Ahmad adalah seorang pemuda dari Desa sebrang yang baru saja berpisah dengan istrinya yang telah memberinya dia seorang putri.
Ahmad dengan segala sakit hati karena percerainnya berusaha mencari ketenangan dengan pergi kerumah saudara dari ibunya yang berada di desa X.
Berbekal baju yang melekat dibadan dan uang yang hanya seadanya yang ada disakunya ia pergi dari rumah dengan meninggalkan istri yang hari ini resmi menjadi mantan istrinya serta seorang putri yang baru berumur tiga tahun.
"Bapa, bapa, itut..." tangis putri Ahmad tersedu-sedu dan terus mengejar bapaknya.
Namun ibunya menahannya...
Ahmad melangkah dengan berat hati dengan air mata yang terus mengalir menganak sungai.
Ahmad dan istrinya Yati berpisah karena permasalahan cinta. Mereka dijodohkan oleh orang tua, namun setelah 4 tahun berjalan ternyata cinta belum tumbuh di hati mereka walau kenyataannya mereka telah memiliki seorang anak. Setiap hari mereka melalui hari dengan pertengkaran dan pertengkaran terus menerus hingga akhirnya istrinya rela diceraikan Ahmad dengan syarat Ahmad keluar dari rumah tersebut dengan tanpa membawa apapun. Beruntung Ahmad masih memiliki uang yang tanpa sengaja ia simpan di saku celananya kemarin saat ada orang yang membayar hutang padanya.
Ahmad duduk di teras rumah bibinya ditemani teh pahit dan sebatang rokok yang didapat dari pamannya. Pikirannya terbang entah kemana. Ahmad segan pulang ke rumah orang tuanya yang pasti akan ditanya-tanya masalah percerainnya. Dia belum siap menjawab semuanya, walau sejak awal orang tuanya sudah tau tentang masalah rumah tangganya. Ahmad memilih menenangkan dirinya kerumah bibinya.
Tiba-tiba matanya melihat gadis remaja berkepang dua yang tengah lewat depan rumah bibinya dengan membawa payung. "Cantik" itulah kata yang dia ucapkan begitu saja dengan tanpa berkedip sedikitpun dari pandangan gadis berkepang dua tersebut sampai hilang dari pandangan matanya.
Bibi Ahmad datang dan duduk di hadapan Ahmad dan mengikuti arah pandangan Ahmad dan bibi Minah berucap "cantik kan?"
Ahmad terlonjak mengetahui bibi Minah sudah dihadapannya.
"Siapa dia bi?" tanya Ahmad dengan seribu rasa penasarannya. "Namanya Ani, rumahnya itu" Bibi Minah menunjuk rumah depan samping kiri. "Oh..., namanya Ani" jawab Ahmad. "Dia anak majikanku, orangnya santun dan lemah lembut" lanjut bibi Minah. "Kira-kira sudah punya calon suami belum ya bi?". tanya Ahmad penasaran. "Belum, keluarga bosku mana boleh anaknya pacaran. Bapak Ibunya sangat ketat menjaga anak-anak perempuan mereka, kalau kamu menginginkan Ani jadi istrimu maka bersiaplah berhadapan dengan Bapak dan Ibunya yang galak dan lagi mereka itu keluarga yang disegani disini". Cerita bibi Minah.
"Berarti beliau juga bosnya paman juga ya bi?" kata Ahmad. "Iya, meski bosku itu galak sama orang lain tapi hatinya baik, buktinya kami para pegawainya sangat nyaman bekerja disitu". Bi Minah.
Ahmad berfikir sejenak, "bagaimana cara mendekati gadis itu ya?" ucapnya dalam hati. kepalanya manggut-manggut setelah menemukan ide untuk mendekati Ani pemilik mata indah yang telah membuat hatinya bergetar pada pandangan pertamanya.
"Kenapa manggut-manggut?" tanya bi Minah pada Ahmad. Ahmad tersentak dari lamunannya. "Eh...bi, itu...kira-kira kalau aku ikut bekerja paman di pabrik kayu milik bosnya bibi kira-kira bisa nggak ya bi?".
"Yakin kamu?" ucap bibi Minah dengan keheranan. Ia tahu persis bagaimana kehidupan keponakannya dari kecil yang tak pernah bekerja sekeras suaminya. Ahmad anak dari tuan tanah di desanya. Orang tua Ahmad bisa mengembangkan usaha warisan dari orangtuanya sedangkan bi Minah hartanya habis terjual karena dia dan suaminya tidak seberuntung saudaranya.
