"Kau sembunyi di mana?"
Dia mencari di dalam gudang yang gelap, berdebu dan pengap. Sedangkan aku membekap mulut merapatkan tubuh dipojokan agar tidak terlihat jangkauan matanya yang tajam.
"Sayang, keluarlah, aku akan memperlakukanmu dengan baik."
Kata-katanya berbanding terbalik dengan benda yang dibawanya dalam genggaman. Pisau. Benda itu sangat menyeramkan bagi situasiku yang terancam.
"Ayah, ibu, di mana kalian? Aku mohon selamatkan aku dari kegilaan kakak!" Aku terus berteriak dalam hati. Berdoa demi keselamatanku.
"My sweetheart, aku lelah. Bisakah kita istirahat dulu?"
Sana istirahat! Aku akan berlari kabur dari tempat ini selagi kamu tidur! Tapi, bagaimana caranya? Sedangkan satu-satunya pintu keluar harus melewati kakakku di sana.
"Apakah kau sembunyi di sini?"
Jantungku nyaris copot dari tempatnya! Aku membeku dalam diam seperti patung tidak bernyawa ketika kurasakan aura tajam dari punggung. Kulihat di depanku, bayangan laki-laki itu tampak besar.
Dia menemukanku.
Aku pun akhirnya diseret keluar dari persembunyian seraya meronta-ronta minta dilepaskan. "Kumohon! Jangan seperti ini padaku!"
Tiba-tiba dia mendorongku ke dinding. Punggungku jadi terasa sakit akibat benturan dengan tembok. Dia tidak membiarkanku bernapas ketika wajahnya sudah di depan wajahku. Sangat dekat, sampai-sampai aku bisa merasakan embusan napasnya yang panas menerpa.
"Adikku yang manis, aku tidak suka penolakan. Kau tahu itu kan?"
Jantungku berdegup kencang. Aku tidak bisa berpikir rasional saat ini karena ketakutan. Hingga tanpa kusadari sentuhan kenyal menekan leherku. Dapat kurasakan bibirnya mengecupi kulit leherku dengan intim.
Sial. Otakku semakin tumpul. Aku tidak kuasa menolak ciumannya.
Sial. Aku tidak ingin mengakui. Bahwa aku terbuai karenanya.
Seketika aku memejamkan mata begitu giginya menggigit leherku. Aku yakin setelah ini akan meninggalkan bekas kemerahan di sana. "Please~" panggilku dengan suara lemah.
"Kau menyukainya, bukan? Maka, jangan pernah lagi menolak, mengerti?"
Aku sontak menggeleng cepat. Seperti yang kuduga, penolakanku ditanggapi dengan sesuatu yang tak terbayangkan lagi darinya ketika dia menyeringai dan sedetik kemudian napasku bagai direnggut mulutnya.
Dalam sekejap kedua tanganku sudah diikat dengan tali di tiang kayu. Dia mengambil sesuatu dan kembali dengan membawa pecutan. Aku membelalak. Tidak, jangan lagi. Karena benda itu, membuat kulitku jadi ruam kemerahan.
Aku menggeleng-geleng tidak mau. "Tidak..." lirihku tidak berdaya.
Seringai laki-laki itu tetap terbentuk di wajahnya yang mulus. "Kau sudah melanggar janji, sayang," katanya.
"Aku selalu memegang janjiku. Kau melarangku dekat dengan pria lain, maka aku melakukannya! Kau melarangku untuk makan berdua dengan teman laki-lakiku, aku sudah melakukannya! Kau melarangku keluar malam ke minimarket pun sudah kulakukan! Sekarang apa lagi?" Aku berteriak setengah frustasi. Kakakku memiliki banyak sekali larangan untukku.
"Ada satu hal yang tertinggal, sayang," ucapnya.
"Kau keluar rumah dengan celana pendek. Apa kau bermaksud menggoda laki-laki di luar tanpa sepengetahuanku, baby?"
Aku tercengang.
Sial. Aku tidak pernah tahu ada larangan berpakaian.
"Kenapa kakak selalu berpikiran negatif kepadaku?" sahutku sedikit meninggikan suara. Aku lelah. Lelah dengan semuanya.
"Karena kau istimewa bagiku, sayang. Kau berlian yang tak boleh orang lain tahu. Kau hartaku yang tidak boleh direbut siapapun. Kau harus mengerti itu, sayang."
"Kalau aku berharga bagiku, kenapa aku menganiayaku? Kenapa aku membuatku terluka?" serakku banjir air mata.
