NovelToon NovelToon

Ratu Tanpa Mahkota

Bab 1 Pernikahan Kerajaan

Puteri Gita dari Kerajaan Watu Ijo telah tiba di istana Kerajaan Elfian. Setelah melewati gerbang istana yang tinggi dan dijaga oleh para pengawal berseragam dinas berwarna putih, kereta kuda yang dinaikinya kini melintasi halaman yang luas dan panjang dengan dinaungi pohon-pohon palem di kiri kanan jalan.

Bangunan megah dengan pilar-pilar berwarna putih itu sudah mulai terlihat dari kejauhan, sebuah penampakan istana yang mengagumkan.

Setelah beberapa menit melintasi halaman yang panjang itu, akhirnya dia sampai juga di istana megah ini, istana Elfian, rumah calon suaminya.

Di tempat asalnya, Puteri Gita memang sudah terbiasa melihat bangunan istana yang megah, namun hal itu tidak bisa dibandingkan dengan istana ini. Istana di hadapannya sekarang ini terlihat puluhan kali lebih indah dan mewah.

Istana ini berupa bangunan kokoh berwarna putih dan bertingkat. Terlihat banyak sekali jendela yang menghadap ke luar. Beberapa menara pengawas yang puncaknya di hiasi bendera Kerajaan Elfian terlihat menjulang dengan indah.

Dari luar saja sudah mengagumkan apalagi di dalamnya, begitu pikirnya.

Kedatangan Puteri Gita disambut oleh beberapa pengawal dan staf kerajaan yang berdiri berjajar di depan pintu istana yang besar.

Wajah mereka semua terlihat sangat rupawan. Mereka memiliki kulit yang seputih salju.Telinga mereka yang agak runcing menandakan bahwa Bangsa Elfian masih keturunan peri.

Puteri Gita turun dari keretanya dibantu oleh seorang pengawalnya. Ketika gadis itu menjejakkan kakinya, para pengawal dan staf kerajaan membungkuk hormat.

Puteri Gita kemudian berjalan hendak mengikuti mereka, namun dia tiba-tiba berhenti sejenak lalu berbalik ke belakang melihat rombongannya tadi.

"Adrian,apa kau tak mau menemaniku?" Puteri Gita bertanya pada salah satu pengawal berkuda yang tadi mengantarnya.

"Tidak Tuan Puteri, saya diperintahkan agar langsung kembali setelah anda sampai." Jawab Adrian dengan membungkuk hormat.

"Begitukah?" Sang Puteri mengangguk maklum.

Rombongan itu kemudian segera pergi meninggalkan istana Elfian diiringi tatapan dingin Puteri Gita.

Puteri Gita kembali mengikuti langkah staf kerajaan yang tadi sengaja menunggunya. Mereka memasuki koridor yang luas dengan langit-langit yang tinggi, beberapa lampu gantung besar yang terbuat dari kristal menjuntai indah.

Berbagai perabotan antik dan mewah terpajang di sana. Patung-patung dan lukisan-lukisan karya seniman terkenal juga menghiasi dindingnya. Semuanya terlihat indah dan mahal, tanpa sadar lidah gadis itu berdecak kagum.

Setelah melewati lorong yang panjang itu, mereka akhirnya sampai di ruang terbuka yang menakjubkan. Sebuah taman istana yang luas dan dipenuhi beraneka jenis bunga-bunga dan pepohonan yang indah.

Puteri Gita kemudian di arahkan ke sebuah gazebo mewah dengan kanopi berwarna biru muda yang terletak di depan rimbunan bunga-bunga tulip berwarna putih.

Gazebo yang memiliki empat tiang berukir dan langit-langit yang melengkung itu, terlihat sangat elegan dengan hiasan bunga-bunga segar dan kain satin kualitas terbaik berwarna putih dan biru langit.

Di sana dia melihat seorang pemuda berparas sangat tampan dengan rambut perak yang panjang sampai ke pinggang, sedang berpose sambil memegang pedang.