Siang telah berganti senja, lembayung jingga menghiasi Desa X dengan indahnya, seindah hati Ahmad yang telah terisi dengan seorang gadis bernama "Ani"
Ahmad bersiap untuk Jama'ah sholat maghrib di mushola sebelah rumah Bibi Inah. Sore tadi sebelum sholat Ashar Ahmad telah membersihkan diri dan mengganti pakaiannya dengan pakaian pamannya mengingat dia tak membawa pakaian ganti.
Adzan maghrib telah menggema; Ahmad, Bibi Inah dan Paman mukhlas berangkat bersama di mushola sebelah. Setelah selesai sholat maghrib mereka semua berlanjut berdzikir hingga waktu sholat Isya tiba. Itulah kebiasaan sebagian warga Desa X yang selalu menghabiskan waktu Maghrib hingga Isya untuk mendekatkan diri kepada Allah dan suasana yang seperti inilah yang selalu dirindukan Ahmad bila berkunjung ke rumah Bibinya. Tenang dan damai meski beragam masalah tengah menderanya.
Setelah sholat Isya selesai Ahmad mengejar imam mushola yang bernama Pak Ikhsan yang tengah melangkah keluar dari mushola.
Ahmad telah mengenal Pak Ikhsan karena sewaktu remaja dulu ia sering main hingga berhari-hari di rumah bibi Inah dan sering di ajak bibi Inah dan paman Mukhlas sholat berjamaah di mushola ini.
"Pak Ikhsan", panggil Ahmad. Pak Ikhsan pun berhenti dan menengok mengikuti arah suara. "Apa kabar pak Ikhsan?" sapa Ahmad.
Pak Ikhsan mengerutkan kening mengingat-ingat wajah Ahmad yang pernah ia lihat tapi entah dimana dan kapan.
"Saya Ahmad Pak..., keponakan Bibi Inah...," ucap Ahmad. "Oh..Iya, kapan datang?" jawab Pak Ikhsan sambil mempersilahkan Ahmad duduk di lantai teras mushola.
"Tadi siang Pak..", "Oh...apa kabar keluargamu?" lanjut Pak Ikhsan. "Alhamdulillah baik semua pak" jawab Ahmad.
"Nampaknya kau sedang banyak beban". ucap Pak Ikhsan kepada Ahmad. "Kok tahu Pak". jawab Ahmad.
Pak Ikhsan mengeluarkan rokok dari dalam saku baju koko nya. "Kelihatan dari kerutan di dahi kamu. Ayok sambil merokok agar pikiranmu sedikit rileks" tawar pak Ikhsan.
Ahmad mulai bercerita tentang kisah rumah tangganya dan terakhir Ahmad memberanikan diri menanyakan pendapat pak Ikhsan tentang Ani.
Pak Ikhsan dengan lugas memberikan pendapat kepada Ahmad "sebaiknya kamu tata hatimu dulu sebelum kamu membuka hatimu untuk gadis lain, apalagi Ani putri pak Ratno itu masih 17 tahun sedangkan kamu sudah dewasa dan maaf kamu seorang duda yang memiliki anak, pastinya bukan sesuatu yang mudah diterima gadis belia seperti Ani. Maaf jangan tersinggung ya nak".
"Iya Pak, akan saya pikirkan dulu Pak. Terimakasih atas masukannya Pak". ucap Ahmad. "Iya nak, jangan lupa istikharah dan sholat tahajud agar pikiranmu tenang dan tidak salah dalam mengambil keputusan". Nasihat Pak Ikhsan pada Ahmad. Ahmad tersenyum.
Ahmad pamit para Pak Ikhsan mengingat hari sudah larut malam dan dirasa nasihat demi nasihat dari Pak Ikhsan sudah cukup Ahmad dapat dan cukup menjadi bahan renungan Ahmad agar tidak terburu-buru dalam melangkah dan mengambil keputusan.
Ahmad melangkah pulang ke rumah Bibi Inah. Bibi dan pamannya tadi lebih dulu pulang saat melihat Ahmad dan Pak Ikhsan mengobrol di teras mushola.
Ahmad memang sering main ke rumah Bibinya sejak kecil bersama orang tuanya dan tempat yang sering Ahmad kunjungi saat di rumah Bibinya adalah mushola milik Pak Ikhsan ini, namun entah mengapa Ahmad tidak pernah berinteraksi dengan keluarga Pak Ratno bos dari Bibirnya. Mungkin karena mereka keluarga berada hingga mungkin mereka menutup diri dari masyarakat sekitar.
