Pertengahan September 2020
Hari yang paling ditunggu-tunggu dan membahagiakan ketika Aku pulang ke tanah kelahiranku, Indonesia. Tawa bahagia menyelimuti wajahku karena sebentar lagi Aku akan bertemu dengan ibu dan ayah yang sudah setahun ini tidak bertemu langsung dengan mereka. Aku sangat merindukan ibu dan ayah. Kali ini ibu dan ayah akan menjemputku di Bandara Soekarno Hatta, dan Aku sudah tidak sabar untuk memeluk erat mereka berdua.
Namaku adalah Kanaya Aurora, orang sering memanggilku dengan sebutan Naya. Umurku 22 tahun yang memiliki tinggi badan 165 cm dengan berat badan normal. Aku seorang gadis cantik dan bertubuh langsing yang nyatanya banyak lelaki yang tertarik menyukaiku.
Aku termasuk anak yang cerdas. Aku selalu mendapat juara umum di sekolah, sehingga Aku mendapatkan beasiswa kuliah di Luar Negeri, dan sekarang Aku sudah lulus kuliah dengan predikat lulusan terbaik di Universitas Stanford.
Aku terlahir dari keluarga yang sederhana, ayahku bernama Harry Kusuma yang seorang pegawai swasta sedangkan ibuku bernama Mirandah yang hanya seorang ibu rumah tangga dengan kesehariannya membereskan rumah, mencuci pakaian dan memasak untuk ayah saat pulang bekerja.
Makanya Aku hanya bisa pulang satu tahun sekali karena biaya hidupku saat kuliah terbilang begitu besar, jadi Aku tidak ingin membebani ibu dan ayah. Tapi Aku bersyukur walaupun hidup berkecukupan, keluarga kami sangat harmonis dan bahagia.
Dan hari ini Aku pulang ke Indonesia membawakan mereka tropi kebanggaan untuk ibu dan ayahku, sekaligus tinggal bersama mereka kembali di Jakarta. Aku bertekad bekerja di Jakarta untuk membantu ibu dan ayah serta mewujudkan cita-citaku untuk membahagiakan mereka.
Tapi seketika harapanku musnah karena kenyataannya begitu memilukan dan menyedihkan, saat aku mendengar kabar bahwa taksi yang ditumpangi ibu dan ayah mengalami kecelakaan di jalan menuju bandara. Aku menangis sejadi-jadinya.
Dan yang sangat membuat hatiku terluka adalah setelah aku sampai di rumah sakit, Aku menerima kabar bahwa ibu dan ayah sudah meninggal di tengah perjalanan saat dibawa ke rumah sakit menggunakan ambulance.
Kecelakaan itu menewaskan tiga orang yang merupakan ibu, ayah dan sopir taksi. Itu murni kecelakaan yang disebabkan oleh seorang pengemudi yang sedang mabuk menabrak taksi yang ditumpangi ibu dan ayah.
Aku sangat penasaran dengan orang pemabuk yang telah merenggut kedua orang tuaku. Aku begitu kesal dan sempat berpikir, kenapa bukan pengemudi mabuk itu saja yang mati? Kenapa harus orang-orang yang tidak bersalah yang menjadi korban? Astagfirullahal'adzim, begitu egoisnya Aku telah berkata buruk pada pengemudi mabuk itu. Padahal semua yang terjadi di dunia ini adalah kehendak yang Maha Kuasa. Tidak ada yang abadi di dunia ini.
Bayangkan saja, betapa hancurya hidupku, belum sempat Aku bertemu dan memperlihatkan tropi penghargaan prestasiku kepada ibu dan ayah serta membahagiakan mereka, tapi tiba-tiba saja mereka sudah pergi tanpa berpamitan padaku.
"Tidak, ini tidak mungkin. Ibu, Ayah tolong buka mata kalian. Lihat ini ... Naya membawa tropi untuk kalian berdua. Naya hebat, kan bisa membuat Ibu dan Ayah bangga dengan prestasi Naya?" Aku tak henti-hentinya menggoyang-goyangkan tubuh ibu dan ayah bergantian dengan memperlihatkan tropi di hadapan mereka.
Aku seperti orang gila kala itu. Dua orang perawat di ruang jenazah itu hanya melihat dengan rasa kasihan padaku.