Pakaian yang dikenakan oleh pemuda itu berwarna putih dengan panjang selutut dan celana panjang putih. Pakaian itu terlihat mewah dengan hiasan permata jernih bertaburan di bagian dada dan ada sebuah mahkota yang bertengger di kepalanya.

Ada perasaan rendah diri yang tiba-tiba menyerang gadis itu. Apakah itu calon suaminya? Apakah pantas gadis biasa seperti dirinya mendampingi pria yang ketampanannya terlihat tidak manusiawi itu?

" Yang Mulia, Puteri Gita dari Kerajaan Watu Ijo telah tiba!" Seorang staf yang berambut emas mengabarkan kedatangan Puteri Gita.

Raja yang sedang berpose karena sedang dilukis itu melirik sekilas pada Puteri Gita. Dalam hatinya dia mengutuk perjodohan ini yang memaksanya untuk menerima gadis jelek itu menjadi permaisurinya.

"Kau sudah datang? Baiklah, istirahatlah di wisma yang sudah disediakan!" Raja yang bernama Satria itu berkata tanpa memandang calon istrinya.

"Baik Yang Mulia." Gadis itu membungkuk sekilas, kemudian dia segera pergi mengikuti langkah Staf Kerajaan.

Staf Kerajaan itu mengantarnya menuju ke sebuah bangunan yang menyerupai istana kecil yang sangat indah. Di sana dia disambut oleh beberapa pelayan wanita berparas cantik.

Gadis bangsawan itu bukannya tidak menyadari bahwa calon suaminya itu tidak menyukainya. Namun Puteri Gita tidak mau ambil pusing karena dia juga tidak tertarik padanya. Baginya kesempurnaan fisik bukan jaminan seseorang untuk bisa jatuh cinta.

Lagipula, tipe pria idamannya adalah pemuda sederhana yang humoris dan rendah hati.

Puteri Gita melemparkan dirinya ke kasur empuk berisi bulu angsa. Seprei yang halus lembut bermotif bunga-bunga berwarna biru seakan menariknya ke alam mimpi.

Tanpa disadarinya hari sudah beranjak malam, lampu kamar yang temaram terlihat memperindah kamar yang luas ini. Dua orang pelayan perempuan berambut merah membantunya mandi dan berpakaian. Mereka bahkan memolesnya dengan sedikit make up hingga membuat penampilannya lebih cantik.

Kemudian Puteri Gita diantar ke ruang perjamuan yang luas dengan meja yang panjang. Hanya ada dirinya dan calon suaminya. Pria itu memandangnya dengan tatapan malas dari seberang sana. Dari jarak itu matanya yang berwarna ungu muda tampak berkilat.

"Apa kau betah di sini, Puteri?" Tanya Raja Satria dengan sedikit seringai di bibirnya yang semerah ceri.

"Entahlah." Jawab gadis itu tak acuh yang membuat Raja menjadi kesal.

"Persiapkan dirimu karena besok pernikahan kita akan digelar. Tapi aku heran, kenapa belum ada perwakilan dari kerajaanmu yang datang?" Raja bertanya dengan nada mencela.

"Entahlah." Jawab gadis itu lagi yang semakin membuat kesal Raja.

"Apa kau tak perduli kalau tak ada satupun kerabat dan perwakilan dari kerajaanmu yang menghadiri upacara pernikahanmu besok?" Tanya Raja mulai emosi.

"Tidak." Jawab gadis itu singkat.

Raja terkekeh diseberang sana sambil mengiris daging panggangnya dengan geram. Gadis dihadapannya ini entah bodoh atau kurang ajar yang pasti sudah membuatnya marah. Namun pernikahan mereka sungguh tidak bisa dibatalkan.

"Baiklah gadis bar-bar, tunggu saja hukuman dariku!" gumam Raja.

*****

Besoknya pernikahan kerajaan digelar dengan upacara yang sakral di aula istana. Pernikahan itu dihadiri oleh semua Dewan Kerajaan, tamu-tamu kehormatan dari kerajaan sahabat, pejabat-pejabat dan kerabat kerajaan. Namun sama sekali tak nampak perwakilan dari Kerajaan Watu Ijo, pihak dari mempelai wanita.