Sesampainya di rumah Bibi Inah sedang menunggu Ahmad di meja makan untuk makan bersama dan setelah Bibi Inah melihat keponakannya masuk dengan mengucap salam Bibi Inah segera menjawab dan memanggil suaminya untuk makan bersama.
Setelah makan malam selesai Ahmad meminta pendapatnya kepada Pamannya untuk bekerja di rumah Pak Ratno bersama Pamannya.
Paman Mukhlas menghela nafas berat " Pekerjaanku itu nggak gampang loh Mad, butuh keterampilan dan juga tenaga yang kuat, karena harus mengangkat kayu dari tempat satu ke tempat yang lain, nanti setelah di olah kita juga harus menyusun kembali balok-balok kayu tersebut. Saran aku, kamu nggak usah ikut kami mengolah kayu, bagaimana jika kamu mencari bahan bakunya saja".
"Caranya?". tanya Ahmad sambil menghisap rokok yang dia ambil di atas meja milik Pamannya.
"Kamu cari bahan baku kayu albasia dari para pekebun, kemudian kamu beli dan kamu jual kembali pada bos aku Pak Ratno. Kamu bisa sambil jalan sambil belajar. Kamu tidak perlu mengeluarkan tenaga extra". Paman Mukhlas.
"Akan kucoba paman, aku punya yang sedikit nanti bisa untuk modal awal, minimal untuk uang muka pada pekebun pemilik kayu. Besok kenalkan aku pada bos ya Paman". Ucap Ahmad dengan semangat. "Tentu" jawab Paman Mukhlas.
Di rumah Bibi Inah malam ini begitu hangat, setelah obrolan Ahmad dan Paman Mukhlas di meja makan, mereka bertiga melanjutkan obrolan demi obrolan di ruang TV sambil ngopi dan cerita banyak hal, terutama Bibi Inah yang antusias menceritakan masa kecilnya bersama saudara satu-satunya Mbak Dian ibu dari Ahmad.
Bibi Ahmad dan Paman Mukhlas tidak memiliki anak dan hari-harinya mereka habiskan untuk bekerja di rumah Pak Ratno. Di samping untuk mendapatkan uang mereka juga bekerja untuk membunuh sepi, setidaknya Pak Ratno yang memiliki anak banyak bisa menjadi pelipur lara mereka. Mereka diberi kamar khusus di rumah Pak Ratno yang bisa dipakai sewaktu-waktu jika mereka enggan pulang atau dilarang pulang oleh anak-anak bosnya karena nggak mau ditinggal, mereka tinggal menempati kamar tersebut. Paman Mukhlas pun sangat menyukai anak kecil sehingga saat pulang kerja dari pabrik kayu milik bosnya ia sempatkan Untuk mampir dan bermain dengan anak-anak Pak Ratno yang lucu-lucu dimatanya.
Malam semakin larut, Ahmad minta pamit kepada Paman dan Bibinya untuk istirahat. Ahmad menempati kamar tamu rumah bibinya yang mungil namun asri, bersih dan rapi yang membuat siapapun akan betah berlama-lama tinggal didalamnya.
Sesampai di kamar Ahmad membaringkan tubuhnya. Ahmad memandangi langit-langit kamar yang tanpa plafon hingga terlihat deretan genting yang tersusun rapi. Ahmad merenung dan mengingat anaknya yang ia tinggal tadi siang. Ia menarik nafas yang teramat berat ia rasakan, untuk pertama kalinya setelah putrinya lahir ia tidur tanpa menemani putrinya. Pasti malam ini terasa panjang tanpa ada tubuh mungil yang selalu menempel padanya saat tidur.
Sebenarnya istri Ahmad sangat baik pada Ahmad namun entah mengapa seakan hati Ahmad tertutup untuk menerima cintanya. Dulu Ahmad berfikir seiring berjalannya waktu mungkin cinta akan tumbuh dengan sendirinya, namun anggapan itu salah. Bahkan sering kali Ahmad tak mau menerima kesalahan yang diperbuat istrinya, betapapun ia sadar bahwa manusia tidak ada yang sempurna.
