...ALOHA👻?!! d.angelonico di sini!...
...Sebelumnya, salam kenal kepada para pembaca sekalian👋😊😄. Dan terimakasih buanyakkk kepada kalian yang sudah tertarik untuk mampir🥰....
...Juga, mohon sekali kepada para pembaca untuk meninggalkan LIKE, KOMENTAR, dan FAVORIT kalian jika ’suka’ dengan karya ini🥺....
...Jangan lupa RATE BINTANG ⭐⭐⭐⭐⭐ nya, ya😆! Plus, thxxx lagi buat yang dengan dermawan kasih HADIAH dan Vote😭🤧😘....
...😉😁Mampir juga ke karya author yang lain, yaa; RASHN dan The (Not) Gorgeous Anna....
...Oke. Selamat Membaca!!!...
...~•|👍🏻❤ 💬🐣|•~...
____________________________
Seorang gadis berusia tujuh belas tahun sibuk mondar-mandir dengan ponsel pintar terselip di perpotongan lehernya. Kedua kaki jenjangnya sesekali melompat kecil ketika melewati kardus-kardus setengah renyek, kantong plastik, pakaian dan berbagai macam barang lain yang sudah semenjak kemarin sore tergeletak mengenaskan di atas lantai putih.
“Leonna, bagaimana apartemen kamu nak? Baik-baik saja kan? Atau terlalu sempit? Kalau kurang luas bilang saja sama mama, nanti akan papi kamu carikan lagi apartemen yang lain. Atau...”
Gadis rupawan bermata biru dengan rambut pirang bergelombangnya, Leonna, menghembuskan nafas jengah.
Aktivitas mengaduk kopi susunya pun ikut terhenti. Ia kemudian beralih menempelkan ponsel pintarnya dengan benar di telinga berhiaskan anting kecil bertaburkan rintik-rintik kristal mahal hadiah ulang tahun ke tujuh belasnya seratus dua hari lalu.
“Pas kok, ma. Tidak perlu cari apartemen lain.”
“Serius? Ya sudah, terserah kamu saja. Oh, kamu juga jangan telat makan ya! Sarapan? Kamu sudah sarapan belum? Jangan sampai berangkat sekolah dengan perut kosong, nanti malah jadi tidak fokus lagi belajarnya!”
Suara cempreng dari seberang telepon terdengar begitu protektif. Sangat normal sebenarnya. Mengingat, Leonna adalah anak perempuan satu-satunya dan merupakan si bungsu dari dua bersaudara.
Tetapi, yang membuat wanita bertitel ‘mama’ itu khawatir, jelas karena anak gadis cantiknya ini termasuk dalam kategori manusia urakan dan teramat mencemaskan juga dengan keberuntungan sang anak yang terlampau sering menimbulkan keringat panas dingin.
Keberuntungan yang dinamakan mendiang ibu mertuanya sebagai ‘Selalu Ada Penyelamat Di Penghujung Kesialan.’
“Iya, ma. Tenang saja. Aku juga sudah beli makan buat sarapan kok.”
Leonna menyeruput kopi susu dalam gelas bergambar beruangnya sebentar. Jemari lentiknya lalu membuka bungkusan sereal yang disebut-sebutnya barusan sebagai menu sarapan dan menuangkan isinya asal hingga berceceran keluar dari dalam mangkok berukuran jumbo. Maklum, Leonna ini tipe lambung karet. Bawaannya selalu ingin makan terus, asalkan itu bukan makanan manis.
“Oh, bagus kalau begitu. Sebentar—Leo! Cepat kemari. Ini adik cantik kamu Leonna lagi telepon mama!”
“Yo, What’s up?! Sudah sampai dari kemarin ya? Bagaimana tempatnya? Bagus di sini atau di sana?”
Leo, kakak kembar Leonna, menyapa heboh dengan suara serak-serak basah menggodanya. Sementara Leonna yang sempat diam sebentar gara-gara sibuk memasukkan kembali keping-keping sereal di atas meja bar, serta merta mengerucutkan bibirnya kesal.