"Ibu, Ayah tolong buka mata kalian, setidaknya sekali saja katakan sesuatu pada Naya. Naya sangat merindukan kalian. Bagaimana hidup Naya tanpa kalian? Tolong maafkan Naya, hiks... hiks...!" Aku masih saja tak percaya bahwa ibu dan ayah telah pergi. Lagi-lagi Aku tak hentinya menggoyang-goyangkan tubuh ibu dan ayah bergantian, hingga salah satu perawat menghentikan pergerakan tanganku.
"Sudah Mbak, ikhlaskan kepergian kedua orang tua, Mbak. Mereka tidak akan pernah bangkit kembali walau Mbak membangunkan mereka. Hanya do'a yang bisa Mbak lakukan sekarang dan semoga do'a Mbak sampai kepada almarhum dan alharmumah kedua orang tua, Mbak!" ucap perawat dengan menahan tubuhku yang mencoba untuk membangunkan ibu dan ayah kembali.
Aku pun sedikit tenang setelah mendengar perkataan perawat itu, hanya dia yang bisa menenangkanku, hingga aku terduduk lemas di lantai sembari menangis dan berdo'a dalam hati meratapi apa yang terjadi.
Jujur, sungguh Aku menyesali semua yang terjadi pada ibu dan ayah, jika dari awal aku tak memberikan izin pada ibu dan ayah untuk menjemputku, mungkin kecelakaan itu tidak akan pernah terjadi. Tapi bagaimana pun juga Aku harus mengikhlaskan kepergian ibu dan ayah untuk selamanya.
Saat itu, Aku baru menyadari ada seorang pria memakai pakaian rapi dan berjas hitam yang sedari tadi memperhatikanku. Aku tidak tahu siapa dia dan apa tujuannya karena mungkin Aku pikir dia itu adalah orang yang hanya mengasihani Aku atas tragedi ini, jadi Aku tak peduli pada pria asing itu.
Tapi anehnya, hingga di pemakaman pun pria asing itu selalu ada bahkan kali ini dia tidak sendiri, ada tiga orang pria lain yang bersamanya membantu proses pemakaman ibu dan ayahku. Dan lagi-lagi aku tidak peduli pada mereka atau siapa pun karena kondisiku saat itu sedang berduka.
Dua hari berlalu, pukul 08.00 di pagi hari, Aku masih saja berdiam diri di rumah sambil bermalas-malasan di ranjang dengan kondisiku yang kacau, hingga Aku tak memenuhi panggilan polisi mengenai kecelakaan ibu dan ayah.
Tak lama kemudian, terdengar suara ketukan pintu dari rumahku. Perlahan suara ketukan pintu itu bertambah keras dan terpaksa aku bangkit dari ranjang dan merapikan pakaianku setelah itu berjalan membukakan pintu.
"Permisi, Nona!" ujar seorang pria yang sudah berdiri di hadapanku dan ternyata dia itu adalah pria yang beberapa hari lalu Aku lihat di rumah sakit dan di pemakaman ibu dan ayah.
"Kamu siapa? Bukankah kamu orang yang....," Aku bertanya pada pria itu tapi tiba-tiba perkataanku dipotong olehnya.
"Saya Niko utusan dari tuan Halim, Nona. Maaf kedatangan kami kemari mengganggu Nona," ucap pria itu lagi dengan sangat sopan.
Tak lama kemudian, datanglah empat pria lain yang semuanya memakai jas hitam sedang menuju ke arahku dengan seorang pria paruh baya yang berada paling depan mendahului mereka.
"Kanaya Aurora!" sapa pria paruh baya itu kepadaku.
Aku cukup kaget ketika pria paruh baya itu memanggil namaku. Siapa dia? Lalu kenapa dia begitu dihormati oleh semua pria yang memakai jas serba hitam itu? Semua orang-orang itu begitu sangat menyeramkan bagiku. Apa mereka seorang rentenir? Apa ibu dan ayahku mempunyai hutang sehingga mereka akan menagihnya padaku? Oh Tuhan, ini tidak mungkin.