Tiba-tiba Ahmad senyum sendiri saat mengingat wajah Ani yang menghiasi pelupuk matanya dan hatinya berdebar-debar. dalam hatinya bergumam "inikah yang namanya cinta pada pandangan pertama yang sering dibicarakan orang?, oh...Ani..."
"Aku akan berjuang untuk mendapatkan hatinya, apapun jalannya, apapun resikonya akan aku hadapi.., Bismillah Ya Allah..."
Akhirnya setelah lama Ahmad bertraveling dengan otaknya, iapun terlelap terbang ke alam mimpi.
Pukul 03.00 WIB dinihari rumah Bibi Inah sudah terlihat geliat para penghuninya. Mendengar gemericik air di kamar mandi belakang serta langkah kaki silih berganti Ahmad terjaga dari tidurnya dan mengambil HP nya dari atas meja kamar untuk mengecek jam. Ahmad bergegas bangun dan mengambil air wudhu dan melaksanan sholat sunah dan doa-doa panjang untuk dirinya dan orang-orang yang ia cintai serta semua yang terlintas di pikirannya. Begitu khusuk, begitu damai sampai tak terasa mengalir air matanya.
Ahmad adalah laki-laki sensitif, meski tampak dari luar dia lelaki berotot tangguh tinggi besar dan tegap namun hatinya sangat rapuh, hingga saat Ahmad berumur 23 tahun ibunya memohon-mohon agar Ahmad menikahi gadis satu Desa dengannya Ahmad hanya menurut dan tanpa berfikir panjang. Yang dia tau orang tuanya pasti telah memikirkan baik buruknya, namun nasib berkata lain.
Hingga saat ini Ahmad tak ingin menyalahkan siapapun atas takdir yang harus ia jalani dan ia pun tak berani berandai-andai setelah matanya menangkap sosok cantik kemarin dan debaran aneh hatinya yang belum sepenuhnya ia mengerti.
Ahmad merenung setelah rangkaian ibadah yang baru saja ia jalani, semenjak ia sekolah kemudian masuk pesantren dan keluar dari pesantren saat berumur 21 tahun dan membantu ayahnya mengelola sawah dan tambak ikan milik ayahnya sambil merintis usaha dengan jual beli gula kelapa. Ahmad mejadi salah satu pebisnis yang cukup disegani di Desanya. Ia membeli gula dari para petani dan menjualnya kepada pedagang yang ada di kota dan setelah kepergiannya ia serahkan semua usahanya lebih tepatnya dipaksa menyerahkan usahanya kepada mantan istrinya.
Awalnya mantan istrinya menggertak Ahmad bila Ahmad ingin bercerai darinya Ahmad harus keluar tanpa membawa apapun, dengan berfikir pasti Ahmad tak rela jika harus meninggalkan aset-asetnya yang dia bangun sejak 5 tahun ini hingga menjadi kebanggaannya. Rumah permanen yang sangat layak, gudang penyimpanan gula, sebuah truk pengangkut gula dan pastinya para rekan bisnisnya yang lebih dari 10 orang.
Sungguh tak percaya Ahmad rela meninggalkan semuanya demi status baru yang ia sandang "DUDA". Ahmad berfikir untuk apa harta dan kekayaan yang melimpah sedangkan ia harus tersiksa setiap saat. Istrinya sangat pencemburu. Ruang gerak Ahmad sangat dibatasi. Bila Ahmad pulang dari liar kota bajunya selalu diciumi untuk mencari jejak apakah ada jejak bau perempuan di sana, belum lagi sang sopir yang menemaninya selalu di interogasi terus menerus sampai istrinya puas menanyakan semua hal.
Ahmad lelah seringkali dia telah kehabisan tenaga dijalan untuk mengawal barang dagangannya sampai ditangan konsumennya dengan baik tapi setelah sampai rumah istrinya tak pernah membiarkannya langsung beristirahat dengan tenang, selalu harus laporan dulu mengenai detail cerita perjalanannya dari awal hingga akhir sampai di rumah. Bahkan Ahmad tidak mau berlangganan rumah makan untuk menghindari kecurigaan istrinya.
Ahmad mengakhiri lamunannya ketika adzan Subuh terdengar bersahutan dan ia beranjak keluar kamar menuju mushola Pak Ikhsan.
Setelah sholat Subuh Ahmad, Paman Mukhlas dan Bibi Inah duduk bersama menikmati sarapan pagi yang telah Bibi Inah masak sebelum Subuh tadi.