Aku tahu air mata tidak akan meluluhkan hatinya yang sekeras batu. Tapi nyatanya hanya air mata yang bisa melegakan emosiku karena dia.
"Karena hanya aku yang boleh melukaimu, sayang." Disentuhnya pipiku oleh telapak tangan dinginnya. Tatapan mata kelam laki-laki itu melembut sekaligus merendahkan. Senyum miring setia menggantung di bibir tebalnya.
"Kenapa?" bisikku lemas.
"Karena aku mencintaimu."
***
Jika saja aku bisa memutar waktu, maka aku tidak akan meminta permohonan itu pada hari ulang tahunku.
Bukan aku tidak bersyukur karena doaku dulu terkabulkan. Hanya saja ini lebih menyiksa hidupku, menyiksa kejiwaanku.
Aku ingin kabur.
Namun, aku tidak memiliki tempat untuk pergi dari rumahku. Rumah yang terdiri dari kedua orang tuaku, serta kedua kakak laki-lakiku. Aku adalah anggota terakhir dalam keluarga harmonis ini.
Ah, harmonis ....
Kami hanya terlihat baik di mata orang lain. Dibalik senyuman ramah mereka, kami menyimpan rahasia masing-masing. Rahasia itu kuketahui dalam diam saja. Kusimpan di dalam memori dan hanya melihat mereka berakting satu sama lain.
Mungkin bagi orang lain, kedua orang tuaku merupakan pasangan romantis. Mereka tidak tahu bahwa sebenarnya ayah dan ibu memiliki kekasih gelap sendiri. Aku pernah beberapa kali memergoki mereka dalam sembunyi, sedang bermesraan dengan orang lain.
Sedangkan kakak keduaku yang bernama Carey, diam-diam menggunakan obat. Aku tak tahu darimana dia mendapatkan benda itu. Kalau kau mengobrak-abrik kamarnya, pasti akan ditemukan bungkus terlarang itu.
Tetapi Carey tahu agar selamat dari hukum, dia menyumpal mulut pelayan dengan uang. Karena mereka membersihkan kamarnya secara rutin, jadi secara langsung mengetahui adanya benda rahasia itu disembunyikan.
Bagaimana pun, kak Carey adalah sosok yang lumayan normal bagiku daripada kakak laki-laki pertama.
Kakak pertamaku bernama Calvin. Tidak banyak yang bisa aku deskripsikan tentangnya, selain satu kata untuknya, psikopat.
Calvin tidak hanya psikopat. Dia sangat terobsesi kepadaku. Sifat psikopatnya lah membuatku sering dibuat merinding. Jika diibaratkan dengan binatang, maka hewan ular lah wujud yang tepat untuk menggambarkan dirinya.
Calvin beracun. Mematikan. Tapi memikat.
Dengan kadar ketampanan yang diwariskan dari ayah kami sewaktu muda dulu, dia mudah menarik perhatian para wanita hanya dengan lewat di depan mereka.
Pada awalnya mereka semua bersikap cuek dan dingin kepadaku -yang saat itu masih anak-anak. Membuatku merasa tidak dianggap dan diabaikan keluarga sendiri. Bahkan ketika aku demam, hanya pelayan yang merawatku.
Lalu, di usiaku yang menginjak sembilan tahun pada hari itu, teman dekatku di sekolah yang bernama Stephen, memberiku cake cup ukuran sedang lengkap dengan sebatang lilin kecil ditancapkan.
Stephen memintaku untuk membuat harapan sebelum meniup lilin. Aku pun menurutinya.
Tahukah apa yang aku harapkan sebelum api lilin padam?
Aku meminta kepada Tuhan agar seluruh keluargaku menjadi sangat menyayangiku.
Sebuah permintaan sederhana, tetapi tidak kusangka permohonan tersebut terkabulkan. Aku senang pada awalnya. Namun, semakin tumbuh usiaku, semakin berkembang pula pemikiranku bahwa aku mulai menyesali permohonan itu.
"Clara, ayah sudah mendapatkan calon tunanganmu. Nanti lusa berbicaralah dengannya untuk saling mengenal," kata ayah, hari ini, saat kami sedang sarapan bersama.
"Apa!" seru Carey menggebrak meja.
"Ayah! Belum ada sebulan dia membatalkan pertunangan. Sekarang kau sudah menyodorkannya calon yang baru?" kata Carey protes.
Aku pikir, ayahku terobsesi untuk membuatku menikah dengan pria pilihannya. Walau lagi dan lagi hal itu kembali gagal. Karena aku yang menolak pria-pria itu. Pembatalan pertunangan sebulan lalu adalah ke lima kalinya.