Tapi tunggu dulu, tiba-tiba ada satu sosok pria lagi yang baru saja datang menggunakan kursi roda muncul menuju ke arahku. Dia itu pria dewasa yang sangat tampan, walau perban yang melingkar di kepalanya dengan wajahnya penuh memar dan juga luka, tapi ketampanannya masih terlihat sangat jelas di mataku. Tapi sayangnya, tatapan mata pria itu begitu tajam saat melihatku dan bercampur dengan muka seramnya.
"I am so sorry," tiba-tiba pria tampan itu mengeluarkan suaranya dengan sangat dingin ke arahku.
Sontak Aku kaget saat pria tampan itu meminta maaf padaku. Apa dia mempunyai kesalahan padaku? Tapi apa? Aku pun tak mengenalnya. Lantas siapa dia?
Lalu apa hubungannya dengan pria paruh baya itu? Siapa sebenarnya mereka semua?
Sungguh Aku takut dan sangat lelah serta tidak bisa berpikir dengan baik. Lama-kelamaan, pandangan mataku buram dan kepalaku seakan melayang.
"Ya Allah, cobaan apalagi yang kau berikan padaku?" batinku lirih.
Brukkk
Tiba-tiba Aku jatuh pingsan tak sadarkan diri di hadapan mereka yang tidak sama sekali Aku kenal.
Bersambung....
Perlahan Aku membuka mataku dan melihat ke arah sekitarku. Aku tersadar bahwa masih ada banyak para pria berjas hitam berada di rumahku yang mengawasiku. Aku pun bangkit duduk dari sofa di ruang tamu.
"Siapa kalian sebenarnya? Ada perlu apa kalian kemari? Apa kalian seorang rentenir? Atau kalian itu penculik? Kalian sudah lancang masuk ke dalam rumahku," tanyaku tanpa ada jeda dengan suara yang sedikit lantang.
Pria paruh baya itu mendekatiku dan mencoba untuk menenangkanku.
"Naya tenanglah, Nak. Saya adalah Halim Ahmet dan tujuan saya kesini ingin mengucapkan turut berduka cita atas kejadian yang menimpa kedua orang tuamu," tuan Halim itu dengan berani duduk di sampingku.
"Sekaligus saya ingin meminta maaf atas kecelakaan yang disebabkan oleh anak saya, Aras Ahmet!" ucap tuan Halim padaku dan setelahnya melirik pria berkusi roda dengan memperkenalkan anaknya atas pengakuan mereka tentang kecelakaan yang merenggut ibu dan ayahku.
Ternyata, pria tampan yang duduk di kursi roda itu adalah si pemabuk yang telah menyebabkan ibu dan ayahku meninggal.
Aras Ahmet merupakan anak tunggal dari Halim Ahmet. Aras Ahmet seorang CEO dan pewaris tunggal perusahaan Haras Holding co. Group. Aras adalah pria muda yang tampan dan sukses serta pengusaha terkenal juga berbakat dengan usianya 27 tahun, terkenal dengan sifatnya yang dingin, angkuh, kejam, tegas dan kepribadiannya yang sangat introvert membuat dia ditakuti oleh orang-orang disekitarnya dan bahkan seorang wanita.
Aras Ahmet selalu menjaga pola hidup yang sehat dengan rajin berolahraga sehingga mendapatkan tubuh yang begitu ideal dan sixpack. Wajah tampan berkulit eksotis serta berdarah Turki dan Indonesia dia dapat dari sang ayah, Halim Ahmet. Sedangkan berdarah Italia dia dapat dari sang ibu, Laura Bellucci yang sudah meninggal ketika Aras berusia 15 tahun.
Aku perlahan bangkit berdiri dan berjalan menuju Aras si pria tampan yang duduk di kursi roda itu lebih dekat.
"Jadi, kau yang telah membuat ibu dan ayahku meninggal? Kau si pemabuk itu, kan? Kenapa kau tidak mati saja dalam kecelakaan itu? Kenapa malah orang yang tidak bersalah seperti ibu dan ayahku yang menjadi korban, hah? Kau pembunuh ... kau seorang pembunuhhhh!!" teriakan dan makian dariku untuk si Aras itu sambil memukul-mukul kedua lengannya tiada henti.
Aras hanya menutupi wajahnya dengan kedua tangannya tanpa bersuara dan perlawanan.