“Ih, Kak Leo! Leonna kan juga baru sampai. Nanti Leonna kirim foto-foto di sini deh.”
“Oke! We’ll be waiting!” Leonna terkekeh pelan mendengar aksen Inggris kakak kembarnya yang mencoba sok keren dan syukurnya berhasil.
“Jadi, sok Inggris nih! Ya sudah, nanti lagi teleponnya. Leonna mau sarapan terus mandi dan berangkat sekolah!”
“Dih, kebiasaan—mandi dulu, baru sarapan! Leonna jorok! Ya sudah, mama, ini.”
Leonna tersenyum hambar dan meski komentar kakak kesayangannya ini sudah berulang kali diputar layaknya kaset rusak, Leonna masih tetap tidak berubah dan memang tidak kelihatan akan adanya tanda-tanda ingin berubah. Sebab menurutnya, akan lebih efisien jika makan dulu baru mandi. Lebih irit pasta gigi juga kalau ia pikir-pikir.
“Ya sudah, jaga diri kamu baik-baik ya di sana. Nanti kalau papi ada waktu, mama sama Leo bakal datang ke New York! Sudah ya, mama tutup! Love you..!”
“Too.”
Sambungan telepon diputus. Leonna melangkah buru-buru menuju kulkas. Ia kemudian mengambil dan menuangkan susu oat murni dari dalam kemasan karton fiber besar bernuansa biru keabu-abuan.
Dirinya pun mulai menyuapkan suap demi suap sereal lembek yang terasa tidak terlalu manis dan aman dari diare pagi, karena hanya menggunakan campuran susu nabati dan bukan yang hewani seperti susu sapi kesukaan kakak kembarnya, Leo, di Rusia.
“Selesai sarapan, lalu mandiiiii...”
...🐣🐣🐣...
Leonna berlari ngos-ngosan dari halte bis menuju gerbang sekolah yang sudah ramai siswa-siswi. Ia tidak tahu ini benar sekolahnya atau tidak. Tetapi, dilihat dari plang besar bertuliskan Stuyvesant High School (SHS) ia langsung yakin bahwa itu memang benar sekolah barunya.
“Huft, beruntung masih ada lima belas menit. Tapi, di mana kakak pembinanya, ya? Tidak salah tanggal datang kan? 14—benar kok ini tanggal 14 September. Apa masuk saja kali ya, atau nanti saja?”
Leonna mengecek jam tangan hitam yang bergelung di pergelangan tangan kanannya. Kedua matanya lalu mondar-mandir bingung serupa anak ayam yang tengah mencari sang induk.
Karena jujur saja, ini adalah kali pertama ia belajar di institusi umum. Jadi, tiba-tiba melihat banyak orang tidak dikenal, tanpa teman apalagi pengawal, betul-betul sulit sekali bagi Leonna.
Lima menit pun berlalu secepat kedipan mata dan Leonna masih dalam posisi melamun. Ia merasa semakin grogi setiap kali melihat siswa-siswi yang bercanda ria memasuki gerbang sekolah. Ia akhirnya hanya terus begitu, hingga sesuatu tidak sengaja tertangkap samar-samar dari sudut mata kirinya.
“Itu—YAK?!”
Sesuatu berwarna hitam merah dengan seseorang duduk manis di atasnya. Bergerak begitu kilat. Insting Leonna pun sontak bersorak ramai untuk segera menghindar.
Namun, kegiatan penyelamatan dirinya langsung kandas, begitu bahu sempitnya tiba-tiba disenggol oleh sebuah tas selempang biru milik salah seorang dari gerombolan anak laki-laki yang tengah sibuk berceloteh.
Makhluk itu saking terlenanya bercanda, bahkan sampai tidak sadar telah menyebabkan benda bernama ‘sepeda’ itu mengerem mendadak dan naas, menubruk mulus paha Leonna.
