gendis”

“Pokoknya Shila maunya sama Tante Gendis!!!”

Tidak disangka strategi Gendis yang tidak mau membujuk saat Shila marah dan menangis justru membuatnya semakin cepat meredakan emosinya.

Biarpun dibalik sikap lembutnya, Gendis tetap menasehati bahkan tak segan memarahi Shila jika memang sikapnya salah, dan tak lupa memberi pujian dan pelukan hangat jika Shila melakukan hal baik.

Rupanya sikap Gendis inilah yang sangat disukai Shila dan membuatnya terus menempel kepada Gendis, ia hanya mau makan dan bermain jika ditemani oleh Gendis.

Sebenarnya Gendis tidak terlalu keberatan harus terus bersama Shila, karena pada dasarnya ia memang menyukai anak kecil. Lagipula jika Shila tidak sedang ngambek dan mau dinasehati sebenarnya ia anak yang manis dan menyenangkan.

Hanya saja rencana Gendis untuk mulai mencari info tentang beasiswa S2 ataupun info lowongan pekerjaan menjadi agak sedikit terhambat, karena hampir semua waktunya habis bersama Shila.

“Malem ini Shila mau boboknya sama Tante Gendis yaa…” Shila sudah bergelayut manja menarik-narik tangan Gendis.

“Ya ampun Shila… kamu itu seharian udah nempel terus loh sama Tante Gendis, kasian Tante Gendisnya capek loh! Tidurnya sama Eyang Uti aja ya?!” Ucap Bu Anggi membujuk Shila lembut.

Shila tampak mengerucutkan bibirnya, ekspresi khasnya saat ngambek. “Seruan sama Tante Gendis sebenarnya sih..” Gumam Shila kecewa.

“Memang apa serunya sih Tante Gendis itu?” kali Pak Indra yang menanyakan Shila.

“Seruuuu bangeeett.. Tante Shila itu asik kalo diajak main, diajak ketawa-ketawa sama cerita-cerita deh eyang!” Sahut Shila penuh semangat kepada kakeknya. “Makanya Shila maunya bareng-bareng sama Tante Gendis terusss”

Gendis hanya tersenyum tipis mendengar ucapan Shila.

"Oalah.. Gendis.. kamu yang sabar ya sama Shila." ucap Bu Anggi seraya mengelus lembut punggung Gendis.

Gendis hanya mengangguk kecil seraya krmabali tersenyum. "Ga apa-apa kok Bu Anggi.. Gendis juga suka kok sama Shila."

Shila yang mendengarnya langsung bersorak senang dan menghambur ke pelukan Gendis.

...***...

Lengan Gendis tampak kesemutan, membuatnya terbangun dari tidurnya. Dan benar saja, Shila tertidur dengan posisi memeluk dan menjadikan tangan Gendis sebagai bantalan.

Gendis tampak mengerjapkan matanya yang masih agak mengantuk. Ia mengingat sebelumnya membacakan Shila sebuah buku dongeng, tapi ternyata setelah Shila tertidur, ia juga ikut tertidur.

Perlahan ia mengangkat lengannya sepelan dan selembut mungkin, agar tidak membangunkan Shila. Gendis teringat rencananya untuk browsing info beasiswa S2 dan lowongan pekerjaan yang terus tertunda sejak kemarin. Jadi ia memutuskan akan melakukan browsing dimalam hari setelah Shila tertidur.

Melihat ekspresi Shila membuat Gendis tanpa sadar tersenyum. Semakin lama bersama bukan hanya Shila yang sangat menyukai Gendis, begitupun sebaliknya, bahkan perlahan Gendis mulai menyayangi. Apalagi jika mengingat kisah Shila yang terpaksa menghadapi perceraian orangtuanya di usianya yang baru menginjak 6 tahun.

Wajah Shila yang cantik ternyata adalah Gen yang menurun dari ibunya, ia adalah seorang selebriti terkenal Anna Marcella, yang belakangan baru Gendis tahu saat ini tengah menjalani terapi rehabilitas akibat ketergantungan Narkotika. Mungkin karena itu juga salah satu pencetus perceraiannya dengan Kaivan, putra dari bu Anggi dan Pak Indra.

Berita perceraian keduanya menjadi topik panas diberbagai portal media, mengingat keduanya juga bukan dari kalangan biasa, seorang selebriti yang menikah dengan seorang crazy rich Semarang.

