NovelToon NovelToon

Pak Guru, Love You

Pertemuan Pertama.

"Hosh... hosh... hosh, buruan Nina, lu mau ketangkep sama tuh lambrador-lambrador dari SMA Pembangunan!" seruku pada sahabatku Nina.

Kami berdua sedang berlari menghindari siswi-siswi centil yang sedang dalam mode gahar. Tapi temanku ini dari tadi mengeluh dan menghentikan langkah nya. Aku kesal sekali, ingin sekali aku meninggalkan nya dan lari saja dari tempat ini. Tapi dia masih punya hutang mie ayam padaku. Dan aku tak mau rugi, kalau dia sampai babak belur aku tak akan dapat mie ayam ku dan harus menjenguknya.

Belum lagi jika dia tertangkap oleh siswi-siswi itu, dia bisa babak belur di pukuli. Nanti aku pasti terbawa juga dan lagi-lagi harus masuk ke dalam ruang BK dan bertemu dengan Bu Ida. Kasihan sekali telingaku terus mendengar teriakan dan suara cempreng dan tidak jelas notasinya itu.

"Tinggalin aja gue, paling juga bonyok!" ucap Nina pasrah.

"Ini si Dewi sama Yusita juga gak setia kawan banget sih, mereka yang ngajakin nyamperin Delia itu, mereka yang kabur duluan begitu lihat tuh si Delia bawa pasukan satu kelas. Payah!" keluh ku mengumpat dua temanku yang lebih dulu kabur meninggalkan aku dan juga Nina yang saat itu masih beli asinan kedondong.

"Iya, sayang banget asinan kedondong tadi. Ke buang gitu aja!" ucapnya menyesalkan asinan yang tadi terjatuh saat mereka berlari.

Aku makin kesal pada Nina, kenapa ketiga teman ku ini gak ada yang beres sih. Capek ati rasanya.

Aku mendengar suara derap langkah, aku yakin itu Delia dan teman-teman nya.

"Nina kalau lu gak lari sekarang, gue gak bakal traktir lu bakso mang Udin lagi!" teriak ku pada Nina.

"Hah, bakso mang Udin?" tanya nya sambil mengambil ancang-ancang untuk berlari.

"Ayo!" lanjutnya kemudian.

"Woi, berhenti kalian!!" teriak teman Delia yang badannya kekar dan berambut ala Demimor.

"Mampus kita, ayo Nina!" seru ku lalu menarik tangan Nina dan mengajaknya berlari.

"Woi, jangan lari!!" teriak mereka lari.

Aku tak perduli oada teriakan mereka, aku menarik tangan Nina yang sudah ngos-ngosan. Temanku ini memang adalah siswi yang bertubuh lumayan tambun. Wajar jika dia tak kuat berlari jauh.

Aku melihat sebuah rumah yang pintunya terbuka, tanpa pikir panjang aku menarik tangan Nina dan masuk ke rumah itu. Aku menutup pintu rumah itu.

"Rasti, ini rumah siapa? kenapa kita masuk kesini?" tanya Nina yang masih ngos-ngosan dan langsung duduk di sofa yang ada di rumah itu.

"Ssstt!" aku meletakkan jari telunjuk ku di depan bibirku sendiri. Memberi isyarat pada Nina agar dia menutup mulutnya itu.

Aku kembali melihat ke arah luar dari jendela. Aku lihat Delia dan teman-teman nya berhenti tepat di depan rumah yang ada aku dan Nina di dalamnya.

"Heh, gila! cepet banget ilang nya tuh angka sepuluh!" keluh teman Delia yang wajahnya tampak sangat.

Aku saja yang kata orang dan teman-teman ku tomboi tidak berani memotong rambut ku seperti teman Delia itu. Dan otot tangan nya yang terlihat karena lengan baju sekolah nya di gulung itu seperti otot laki-laki. Aku seperti sedang melihat Cris John, di depanku. Aku bergidik ngeri melihatnya. Benar-benar bisa babak belur kalau berhadapan dengannya.

"Angka sepuluh?" tanya teman Delia yang berambut keriting seperti Arie Kriting salah satu stand up comedian favorit bi Kiki, asisten rumah tangga ku di rumah.