Setelah upacara pernikahan selesai, acara langsung dilanjutkan dengan penobatan Ratu baru dengan pemberian gelar dan pemasangan mahkota.

Ratu Gita tampak cantik mengenakan gaun pengantin kerajaan yang megah. Senyum terkembang dari bibirnya meskipun sebenarnya hatinya menjerit tatkala menyadari tak ada satupun kerabatnya yang hadir.

Setetes air mata jatuh di pipinya kala teringat almarhum ibunya yang tidak bisa menyaksikan pernikahannya. Namun saat gadis itu teringat ayahnya yang telah menyingkirkannya sejak kecil, hatinya seakan disiram air es. Seketika hatinya menjadi beku.

Gelar Puteri yang tak dianggap tersemat padanya sejak kecil. Ibunya hanyalah seorang wanita persembahan dari kerajaan musuh untuk menghindari peperangan. Ibunya menjadi Selir yang kedudukannya lebih rendah dari Sang Ratu.

Dan nasib buruk tampaknya masih berlanjut. Takdirnya sebagai wanita persembahan dan simbol perdamaian dua kerajaan, kini berada di pundaknya.

Kini pasangan baru kerajaan itu, Raja dan Ratu duduk berdampingan di singgasana dengan senyum terus mengembang.

"Dansa perdana kerajaan oleh Yang Mulia Raja dan Ratu!" Seorang staf kerajaan mengumumkan dansa perdana untuk kedua mempelai.

Dengan sopan Raja mengulurkan tangan kepada Ratu dan disambut oleh wanita itu dengan anggun. Musik segera dimainkan dan tepukan meriah para hadirin memenuhi ruangan ketika pasangan kerajaan itu mulai berdansa.

Tak bisa dipungkiri Raja Satria sangat luwes berdansa dan pandai membimbing Ratu untuk mengikuti gerakannya. Semua yang memandangnya dibuat terpesona, seolah mereka melihat pasangan dewa dewi dari khayangan.

Namun tampaknya tidak semua setuju dengan hal itu. Karena di sudut ruangan, terlihat seorang wanita cantik berambut keemasan memandang benci pada pasangan itu.

Sampai-sampai wajahnya yang putih dan telinganya yang runcing itu menjadi merah padam. Dia berkali-kali menenggak minuman yang disediakan sampai beberapa gelas.

Sementara itu Raja Satria diam-diam mengagumi kelincahan pasangan dansanya itu. Gadis berparas manis itu ternyata mampu mengimbangi tariannya, seolah-olah mereka telah lama berlatih bersama.

Wajah gadis itu sedikit merah namun ekspresinya tak berubah. Bahkan pada saat musik diganti dan lagu gubahan terbaru dimainkan, gadis itu tetap bisa mengimbanginya.

"Ternyata kau lumayan juga," Bisik Raja di telinga Ratu, yang membuat istrinya itu merinding karena geli. Melihat reaksi gadis itu, Raja langsung bisa menebak bahwa dia adalah laki-laki pertama yang berada begitu dekat dengannya. Membayangkan hal itu secara tidak sadar membuat bibirnya tersenyum.

"Kau juga lumayan." Balas gadis itu dengan wajah yang semakin merah.

"Apa sekarang kau sudah jatuh cinta padaku?" Tanya Raja penuh percaya diri. Tatapan matanya mengintimidasi gadis itu.

"Jangan berhayal, ya!" Jawab Ratu sambil menginjak kaki Raja dengan keras, membuat pria tampan itu seketika meringis kesakitan.

"Dasar gadis bar-bar!" Rutuk Raja dalam hati.

Bab 2 Kenyataan Pahit

Setelah pesta usai, pasangan baru itu dipertemukan di kamar pengantin di Wisma Ratu. Ruangan itu dihias sedemikian indah dan romantis.

Kelopak mawar tersebar menghiasi ranjang pengantin yang diatasnya terdapat kelambu dari kain satin dan sutra yang menjuntai kelantai. Harum bunga dan cendana menguar lembut.