Karena itu pula Shila dipindahkan ke Semarang untuk sementara, agar tinggal bersama kakek dan neneknya. Yang sempat Gendis dengar dari Bu Anggi, Shila sempat mengalami gangguan panik, karena hampir setiap hari melihat kerumunan wartawan berkumpul dirumahnya. Tak heran sifat Shila menjadi sangat sensitif dan menjadi agak pemarah.

Gendis merasa kehidupan masa kecilnya kurang beruntung karena tumbuh di keluarga sederhana, sementara ia terus bersekolah di sekolah Internasional karena mendapat beasiswa. Meskipun ia bersyukur masih dihargai oleh teman-temannya karena termasuk siswa yang pintar, namun tekanan perbedaan sosial terus terasa berasa.

Kini Gendis melihat Shila yang sama sekali tidak perlu memusingkan tekanan sosial, berkecukupan sejak dini namun justru tidak mendapat kebahagian dirumahnya. Jauh dari Ibu dan Ayahnya dan malah justru sibuk menempel pada dirinya yang padahal bukan siapa-siapa.

Perlahan Gendis mengelus lembut kepala Shila. Siapa sangka anak sekecil ini mengajari sesuatu hal juga untuknya yang jauh lebih besar. Rasa bersyukur.

Saat akan beranjak bangun dari ranjang Shila, Gendis merasa melihat pantulan sosok seseorang dari pantulan cermin meja rias disampingnya. Tiba-tiba Gendis merasa merinding. Masa dirumah semewah Bu Anggi ada penyusup, kan didepan ada Pak Anwar dan Pak Faiz sebagai petugas keamanan… atau jangan-jangan hantu?

Perlahan Gendis meraih raket badminton yang terletal persis disamping ranjang Shila, beruntung Bu Iyem belum sempat merapikannya usai ia gunakan bermain bersama Shila tadi Sore.

Dengan cepat Gendis mengambil raket dan bersiap memukul ke arah sosok itu. Ia tidak peduli itu penyusup, pencuri atau bahkan hantu sekalipun!

Buk! Buk!

“Ya! Pergi Kau!!!!” Teriak Gendis histeris.

“Ya! Ya! Sakit! Aduh! Aduh! Stop! Gendis! Ini aku!!” sebuah suara maskulin tampak berteriak dalam remang-remang gelap dikamar Shila.

Gendis tidak ambil peduli dan masih memukuli sosok dihadapannya itu. Eh.. sebentar.. kok dia kenal nama aku?

...***...

“Mas Kaivan.. Maaf..” Gendis hanya bisa menunduk dan menggigit bibirnya. Perasaannya campur aduk antara merasa bersalah dan malu.

“…” Kaivan masih terdiam tidak menanggapi. Ia masih sibuk meringis-meringis setiap Bu Anggi mengkompres lebam didahinya akibat pukulan raket Gendis.

“Udah nggak apa-apa.. Gendis kamu bener kok! Siapa suruh Kaivan diem-diem mindik-mindik masuk kamar Shilla malem-malem! Bikin Kaget orang aja!” Pak Indra nampak mengusap pundak Gendis, seolah menenangkan rasa bersalahnya.

Kaivan mendengus kesal. “Masa aku salah masuk kamar Shila?! Shila itu anak aku! Lagian mana aku tahu ada Gendis di kamar Shila!”

Gendis semakin tertunduk mendengar gerutuan Kaivan. “Kan aku juga nggak tahu Kalo itu mas Kaivan.. soalnya kan gelap”

“Ya makanya nyalain lampunya dulu sebelum mukulin orang!” sahut Kaivan tidak mau kalah

“Hus! udah dong Kaivan marahnya ke Gendis! Kalian udah lama nggak ketemu kan? masa sekalinya ketemu malah berantem!” Lerai Bu Anggi mencoba menenangkan Kaivan.

“Iya kecilin suaramu juga Kaivan! Nanti anakmu Shila bisa bangun loh!” Pak Indra ikut mengomentari Kaivan.

“Sebenernya yang anaknya Ibu sama Bapak itu aku apa Gendis sih! Terus aja belain Gendis!” Kaivan semakin menggerutu.

Diam-diam Gendis tertawa kecil mendengarnya. Gerutuan Kaivan masih sama seperti dulu, sifat tidak mau kalahnya juga masih sama. Pantas saja Shila keras kepala, ternyata memang turunan dari Bapaknya.