Ayah juga tidak memaksaku untuk meneruskan hubungan kami jika aku tidak suka. Benar, aku tidak suka sebagai alasan klasik. Padahal ada campur tangan orang lain dalam rencana perjodohan ini.
Bisa tebak siapa?
Calvin.
"Baik, ayah. Aku akan melakukan pertemuan dengannya," jawabku dengan tenang. Ketenangan dan senyum di wajahku hanya topeng belaka untuk menyembunyikan kegugupanku di dekat Calvin yang terasa mengintimidasi dalam diamnya.
"Adik kita sangat patuh. Kuharap Clara tidak akan galau lagi," kata suara berat Calvin.
Seluruh bulu romaku merinding ketika suaranya berembus di sisi telingaku, karena dia duduk tepat di belakangku, memangku diriku di kursi makan, di hadapan mereka.
Aku tak ingin menganggapmu ada, Calvin! Aku harap juga, calon tunanganku bisa membawaku keluar dari rumah ini!
Lusa, cepatlah datang!
Aku harus berhasil dalam pertunangan itu agar bisa pergi jauh dari Calvin!
Namaku Clara Jaromir. Kami kaya, tetapi hidupku tidak sebahagia puteri di istana.
***
Setelah selesai makan malam keluarga, aku duduk di sofa ruang tengah untuk menonton televisi. Tiba-tiba Carey ikut duduk di sampingku.
"Apa kau yakin akan menerima pertunangan itu?" kata Calvin meragukanku.
"Ya, aku akan menerimanya dalam hidupku."
"Wah, mendengar jawabanmu, aku jadi curiga, apa kau sudah pernah bertemu dengannya?" tanyanya cukup bawel.
"Tidak, bahkan aku tidak tahu namanya apalagi wajahnya," jawabku acuh.
"Jangan salah pilih pria. Ingat, dia akan menjadi masa depanmu. Aku tidak setuju jika kau tidak mencintainya dan dia tidak mencintaimu balik," ucap Carey.
Dengar kan? Pria ini adalah kakak kedua yang terbaik bagiku. Dialah sosok kakak yang sebenarnya dengan segala sikap wajarnya kepada adik perempuan.
"Terima kasih sudah peduli padaku, kak. Aku tahu mana pria yang baik untuk hidupku. Untuk itulah aku akan memutuskan dengan siapa aku akan hidup nanti," kataku sambil menatap lurus ke layar televisi.
"Baguslah. Jangan tidur kemalaman. Aku ke kamar," pamit Carey mengusap rambutku kemudian beranjak pergi.
Sedangkan aku masih bergeming di depan televisi. Menonton drama romantis kesukaanku yang tayang tiap malam. Sampai tidak menyadari jam semakin larut malam, dan suasana rumah sudah sepi dan gelap.
Aku tidak peduli. Alih-alih pergi ke kamar untuk tidur, aku meneruskan tontonanku sambil berbaring di sofa panjang. Hanya cahaya dari televisi yang menerangi ruangan ini. Perlahan-lahan membuat mataku memberat dan aku mulai tertidur ketika merasakan pergerakan lain di sofaku.
Sontak aku terjaga lagi. Nyawaku yang tadinya hendak terjun ke dunia mimpi, sekarang bagai tersedot kembali ke dunia nyata. Kudapati sosok Calvin duduk ditepi sofa. "Jangan tidur di sini," kata suara berat Calvin.
Pria ini berbahaya, otakku memperingatkan. Tetapi rasa kantuk yang menguasai, membuat kewaspadaanku menurun terhadap Calvin. Aku percaya Calvin tidak akan bertindak kasar padaku selama aku tidak membuat kesalahan. Dan sejak seharian penuh ini, aku cukup percaya diri tidak melakukan hal yang membuatnya marah. Jadi aku pikir aman untuk sekarang.
Tapi ternyata tidak!
Aku tersentak ketika merasakan tekanan lembut pada bibirku. Ketika mataku terbelalak, kepala Calvin menghalangi pandanganku sepenuhnya. Dia menciumku!
Aku memberontak. Memberi isyarat agar dia melepas ciumannya. Kemudian Calvin menjauhkan wajahnya tapi tidak mengubah posisinya di dekatku. Dia mengusap garis bibirku yang kering sambil menatap mataku dengan tatapan gelap.
"Bibir ini tidak boleh diambil pria lain," ucap Calvin.
Lalu tanpa diduga, dia kembali merunduk dan menjangkau permukaan bibirku penuh. Aku memelotot. Terutama ketika kami 'bersilat lidah' dengan tubuh panas Calvin di atasku. Tidak ada balasan dariku selain menjadi pasif dibawah tekanannya yang mendominasi.