Ratu Gita duduk di pinggir ranjang, sebagian tubuhnya tertutup kelambu dan hanya menampakkan siluet yang menggoda. Hatinya berdebar membayangkan apa yang akan terjadi selanjutnya.

Meskipun Raja Satria bukanlah pria idamannya, namun kini dia telah sah menjadi suaminya. Dan sekarang pria itu berhak atas dirinya.

Sementara itu Raja berdiri tertegun di depan ranjang pengantin, memandang siluet istrinya yang menggoda. Hati kecilnya ingin mendekat dan menunaikan kewajiban sebagai suami namun otaknya melarang keras.

Malam ini tidak akan ada malam pertama, atau bahkan malam-malam berikutnya juga akan tetap sama. Dia sudah berjanji pada seseorang yang dikasihinya untuk tidak menyentuh pengantinnya itu.

Raja kemudian duduk bersandar di sofa kecil yang terbuat dari bulu beruang kutub, tangannya meremas bulu-bulu putih yang halus itu. Untuk menghindari istrinya, dicobanya untuk memikirkan hal lain.

Kini dia membayangkan kekasihnya yang cantik dan lembut itu. Apa kira-kira yang dilakukannya sekarang? Apakah dia sedang bersedih? Dia paling tidak tahan jika melihatnya menangis.

Tanpa sengaja Raja Satria menoleh ke arah ranjang dan tidak lagi mendapati siluet istrinya.

"Kemana gadis bar-bar itu?" Alisnya bertaut. Dengan langkah pelan dan tanpa menimbulkan suara, Raja mendekati ranjang.

Setelah mendekat ternyata dilihatnya Sang Ratu yang tadi terlihat anggun itu ternyata sedang tertidur dengan mulut terbuka. Bahkan diujung bibirnya terlihat air liur menetes membasahi gaun tidurnya.

"Dasar gadis jorok!" Gumam Raja dengan raut jijik.

"Kekasihku Mayang takkan mungkin bersikap memalukan sepertimu!" Pria itu mencela sambil mengibaskan rambut peraknya.

Raja kembali ke sofa dan mulai memejamkan mata namun wajah Ratunya yang sedang ngiler dengan mulut terbuka, tiba-tiba terbayang-bayang. Raja mengucek-ngucek matanya berusaha mengusir bayangan itu.

"Menyebalkan!" Gerutunya.

Raja Satria kemudian bangkit dan kembali menghampiri istri barunya itu. Kali ini gadis itu sudah menutup mulutnya.

Raja mengambil sapu tangan sutra berwarna merah dari balik bajunya dan dengan hati-hati mengelap bibir istrinya.

"Sebenarnya jika kau diam begini wajahmu tampak manis." Gumam Raja, mata ungunya berkilat hangat dan bibirnya tersenyum.

Disibaknya rambut Ratu Gita yang menempel di wajahnya. Diperhatikannya wajah yang polos itu dan tanpa disadari tangannya mengelus pipi istrinya. Tiba-tiba dia tertegun menyadari perbuatannya sendiri dan segera mengangkat tangannya.

"Bodoh kau Satria, buat apa coba kau menyentuh gadis bar-bar ini?" Wajah Raja mengernyit dengan ekspresi geli.

"Lebih baik aku keluar saja ah, takut khilaf." Raja bergidik ngeri.

Kemudian dia segera keluar dan pergi ke Wisma Raja, beberapa kali dia berpapasan dengan pengawal yang sedang piket malam. Mereka segera membungkuk hormat dengan wajah bingung karena melihat Raja pergi meninggalkan Ratu pada malam pengantinnya.

*****

Keesokan harinya Ratu diminta datang ke ruang singgasana Raja. Dengan mengenakan gaun kerajaan yang indah dan mahkota menghiasi kepalanya, Ratu memenuhi undangan Raja.

"Kemarilah Ratu." Raja meraih tangan istrinya dan mengajaknya duduk di sebelahnya.