Penampilannya juga tidak jauh berbeda, hanya saja perawakan Kaivan terlihat lebih kurus, kantung matanya juga begitu jelas tampak. Ia terlihat kelelahan… entah lelah bekerja atau lelah psikologis menghadapi perceraiannya kemarin.

...***...

“Kok Tante Gendis terus sih yang disuapin cokelatnya! Papa mana?” Kaivan tampak merajuk melihat Shila terus menempel kepada Gendis. Benar kata Ibunya, Shila super lengket dengan Gendis.

“Ih Papa jangan kayak anak kecil dong! ini.. ini Shila bagi satu… tapi yang dua buat tante Gendis!” Seru Shila meledek Papanya. Selanjutnya adegan Kaivan yang berlari-lari mengejar Shila, sementara Shila yang dikejar sibuk bersembunyi di balik Gendis.

Diam-diam Bu Anggi dan Pak Indra menyaksikannya penuh haru. Entah kapan terakhir mereka mengingat anaknya dan cucunya itu terlihat tertawa lepas, baik Shila dan Kaivan terlihat lebih ceria saat ini. Kehadiran Gendis diantara keduanya terlihat melengkapinya.

...***...

Mama Untuk Shila

“Gendis itu cocok jadi Mamanya Shila loh Kai..” ucap Bu Anggi sedikit berhati-hati. Ia terus memperhatikan ekspresi wajah Kaivan, anak laki-laki satu-satunya itu.

Kaivan masih terdiam.

“Lihatlah perubahan sikap Shila saat bersama Gendis, jauh lebih penurut dan emosinya terkontrol. Kamu tahu sendiri sudah berapa kali Shila ganti pengasuh, semuanya tidak ada yang sanggup berlama-lama dengan Shila. Cuma Gendis yang paling didengar sama Shila saat ini.” Kali ini Pak Indra yang angkat bicara, mencoba membuka jalan pikiran Kaivan.

Kaivan menghela nafas panjang. “Kalo begitu jadikan Gendis pengasuh Shila aja Bu, Pak.. nggak mesti jadi Mamanya juga kan?!”

Bu Anggi mengelus pundak Kaivan dengan lembut. “Gendis beda Nak… yang Ibu dan Bapak maksud bukan cuma karena Gendis pintar mengurus Shila, tapi juga cocok menjadi pendamping kamu. Jadi istrimu Kaivan.”

Ekspresi wajah Kaivan kembali kaku.

“Toh kalian berdua kan sudah kenal dari kecil, lihat juga Gendis yang paling tahan sama sikap dingin dan keras kepalamu itu. Mau dicari dimana lagi gadis sebaik Gendis?” Bu Anggi kembali menjabarkan alasannya.

“Ibu tahu, Gendis masih 21 tahun Bu, anak itu baru lulus kuliah. Dia itu anak yang pintar, pasti banyak cita-citanya, jangan paksa dia tiba-tiba harus segera menikah dan mengurus anak. Bahkan usianya sama Aku jaraknya hampir 13 tahun loh bu..” Kaivan mencoba menjelaskan alasan penolakannya.

“Lagipula Aku belum tertarik nikah lagi Bu…” ucap Kaivan pelan.

“Kamu itu udah bercerai dua tahun lamanya loh Kai.. jangan menutup diri terus dong.. kasihan sama Shila dan dirimu sendiri” Ucap Bu Anggi dengan nada sedih. “Ibu yakin Gendis itu beda sama Anna”

“Tapi Bu…” Ucapan Kaivan terpotong.

“Yo wiss.. dipikirkan dulu baik-baik Kai… Ibu dan Bapak toh kan juga nggak maksa mesti sekarang juga kamu itu nikahin Gendisnya!” Ucap Pak Indra Bijak menengahi adu argumen antara Istri dan Putranya.

...***...

“Tuh lihat Pak… anak sebaik dan sesabar Gendis kok ya nggak dilirik Kaivan sih!” Gerutu kesal bu Anggi kepada Suaminya. Keduanya tengah melihat Gendis yang tengah mengajari Shila bermain bola bekel.

“Biarpun masih muda, Gendis itu telaten kok ngurusin Shila, coba lihat sekarang badan shila lebih kelihatan berisi, sehat ya karena makannya teratur diurusin sama Gendis.”

