Pagi itu matahari sudah menampakkan dirinya sekitar satu jam lebih. Cahayanya yang menyinari bumi memberi semangat manusia-manusia mengawali harinya.
Didalam sebuah kamar yang berada didalam salah satu rumah, cahaya matahari menyinari kamar itu melewati ventilasi yang berada diatas jendela kamar. Cahayanya mengenai kedua wajah orang yang terlihat sedang tidur dengan nyenyak diatas ranjang. Sepasang kekasih itu terlihat tidur dengan berpelukan tanpa mengenakan pakaian menutupi tubuhnya dibagian atas. Namun selembar selimut tebal menutupi tubuh mereka dari bagian dada sampai ujung kaki. Disaat laki-laki dan perempuan itu belum terbangun dari tidurnya, tiba-tiba terdengar seseorang mengetuk pintu kamar itu dengan cukup keras.
Tokkk...tokkk...tokkk...
"Guntur...!!! Sovia...!!! Bangun!!! Hari sudah pagi!!! Sarapan dulu!!!" Seru seorang perempuan di balik pintu kamar itu. Begitu mendengar teriakkan seseorang yang berdiri di depan kamarnya, kedua mata perempuan yang bernama Sovia langsung terbuka. Perempuan itu langsung menatap tajam kearah jam dinding yang berada didalam kamarnya. Sovia langsung terperanjat dari tidurnya, ketika melihat jarum jam menunjukkan pukul 08.22 WIB. Ia pun langsung berseru menjawab ucapan perempuan yang berdiri di balik pintu.
"Iya Bu...!!!"
"Ya sudah, kalau begitu Ibu tunggu di meja makan ya! Soalnya Ibu juga mau pergi kondangan!" Seru perempuan yang di balik pintu yang dipanggil Ibu.
"Ibu sarapan duluan nggak apa-apa! Soalnya Saya dan Mas Guntur belum mandi!" Balasnya.
"Ya sudah kalau begitu! Tapi nanti habis mandi, Kalian langsung sarapan ya! Mumpung masih pagi!" Pintanya.
"Iya Bu!" Balasnya. Mendengar jawaban Sovia, perempuan yang berdiri didepan pintu kamar itu pun melangkahkan kakinya menuju ruang makan. Sedangkan Sovia langsung membangunkan lelaki tampan berkulit kuning langsat, yang masih terlelap tidur disampingnya.
"Mas...! Bangun Mas!" Ucapnya sambil memegang lengan kiri lelaki yang bukan lain adalah suaminya itu.
"Masih ngantuk Dek!" Balas lelaki yang bernama Guntur, dengan kedua matanya yang masih terpejam.
"Sudah jam tujuh lebih Mas! Tadi Ibu juga sudah menyuruh Kita sarapan!" Ucapnya. Begitu mendengar ucapan istrinya, Guntur langsung membukakan kedua matanya dengan perlahan.
"Ya sudah, ayo Kita mandi bareng!" Ajak Guntur.
"Nggaklah Mas! Nanti nggak jadi mandi!" Balasnya.
"Ya sudah, Kamu aja yang duluan mandi!" Pintanya.
"Iya Mas." Balasnya. Sovia pun bergegas turun dari atas tempat tidur dan berjalan menuju kamar mandi yang berada didalam kamarnya.
Sekitar sepuluh menit berlalu, akhirnya Sovia keluar dari dalam kamar mandi hanya mengenakan handuk. Begitu melihat tubuh istrinya, Guntur langsung bangkit berdiri dan menghampiri istrinya. Kedua tangannya hendak memeluk tubuh istrinya. Sedangkan bibirnya didekatkan kearah wajahnya. Namun sebelum niatnya kesampaian, Sovia dengan cepat melangkahkan kakinya kebelakang, menjauhi tubuh suaminya.
"Kenapa sayang?" Tanya Guntur merasa sedikit kecewa.
"Mandi dulu Mas! Terus Kita sarapan pagi! Ibu sudah menunggu!" Balasnya.
"Ya sudah kalau itu maumu!" Balasnya. Guntur pun melangkahkan kakinya masuk kedalam kamar mandi. Ketika suaminya sedang membasahi tubuhnya, Sovia bergegas memakai pakaian.
Setelah selesai mandi dan berpakaian, Guntur dan Sovia keluar dari dalam kamarnya menuju ruang makan. Namun begitu sampai didepan meja makan, mereka tidak melihat Ibu sedang sarapan.
"Mana Ibu Dek? Katanya sudah menunggu?" Tanya Guntur.