Disela-sela makan Paman Mukhlas bertanya pada Akhmad, "bagaimana bisnismu, aku lihat sudah berkembang apa kamu tinggalkan begitu saja? kan sayang, kamu memulainya dengan susah payah masa sekarang kamu tinggal begitu saja". Sebenarnya Paman Mukhlas mau menanyakannya sedari kemarin saat Ahmad baru datang dan bilang ingin nginap disini beberapa hari, namun niat itu ia urungkan setelah ia melihat muka Ahmad yang terlihat murung dan lingkar mata Ahmad yang membesar bertanda kurang istirahat.
"Aku tinggal semuanya paman, aku yakin Yati bisa meneruskan usaha itu. Kita dulu punya orang kepercayaan dan hitung-hitung sebagai ganti nafkah yang harus ku berikan pada Putri anak kami". terang Ahmad.
"Oh...,ya sudah kalau itu keputusanmu. Sebenarnya kamu usaha kan sebelum kamu menikah, seharusnya itu hak kamu, kamu membagi harta yang kamu dapat setelah menikah sebagai gono-gini, tapi bila sudah keputusanmu seperti itu ya mau apalagi?" ucap paman Mukhlas.
"Iya paman, aku tak mau berurusan lagi dengan Yati, walaupun ada anak kami yang bersamanya, biarlah nanti kita bahas bila sudah mereda emosi kita, toh harta masih bisa kita cari lagi nanti" lanjut Ahmad.
"Ayo sudah siang, kita berangkat. Ahmad ayo kamu ke rumah Pak Ratno bersama kami, biar kami kenalkan kamu sama Pak Ratno", ucap Bibi Inah
"Ayo Bibiku sayang..", jawab Ahmad dengan semangat. Ahmad membayangkan bertemu dengan Ani pemilik wajah ayu.
Sesampainya di rumah Pak Ratno mereka bertiga masuk lewat pintu belakang dan belum sampai kedalam Bibi Inah sudah disambut pelukan si kecil "Ria". Ani adalah empat bersaudara, Ani anak pertama dari Pak Ratno dan Bu Indah, anak keduanya Raka yang berumur 15 tahun saat ini sekolah di SMP kelas 3, adiknya Rio berumur 10 tahun sekolah kelas 4 SD dan si kecil Ria yang masih berumur 4 tahun.
Bibi Inah meraih tubuh Ria dengan gemasnya dan Paman Mukhlas tak ketinggalan mencubit pipi Ria dan menciumnya dengan tak kalah gemasnya. Pipi Ria yang gembul dengan celotehnya yang belum terlalu fasih berbicara membuat siapapun gemas saat di dekatnya.
Ahmad mematung melihat pemandangan didepannya, ada rasa haru yang menyelinap dihatinya membayangkan anaknya yang dua hari ini belum dia lihat. "Putri, kau sedang apa nak?", gumamnya dalam hati.
Paman Mukhlas membuyarkan lamunan Ahmad ketika berkata itu Pak Ratno sambil menunjuk arah depan dimana Pak Ratno baru muncul dari pintu dalam rumahnya.
"Pak", sapa paman Mukhlas, dan Pak Ratno tersenyum pada mereka. Pak Ratno dengan perawakan sedang dan berkumis tipis, terlihat ramah dan masih terlihat ganteng diusia mungkin sekitar 40 tahunan dimata Ahmad. "pantas anaknya cantik, bapaknya ganteng begitu", gumam Ahmad dalam hati.
"Ini Pak, ponakan saya mau bertemu Bapak...", ucap Paman Mukhlas pada Pak Ratno.
"Oh..., mari kita duduk di gazebo situ aja ya, sambil ngopi. Mbak Inah tolong buatkan kopi untuk kami ya..". Ucap pak Ratno
Kami bertiga menuju gazebo, tak lama kemudian Raka dan Rio keluar dari pintu dalam dan bersalaman pada bapaknya untuk meminta pamit ke sekolah. Mereka mencium tangan Pak Ratno dan bersalaman kepada Paman Mukhlas dan Ahmat hikmat. Dalam hati Ahmad terkagum kagum pada perilaku kedua kakak beradik itu yang sangat takzim pada ayahnya dan hormat pada Paman Mukhlas meski mereka tau ia hanya anak buah ayahnya.
Raka dan Rio melangkah keluar lewat pintu belakang dengan mengucap salam "Assalamu'alaikum". Mereka serempak menjawab "Wassalamu'alaikum".
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!