Pak Indra hanya terkekeh mendengar ucapan Istrinya. Ia tahu betul Bu Anggi sangat menyukai Gendis, bahkan dari dulu. Sama seperti dirinya juga. Mereka selalu menganggap Gendis adalah putri mereka juga. Apalagi jika membayangkan saat ini Gendis berkesempatan menjadi menantu mereka, tambah senang hati keduanya.

“Ya tapi kalo Kaivannya nggak mau ya masa di paksa Bu?” ucap Pak Indra bijak.

“Bukan nggak mau.. tapi belum mau! Kaivan aja yang belum sadar-sadar” Ucap Bu Anggi gemas yang hanya ditimpali tawa kecil dari Suaminya.

Dalam hati Bu Anggi ia tidak bisa juga mengharapkan Pak Indra untuk mendukung rencananya menjodohkan Kaivan dengan Gendis. Karena, Ia tahu betul suaminya bukan tipe yang suka memaksa dan mengatur anak-anaknya.

Pip! Pip!

Tiba-tiba ponsel bu Anggi berdering. Tertera nama Kaila dilayarnya. Putri keduanya yang tengah berkuliah di Jakarta. Bu Anggi dengan sumringah mengangkat teleponnya. Sebuah ide baik melintas dikepalanya.

...***...

“Tante Kailaaaa!!!” Pekik Shila senang, seraya menghambur ke pelukan gadis berpostur tubuh mungil dengan potongan rambut pendek sebahu.

Kaila Adzani Wasesa, yang tidak lain adalah adik kandung Kaivan.

Gendis yang tengah menemani Shila membaca buku dibangku taman, ikut tersenyum mendekati keduanya. “Apa kabar Kaila?”

Kaila yang mendengarnya tersenyum sumringah dan memeluk Gendis. Sahabat semasa sekolahnya sejak SD, keduanya hanya terpisah saat dibangku Kuliah. “Gendisss… Gue kangen bangettt.. ngettt..”

Tapi tak lama Kaila kemudian mencubit pinggang Gendis dengan gemas, yang membuat Gendis spontan meringis kesakitan.

“Kenapa sih Lo udah selesai skripsi aja? kecepetan tau nggak! Kan Gue jadi ditanya-tanyain kapan lulus juga sama nyokap bokap Gue!” gerutu Kaila kesal.

Gendis hanya tertawa menanggapinya. Ia cukup takjub mendengar gaya bicara Kaila cukup berubah, logat bicaranya sudah sangat seperti orang Jakarta.

“Sok gaul banget kan emang Kaila ini! Baru juga kuliah di Jakarta empat tahun tapi udah berasa jadi orang sana beneran kayaknya dia” ledek Bu Anggi seolah tahu apa yang dipikiran Gendis.

Kaila yang mendengarnya hanya menegerucutkan bibirnya kesal. Ekspresi yang mirip dengan wajah kesal Shila.

“Kaila.. Ibu mau ngomong sebentar coba..” bisik Bu Anggi kepada Kaila.

...***...

“Apa? Ibu mau jodohin Mas Kaivan sama Gendis? Memangnya mas Kaivan mau?” seru Kaila usai mendengarkan cerita Ibunya.

“Ya itu.. Mas mu itu kan kerasnya minta ampun, dia nolak mentah-mentah. Segala bilang Gendis masih muda, jarak usia mereka jauh. Ada-ada aja alasannya…” keluh Bu Anggi.

Kaila mengangguk-angguk. Sebenarnya alasan Kakaknya itu ada benarnya juga. Gendis memang masih muda, ia masih seusia dengannya. Untuk Kaila membayangkan menikah saja sudah sulit, ditambah lagi harus menjadi Ibu untuk anak usia 6 tahun.

“Iya Ibu tahu… Gendis masih muda, pintar juga pasti masih banyak cita-cita kariernya. Tapi Ibu lihat Gendis itu cukup dewasa, bahkan jauh dewasa dari Kamu. Jadi ibu rasa ia cukup mampu jadi istri Mas mu dan ibunya Shila” Bu Anggi kembali meyakinkan Kaila, ia harus membuatnya berada dipihak mendukungnya.

“Ya… ga usah pake nyindir banding-bandingin dewasa sama aku dong Buu..” Rajuk Kaila kesal. “Tapi Gendisnya gimana? Dia mau sama Mas Kaivan?”