"Tadi Aku menyuruh Ibu untuk sarapan duluan! Katanya mau pergi kondangan!" Balasnya.
"Tahu begitu, kan Aku nggak perlu buru-buru bangun!" Gerutunya.
"Makanya Aku bilang kalau Ibu menunggu! Biar Mas mau sarapan! Mas kan sudah kehilangan tenaga banyak, tadi malam!" Ucap Sovia dengan perlahan. Mendengar ucapan istrinya, Guntur pun membisikkan sesuatu ke telinganya.
"Oh ya betul banget Kamu sayang! Aku memang harus sarapan. Biar tenagaku kembali lagi!"
"Ada apa nih, pakai bisik-bisik segala?" Seru perempuan yang bukan lain adalah Ibu. Mendengar ucapan ibunya, Guntur hanya tersenyum malu-malu.
"Nggak ada apa-apa kok Bu! Ibu mau kondangan dimana? Cantik banget!" Tanyanya.
"Di daerah Sukmajaya! Pelanggan Ibu, anaknya nikah!" Jawab perempuan yang terlihat cantik dengan memakai konde. Perempuan itu memakai kebaya berwarna merah dibagian atas, rok panjang berwarna merah dengan belahan disamping kiri. Dan dilengkapi dengan sandal high heels berwarna emas.
"Hati-hati di jalan Bu!" Pinta Sovia.
"Tanpa Kamu minta, Ibu juga akan hati-hati! Kalian sarapan dulu ya!" Ucapnya.
"Iya Bu!" Balas Guntur dan Sovia berbarengan.
"Oh ya, Sovia! Nanti tolong pakaian Ibu yang di ember Kamu cuci ya! Soalnya mesin cuci rusak! Itu perabotan kotor di cuci juga! Terus lantai disapu dan dipel! Halaman juga disapu! Soalnya banyak daun-daunan!" Perintahnya.
"Baik Bu!" Jawabnya.
"Tapi Bu! Sovia ini kan istriku! Bukan pembantu di rumah ini!" Seru Guntur.
"Siapa yang bilang Sovia pembantu, Guntur? Ibu kan cuma menyuruh istrimu melakukan pekerjaan rumah yang wajar dilakukan oleh seorang perempuan! Bukankah Sovia biasa melakukan semua pekerjaan itu di rumah? Masih mending di rumah ini nyucinya didalam rumah! Biasanya kan istrimu nyuci pakaian di sungai yang lumayan jauh dari rumahnya! Betul kan Sovia?" Tanya perempuan yang bukan lain adalah ibu kandungnya Guntur.
"Betul Bu!" Jawabnya.
"Tapi kan kasihan Sovia Bu!" Guntur menimpalinya.
"Sebagai seorang istri, Sovia kan bukan cuma berbakti pada suaminya. Tapi harus berbakti pada mertuanya juga! Kamu tidak keberatan melakukan pekerjaan yang diperintahkan Ibu, kan Sovia?" Tanyanya.
"Nggak Bu. Di rumah Sovia juga sudah terbiasa melakukan semua pekerjaan rumah!" Jawabnya sambil tersenyum.
"Ya sudah, kalau begitu Ibu pergi dulu! Assalamu'alaikum!" Salamnya.
"Wa'alaikumsalam." Jawab Guntur dan istrinya berbarengan. Ibunya Guntur pun dengan cepat pergi meninggalkan rumah menggunakan mobil berwarna hitam.
"Kamu yang sabar ya sayang, atas semua tingkah laku dan ucapan Ibuku!" Pinta Guntur sambil menatap dalam-dalam wajah istrinya.
"Iya Mas. Ibu Mas sama sekali nggak salah kok!" Jawab Sovia dengan membalas menatap wajah suaminya.
"Terima kasih ya sayang! Aku sangat bersyukur bisa mempunyai istri sepertimu! Ayo Kita sarapan dulu! Nanti Aku bantuin deh, beres-beres rumahnya!" Ucapnya. Mereka pun langsung bergegas menikmati sarapan pagi yang sudah tersaji di atas meja makan.
Selesai menghabiskan sarapannya, Sovia dibantu oleh Guntur, akhirnya menjalankan pekerjaan rumah yang diberikan oleh ibunya Guntur. Sovia yang sudah terbiasa melakukan pekerjaan rumah saat masih tinggal bersama keluarganya, menjalani tugas yang diberikan oleh mertuanya dengan perasaan senang hati. Apalagi dia dibantu oleh lelaki yang baru tiga hari menjadi suaminya.