CKIITTT!
BRAK!
BRUK!
“AKHHH, eungh... ma-a...”
Seorang cowok berambut hitam cepak dalam balutan celana jeans hitam, kemeja hitam, kaos hitam, topi hitam dan beriris mata hitam, terbaring tepat di bawah tubuh Leonna.
Leonna seketika membeku. Desir halus disambung detak kencang pada jantung dan sensasi panas membakar di seluruh wajahnya, serta merta membuat kalimat maafnya terjepit pilu di tenggorokan.
Kedua kaki kurus Leonna yang sebelumnya mati rasa karena terlalu lama berdiri pun, seketika lemas bagai agar-agar dan tanpa bisa ia cegah, mendarat bebas di atas kedua kaki si cowok.
“Tsk, minggir! Masih pagi, tapi sudah buat sial saja.”
“Hah?”
Tubuh Leonna didorong kasar. Ia sontak jatuh terduduk di sebelah sepeda milik cowok jangkung yang kini sedang menepuk-nepuk kesal bercak-bercak cokelat dan tempelan dedaunan basah pada pakaian serba hitam yang ia kenakan.
Kedua jemari besarnya lalu mengangkat badan sepeda yang setengah jeblos ke dalam selokan. Beruntung, hanya ban belakangnya saja yang basah.
Sementara Leonna yang memang meski sempat terpana oleh rupa super tampan cowok pelaku penabrakannya, sekarang malah ribut menjerit-jerit marah dalam hati. Ia menjadi lebih sebal lagi setelah figur serupa model itu dengan masa bodohnya langsung naik ke atas sepeda.
“Awas!”
Leonna semakin syok saja dibuatnya. Bagaimana bisa cowok semenawan malaikat itu berkelakuan amat kasar terhadap perempuan?
Terlebih, Leonna adalah korban dari kelalaian cowok itu sendiri. Tapi, bukannya insan ganteng itu meminta maaf atau sekadar menjulurkan tangan membantu Leonna bangun, ia malah berucap kasar dan kemudian pergi begitu saja meninggalkan Leonna.
Memang benar, salah Leonna juga karena seenaknya melamun sambil mondar-mandir di pinggir jalan. Tetapi, tetap saja. Ia kan tidak bermaksud!
‘Dasar psikopat! Tidak bisa apa bicaranya baik-baik?! Dan lagi, sekadar maaf saja pelit banget! Ugh, jangan sampai ketemu makhluk kayak dia lagi!’
.
.
Bersambung...
“Aw-aw-aww...”
Leonna meringis kecil. Jalannya mendadak pincang gara-gara benturan keras pedal sepeda dengan tempurung lututnya sebelum terjatuh tadi.
Perasaan cemas untuk melewati gerbang sekolah barunya pun sontak lenyap. Kini yang tersisa hanyalah nyeri bercampur jengkel setengah mati pada cowok tidak dikenal itu.
“Murid baru kan? Oh, atau murid program pertukaran pelajar?”
Tepat setelah ujung sepatu kets putih Leonna menyentuh pelataran gerbang, seorang remaja laki-laki dengan badge OSIS di bahu kirinya tiba-tiba datang menghampiri dan menyapa ramah Leonna.
Kedua mata cokelat almond si cowok berbinar cerah ketika dengan tanpa permisi, jari-jemarinya menepuk pelan pundak Leonna.
“Pertukaran, kak.”
Leonna menjawab singkat. Tidak tahu dari mana, ia asal saja memanggil sosok itu dengan sebutan kakak. Padahal ia sendiri kan juga sudah di tingkat akhir bangku sekolah menengah atas. Jadi kemungkinan besar, cowok berseri-seri itu seangkatan atau kalau tidak, satu dua tingkat di bawahnya.
“Kelas tiga dong? Kalau begitu, salam kenal. Panggil saja Angus.”
“Leonna.”