Bu Anggi nampak menggaruk kepalanya yang tidak gatal. “Ibu belum nanyain Gendis sih.. tapi bukannya kalo masalah kayak gini harusnya pihak lelaki yang maju duluan? Kalo Kaivannya maju kan Gedis jugan nanti mau juga.”

“Ini nih.. Ibu masih kuno berarti” ucap Kaila meledek ibunya. “Yang mau dijodohin itu kan dua orang bu.. Mas Kaivan sama Gendis, lah kalo Mas Kaivannya mau tapi Gendisnya nolak ya sama aja..”

“Jadi Ibu mesti gimana?” Jawab bu Anggi bingung.

“Masalah hati bu.. nggak usah banyak dipikirin tapi dirasain buu…” Ucap Kaila sok tahu. “Udah Ibu nggak usah nanya-nanyain lagi ke Mas Kaivan atau ke Gendis.. kita itu cukup bikin pancingan-pancingan diantara keduanya, kalo makin dipaksa makin jauh nanti mereka. Ibarat ikan biar mereka yang makan umpannya dan sadar sendiri.”

Kaila diam-diam tersenyum memikirkan berbagai ide dikepalanya. Ia tidak menyangka rencana perjodohan antara Kakaknya dan sahabat kecilnya ini terasa menyenangkan.

...***...

“Enak bangettt kamu mas.. main handphone aja bukan nemenin anaknya main noh!” gerutu Kaila saat mendapati Kaivan duduk menatap handphonenya di taman belakang.

“Sembarangan kamu! Ini Mas lagi ngecek email tahu, kerja!” Kaivan menyahuti ucapan Kaila tanpa mengalihkan pandangannya dari layar handphonenya.

“Mas kamu nggak capek apa bolak-balik Semarang- Jakarta tiap minggu?” tanya Kaila sambil menatap wajah Kakaknya yang memang benar kata ibunya, kantung mata Kaivan semakin jelas nampak, menandakan kelelahan disana.

“Lumayan.” sahut Kaivan singkat.

“Yah.. habis gimana ya.. Kalo Shila dibawa ke Jakarta nanti nggak ada temennya kalo aku kerja, kan kamu juga sibuk kuliah. Kalo Ibu atau bapak yang aku bawa buat nemenin Shila, urusan mereka juga banyak disini. Jadi aku yang ngalah, Shila yang tinggal disini dan biar Mas yang bolak-balik ke Semarang.” jelas Kaivan.

“Makanya cari temen buat Shila dong.. temen buat kamu juga mas..” ucap Kaila pelan.

Kaivan menghela nafas panjang. Ia sepertinya tahu kearah mana pembicaraan adiknya ini. “Kamu pasti udah diceritain Ibu deh masalah perjodohan Mas sama Gendis ya? Disuruh Ibu bujukin Mas ya?”

Kaila mengangkat bahunya pelan. “Tapi coba dipikir deh Mas, omongan Ibu ada benernya juga loh.. Kalo kamu ada pendamping, Shila kan jadi ada yang nemenin, kamu bisa tinggal bareng Shila dan nggak jadi capek-capek bolak-balik Jakarta-Semarang teruss..”

“Dek kamu kan tahu..” ucapan Kaivan terpotong. “Iya tahu.. Gendis masih muda.. masih seumuran Aku juga, tapi kan Gendis juga bukan gadis dibawah umur juga Mas.. masalah perbedaan umur kalian yang jauh.. aah.. itu mah udah ga jaman Mas.. di luar negeri dan bahkan mungkin di Indonesia ada juga yang jarak antara suami istri sampai 20 tahun loh.. happy.. happy aja tuh…”

Kaivan terdiam mendengar ucapan Kaila.

“Sekarang itu yang penting coba lihat Shila dulu deh Mas.. dia seneng banget loh sama Gendis. Kamu sadar nggak sih Mas, Shila jadi jauh lebih ceria dan penurut kalo didekat Gendis?” Kaila kembali menasehati Kakaknya.

“Lagian masa kamu nggak tertarik sama Gendis sih Mas? Gendis itu manis dan cantik loh!” goda Kaila seraya mengangkat dagunya sebagai isyarat menunjuk kearah Gendis yang tengah menemani Shila naik sepeda.

Dan entah mengapa adegan Gendis tertawa riang dengan rambut panjang hitamnya yang sesekali tertiup angin seperti adegan slow motion dalam sebuah film. Bohong kalau Kaivan tidak mengakui Gendis itu menarik.

...***...

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!