"Mas, terima kasih atas perhatian dan bantuannya. Walaupun kita sebelumnya tidak saling mencintai, tapi sekarang Aku sangat bahagia bila berada didekatmu Mas! Aku sangat bersyukur bisa mempunyai suami sepertimu Mas!" Ucap sovia sambil menyapu halaman depan. Keringatnya mengucur deras diwajahnya.
"Jangan ucapkan terima kasih segala Dek! Sebagai seorang suami, mana tega Aku membiarkan Kamu beres-beres rumah sendirian!" Balas Guntur yang sedang mengepel lantai teras depan rumah.
"Iya Mas." Katanya.
"Sekarang kan semua pekerjaan rumah hampir selesai. Aku mau minta imbalan sama Kamu ya Dek! Aku kan sudah membantumu bersih-bersih!" Pinta Guntur. Mendengar ucapan suaminya, Sovia mendadak terkejut.
"Imbalan apa Mas?" Tanyanya dengan mata melotot.
"Imbalannya Aku minta jatah Dek!" Balasnya.
"Jatah apa Mas?" Sovia menjadi bingung.
"Jatah seperti tadi malam Dek!" Jawabnya.
"Tapi Mas! Tadi malam kan sudah tiga kali! Pertama sebelum Kita tidur. Kedua sewaktu Aku sudah tidur, Mas minta lagi! Terus tadi sehabis shalat shubuh, Mas minta lagi!" Ucapnya dengan perlahan.
"Tapi Mas sekarang pengin lagi Dek! Seorang istri kan wajib melayani suaminya. Kamu tahu kan Dek?" Balasnya.
"Tapi kalau nanti Ibu mencari Kita, gimana Mas?" Tanya Sovia yang bingung.
"Kan semua pekerjaan sudah selesai. Ibu juga pasti mengerti dan memaklumi Kita sebagai pengantin baru. Jadi Kamu nggak perlu khawatir dengan perasaan Ibu." Jawabnya.
"Iya Mas." Balasnya.
"Ya sudah, sekarang Aku mau mengepel lantai dalam rumah dulu. Kamu lanjutkan menyapu halamannya." Ucapnya.
"Iya."
Setelah Guntur dan Sovia selesai menyelesaikan semua pekerjaan rumah, mereka pun kembali masuk kedalam kamar tidur mereka untuk melakukan hubungan suami istri.
Disaat mereka sedang melampiaskan hasrat dan gairah yang terpendam dalam diri, tiba-tiba sebuah mobil sedan berwarna hitam berhenti di carport depan rumah Guntur. Ketiga pintu mobil itu pun terbuka. Terlihat seorang perempuan kurang dari setengah abad, keluar dari pintu sebelah depan kanan. Dia bukan lain adalah ibu kandungnya Guntur. Orang yang keluar dari pintu depan sebelah kiri adalah seorang perempuan berparas cukup cantik yang berpakaian blus batik berwarna merah. Sedangkan orang yang keluar dari pintu samping kiri bagian belakang, ialah seorang perempuan muda berwajah cantik, berkulit putih, dan bertubuh langsing. Perempuan itu memakai pakaian berwarna merah muda.Begitu turun dari mobil, mereka bertiga pun berjalan menuju pintu depan rumah.
"Mari Bu Hamidah, Wina!" Ajak ibunya Guntur. Perempuan muda yang bernama Wina dan ibunya yang bernama Bu Hamidah pun berjalan dibelakang ibunya Guntur.
Begitu sampai didepan pintu, ibunya Guntur langsung memegang handle pintu dan menekannya kearah bawah. Pintu yang tidak terkunci itu pun langsung terbuka.
"Mari masuk Wina, Bu Hamidah!" Pintanya.
"Sepi Bu Maya. Guntur kemana?" Tanya Bu Hamidah saat melangkah masuk kedalam rumah.
"Tadi pagi sih di rumah. Soalnya hari ini kan toko masih tutup. Saya tinggal dulu ya Bu!" Katanya.
"Iya Bu." Balas Bu Hamidah. Bu Maya pun berjalan menuju kamar tidurnya Guntur dan Sovia. Begitu berdiri didepan pintu kamarnya Guntur, Bu Maya melihat pintu itu dalam keadaan tertutup.
Tokkk...tokkk...tokkk...
"Guntur...!!! Apa Kamu didalam?" Tanya Bu Maya dengan keras. Mendengar ketukan pintu dan teriakkan ibunya, Guntur dan Sovia yang masih menikmati hubungan suami istri mendadak kaget sekali dibuatnya.