"Iya, yang satu cungkring. Yang satu tahun depan gue yakin bakalan jadi Nunung Kw!" jawabnya asal.

"Pfftt!" aku berusaha menahan tawa. Selera humor si sangar itu boleh juga. Sepertinya dia bisa jadi teman arisan Ibu tiriku. Dia juga menyukai Grup Komedi Srimulat. Aku kesal pada ayah ku kenapa bisa menikahi ibu tiri aneh sepertinya. Belum lagi kakak tiri ku yang narsis nya ngalahin Ge Pamungkas.

Aduh, kenapa aku malah ngabsen para pelawak sih! aku masih melihat ke arah luar sebelum mendengar seseorang menegur kami dengan suara lantang dari arah belakang ku.

"Siapa kalian?" tanya suara itu.

'Huh, pasti yang punya rumah. Plis ya Tuhan, lembutkan hatinya supaya jangan usir gue sama Nina dulu sebelum Delia and the gengs pergi !' batin ku berdoa sebelum aku membalikkan tubuh ku menghadap ke arah sumber suara itu.

Aku melihat ke arah Nina yang bengong, eh bukan bengong, lebih tepatnya terpana. Aku makin penasaran, apa dia lihat hantu?

Aku melihat ke arah sumber suara itu, dan ternyata...

"Ganteng nya... ups!" aku menutup mulut ku sendiri setelah mengatakan kalimat itu.

Pria bertubuh tegap dan lumayan tinggi itu juga menatapku dengan tatapan heran, dia bahkan melihat ku dari ujung rambut sampai ujung sepatu ku yang kotor karena aku tadi sempat menginjak jalanan yang becek saat berlari. Namanya juga melarikan diri, mana sempat aku milih jalan yang gak becek.

Tapi cukup lama matanya melihat ke arah sepatuku.

"Hah, Astaga!" pekik ku lalu melihat ke arah sepatu Nina juga.

Aku baru sadar kalau sepatu ku dan sepatu Nina sudah mengotori karpet pria ganteng ini.

"Keluar kalian!" pekik pria ganteng itu.

Nina nampak gemetaran, aku memilih untuk menggunakan otak kecilku yang gak ada setengahnya dari kepintaran Yusita ini.

"Maaf Om!"

"Om?" dia bertanya dengan nada tidak suka sepertinya.

'Aduh, kayaknya dia marah gue panggil dia Om. Panggil apa ya?' batin ku panik.

Aku sungguh tak ingin di usir olehnya saat ini. Benar-benar bisa babak belur aku nanti.

"Maaf pak, kami di kejar anj*ing! karena ketakutan kami lari kesini. Karpet ini nanti saya akan cuci. Tapi tolong jangan usir kami sampai anj*ing yang mengejar kami itu pergi!" ucapku meyakinkan pria itu. Aku juga melirik ke arah Nina dan mengerlingkan mataku padanya agar dia membenarkan apa yang ku katakan.

"I.. iya pak, di luar ada guguk, Nina takut. Nih tangan sama kaki Nina gemetaran!" ucap Nina yang memang sedang gemetaran.

Seperti nya pria itu masih tidak percaya pada apa yang aku dan Nina katakan, dia berjalan mendekatiku. Oh salah, dia mendekati jendela.

Aku tidak mau ketahuan, refleks aku memeluknya.

"Jangan usir kami dulu, kami takut!" ucap ku.

Aku mengutuk kebodohan ku sendiri, bisa-bisa nya aku memeluk pria ini. Aku bahkan tidak mengenalnya. Tapi aneh, pria ini tidak mendorongku.

Deg... deg.. deg...

Aku mendengar suara detak jantung, tapi jantung siapa? jantung ku atau jantung nya ya? Apa yang kupikirkan, pasti jantung ku.

***

To be continue...

Pria ini Cukup Pintar.

Aku masih merutuki kebodohan ku yang tanpa pikir panjang memeluk orang asing begitu saja. Aku yakin yang di pikirkan pria ini, pasti aku ini siswi yang tidak benar, gadis yang tidak benar pokok nya. Aku saja berfikiran begitu, bagaimana dengan orang lain.