Perlakuan pria itu sangat lembut dan terlihat menghargai wanita. Dalam hatinya Ratu Gita merasa agak menyesal karena sempat berpikiran buruk pada suaminya itu.

Ketika tadi pagi tak menemukannya di kamar, dia mengira suaminya itu adalah laki-laki yang tidak menghargai wanita.

"Upacara penobatan Selir Utama". Tiba-tiba seorang staf kerajaan membacakan pengumuman.

Pintu diseberang singgasana terbuka lebar dan tak lama kemudian muncul seorang wanita yang sangat cantik berambut panjang keemasan. Dengan dagu sedikit terangkat, wanita itu berjalan anggun menuju ke arah singgasana.

Semua mata terpana melihat kecantikan wanita itu yang menyerupai seorang Dewi dari khayangan. Raja Satria menatap wanita itu dengan pandangan memuja.

Bahkan orang yang baru pertama kali melihatnya pun akan dapat menyimpulkan, betapa berharganya wanita itu di mata Sang Raja.

Ratu Gita yang menyaksikan itu menjadi tertegun. Campuran antara bingung dan marah. Bisa-bisanya Raja brengsek itu mengangkat seorang selir tepat sehari setelah pernikahan mereka.

Bibir Sang Ratu bergetar dan matanya berkaca-kaca namun dipaksanya agar jangan sampai menangis meskipun dia merasa martabatnya telah diinjak-injak.

Selir Utama itu bernama Mayang, putri salah seorang dewan kerajaan. Dengan gerakan gemulai wanita cantik itu memberi hormat kepada Raja dan Ratu ketika prosesi penobatan itu selesai.

"Kurasa kaulah yang paling sesuai untuk mendampingiku Selir Utama. Ras kita yang unggul baik secara fisik maupun kecerdasan, pasti akan melahirkan calon pewaris tahta yang sempurna." Raja berbisik pada Selir Mayang ketika wanita itu mengulurkan tangan padanya.

Kalimat itu meskipun diucapkan dengan berbisik, namun terdengar jelas di telinga Ratu Gita. Wajahnya serasa tertampar mendengar ucapan suaminya itu.

"Sekali lagi aku terbuang." Batin Ratu Gita.

Ratu kemudian turun dari singgasana tanpa berpamitan. Hatinya remuk redam. Dia berjalan keluar melewati mereka semua tanpa menghiraukan tatapan aneh orang-orang disekitarnya.

Orang-orang yang mengaku sebagai ras paling unggul dengan keelokan paras yang nyaris sempurna namun mereka memiliki sifat tinggi hati.

Warna mata mereka yang indah bak permata yang berkilauan namun mereka sering memandang rendah bangsa lain.

Rambut yang berwarna perak, keemasan dan merah membara yang sangat menawan berbanding terbalik dengan kearifan budi yang tidak mereka miliki.

Ratu Gita terus berjalan sepanjang koridor yang berisi mahakarya seniman-seniman terkemuka. Namun kini dimatanya tak ada lagi kekaguman yang dia rasakan, semuanya kosong dan tidak berarti.

Ratu memasuki wisma disambut dua pelayan istana berambut merah. Mereka berdua bernama Esme dan Talitha.

Dengan telaten mereka membantu Ratu berganti pakaian dan menyisir rambutnya. Esme dengan hati-hati menaruh mahkota Ratu di rak kaca.

Meskipun Ratu tidak berkata apa-apa namun mereka tahu perasaan majikannya itu. Berita penobatan Puteri Mayang sebagai Selir Utama sudah mereka dengar sejak jauh hari. Karena seluruh penghuni istana tahu bahwa wanita itu adalah kekasih Raja.

Kedua pelayan istana itu sangat menyukai Ratu Gita meskipun mereka baru bertemu. Kedua gadis itu merasa bahwa Ratu baru ini orang yang baik.

Sebenarnya bangsa Elfian memiliki kepekaan terhadap sifat asli manusia. Namun sekarang mereka banyak yang mengabaikannya dan lebih mengunggulkan logika.

"Yang Mulia Ratu, kami sudah menyiapkan makanan di meja." Ucapan Talitha telah membuyarkan lamunan Ratu Gita.