"Betul kan Mas, Ibu mencari-cari Mas!" Ucap Sovia dengan perlahan.
"Ada apa Bu?" Tanya Guntur dengan keras.
"Ada teman Ibu! Dia pengin ketemu Kamu! Kamu temui Dia ya!" Balas Bu Maya di balik pintu.
"Iya sebentar!!! Lagi tanggung nih!!!" Seru Guntur. Mendengar ucapan anaknya, Bu Maya sedikit terkejut.
"Jangan lama-lama! Kasihan teman Ibu menunggu!!" Pintanya. Bu Maya pun pergi meninggalkan kamar anaknya dan berjalan menuju dapur.
Begitu sampai di dapur, Bu Maya membuat tiga gelas es sirup rasa orange dan membawanya ke ruang tamu.
"Silahkan diminum dulu Bu Hamidah, Wina! Gunturnya lagi mandi. Baru bangun tidur!" Ucap Bu Maya sambil duduk diatas sofa.
"Istrinya emang dimana Bu?" Tanyanya.
"Di kamar Bu! Sebenarnya Aku nggak setuju, Guntur nikah dengan Sovia. Tapi Aku terpaksa menyetujui permintaan almarhum suamiku saat sedang dirawat di rumah sakit!" Jawabnya.
"Andai saja almarhum suamimu masih sehat. Mungkin Kita sudah menjadi besanan ya Bu!" Ucap Bu Hamidah. Perempuan itu pun mengambil gelas berisi es sirup rasa orange lalu meminumnya.
"Ya Bu. Sayang sekali Kita baru ketemu lagi sekarang! Padahal Guntur dan Wina sangat serasi! Bibit bebet bobotnya juga cocok!" Balasnya.
"Nasi sudah menjadi bubur Bu Maya! Semua sudah terjadi!" Ucap Bu Hamidah.
"Mungkin Mas Guntur bukan jodoh Saya Bu!" Ucap Wina sambil menengok kearah ibunya yang berada disebelah kirinya.
"Bisa saja Kalian masih jodoh Wina! Walaupun Guntur sudah menikah, tapi kan semua belum berakhir! Guntur bisa saja bercerai! Mereka kan menikah juga karena dijodohkan! Bukan karena landasan cinta! Jadi kemungkinan Guntur untuk bercerai sangat besar!" Balas Bu Maya. Mertua Sovia itu pun mengambil gelas dihadapannya. Disaat belum ada lagi yang berbicara, tiba-tiba muncul seorang laki-laki yang bukan lain adalah Guntur. Terlihat pula Sovia berdiri disampingnya.
"Umur panjang Kamu Gun! Lagi diomongin, eh datang juga!" Seru Bu Maya tersenyum bahagia.
"Ngomongin apa Bu?" Tanya Guntur.
"Ya ngomongin tentang Kamu! Oh ya kenalin, ini Bu Hamidah kawan SMA Ibu! Sama Wina anaknya!" Jawabnya. Mendengar ucapan ibunya, Guntur pun bersalaman dengan Bu Hamidah.
"Guntur! Sekarang sudah gede ya! Tambah ganteng ya!" Puji Bu Hamidah sambil menyambut tangan kanan Guntur.
"Makasih Tante!" Balasnya.
"Terakhir ketemu Kamu kan sewaktu Kamu sunatan! Masih kecil banget!" Ucapnya.
"Iya Tante!" Balasnya. Guntur pun perlahan melepaskan tangannya.
"Ini anak Saya, Guntur!" Ucapnya.
"Guntur!" Suami Sovia memperkenalkan diri sambil bersalaman dengan Wina. Kedua matanya menatap wajah perempuan cantik dihadapannya.
"Wina!" Balas Wina sambil bersalaman dengan Guntur. Wina yang baru pertama kali bertemu dengan Guntur, menatapnya dengan tatapan berbinar-binar. Jantungnya mendadak berdegup dengan kencang. Telapak tangan kanannya menggenggam erat telapak tangan Guntur. Disaat mereka berdua masih saling terpaku melihat wajah orang yang baru dikenalnya, Sovia yang berada disamping kiri Guntur langsung memberi isyarat dengan pura-pura batuk.
Uhuuuk...uhuuuk...uhuuuk...
Begitu mendengar suara batuk Sovia, Guntur dan Wina seolah baru tersadar dari pengaruh hipnotis. Sontak mereka berdua pun langsung melepaskan telapak tangan masing-masing.