Leonna menyambut jabat tangan cowok bernama Angus. Mereka saling bertatapan sebentar, hingga kemudian Angus melepas jabat tangan mereka dan menggaruk tengkuknya yang jelas-jelas tidak gatal. Ia mungkin canggung, pertama kali bertemu dengan Leonna.
“Eh, kaki kamu kenapa? Kok bisa terluka begini? Jatuh?” Angus menunjuk lutut kiri Leonna yang terluka. Alis tebalnya berkerut penasaran.
“Iya, tadi tidak sengaja tabrakan dengan sepeda.”
Leonna menghembuskan nafas kasar. Kedua manik matanya memandang kosong ke arah gerbang yang sudah mulai sepi. Para pengurus OSIS juga satu per satu pergi meninggalkan depan gerbang, yang kemudian langsung digantikan oleh dua orang pria berseragam hitam dengan tulisan sekuriti di bagian punggung mereka.
“Lain kali hati-hati. Ya sudah, ayo! Obati di UKS dulu.”
Leonna dan Angus berjalan masuk ke dalam gedung sekolah dan mungkin, karena ini hari pertama semester baru. Para siswa-siswi lebih banyak yang nongkrong sembari saling mengobrol di luar kelas, ketimbang dari yang hanya duduk manis di dalam kelas mereka masing-masing.
Aktivitas mereka juga, tanpa Leonna sangka-sangka, jadi menghambat perjalanannya dan Angus menuju UKS. Leonna bahkan sampai melongo sendiri melihat betapa populernya Angus. Tidak terhitung sudah berapa banyak sapaan yang dilontarkan siswa-siswi saat melihat Angus. Terlebih, saat mereka mendapati kalau Angus ternyata tidak sendirian.
Syukur, setelah sekian lama, mereka berdua akhirnya sampai juga di depan ruang UKS. Namun, baru saja Angus ingin membuka pintu UKS, seseorang dari ujung lorong berseru kencang memanggilnya.
“Woi, Angus! Kau dari tadi sudah ditunggu wali kelas di kantor guru!”
Angus, si objek pemanggilan hanya mengangguk singkat dan melempar senyum tidak enak hati ke arah Leonna.
“Kalau begitu Leonna, biasanya ada Kak Yin yang jaga. Kamu masuk saja dulu, nanti aku bakal balik lagi ke sini. Ya sudah, ya?!”
Leonna menatap punggung Angus yang kemudian menghilang di belokan lorong. Jemari lentiknya lalu memutar ragu-ragu kenop pintu.
KLAK!
“Permisi—eh?”
Kedua pupil Leonna seketika membesar. Figur paling ingin dihindarinya semenjak pagi ini, dengan sangat tidak sopan langsung melengos begitu iris mereka bertubrukan.
‘Sial, kenapa harus bertemu dia lagi?!’
Leonna dengan langkah dinormal-normalkan berjalan menuju etalase terdekat. Iris biru safirnya kemudian berseliweran ke sana-kemari mencari entah apa, ia pun tidak tahu.
Wajar saja kalau sebenarnya Leonna tidak tahu. Sejak kecil, pelayan rumahnya atau kadang kakak kembarnya, Leo, yang selalu mengurusi Leonna ketika terluka. Bahkan untuk sekadar luka sebesar tusukan jarum.
“Haaa, kalau tidak tahu, tanya! Jangan diam-diam saja.”
Leonna mempoutkan bibirnya kesal. Cowok tak dikenal itu tiba-tiba sudah berdiri di sebelahnya. Jemari besarnya lalu mengambil botol berisikan larutan providone-iodine, plester luka, dan sebuah cotton bud dari dalam etalase.
Bola mata Leonna kemudian terbelalak lebar. Cowok setinggi enam kaki itu dengan tanpa aba-aba menarik agak kasar lengan ramping Leonna dan kemudian mendudukkan Leonna di atas ranjang pasien.