"Maaf aku belum lapar, kalian makan duluan saja." Sahut Ratu dengan suara lembut.

"Maaf, kami tidak berani!" Jawab mereka kompak.

"Yang Mulia Ratu, tolong makanlah walau hanya sedikit. Kalau sampai terjadi sesuatu pada Yang Mulia, kami nanti akan dihukum." Ucap Esme sambil memelas.

"Baiklah kalau kalian memaksa. Tapi aku tidak bisa menghabiskannya sendiri. Maukah kalian membantu?" Tanya Ratu.

"Maksud Yang Mulia apa?" Mereka bertambah bingung.

"Ayo kita makan bersama, aku tidak ingin makan sendirian," Wajah Ratu terlihat sedih.

Mereka berdua saling berpandangan. Setelah berpikir sejenak, mereka mengangguk. "Baiklah kami bersedia."

"Kalau begitu, mulai sekarang kalian harus menemaniku makan!" Ratu berkata sambil tersenyum.

Mereka bertiga makan dengan lahap dan sesekali menertawakan hal-hal yang lucu. Saat ini Ratu ingin melupakan masalahnya. Dia ingin bebas dan melupakan sejenak tata krama istana yang telah membelenggunya sejak kecil.

"Aku berharap kita bisa benar-benar berteman." Ucap Ratu dengan tulus.

"Kami juga berharap demikian Yang Mulia Ratu, jika diijinkan." Jawab kedua gadis itu.

"Aku senang akhirnya di tempat ini aku bisa mendapat teman." Ratu merangkul kedua kawan barunya. Sejenak ada setitik bahagia yang dia rasakan di tempat yang masih asing ini.

Bab 3 Menerima Nasib

Memulai kehidupan perkawinan dengan kehadiran wanita lain disisi suaminya sungguh terasa berat. Meskipun belum ada perasaan cinta yang tumbuh di hatinya, namun hal itu tetap terasa menyesakkan dada.

Raja Satria mengunjungi Wisma Ratu hanya sekali saat malam pengantin, selanjutnya Raja lebih sering menghabiskan waktu bersama selir kesayangannya, Selir Mayang.

Meskipun untuk acara-acara resmi tetap Sang Ratu yang ditunjuk mendampingi Raja, namun setiap hari Raja lebih memilih ditemani Selir Utama.

Hal ini yang membuat para penghuni istana bergosip diam-diam. Ada yang merasa kasihan pada Ratu karena kelihatannya Raja tidak mencintainya.

Ada juga yang merasa sudah sewajarnya Raja Satria berlaku seperti itu karena sesungguhnya wanita yang dicintainya adalah Selir Utama, lagipula wanita itu dari bangsa Elfian sendiri.

Semua keunggulan ras bangsa Elfian terdapat dalam diri Selir Mayang. Baik itu paras yang nyaris sempurna maupun keanggunan khas bangsawan Elfian. Selir Mayang juga mahir bernyanyi dan memainkan harpa.

Sedangkan Ratu Gita hanyalah wanita biasa yang tidak terlihat memiliki keistimewaan apapun.

Suasana di istana yang kelihatan damai, sebenarnya dipenuhi intrik dan politik yang saling menjatuhkan. Ada berbagai kubu yang saling bersaing untuk memenangkan kepercayaan Raja dan meraih kekuasaan.

Ada beberapa pihak yang mendukung Raja tanpa pamrih. Ada yang mendukung Selir Utama karena dirasa kalau wanita itu bisa mempengaruhi pandangan dan pemikiran Raja, sehingga menguntungkan mereka. Namun tampaknya tak ada satupun yang mendukung Sang Ratu.

Ratu menyadari hal itu, namun dia mencoba untuk mengabaikannya. Sebagai Ratu yang hanya dijadikan Simbol Kerajaan, dia tidak merasa perlu untuk mencari dukungan dari pihak manapun. Ratu Gita sudah menerima takdirnya menjadi Ratu tanpa kekuasaan.