"Maafkan saya, sungguh saya tidak sengaja menabraknya," bantah si Aras mencoba untuk membela dirinya, tapi Aku tak henti memukulnya.
Aku tak peduli bagaimana dia merasakan sakit atas pukulanku. Karena pukulan yang kuberikan pada si Aras itu tak sebanding dengan apa yang telah dirasakan oleh kedua orang tuaku saat menjelang ajalnya.
Namun setelah itu giliran kedua tanganku yang ditahan oleh dua orang pria berjas hitam yang merupakan pengawal pribadi tuan Halim.
Tuan Halim itu menyuruh pengawalnya untuk melepaskan tanganku, lalu tuan Halim bangkit dan mendekatiku kemudian memegang kedua pundakku sambil berkata.
"Naya, saya tahu ini berat untuk kamu tapi saya mohon tolong maafkan kesalahan anak saya," lagi-lagi tuan Halim itu membela anaknya yang jelas-jelas bersalah.
Halim Ahmet adalah pengusaha terkaya asal Turki yang mempunyai ibu berdarah Indonesia serta ayah berdarah Turki. Halim Ahmet mempunyai perusahaan ternama yaitu Haras Holding co. Group, di bidang konstruksi dan pertambangan yang berpusat di Istanbul dan beberapa cabang perusahaan yang salah satunya berada di Jakarta.
Halim Ahmet berusia 51 tahun. Sifatnya yang baik, tegas, sangat peduli pada orang yang kesusahan dan adil dalam berbuat sesuatu. Namun satu kesalahan yang dibuat Halim yaitu terpaksa membebaskan Aras dalam kasus kecelakaan yang telah menewaskan tiga orang korban. Halim sangat menyesali perbuatannya itu saking sayangnya dia pada anak semata wayangnya, Aras Ahmet.
"Memaafkan si pembunuh itu? Tidak semudah itu, Tuan. Gara-gara dia, ibu dan ayah meninggal dan saya menjadi anak yatim piatu. Dia harus dipenjara. Saya pastikan anak Tuan akan masuk penjara!" ucapku dengan lantang dan bernada ancaman yang Aku tujukan pada Aras Ahmet.
Kemudian, satu orang pria berjas hitam mendekati dan membawa tas hitam lalu dia berikan pada tuan Halim, entah apa isinya. Aku pun tidak tahu.
"Ini, sebagai permintaan maaf saya karena kelalaian anak saya atas kecelakaan itu. Saya harap kamu bisa bekerja sama dengan kami," ucap tuan Halim yang tiba-tiba menyodorkan sekaligus membuka tas hitam itu di hadapanku yang nyatanya berisi uang dalam satu tas penuh.
Aku kaget bukan main, baru kali ini Aku diperlihatkan dengan jumlah uang yang sangat banyak dan nyata Aku alami, bukan hanya di film-film. Aku terbelalak dan sedikit tergiur, tapi Aku tahu ini hanyalah tipuan, Aku tidak akan pernah termakan rayuan oleh tuan Halim itu.
"Tuan mau menyuap saya dengan uang ini? Tuan menyuruh saya untuk menutup rapat kasus kematian kedua orang tua saya? Itu tidak akan pernah terjadi, Tuannnn!" tegasku dengan keras di akhir ucapanku.
Brakkk
Aku melempar tas yang berisi uang itu agar menjauh dariku. Sontak semuanya cukup kaget karena mereka pikir, betapa bodohnya Aku menolak uang sebanyak itu.
"Pergi kalian dari sini, pergiiii ... dan jangan kembali lagi," teriakku mengusir mereka dengan menunjuk tangan ke arah pintu untuk keluar dari rumahku.
"Naya tolong pikirkan kembali, Nak!" ucap tuan Halim mencoba untuk meyakinkanku.
"Pergiiii ... saya bilang pergi dari sini," Aku mendorong tuan Halim sekuat tenaga.
Semua pasang mata tertuju padaku apalagi tatapan tajam si Aras kepadaku, karena betapa beraninya Aku mengusir orang terhormat seperti Halim Ahmet.
Hingga akhirnya mereka semua pergi dari rumahku dan membawa kembali tas yang berisi uang itu.