Calvin itu sekeras baja dan dia tidak peduli bagaimana aku memberontak. Sebab apapun bentuk penolakanku dalam situasi seperti ini, tidak berarti apa-apa bagi Calvin, dan hanya kesia-siaan bagiku. Sampai-sampai akhirnya aku kehabisan napas dan mulai memukul keras pundaknya berkali-kali.
Perlahan Calvin menarik dirinya. Melepas tautan bibir kami, dan benang tipis terjuntai membentuk jembatan bening yang saling terhubung sebelum putus di dagu kami.
Napasku terengah-engah. Aku mendelik tajam pada Calvin. Tapi sepertinya dia tidak peduli mau aku suka atau tidak. "Apa kakak gila? Bagaimana jika orang tua kita tahu!" protesku.
Calvin mengusap daguku dengan lembut. Kemudian tanpa menjawabku, dia menggendong tubuhku tiba-tiba. "Turunkan aku!" Aku menendang-nendang angin. Calvin abai. Dia membawaku naik ke lantai dua. Ketika berjalan melewati pintu kamarku, aku meronta-ronta minta diturunkan.
Sebenarnya dia mau membawaku kemana!
Sekali lagi, kedua lengannya yang terasa sekeras batu itu tidak bereaksi terhadap pemberontakanku. Calvin menggendongku seolah tidak terganggu dengan beban di tangannya.
"Kakak, aku akan teriak!" ancamku.
"Silakan saja teriak, biar mereka tahu bagaimana kau dan aku," kata Calvin menyeringai. Aku kalah tiap kali berdebat dengannya. Setiap ancamanku kepadanya bagaikan angin lewat.
Ini menjengkelkan sekali!
Kemudian Calvin membuka pintu, dan aku segera tahu dibawa kemana diriku. Adalah ke kamarnya! Kamarnya berada diujung lorong dan agak terpisah dari lorong kamar lain.
Begitu suara kunci terdengar, aku merinding seketika. Mengapa dia harus mengunci pintunya!
"Kalau tidak aku kunci, mungkin seseorang akan menyelonong masuk tanpa permisi dan mengganggu kegiatan kita berdua di malam yang panjang," kata Calvin seakan mendengar suara hatiku. Lalu dia membaringkan tubuhku di tempat tidurnya. Seketika aroma cool terserap ke indra penciumanku.
Aroma khas Calvin yang membuatku merasa nyaman.
Pria itu lantas turut berbaring di sampingku. Dia menarik punggungku mendekat, mendekapku erat dengan lengan kokohnya menjangkau seluruh punggungku.
Aku tahu Calvin tidak akan berbuat seperti yang lebih dari itu. Aku paham sifatnya. Selama aku tidak mengundang sisi lelakinya, maka dia tetap menjadi anjing yang tenang.
"Malam ini kau tidur di kamarku," kata Calvin. Dia memeluk kepalaku ke lehernya.
"Kenapa?" Aku bertanya.
"Hanya ingin."
Kemudian hening.
Aku pikir dia sudah tidur. Jadi aku memejamkan mata, lalu suara beratnya kembali terdengar. "Tolak pertemuan besok lusa. Aku tidak setuju kau berhubungan dengan pria lain. Kau masih terlalu muda. Apa kau tidak ingin menghabiskan masa mudamu dengan bersenang-senang?" kata Calvin.
Bersenang-senang? Aku mendengus. "Bagaimana aku bisa bersenang-senang dengan semua teman-temanku kalau kakak selalu saja melarangku pergi dengan mereka," keluhku menyindir perkataannya barusan.
"Aku hanya melarangmu bermain dengan teman-teman pria. Aku hanya melarangmu pergi tanpa diriku jika di malam hari. Semua laranganku semata untuk melindungimu dari kaum pria brengsek di luar sana," jelas Calvin dengan nada lembutnya. Kalau dia sudah bicara menggunakan intonasi yang pengertian, itu selalu membuatku luluh dan menjadi penurut padanya.
Jadi, siapakah di sini anjingnya?
"Aku sudah cukup umur untuk menjalin hubungan dengan seorang pria. Besok lusa aku tidak ingin membuat ayah kecewa padaku. Setidaknya aku harus menemui seperti apa dia," ucapku setengah mengantuk.
Samar-samar aku mendengar suaranya mengatakan sesuatu sebelum aku benar-benar jatuh ke alam mimpi.
"Jadi, kau ingin aku melakukannya, huh?"
***
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!