Detik berikutnya, pipi berlesung pipit Leonna mendadak bersemu merah. Jantungnya lagi-lagi berdentum-dentum ribut.
Cowok itu, tanpa mengeluarkan sepatah kata pun duduk bersejajar di depan lutut Leonna. Ia lalu meneteskan cepat cairan merah dari dalam botol ke atas cotton bud dan kemudian mengoleskannya dengan tidak sabar pada luka-luka Leonna.
Leonna meringis sesekali. Tetapi, ia tetap bungkam. Ia tidak berani mengomentari pekerjaan cowok di depannya atau lebih tepatnya, terlalu sibuk terlena dalam guyuran irama disko tuan-nyonya organ jantung.
“T-terima ka-...”
Setelah hampir tiga menit, cowok itu selesai juga dan baru saja Leonna ingin mengucapkan terima kasih, si cowok telah lebih dulu buru-buru meninggalkan Leonna.
KLAK
Pintu ditutup dengan kasar. Leonna hanya bisa termangu “..sih.”
“Ah, sudah diobati ya?”
...🐣🐣🐣...
Seorang guru kacamata berjalan memasuki kelas. Netranya menatap serius para siswa-siswi yang mulai kasak-kusuk menyamankan posisi duduk mereka dan tidak butuh waktu lama. Suasana ruangan berisi tiga puluh satu siswa itu seketika hening.
Si guru kacamata tiba-tiba memberi isyarat ke arah pintu masuk. Seorang gadis setinggi kurang lebih enam puluh dua inci melangkah ke dalam kelas. Semua mata, terutama mata para remaja laki-laki terpukau menatap rupa cantik gadis dengan rambut blonde yang tergerai panjang hampir sepinggang di depan mereka.
“Silakan.”
“Perkenalkan. Aku Leonna Mileková dari Rublyovka, Rusia.”
Gadis berkulit putih pucat, Leonna, tersenyum gugup. Jemari telunjuknya diam-diam saling menggamit satu sama lain.
Tiga lima detik berlalu lambat dan masih tidak ada jawaban yang keluar dari remaja-remaja tanggung itu. Meski sebenarnya Leonna agak lega, karena ia sudah melewati langkah pertama dan terakhir, mungkin, untuk dirinya melakukan perkenalan secara massa seperti ini.
“Woah, apa katanya?! Rublyovka?!”
Seorang remaja lelaki bergaya agak nyentrik di barisan kursi paling belakang dekat dengan pintu keluar tiba-tiba berseru lumayan kencang. Tidak lama kemudian, atmosfer kelas menjadi lebih berwarna dan agak—tidak. Terlampau berisik sebenarnya.
“Tidak hanya cantik, tapi juga sepertinya berasal dari keluarga kaya raya.”
“Tetapi, Mileková? Sepertinya aku pernah mendengar nama itu..?”
Ujung-ujung jari-jemari Leonna mendadak dingin. Senyum ramah dipaksakannya pun kian detik kian hambar. Apalagi setelah ia mendengar nama keluarganya mulai menjadi bahan gosip para penghuni kelas.
Bukan Leonna tidak senang terlahir dari keluarga yang memang bukan rahasia lagi, teramat sangat berpengaruh di dunia bisnis Rusia maupun internasional. Tetapi, berkat latar belakangnya ini, tidak terhitung pula berapa banyak orang yang hanya ingin berteman dengannya demi iming-iming tidak pasti untuk kemajuan bisnis orang tua mereka atau lebih tidak mengenakkan, karena ingin mendapat popularitas lebih.
“Sudah, sudah!” Guru berusia kepala tiga memukul keras meja dengan penggaris kayu di genggamannya. Kondisi kelas seketika kembali sepi.
“Leonna, silakan duduk di kursi kosong di belakang Reid.”
Leonna memicing sebentar. Ia kemudian langsung membeliak kaget ketika sosok berambut hitam, yang disebut-sebut bernama Reid itu, dengan pandangan datar ke arah papan tulis, duduk tepat di depan bangku kosong yang ditunjuk Pak Ron, wali kelas Leonna.