"Oh ya Wina, Bu! Kenalin ini istri Saya!" Ucap Guntur sambil menatap wajah istrinya dan tersenyum manis padanya. Mendengar ucapan suaminya, Sovia bergegas mengulurkan tangan kanannya kehadapan Wina. Dengan sedikit ragu-ragu, Wina menyambut tangan kanan Sovia.
"Sovia!" Ucap istri Guntur itu sambil tersenyum manis.
"Wina." Balasnya. Perempuan itu pun segera melepaskan tangannya. Lalu Sovia dengan ramah mengajak bersalaman dengan Bu Halimah. Bu Halimah pun menyambut tangan kanan Sovia dengan muka masam.
"Sovia Bu!" Ucapnya.
"Bu Halimah! Ibunya Wina! Ngomong-ngomong rumahmu dimana?" Tanya Bu Halimah dengan ketus. Ia pun segera melepaskan tangannya.
"Di Cimahi Bu!" Jawabnya.
"Kok bisa kenal dengan Guntur yang kaya dan ganteng ini?" Tanyanya lagi.
"Bapak Saya bekerja jadi sopir mobil pick up yang mengangkut sayuran dari kebun milik almarhum Pak Handoko! Jadi Bapak Saya sudah lama kenal baik dengan almarhum." Balasnya dengan tersenyum.
"Oh! Anaknya supir! Kirain anak orang kaya! Senang ya Kamu, bisa mempunyai suami kaya! Sekarang Kamu jadi orang kaya mendadak dong!" Seru Bu Hamidah.
"Maaf Bu! Tolong jaga ucapannya! Walaupun Sovia bukan dari keluarga kaya, tapi Sovia adalah seorang perempuan yang baik dan shalihah!" Balas Guntur dengan berani.
"Maaf ya Guntur! Bukan maksudku menghina istrimu! Aku cuma kaget saja! Kok bisa almarhum Bapakmu mau-maunya menjodohkan Kamu yang ganteng dan kaya, dengan Sovia yang jelas-jelas berbeda kasta dengan keluargamu! Kamu itu cocoknya sama perempuan yang sepadan dengan keluargamu. Wina misalnya!" Bu Halimah mencoba menyangkal.
"Almarhum Bapakku sudah tahu dan mengenal Sovia dan Bapaknya adalah orang baik! Makanya Bapakku menjodohkanku dengan Sovia! Terlebih lagi, Sovia adalah perempuan yang ditakdirkan oleh Allah menjadi pasangan hidupku! Walaupun Kami sebelumnya tidak saling mengenal dan mencintai. Tapi semenjak malam pertama, Kami saling mencintai dan menyayangi! Bagiku, Sovia adalah pasangan dunia sampai akhirat! Bukankah begitu istriku?" Tanya Guntur sambil menengok kearah Sovia. Sovia pun menganggukkan kepalanya. Mendengar ucapan Guntur dan melihat adegan dihadapannya, Bu Halimah merasa seolah dihina. Darahnya seketika langsung mendidih. Wajahnya merah padam.
"Wina!!! Ayo Kita pulang!!! Tidak ada gunanya Kita datang ke rumah ini!!!" Teriak Bu Halimah sambil memegang lengan kanan anaknya. Mereka pun berjalan dengan cepat menuju pintu depan rumah.
"Tapi Bu, Kita masih bicarakan dengan baik-baik!" Bu Maya mencoba mengejarnya keluar rumah.
"Menyesal Aku datang ke rumahmu! Mukaku seperti dilempar kotoran busuk! Tidak pernah Aku merasa dihina begini rupa!" Teriak Bu Halimah begitu menengok kebelakang.
"Tapi Aku tahu, Guntur tidak bermaksud menghina Bu Halimah!" Balasnya.
"Wina masih sangat mudah mendapatkan suami yang lebih dari segalanya dari anakmu!!!" Balasnya Bu Halimah dengan keras. Mereka berdua pun pergi meninggalkan rumah Bu Maya menuju jalan raya untuk menaiki taksi yang lewat.
Saat Bu Hamidah dan Wina hilang dari pandangannya, Bu Maya pun dengan perasaan campur aduk membalikkan badannya dan berjalan menuju kedalam rumah.
"Guntur!!! Mengapa tadi Kamu bicara begitu rupa, sehingga Bu Hamidah sampai tersinggung!!!" Serunya ketika berdiri didepan anak semata wayangnya.
"Biar saja Dia tersinggung!!! Orang Dia yang mulai duluan menghina Sovia!!! Sebagai seorang suami, mana bisa Aku diam saja melihat istriku dihina begitu!!!" Balas Guntur dengan cukup keras.