Kegiatan yang dijalaninya jika tidak dipanggil menghadap Raja adalah mengunjungi perpustakaan istana untuk membaca ataupun pergi ke kebun Istana untuk menyendiri menikmati keindahan pepohonan yang mengingatkannya pada kampung halaman.

Adakalanya saat bosan, Sang Ratu menghabiskan waktu dengan berlatih memanah. Ratu cukup mahir memanah karena sudah berlatih dari kecil, meskipun itu bukanlah hobi yang wajar bagi seorang Putri Raja.

Untuk sementara waktu Ratu Gita hanya berteman dengan kedua pelayan pribadinya. Mereka terkadang menceritakan kabar ataupun gosip yang sedang beredar hangat di istana.

"Kabarnya Raja mengajak Selir Utama berlibur ke Istana Musim Panas selama sepekan ini." Kata Esme ketika sedang membantu Ratu mengenakan gaunnya. Tangannya yang cekatan mengikat pita dipunggung Ratu.

"Benarkah?" Ratu tersenyum tipis.

"Benar Ratu." Gadis itu mengangguk membuat rambutnya yang merah menyala berkibar. Namun matanya yang sehijau zamrud itu sekilas menangkap kesedihan pada wajah majikannya.

"Maaf Yang Mulia Ratu, saya tidak bermaksud membuat Paduka bersedih."

"Tidak, aku tidak apa-apa." Jawab Ratu menyembunyikan kepedihan hatinya.

Tiba-tiba terdengar ketukan di pintu, Talitha masuk bersama dua orang pengawal membawa sebuah bungkusan besar dibalut kain satin putih dan pita biru.

"Apa itu?" Ratu merasa heran.

"Ini adalah hadiah dari Sang Raja untuk Yang Mulia Ratu." Jawab Talitha sambil tersenyum gembira.

Gadis itu segera membuka bungkusan itu dibantu oleh pengawal. Ratu Gita mendekat untuk mengetahui isinya.

"Indah sekali!" Talitha dan Esme terpekik bersama.

Tampaklah sebuah mahakarya lukisan potret Sang Raja. Lukisan itu sungguh mirip dengan aslinya. Raja yang tampan itu terlihat gagah dengan pakaian putih berhias batu-batu permata dengan tangan kanannya memegang pedang. Ratu ingat lukisan itu dibuat saat pertama kali dia bertemu Raja.

"Ayo segera dipasang!" Perintah Esme pada kedua pengawal.

Mereka segera memasang lukisan itu di tembok yang menghadap ke peraduan Sang Ratu. Entah mengapa aura di kamar itu langsung terasa lebih baik setelah lukisan itu dipasang.

"Wah..Sang Raja ternyata sangat romantis." Puji Esme terkagum-kagum.

"Cih..romantis apanya? Dia memberiku lukisannya tetapi dirinya yang asli malah sedang berlibur dengan selirnya." Batin Ratu Gita mencibir kelakuan suaminya.

"Yah, paling tidak mulai sekarang Sang Raja akan selalu menemaniku disini, meskipun hanya lukisannya." Ratu Gita tertawa, mencoba melucu.

Kedua pelayannya langsung bersimpuh di kaki Ratu sambil menangis membuat wanita itu terkejut.

"Kenapa kalian menangis?" Tanya Ratu kebingungan.

"Kami sedih hu..hu..." Jawab keduanya kompak. Kulit wajah mereka yang putih memerah sampai ke telinga mereka yang runcing.

"Bangunlah!" Perintah Ratu.

Kedua gadis itu bangkit dengan mata yang masih basah dan hidung kembang kempis.

"Aku tidak mau kalian menangisi nasibku. Aku sudah ikhlas menjalani takdirku ini." Ratu memeluk mereka.

"Lagipula lelaki yang sok kegantengan itu bukankah terlihat sedikit konyol berpose seperti itu? Lihat, dia membawa pedang tapi kenapa malah berpose dikelilingi bunga-bunga!" Ratu menunjuk muka Raja sambil mencela. Hal itu membuat kedua gadis pelayan itu terkikik geli.