Namun, bukan hanya karena air muka tidak bersahabat sosok itu yang membuat Leonna terkejut. Melainkan, fakta bahwa figur tampan itu, tidak lain dan tidak bukan adalah cowok tadi pagi yang menabraknya dengan sepeda dan ehm, membantu mengobati lukanya di UKS.
Jantung Leonna sontak kembali berdetak cepat dan hampir saja meloncat keluar gara-gara Reid, dengan tangan memangku wajah, mendadak melirik kecil dari sudut mata segelap malam miliknya.
Leonna pun menenggak air ludah susah payah. Ia lalu beranjak sesantai mungkin menuju tempat duduknya untuk dua mata pelajaran pertama pagi ini, ilmu alam dan matematika.
Dua mata pelajaran berjalan dengan lancar dan beruntung sekali sejujurnya bagi Leonna, karena hari ini adalah hari pertama sekolah setelah libur panjang. Jadi, pengajar yang masuk hanya sekadar memberitahukan target pembelajaran, sedikit materi, informasi akan diadakannya kuis, perkiraan dilaksanakan ujian, dan seterusnya, terkait penilaian serta kredit akhir tahun mereka di kelas dua belas.
“Baiklah, untuk tugas. Silakan kalian kerjakan dari halaman 9 sampai 13. Tulis jawaban kalian di buku tugas masing-masing dan wajib dikumpulkan hari ini sebelum jam istirahat kedua berakhir.”
Leonna membuka tasnya dan baru sadar kalau ia belum mengambil buku pelajaran di kantor kurikulum. Iris biru safirnya kemudian sibuk berkeliling ke sana-kemari. Namun, tidak butuh waktu lama. Ia serta merta menghela nafas panjang dan langsung ciut mendapati belum ada satu siswa pun di kelasnya ini yang ia kenal.
‘Ah, semuanya kelihatan sangat fokus. Ada sih yang tidak, tapi... ugh, bagaimana ini?! Apa aku pinjam saja dari cowok itu? Tidak, tidak! Mana mungkin dia mau berbaik hati meminjamkan bukunya?!’
“Eh?”
.
.
Bersambung...
Leonna berhenti mengetuk-ngetuk grogi ujung pulpen. Ia lalu beralih menatap bingung buku paket matematika di atas meja.
Tiga detik berlalu. Leonna pun refleks melotot ketika ia melihat pergelangan tangan berhiaskan sebuah jam tangan berwarna abu-abu tua sedang setengah terjulur dari atas sandaran kursi di depannya.
“Segera kembalikan saat sudah selesai.”
Reid berkata penuh penekanan. Ia lalu kembali duduk tegap membelakangi Leonna yang kini malah dengan bodohnya merah merona.
Akhirnya, setelah gadis Rusia itu lama terbengong-bengong. Ia kemudian menarik nafas panjang dan lalu membuka dengan teramat sangat lembut lembaran pertama buku paket matematika Reid. Dan, wow! Guratan rapi tulisan tangan Reid serta merta tersuguh.
‘Reid Cutler. Cutler—hm, tidak hanya rupanya saja yang menawan, tetapi namanya juga tidak bisa dielakkan, begitu berkarisma.’
Leonna pun berulang kali melontarkan pujian setiap kali lembar baru dibuka. Entah Reid yang tidak sadar, terlalu baik, rajin atau memang tidak peduli?
Namun, sangat jelas. Corat-coret sistematis berupa jawaban di halaman tugas-tugas yang diberikan guru bernama Bu Chatty itu, semuanya, tanpa ada satu langkah pun terlewati, telah Reid tulis di buku paketnya.
Hingga seorang Leonna yang memang notabenenya begitu lemah dalam pelajaran akademik. Apalagi kalau itu menyangkut hitung-hitungan. Kini harus dengan sekuat tenaga berusaha menenggelamkan jauh-jauh hasratnya untuk menyalin, bahkan seupil pun jawaban Reid.