"Semua yang dikatakan Bu Hamidah kan memang kenyataan!!! Bukannya Aku nggak setuju Sovia menjadi istrimu, tapi Wina memang lebih segala-galanya dibandingkan dengan Sovia!" Seru Bu Maya.
"Stop Bu! Jangan banding-bandingkan Sovia dengan perempuan lain! Sovia sekarang sudah menjadi pendamping hidupku!!! Jadi Aku nggak akan berpaling darinya!!! Walaupun diluar masih banyak yang lebih cantik dan kaya, tapi seluruh hatiku sudah milik Sovia!!!" Balas Guntur yang sedang duduk diatas sofa.
"Kamu tahu nggak, Gun? Bu Hamidah itu orang kaya raya! Jauh lebih kaya dibandingkan dengan Kita! Toko emasnya saja cabangnya sudah banyak!! Kalau Kamu menikah dengan Wina, Kamu sampai anak cucumu nggak akan kekurangan uang dan harta lagi!!" Bujuk rayu Bu Maya.
"Harta...!!! Harta...!!! Harta...!!! Yang ada pikiran Ibu selalu harta dan uang!!! Ingat Bu!!! Harta kekayaan nggak akan dibawa mati!!! Umur manusia nggak ada yang tahu!!! Buktinya Bapak! Kemarin sehat-sehat saja. Tapi begitu jantungnya kumat, Bapak langsung meninggal!!!" Balas Guntur dengan emosi.
"Jadi Kamu mendoakan Ibu cepat meninggal???" Tanya Bu Maya dengan keras.
"Guntur nggak bilang begitu! Guntur cuma mengingatkan Ibu! Kalau umur itu, manusia nggak ada yang tahu!" Balasnya. Sebelum Bu Maya kembali bersuara, tiba-tiba saja Sovia muncul kembali di ruang tamu.
"Ada apa sih Mas?" Tanyanya.
"Ibu tuh! Sudah tahu kalau Aku sudah mempunyai istri! Masih saja berusaha mendekatkanku dengan perempuan lain!" Balasnya.
"Bu, Saya mohon! Terimalah Saya sebagai menantu Ibu! Ridhailah pernikahan Kami ini!" Pinta Sovia dengan menatap sayu kearah mertuanya.
"Ya, Kamu sudah Ibu terima sebagai menantu Ibu!" Balas Bu Maya dengan sikap acuh tak acuh. Ia pun berjalan menuju sofa dimana tadi Bu Hamidah dan Wina duduk. Begitu sampai didepan sofa dan melihat kearah sofa, Bu Maya kaget ketika melihat sebuah benda berwarna merah muda berada diatas sofa. Bu Maya pun bergegas mengambil benda berbentuk persegi panjang itu.
"Dompet! Ini pasti dompet Bu Hamidah ketinggalan!" Serunya sambil mengambil benda yang ternyata adalah sebuah dompet. Lalu ia membuka dompet yang berada ditangannya. Begitu dompet itu terbuka, Bu Maya melihat foto bergambar wajah seorang perempuan yang bukan lain adalah Wina. Bu Maya pun kembali berseru.
"Oh, ternyata dompet punya Wina! Pasti ketinggalan karena tadi Bu Hamidah dan Wina pulangnya buru-buru! Lihat Gun! Kartu kredit dan atm-nya banyak sekali!" Bu Maya memperlihatkan isi dalam dompet kearah Guntur. Namun Guntur membuang mukanya kearah jendela dengan wajah ditekuk.
"Guntur! Ibu minta tolong padamu! Tolong kembalikan dompet ini kepada Wina! Kasihan Wina! Sekarang pasti Dia sedang bingung mencarinya!" Pintanya.
"Ibu saja yang pergi kesana! Guntur kan nggak tahu rumahnya!" Balasnya.
"Jadi Kamu sudah berani merintah Ibu, Gun? Mengapa Kamu sekarang jadi begini, Guntur?" Tanyanya dengan keras. Kedua matanya berlinang air mata.
"Tapi kan Guntur nggak tahu rumahnya!" Jawabnya.
"Rumahnya di desa Randusari! Tanya saja rumah Bu Hamidah juragan emas! Pasti pada tahu!" Ucapnya sambil menyunggingkan senyum. Ia pun memberikan dompetnya kehadapan anaknya. Dengan sikap terpaksa, Guntur bangkit berdiri dari duduknya. Tangan kanannya menyambut dompet dari tangan ibunya.
"Ya sudah Guntur kembalikan dompetnya sekarang! Kamu ikut nggak Dek?" Tanyanya sambil menatap wajah istrinya.