Untung saja yang melihat kejadian ini hanya Nina, selain makanan dia tidak akan mengingat hal lain. Besok dia pasti sudah lupa dengan kejadian yang baru di lihat nya ini. Aku yakin itu.

Tapi terus dalam posisi begini juga aku sangat tidak nyaman, aku melihat ada vas bunga dibatas meja. Tiba-tiba saja otak nakal ku memberiku ide. Bagaimana kalau ku pukul saja pria ini hingga pingsan dan setelah itu aku dan Nina akan kabur. Kurasa itu bukan ide yang buruk bagiku, lagi pula pukulan ku paling cuma bisa buat pria ini pingsan doang gak sampai metong.

Aku melirik ke arah Nina, memintanya agar mengambilkan vas bunga itu padaku.

"Vas bunga! ambil gue mau pake!" ucapku komat kamit pada Nina tanpa mengeluarkan suara.

"Vas ini?" tanyanya sambil melakukan gerakan serupa seperti yang aku lakukan, komat-kamit tanpa suara.

Aku mengerjapkan mataku. Aku lihat Nina menganggukkan kepalanya, tapi kenapa dia tak kunjung memberikan vas bunga itu padaku? apa yang sedang di pikirkan oleh si Nina?

Pria ini mendorongku menjauh sedikit darinya dan melihat ke arahku, tapi aku masih berusaha melihat ke arah Nina.

'Ya ampun, dia manggut-manggut sebenarnya ngerti gak sih maksud gue tadi apa?' batin ku geram pada Nina.

"Sekarang jawab kalian siapa dan darimana? kenapa bisa di kejar anj*ing?" tanya pria itu yang sekarang bicara dengan nada yang terdengar pelan, malah terdengar lembut sih menurut ku.

Aku mendesah kesal.

"Kami siswi SMA Jaya Negara, tadi tuh kami lagi beli asinan kedondong, eh tiba-tiba tuh lambrador-lambrador....!

"Kalian di kejar lambrador? kok bisa lolos?" tanya pria itu malah membuatku makin kesal.

'Ya jelas lah gue sama Nina bisa lolos, lambrador nya berkaki dua!' batin ku lagi.

"Iya pak, sebagai ganti rugi kami bakalan cuci nih vas bunga!" seru Nina menyela pembicaraan ku dan si pria yang bisa ku katakan ganteng ini.

Aku melotot menghadap ke arah Nina.

'Jadi itu yang ada di pikirannya, haduh gue kayaknya butuh lowongan cari teman baru nih. Teman-teman gue anti mainstream semua ini!' geram ku dalam hati.

Pria itu terdiam, dia memegang dagunya dan melihat ke arah ku kembali.

"Kamu cuci karpet ini! dan kamu...!" pria itu menjeda kalimatnya saat menunjukkan jari telunjuk nya ke arah Nina.

"Kamu bisa pulang!" ucap pria itu.

"Lho, gak bisa gitu dong Om, kan kita ngotorin karpet nya sama-sama, bersihinnya juga sama-sama dong!" protes ku tak terima.

"Kamu gak lihat teman kamu sudah gemetaran, pasti dia juga belum makan. Nanti kalau dia pingsan gimana?" tanya Pria itu padaku.

"Gue juga belum makan kali, mana bisa gitu sih!" protes ku lagi.

"Nina, lu gak bakalan pergi ninggalin gue kan?" tanya ku pada Nina yang memasang wajah polos.

"Gue pulang dulu ya, gue laper berat. Ntar abis makan gue kesini lagi. Coba lihatin tuh guguk masih ada di luar apa udah pergi mereka?" tanya Nina padaku.

Meski kesal aku masih berbalik dan melihat ke arah luar jendela. Delia and the gengs sudah tidak ada lagi disana.

"Udah gak ada!" jawab ku ketus.

"Gue pulang dulu, makasih om ganteng!" ucao Nina lalu pergi membuka pintu dan keluar.

Aku juga tak mau dong diam disini sendirian, aku ikut melangkahkan kaki ku keluar, tapi tiba-tiba.

"Eh..!" ucap ku ketika tas ransel ku di tarik dari arah belakang.

"Mau kabur?" tanya pria itu.