Aku menangis sejadi-jadinya. Bisa-bisanya tuan Halim merendahkan Aku dengan menyodorkan uang suapnya. Aku benci dia. Aku benci Aras si pembunuh itu. Aku benci mereka semua.
Keesokan harinya, Aku sudah mulai bisa melakukan aktivitas sehari-hari di rumah, mulai dari menyapu, mengepel lantai dan mencuci pakaian yang berhari-hari sudah menumpuk.
Ah, begitu lelahnya. Tapi dengan melakukan aktivitas itu, Aku sedikit mulai melupakan kesedihanku tentang ibu dan ayah. Aku harus bangkit dan tersenyum kembali serta melanjutkan kehidupanku untuk masa depan. Aku mencoba tersenyum kecil sebagai awal dari hidupku tanpa ibu dan ayah. Aku harus kuat dan bertahan serta sabar menjalaninya.
Tok tok tok
Tiba-tiba ada suara ketukan pintu dari rumahku. Aku pun bergegas menuju ke depan pintu dan perlahan membukanya.
Aku terkejut dan tak kusangka kehadiran dia membuat senyumanku sekilas memudar. Aku ingin marah dibuatnya. Padahal Aku sudah memperingatkan dengan jelas tapi kenapa masih saja dia menampakkan muka di hadapanku.
"Kau, ada apa lagi kemari"?
Bersambung....
"Selamat siang Nona Naya!" sapa pria yang bernama Niko datang kembali ke rumahku.
"Kau....," Aku pun langsung hendak menutup pintu rumahku, tetapi pria itu menahannya.
"Tunggu dulu, Nona. Saya ditugaskan oleh tuan Halim untuk membicarakan sesuatu," cegah pria yang bernama Niko itu dengan kedua tangannya dan langsung masuk ke rumahku begitu saja tanpa izin dariku.
"Saya sudah peringatkan pada kalian agar jangan datang lagi ke rumah ini, tapi kenapa masih kembali? Apa kalian tidak punya telinga, hah?" bentakku menghadap ke arah pria yang bernama Niko.
Pria itu tidak peduli padaku hingga dia malah duduk di sofa dengan membawa kembali tas yang berisi uang dan diletakkan di atas meja tanpa malu.
"Nona, tolong terima uang ini, karena ini bentuk peduli tuan Halim atas kecelakaan yang menimpa kedua orang tua Nona. Saya ingatkan pada Nona, jika Nona ingin memenjarakan tuan muda lebih baik niat Nona diurungkan saja, karena Nona tidak akan pernah bisa melawan mereka. Tuan Halim akan membebaskan tuan muda Aras bagaimana pun caranya," jelas pria yang bernama Niko itu.
"Saya hanya menuntut keadilan, karena saya tidak terima jika seorang pembunuh seperti tuan muda kalian itu berkeliaran kemana-mana, mengerti?" tegasku kali ini tapi apalah dayaku karena perkataanku hanya membuat si Niko itu tersenyum mengejek ke arahku.
"Saya mengerti, Nona. Tapi percuma apapun usaha Nona, itu hanya akan membuang waktu Nona sia-sia," Niko meyakinkan Aku satu hal tentang kedudukan kedua tuannya.
Aku hanya diam tak membalas perkataannya. Tiba-tiba Niko menyodorkan kertas kecil di atas meja.
"Ini kartu nama dan alamat perusahaan tuan Halim. Nona adalah wanita yang cerdas dan mempunyai prestasi di tempat Nona berkuliah, jadi tuan Halim menawarkan Nona bekerja di perusahaannya di Jakarta. Besok pagi Nona harus berada di kantor, karena tuan Halim menunggu kedatangan Nona," kata Niko menyampaikan pesan dari tuan Halim padaku.
Aku yang masih berdiri hanya mengalihkan pandanganku ke arah pintu sehingga tidak mempedulikan perkataan Niko.
"Kalau sudah selesai tolong pergilah dari sini dan bawa kembali uang itu," ucapku dengan ketus mengusir Niko.
Niko bangkit dari duduknya dan hendak melangkahkan kakinya keluar rumah tetapi sebelum itu dia lagi-lagi memberi peringatan padaku.