"Nggak Mas!" Balasnya.
"Ya sudah kalau begitu!" Ucapnya. Guntur pun melangkahkan kakinya menuju kamarnya. Setelah berganti pakaian dan mengambil kunci motor, Guntur kembali ke ruang tamu.
"Dek, Mas pergi dulu sebentar!" Ucapnya sambil menyodorkan tangan kanannya kehadapan istrinya.
"Hati-hati di jalan Mas!" Pinta Sovia sambil menyambut tangan kanan suaminya dan mencium punggung telapak tangannya.
"Iya Dek!" Balasnya.
"Bu, Aku berangkat dulu!" Ucap Guntur sambil mengajak bersalaman dengan ibunya.
"Ibu titip salam buat Bu Hamidah ya!" Pintanya.
"Iya. Assalamu'alaikum." Salam Guntur sambil melangkah keluar rumah.
"Wa'alaikumsalam." Jawab Sovia dan mertuanya berbarengan.
Begitu menaiki motor dan menyalakan mesinnya, Guntur langsung menarik gasnya dengan kuat. Seketika motornya melaju dengan kencang menuju rumah Wina.
Sekitar 30 menit didalam perjalanan, akhirnya Guntur sampai di desa Randusari. Ia pun bergegas bertanya pada salah seorang laki-laki yang berada di tepi jalan, mengenai kediamannya Bu Hamidah. Setelah mendapat arahan dan petunjuk dari salah satu warga, Guntur pun kembali mengendarai motornya menuju rumah Bu Hamidah.
Tidak lebih dari sepuluh menit, akhirnya Guntur sampai didepan rumah Bu Hamidah. Rumah berlantai dua dan berpagar tinggi itu, terlihat sangat mewah. Pada bagian teras rumah, terdapat dua buah pilar yang menjulang tinggi dari lantai satu ke lantai dua. Didepan rumah berwarna putih itu, terdapat taman yang indah. Begitu memarkirkan motornya dibagian carport, dengan perasaan ragu-ragu, Guntur melangkahkan kakinya menuju pintu depan rumah itu. Ketika sampai didepan pintu, Guntur pun langsung memencet bel yang berada disamping pintu.
Tiiinnggg... tooonnggg...
Tidak berapa lama, pintu dihadapan Guntur terbuka dengan perlahan. Guntur pun berusaha bersikap tenang. Namun begitu pintu itu terbuka, ia melihat seorang perempuan yang bukan lain adalah seorang pembantu.
"Ada yang bisa dibantu Mas?" Tanya pembantu itu.
"Mba Wina-nya ada?" Guntur tanya balik.
"Ada. Silahkan masuk! Biar Saya panggilkan!" Pintanya.
"Terima kasih Mba." Balasnya. Guntur pun masuk kedalam rumah mewah itu, dan duduk diatas sofa mewah berwarna hitam yang berada di ruang tamu.
Setelah menunggu beberapa saat, akhirnya seorang perempuan berumur 45 tahunan muncul dihadapan Guntur. Dia bukan lain adalah Bu Hamidah.
"Kamu!!! Untuk apa Kamu datang kesini? Apa belum cukup Kamu hina dan rendahkan Aku dan anakku?" Tanya Bu Hamidah dengan keras. Mukanya terlihat penuh dengan amarah.
"Maafkan ucapan Saya tadi Bu. Saya tidak ada maksud untuk menghina dan merendahkan Ibu dan putri Ibu! Saya datang kesini cuma mau mengembalikan dompetnya Wina yang ketinggalan!" Jawab Guntur sambil bangkit berdiri dan berjalan menghampiri Bu Hamidah. Lalu dompet ditangan kanannya disodorkan kearah perempuan itu.
"Dengan gampangnya Kamu minta maaf!!! Kamu mau tahu apa akibat ucapanmu tadi? Wina sejak tadi menangis didalam kamarnya! Setelah tiga bulan yang lalu, Wina kehilangan tunangannya, sekarang Kamu buat sedih Dia lagi!!!" Seru Bu Hamidah.
"Kehilangan tunangannya gimana maksudnya Bu?" Tanya Guntur dengan terkejutnya.
"Tunangannya meninggal kecelakaan! Padahal rencananya sebentar lagi mereka akan menikah! Baru beberapa minggu Wina mau keluar rumah. Tadinya Dia seperti kehilangan semangat hidupnya." Ucap Bu Hamidah dengan muka sayu. Air matanya seketika menetes dipipinya.