Aku hanya bisa berdecak kesal ketika melihat si Nina sudah keluar dari pagar.

"Iya, iya cuci karpet doang kan? kecil!" celoteh ku sambil menyatukan jari jempol dan jari tengah ku lalu membunyikan nya di depan wajah pria itu.

Dia malah tersenyum menyeringai padaku.

'Wah, jangan-jangan nih Om-om mau ngapa-ngapain gue nih, nyuruh Nina pergi!' batin ku sampai aku bengong sendiri.

"Kartu pelajar!" serunya tiba-tiba membuat aku kaget.

"Apa?" tanya ku cengo.

"Sini kartu pelajar kamu!"

"Buat apaan, kagak bawa gue!" dalih ku.

"Saya tahu yang kejar kamu bukan lambrador tapi siswi dari sekolah lain kan, dari seragam mereka seperti nya mereka murid SMA Pembangunan!" seru pria itu sambil melipat tangannya di depan dadanya.

Aku menenggak saliva ku sudah payah. Nih orang kayaknya bukan orang yang bisa di bohongin sembarangan nih. Tapi aku tak akan mudah menyerah begitu saja, bukan Rasti Azzura namanya kalau gampang nyerah.

"Whuaaaa...hiks hiks! ayah, ibu Rasti di culik!" aku menangis sejadi-jadinya.

Maksud ku, aku mau membuat pria ini panik dan melepaskan ku. Tapi ternyata dugaan ku salah.

"Kamu lagi acting kan?"

"Siapa yang lagi acting, mendingan Om lepasin saya deh. Biarin saya pulang kalau saya terus nangis dan teriak ntar para warga dateng, terus ngegerebek rumah Om ini berabe lho urusannya!" gertak ku pada pria ini.

"Lalu?" tanya nya enteng.

'Lho nih orang aneh bener masa iya gak tahu!' batin ku lagi.

"Kalau Om gak lepasin gue sekarang, nanti begitu warga dateng, gue bakal bilang kalo om dah culik gue!" gertak ku lagi.

"Saya bahkan tidak memaksamu masuk rumah saya, bagaimana bisa dikatakan saya menculik kamu. Di depan ada kamera CCTV yang akan memberikan penjelasan kepada semua orang, apa saya yang menculik kamu atau kamu yang masuk ke rumah saya tampa ijin!" balasnya malah menggertak ku.

'Mampus gue, mana gue tahu nih rumah ada CCTV nya!' batin ku merutuki kebodohan ku lagi.

"Sini kartu pelajar kamu!" serunya membuatku tersentak kaget.

Dengan berat hati yang beratnya lebih berat daripada berat badan si Nina, temen gak tahu di untung itu. Aku terpaksa memberikan kartu pelajar ku pada pria itu. Dia melihat dan membacanya.

"Rasti Azzura, 17 tahun! kamu kelas berapa?" tanya Pria itu.

"Kelas Sebelas!" jawab ku malas.

"Ya udah, mana sabun sama sikatnya. Gue cuci dulu nih karpet!"

Aku segera menunduk hendak mengangkat karpet lantai berwarna biru yang sekarang warnanya campur coklat abstrak gak jelas karena tapak sepatu ku dan juga Nina.

"Tidak usah, sekarang saya mau keluar. Kamu besok pulang sekolah balik lagi kesini buat cuci karpet nya ya! sekarang kamu pulang saja dulu!" seru nya.

"Kartu pelajar gue?"

"Saya jadikan jaminan!"

***

Bersambung...

Guru PPKN yang Baru.

"Woi Amir, gak usah pulang lu! dasar anak nakal!" teriak seorang ibu yang membawa sendal jepit di tangannya dan mengejar anak laki-laki nya yang menaiki motor meninggalkan nya.

Aku sering melihat ibu Yani berteriak seperti itu, pasti anaknya si Amir anaknya yang masih SMP itu lagi-lagi mencuri kunci motor lagi dan mengendarai motor ayahnya tanpa ijin.

Anak itu memang sering sekali membuat keributan, paling sering malah di antara tetanggaku yang lain. Tapi ibu Yani ini sebenarnya adalah tetanggaku yang paling ramah. Dia selalu menegur ku saat lewat depan rumah nya.