KRIINGGGG!!!
Bel istirahat pertama berbunyi. Leonna yang baru saja hendak pergi menuju kafetaria terpaksa harus tidak jadi. Karena seperti di institusi lamanya dulu di Moskwa. Seluruh siswa-siswi di kelas bahkan beberapa dari kelas lain mendadak sudah berdesak-desakkan mengerubungi tempat duduk Leonna.
“Halo! Salam kenal, aku Pretha Isaiah.”
“Aku, Dave. Dave McGary.”
“Ah, ya. Leonna.”
Dua orang terdepan bernama Pretha, gadis bermata hijau dengan kulit cokelat gelap dan Dave, remaja tanggung laki-laki dalam balutan jaket denim biru, kaos putih polos, plus celana panjang hitam, menyapa ramah Leonna. Namun, belum sempat Leonna dan kedua teman barunya—mungkin—bercakap-cakap lebih lanjut, lautan manusia di belakang telah lebih dulu menggeser keduanya dari hadapan Leonna.
“Wah, Leonna! Kau beruntung sekali bisa duduk di belakang Reid!”
“Ya?”
Leonna menarik sudut-sudut bibirnya canggung. Seorang wanita dengan rambut kepang abu-abu, tidak tahu angin dari mana, tiba-tiba mengoceh kesal sambil membawa-bawa nama Reid. Ditambah, semakin menyebalkan lagi, makhluk sok kenal itu juga menyambungkan seenak bibirnya antara eksistensi Reid dan keberuntungan Leonna.
“Reid memang dingin. Tapi, ia sangat tampan dan jenius! Titel Pangeran Es memang benar-benar sangat pas untuk menggambarkannya!”
“Hei! Kau menyakiti perasaanku, tahu?!”
Leonna samar-samar memutar bola matanya jengkel. Kali ini seorang pria berkacamata bulat ikut bersungut-sungut mengomentari ucapan seorang gadis berlipstik ungu yang berdiri terlalu menghimpit tempat duduk Leonna.
“Tsk, aku bahkan rela dipoligami untuk jadi pacarnya...”
“Tidak mungkin Reid mau dengan makhluk jelek sepertimu!”
“Apa kau bilang?! Dasar..!” Dan... blah... blah... blah...
Percekcokan dengan topik utama Reid Cutler terus berlanjut, bahkan ketika bel tanda usainya istirahat berbunyi. Keributan membuat pening kepala Leonna itu pun baru berhenti, setelah seorang guru piket memergoki mereka karena belum beranjak menuju kelas masing-masing.
Sebab maklum, sistem SMA di Amerika Serikat itu, memilih dan mengatur jadwal subjek pelajaran yang mereka minati layaknya para mahasiswa di jenjang perkuliahan.
Namun, tentu, mereka harus tetap memenuhi kredit belajar tertentu untuk bisa ikut serta dalam ujian akhir dan memenuhi syarat penerima ijazah kelulusan.
‘Haa, ini akan jadi hari yang melelahkan.’
KRINGGGG!!!
“Baiklah, sampai di sini materi kita hari ini. Jangan lupa minggu depan untuk...”
Jam sudah menunjukkan pukul tiga lebih sedikit. Leonna buru-buru merapikan berbagai macam barang yang kini sudah menumpuk di atas mejanya. Sebab kebetulan, Leonna pada mata pelajaran ke empat tadi sempat berkenalan dengan manusia baik hati bernama Axle Bru.
Cowok itu saking dermawannya menemani Leonna ke kantor kurikulum saat jam istirahat kedua. Ia bahkan juga membantu Leonna membawakan lebih dari sepertiga buku-buku tebal itu dengan selamat dan tanpa cacat sampai ke dalam loker baru Leonna.
‘Hm, setelah ini. Makan malam, bersih-bersih dan istirahat!!!’