"Dibalik kecantikan dan kekayaannya, ternyata Wina memendam kesedihan yang mendalam!" Ucap Guntur dalam hati.
"Tolong antarkan Saya ke kamarnya Wina Bu!" Ucapnya. Mendengar ucapan Guntur, Bu Hamidah pun berjalan menuju kamar tidur Wina yang terletak di lantai dua. Begitu sampai didepan pintu kamar, Bu Hamidah pun mengetuk pintunya.
Tokkk...tokkk...tokkk...
"Siapa?" Tanya Wina dari dalam kamar.
"Ini Ibu Win!" Balasnya.
"Masuk saja, nggak dikunci!" Seru Wina. Bu Hamidah pun membuka pintu kamar Wina. Begitu pintu itu terbuka, Bu Hamidah dan Guntur melihat Wina sedang tengkurap diatas tempat tidur.
"Wina, ini ada Guntur mau mengembalikan dompetmu yang ketinggalan!" Katanya. Mendengar ucapan ibunya, Wina pun menengokkan kepalanya kearah belakang. Begitu melihat wajah Guntur, Wina langsung bangkit berdiri dan menghampiri suami Sovia itu.
"Wina, Aku mau mengembalikan dompetmu yang ketinggalan!" Ucap Guntur dengan sedikit gugup. Tangan kanannya diulurkan kearah Wina. Tanpa diduga oleh Guntur. Bukannya menerima dompet miliknya, Wina malahan menampik dompet itu dengan keras. Dompet itu pun terlempar dan jatuh diatas lantai.
"Mengapa bukan Ibumu saja yang mengembalikan dompetnya? Apa ini kesempatan Kamu untuk menghina diriku dan Ibuku lagi?" Tanya Wina dengan keras. Air matanya membanjiri wajahnya yang cantik.
"Maafkan ucapanku tadi Wina! Tidak ada maksudku untuk menghina Kamu dan Ibumu!" Balas Guntur dengan perasaan bersalah.
"Apa Kamu tahu perasaanku saat dihina dirimu? Aku merasa sudah tidak berguna lagi untuk hidup! Lebih baik Aku mati saja menyusul Mas Satrio!!!" Teriak Wina dengan keras. Seketika Wina langsung berlari kearah meja rias yang berada didalam kamarnya. Ia pun mengambil gunting yang berada diatas meja. Dengan sangat nekad, Wina hendak menghujamkan gunting itu kearah perutnya sendiri. Melihat kejadian genting itu, Bu Hamidah berteriak histeris. Sedangkan Guntur berlari kearah Wina.
"Wina!!! Jangan lakukan itu!!!" Teriak Bu Hamidah.
"Wina!!! Jangan nekad!!!" Seru Guntur. Tangan kirinya langsung memegang pergelangan tangan kanan Wina yang memegang gunting.
"Buat apa Aku hidup bergelimang harta, kalau nggak ada orang yang tulus mencintaiku selain Mas Satrio! Semua laki-laki hanya mencintai diriku hanya karena Aku anak orang kaya!!!" Seru Wina histeris dan tubuhnya bergetar hebat. Air matanya terus menerus mengalir dengan deras dipipinya. Gunting ditangannya lepas dari genggamannya.
"Jangan berkata begitu Wina! Pasti ada laki-laki yang tulus mencintai Wina!" Guntur mencoba menenangkannya.
"Benarkah yang Kamu katakan Mas?" Tanya Wina dengan perlahan. Guntur pun menganggukkan kepalanya. Tanpa sungkan dan ragu-ragu, Guntur langsung memeluk tubuh Wina. Wina pun membalas pelukannya.
Setelah berhasil menenangkan Wina, Guntur melepaskan pelukannya. Guntur pun berpamitan dengan Wina dan ibunya.
"Sekarang Kamu yang tenang! Jangan mau terhasut rayuan setan! Kamu pasti akan menemukan laki-laki yang terbaik untukmu!" Ucapnya.
"Iya Mas." Balas Wina dengan sesenggukan.
"Kalau begitu, Saya mau pulang dulu ya Wina!" Ucapnya.
"Iya Mas. Hati-hati di jalan. Terima kasih sudah mau mengembalikan dompetnya." Balasnya.
"Sama-sama. Wina, Bu Hamidah, Saya mohon pamit dulu. Assalamu'alaikum." Salamnya. Guntur pun berjalan menuju pintu depan rumah itu.
"Wa'alaikumsalam." Jawab Wina dan ibunya berbarengan. Tidak berapa lama, terdengar suara motor milik Guntur pergi meninggalkan rumah milik Bu Hamidah.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!