"Selamat sore Bu Yani!" sapa ku pada wanita paruh baya yang masih memegang sendal di tangannya dan dia malah tidak memakai alas kaki di kakinya.

Bu Yani tersenyum, dan menganggukkan kepalanya sekali padaku.

"Eh, neng Rasti baru pulang?" tanya nya menjawab sapaan ku.

Aku juga mengangguk sekali padanya sambil tersenyum.

"Iya Bu, permisi!" sambil menjawab aku permisi padanya, numpang lewat.

Kompleks perumahan tempat ku tinggal ini cukup ramai, tiap malam juga ada petugas hansip yang ronda malam, jadi kompleks perumahan ku ini cukup aman dan damai. Tapi semua itu berbanding terbalik dengan rumah yang saat ini sudah ada di depan mataku.

Aku berdecak kesal, aku jadi ingin cepat lulus lalu kuliah dan meninggalkan rumah ini. Entah darimana ayah ku bertemu dengan ibu tiri ku yang hampir selama dua belas jam sehari selalu menghidupkan musik dan bernyanyi tidak jelas.

"Haduh, sampai di kafe dangdut lagi nih gue! heh... heran deh udah sore begini juga, Ck..!" aku berdecak kesal, meskipun suaranya musiknya tidak terlalu kencang. Aku juga bosan kalau setiap hari rumah ku seperti di acara orang hajatan.

Aku membuka pintu pagar, dan Rita Sugianto itu sedang ada di teras menyirami tanaman sambil menyanyi tidak jelas.

Tidak ada mobil ayah, di garasi. Artinya ayah belum pulang. Tentu saja! kalau ayah sudah pulang rumah ini akan menjadi terowongan Casablanca dadakan, sunyi dan senyap.

Aku menggelengkan kepala berkali-kali, gaya nya itu lho seperti anak muda saja. Pakai daster dan joget-joget sambil menyiram tanaman, berharap ada Bang Kriwil pencari bakat itu lewat apa? itu tidak mungkin kan?

"Rasti kamu sudah pulang?" tanya Rita Sugianto itu.

"Hem!"

Aku hanya berdehem mengacuhkan nya lalu masuk ke dalam rumah. Aku menaiki anak tangga dan menuju ke lantai dua tempat kamar ku berada. Rasanya lelah sekali, kakiku seperti menempel pada anak tangga, susah sekali di angkat.

"Nih, pasti gara-gara gue lari tapi deh, pegel bener nih kaki!" gumam ku sambil sesekali mengangkat pahaku sendiri dengan kedua tangan supaya cepat sampai di lantai dua.

Sedangkan aku masih susah payah mengangkat kaki ku, tiba-tiba saja...

Dugh!

"Aduh" pekik ku saat ada yang menabrak ku dari belakang hingga aku terduduk di anak tangga. Untung saja aku pegangan kuat pada pegangan tangga, jika tidak aku akan jatuh.

"Minggir! lagian naik tangga aja lama banget!" ucap cowok nyebelin itu yang sudah nabrak, terus bikin aku jatuh dan malah lewat gitu aja ninggalin aku berasa gak ada dosa.

"Hih, dasar preman pasar!" bentak ku padanya.

"Sembarangan, ganteng-ganteng gini di bilang preman pasar, dasar lu cewek tomboi gak laku! Jones lu jomblo ngenes!" balasnya sebelum membanting pintu kamarnya.

"Ekh... awas aja lu!" geram ku sambil mengepalkan tangan.

Aku kembali menghela nafas, aku berdiri dan kembali menaiki anak tangga. Padahal tuh anak tangga tinggal tiga lagi, tapi rasanya kenapa kayak tiga puluh lagi ya.

Susah payah akhirnya aku sampai di kamar ku. Aku sengaja mengunci kamar ku saat di dalamnya ataupun saat aku keluar. Ini adalah dunia ku, tempat dimana aku merasa aman dan tenang, tempat dimana aku meletakkan banyak sekali foto ibuku. Aku bahkan tidak mengijinkan ayahku masuk karena jika itu terjadi ayah akan membakar semua foto ibuku seperti yang dia lakukan beberapa tahun lalu. Saat si Rita Sugianto itu masuk ke dalam rumah ini.