"Dan satu lagi, Nona. Ini saran dari saya untuk Nona. Saya peringatkan pada Nona agar menerima pemberian uang itu atau tawaran pekerjaan dari tuan Halim. Lalu urungkan niat Nona untuk menuntut tuan muda Aras. Jika tidak, maka saya jamin hidup Nona tidak akan tenang, karena tuan Halim dan tuan muda Aras akan selalu mengincar anda, Nona!" ujar Niko bernada ancaman yang kemudian pergi dari rumahku meninggalkan tas berisi uang yang masih berada di atas meja ruang tamu.
Niko memperingatkan Aku seolah dia begitu peduli padaku agar Aku tak melakukan kesalahan.
Apa Aku harus menerima uang dan tawaran pekerjaan dari tuan Halim? Lantas Aku harus menutup kasus kecelakaan si pemabuk Aras? Sungguh Aku tidak rela jika tuan muda Aras si pembunuh itu terbebas dari kesalahannya.
Lalu, apa yang harus Aku lakukan? Mana yang harus Aku pilih sekarang?
Di tempat lain, di kediaman Keluarga Ahmet yang begitu besar dan megah bergaya Eropa nan unik, siapa sangka jika penghuni rumah itu hanyalah para pelayan yang merawatnya dan beberapa pengawal untuk berjaga di sana. Rumah itu ada sejak ibu dari Halim Ahmet masih hidup yang memang asli keturunan Indonesia.
Sejak kemarin, sifat Aras berubah menjadi srigala yang meraung membuat para penghuni rumah itu ketakutan mendengarnya. Tepat di dalam kamarnya, Aras mulai membanting semua barang-barang yang ada di sekitarnya.
"Aras, jangan lakukan itu. Jangan menyakiti diri kamu sendiri, Nak!" pinta Halim menenangkan anaknya yang seperti kehilangan akal.
"Ini semua gara-gara Papa. Jika Papa tidak memaksa Aras datang ke Indonesia, pasti kecelakaan itu nggak akan terjadi. Dan Aras nggak akan lumpuh seperti ini, Pa!" teriak Aras di hadapan Halim dengan keras dan kesal.
"Kamu yang salah karena kamu pergi ke club malam dan mabuk-mabukan saat menyetir. Cobalah untuk sadar, Nak. Jadilah anak yang baik untuk Papa, bukan hanya kesuksesan kamu yang membuat Papa bangga tapi sifat kamu juga, Aras!" pinta Halim begitu lirih dan sakitnya hati Halim saat melihat Aras duduk di kursi roda dengan keadaannya yang tak berdaya itu.
Kecelakaan yang terjadi oleh Aras Ahmet membuat dirinya lumpuh yang tidak permanen, hanya bersifat sementara. Kakinya akan pulih jika dia menjalani perawatan medis untuk kesembuhan kakinya agar bisa berjalan kembali.
Atas kecelakaan itu, Aras menyalahkan papanya, padahal jelas-jelas dia yang salah. Halim sebagai orang tua selalu menasehatinya, tapi apalah daya Halim tak bisa membuat Aras menjadi anak yang berperilaku baik.
Sifat Aras begitu berbeda dari ayahnya. Sebenarnya Aras adalah anak yang baik dan penurut. Karena trauma masa lalunya yang buruk membuat Aras menjadi anak yang sifatnya bertolak belakang seperti dulu.
Halim sangat menyesali perubahan sikap Aras yang menjadi manusia berdarah dingin. Halim sangat takut bagaimana jika Aras semakin tak terkontrol emosinya hingga menjadikan Aras bersifat egois di masa depan.
"Sekarang Aras sudah lumpuh, bagaimana jika Aras tidak bisa berjalan kembali, Pa? Papa dengar sendiri, bagaimana Kanaya menyumpahi Aras seakan dia ingin Aras yang mati dalam kecelakaan itu. Kanaya ingin Aras mati. Dan sekarang kaki Aras yang sudah mati, Pa. Aras ingin berjalan kembali. Aras ingin berjalan kembali, Paaa!" Pekik Aras lirih dan mengguncang-guncang tubuh Halim seolah mempertanyakan tentang dia yang ingin kakinya normal seperti sedia kala.