Leonna kemudian menarik cepat-cepat resleting tasnya. Ia dengan perasaan lega karena di dua mata pelajaran terakhir tidak dibebani oleh wujud Reid, serta merta bangun dari duduk. Ia lalu berjalan santai menuju pintu kelas sembari sesekali membalas ramah sapaan dari para siswa-siswi.
“Leonna, sampai ketemu besok ya!”
“Hati-hati di jalan!”
“Ah, ya. Baik, kalian juga.”
Leonna melangkah penuh semangat melewati lorong-lorong sekolah. Ia pun kian senang dan agak terharu ketika sudah dengan kilat berada di pelataran sekolah.
Kedua mata Leonna terus terus melayangkan binar cerah ke arah bunga-bunga mekar yang berada di sepanjang bahu jalan. Indra penciumannya ikut meresapi dalam-dalam sejuk angin sore dan baru saja ia seratus persen menapaki area luar sekolah, gerakan kakinya tiba-tiba terhenti.
‘Oh, iya. Foto! Harus foto dulu sebelum pulang.’
Jari-jemari Leonna beralih merogoh saku kardigan krem. Sebuah benda persegi alias ponsel, lalu Leonna posisikan miring dengan latar belakang gedung megah bangunan sekolah, pepohonan, dan sedikit banyak siswa-siswi yang tengah dengan santainya berjalan keluar dari gerbang sekolah.
KLIK!
“AKHH, oh?!”
Tubuh Leonna limbung dan hampir mencium jalanan berdebu, kalau tidak karena sebuah tangan yang sontak dengan sigap menahan pinggang kecilnya.
Leonna mengerjap dua, tiga, empat, lima kali. Semburat kemerahan kemudian bersemi dari pipi, telinga, hingga leher belakang Leonna. Tampak potret wajah kelewat familier dalam balutan mata setajam elang yang terpaut sangat dekat dengan wajah Leonna tengah terdiam kaku.
Entah, Leonna harus menganggap pengendara sepeda motor ugal-ugalan tadi sebagai pembawa sial atau keberuntungan. Rupa menawan makhluk bernama Reid untuk ke sekian kalinya berhasil membuat jantung Leonna berdentum-dentum heboh.
Terlebih, tidak tahu sihir macam apa yang telah menjerat Leonna maupun Reid. Keduanya kini malah hanyut dalam kilau cerah dari iris sosok di depan mereka masing-masing.
“W-woah, lihat mereka!”
“I-itu—REID?!!”
Hingar-bingar para murid di belakang Reid dan Leonna, membuat aktivitas tatap-menatap mereka mendadak terhenti. Reid yang gelagapan dengan kasar melepas lengannya dari lingkaran pinggang ramping Leonna.
“Tsk! Apa kau sudah bosan hidup?! Benar-benar, idiot ini.”
“A-apa? Idiot?!” Leonna melempar tatapan nyalang mendengar kalimat tanpa saring Reid.
“Berhenti melamun! Kau akan mati muda jika terus begini!”
“H-hei, tunggu! Tsk, lidahnya tajam sekali. Aku bahkan jadi lupa kan untuk mengucapkan terima kasih. Ah, masa bodoh! Lagi pula orang seperti dia mana layak mendapat ucapan terima kasih. Dasar jelek!”
Leonna menghentak-hentakkan kaki jenjangnya kesal. Punggung lebar Reid dengan tanpa sopan santun sudah lama menjauh dan tidak ada lima detik kemudian, hilang di belokan bersama si sepeda merah hitam yang dikayuhnya. Leonna pun menghembuskan nafas kasar. Ia lalu melangkah buru-buru menuju halte bis.
‘Cih, makhluk itu?! Tapi, ehm... ada apa dengan detak jantungku seharian ini? Wajahku juga, kenapa selalu tiba-tiba panas begini? Apa aku demam?’
.
.
Bersambung...
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!