Aku merebahkan diriku di ranjang ku yang empuk, menatap ke langit-langit kamar. Aku sengaja memesan wallpaper dengan gambar ibu ku diatas sana. Dia sedang tersenyum, sangat cantik. Aku selalu bisa tidur nyenyak setelah melihat senyuman nya itu.

Rita POV.

Aku sedang menyiram tanaman ketika melihat anak tiri ku tapi yang sudah ku anggap anak kandung ku sendiri itu menyapa Bu Yani, tetangga sebelah rumah kami.

Terkadang aku merasa sangat heran, aku tidak pernah bersikap kasar pada anak itu, aku selalu berusaha dekat dengannya. Tapi sepertinya usaha apapun yang aku lakukan tidak bisa membuatnya menerima ku.

Dia seperti nya menganggap ku penyebab ayahnya berpisah dari ibunya. Padahal bukan seperti itu kebenaran yang sesungguhnya.

Tapi tidak apa-apa, dia menganggap ku musuhnya. Aku akan tetap menyayanginya seperti aku menyayangi anak kandung ku Tirta.

Rita POV end.

Keesokan harinya, aku terbangun karena bunyi alarm yang ku setel jam 5 pagi. Aku masih memakai seragam ku yang kemarin.

"Hah, gue belum mandi dong dari kemaren!" pekik ku sambil menepuk jidat ku sendiri.

Kasihan sekali perut ku juga belum dikasih makan malam.

"Sarapan dobel nih!" gumam ku lalu masuk ke dalam kamar mandi.

Beberapa saat kemudian, aku keluar dengan seragam baru dan dengan badan dan rambut yang sudah wangi. Aku mencari hairdryer dan mengeringkan rambut ku. Aku bercermin...

"Ternyata biar tomboi gue cantik juga!" gumam ku memuji diri sendiri sambil cengar-cengir.

Aku meraih tas ransel ku, mengeluarkan buku kemarin dan melihat jadwal pelajaran yang ada pada secarik kertas berwarna pink, dengan tulisan spidol putih yang ku tempelkan di dinding. Setelah memasukkan semua buku aku memakai tas ransel ku dan keluar dari kamar ku, tak lupa mengunci pintunya.

Aku menuruni anak tangga, semua sudah ada di meja makan.

"Semalam kamu gak makan malam Rasti?" tanya ayah ku.

"Ketiduran yah!" jawab ku singkat dan langsung duduk di kursi ku.

Aku tidak memperdulikan tatapan tajam si preman pasar yang kelihatan nya kesal karena aku tidak menjawab sapaan dari ibunya. Setelah selesai sarapan, aku langsung keluar tanpa pamit pada siapapun di ruang makan.

"Rasti!" teriak Rudi.

"Sudah mas, masih pagi jangan mempermasalahkan hal semacam ini!" ucap Rita.

Aku berlalu tak mau mendengarkan kemesraan dua sejoli yang tidak ingat umur itu. Aku berjalan kaki keluar kompleks, Aku menaiki angkutan umum yang lewat. Beberapa menit kemudian aku sampai di depan gerbang sekolah SMA Jaya Negara.

Aku masuk dan berjalan santai, masih pagi dan masih sepi soalnya. Aku melihat seseorang yang sepertinya nya tak asing sedang keluar dari mobilnya dan masuk ke ruang guru yang letaknya tak jauh dari kelasku.

"Siapa ya?" gumam ku sambil mengingat siapa orang itu.

Aku membulatkan mataku ketika ingat siapa pria itu, dia itu pria yang menahan kartu pelajar ku. Aku menarik tangan Jessica, Ketua OSIS di SMA ini, dia pasti tahu siapa pria itu dan kenapa dia masuk ke ruang guru.

"Jes!"

"Apaan!" keluh Jessica.

"Tuh Om Om yang barusan masuk ruang guru siapa? kenal gak lu?" tanya ku.

"Sembarangan lu manggil Om-om, ketinggalan berita banget lu, dia kan kemaren dah ngajar di kelas gua, dia itu guru PPKN baru di sekolah ini!"

"Hah guru! disini?" tanya ku tak percaya.

***

Bersambung...

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!