"Aras, tenangkan dirimu, Nak. Kamu jangan takut. Papa akan mencari dokter terbaik di Turki, kalau perlu dokter terbaik se Eropa untuk pengobatan kaki kamu, Aras. Kamu akan sembuh dan berjalan kembali, percaya sama Papa, Nak!" ucap Halim sembari meyakinkan Aras pada kesembuhannya kemudian memeluk Aras menenangkannya.
Aras menangis dipelukan Halim. Sedangkan Halim berusaha untuk menenangkan anaknya dengan tegar walaupun sebenarnya hatinya sangat sedih. Bagaimana tidak, Aras yang biasanya sangat percaya diri dan bisa melewati masalah apapun dalam pekerjaan dan pantang menyerah, sekarang dihadapkan dengan kelumpuhan kakinya membuat Aras berubah menjadi sosok lelaki yang pesimis.
"Benarkah? Papa akan membawa Aras pulang ke Turki untuk menyembuhkan kakiku?" tanya Aras memastikan dan wajahnya mulai ada sedikit senyuman dan matanya berbinar bahagia.
"Benar, apapun akan Papa lakukan untuk kamu, Nak. Tapi ingat, jadikan ini pelajaran buat kamu. Ini teguran dari Tuhan untuk kamu, Aras. Jika kaki kamu sudah sembuh, Papa minta sama kamu, jadilah anak baik seperti dulu yang Papa inginkan. Berbuat baiklah pada semua orang, dan jangan mabuk-mabukan lagi sebagai pelampiasan," pinta Halim sekaligus memberikan pesan pada Aras, anak semata wayangnya.
"Terima kasih, karena Papa selalu ada untuk Aras. Dan maafkan Aras karena Aras sudah buat Papa kecewa. Tolong maafkan Aras, Pa!" ucap Aras yang mulai tenang dan masih memeluk erat Halim seolah tak ingin melepaskannya.
Aras sadar betapa sayangnya Halim kepadanya sampai-sampai Halim mengeluarkan dirinya dari masalah kecelakaan maut itu agar Aras tidak masuk penjara.
Halim perlahan melepaskan pelukan Aras dan beralih memegang kedua bahu Aras dan menatap ke arahnya sambil berkata.
"Sekarang, kamu istirahat dan jangan berpikiran buruk terus. Nanti pelayan akan masukan pakaian kamu ke koper. Lusa kita akan berangkat ke Turki," ujar Halim yang membuat senyuman di hadapan Aras.
"Terima kasih ya, Pa!" ujar Aras tersenyum penuh kebahagiaan sambil menggenggam kedua tangan papanya.
Halim Ahmet keluar dari kamar Aras dan berjalan menuju lantai dasar di mana orang kepercayaannya berada. Niko sang sekretaris pribadi Aras selama di Jakarta.
"Niko, sudah kau lakukan tugasmu dengan baik sesuai perintahku untuk Kanaya?" tanya Halim berharap Niko membawa berita menarik untuk dia dengar.
"Sudah saya laksanakan sesuai dengan perintah anda, Tuan. Namun, ternyata Nona Naya tidak seperti yang kita duga, wanita itu lebih sulit dibujuk. Dia lebih mementingkan keadilan dari pada uang. Tapi jangan khawatir, saya sudah mengeluarkan senjata yang bisa membuat Nona Naya harus menerima tawaran dari Tuan," ujar Niko menjelaskan pada Halim tentang Naya.
Mereka tidak tahu bagaimana prinsip hidup dari Kanaya Aurora yang sangat tidak suka disuap dengan uang walaupun dia dihadapkan dengan uang dalam jumlah yang begitu sangat banyak, Kanaya tidak akan tergoda. Halim Ahmet dan Niko sudah jelas salah menilai sosok wanita secerdas Kanaya Aurora.
"Good job, Niko. Kita lihat saja besok. Apakah Kanaya datang atau tidak? Dan kau tahu bukan, tugas selanjutnya yang akan kau lakukan untuk Kanaya jika dia memilih di antara satu atau keduanya bahkan tidak menerima sama sekali tawaranku?" ucap Halim dan bertanya pada Niko untuk memperingatkannya.
"Saya tahu, Tuan!" ujar Niko mengangguk pelan.
"Bagus, lakukan dengan baik. Jangan biarkan Kanaya lolos dari pantauan kamu," tegas Halim Ahmet memberi perintah.
Bersambung....
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!