Padahal di dalam hati Ratu Gita mengakui betapa tampan dan gagah suaminya itu. Namun sayangnya lelaki itu bukanlah miliknya. Ada perasaan tercabik dan terhina menyadari bahwa Sang Raja memberikan lukisan itu untuk menggantikan dirinya sendiri.

Ketika hendak tidur, Ratu melihat lukisan Raja dari pembaringannya. Sekilas mata itu berkilat terkena cahaya lilin hingga seolah hidup. Ratu tertegun dan menyadari betapa berbahayanya jika dia mulai mengagumi sosoknya.

Ratu turun dari pembaringannya lalu mencari sesuatu untuk menutupinya. Dibongkarnya isi lemari dan menemukan kain sutra berwarna hitam. Segera diambilnya kursi sebagai pijakan lalu kemudian menyelubungi lukisan itu dengan kain yang dibawanya.

"Kurasa malam ini aku bisa tidur nyenyak." Gumam Ratu sambil tersenyum. Kemudian dia kembali berbaring dan memejamkan mata.

*****

Sementara itu Sang Raja baru saja kembali ke istana setelah mengantar selir kesayangannya ke Istana Musim Panas yang berlokasi di Teluk Putri Duyung. Sebenarnya wanita cantik itu sempat merajuk ketika hendak ditinggal.

Namun setelah Raja meyakinkannya bahwa dia akan kembali lagi setelah urusannya selesai, akhirnya wanita itu mau menerima. Itupun dengan syarat bahwa Raja Satria tidak boleh menemui Ratu.

Wanita itu cemburu dan membuatnya terlihat sangat menggemaskan. Raja tersenyum teringat kekasihnya itu dan merasa tidak sabar untuk menyusulnya kembali.

Waktu sudah lewat tengah malam ketika Raja selesai membicarakan hal yang mendesak dengan beberapa Dewan Kerajaan. Pria berambut perak itu melangkah menuju kediamannya ketika tanpa sengaja matanya melihat ke arah Wisma Ratu. Tiba-tiba terbersit keinginan untuk menengok istrinya itu.

Dengan langkah pelan dia masuk ke kediaman Ratu dan memasuki kamarnya. Dilihatnya Sang Ratu sedang terlelap dengan selimut yang hampir jatuh ke lantai.

Didekatinya wanita itu dan dibetulkannya selimut itu kembali. Raja tampan itu memandangi wajah istrinya yang sedang tertidur. Wajah itu terlihat sedih dan hal itu membuat hatinya terasa tercubit.

"Maaf jika aku tidak bisa membahagiakanmu." Gumam Raja dengan perasaan bersalah. Dielusnya rambut hitam istrinya itu dan dikecup keningnya.

Ratu menggeliat dalam tidurnya dan sejenak membuka matanya membuat Raja kaget.

"Aku tidak membutuhkanmu laki-laki sombong!" Ratu bergumam lalu tertidur lagi.

"Dasar gadis bar-bar." Raja menggerutu namun bibirnya tersenyum.

Dia bermaksud kembali ke tempatnya ketika tanpa sengaja matanya melihat sesuatu di dinding yang ditutupi kain hitam. Ada perasaan curiga dalam hatinya. Segera ditariknya kain itu dan sesuai dugaannya bahwa dibalik kain itu adalah lukisan dirinya.

"Apa-apaan ini? Berani-beraninya dia menutupi lukisanku!" Ujar Raja dengan geram.

Ingin rasanya membangunkan gadis itu dan menyeretnya, kemudian memaki-makinya karena sudah lancang menutupi lukisannya. Itu artinya gadis itu sudah menolak pemberiannya dan menghina harga dirinya.

Namun ketika tangannya menyentuh selimut hendak menyentakkannya, dilihatnya wajah istrinya itu begitu polos dengan ekspresi sedih.

Kembali perasaan bersalah menderanya.

Perlahan Raja mundur dengan langkah pelan, kemudian dia pergi keluar membawa beban perasaan yang seharusnya tidak boleh dia rasakan.

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!