...#...
...“Tidak ada yang bisa kembali dan memulai awal yang baru, tetapi siapa pun dapat memulai hari ini dan membuat akhir yang baru.”...
...- Maria Robinson -...
...***...
Bina membuka kedua manik matanya perlahan saat dirasanya mentari telah muncul menyinari dunia. Ia beranjak bangun secara perlahan, duduk di atas ranjang tidurnya sejenak. Ia mengucek kedua matanya berusaha memperjelas penglihatannya. Bina menoleh ke arah jam yang tergantung di dinding, jam itu telah menunjukkan pukul lima tiga puluh pagi. Bina menguap, ia meregangkan tubuhnya sebelum turun dari ranjang. Bina menghampiri jendela, membuka tirai yang menutupi jendela kaca di kamarnya; membiarkan cahaya matahari menembus masuk kedalam kamarnya. Ia membuka jendela, menghirup udara pagi yang masih segar.
"Tidak ada yang bisa kembali dan memulai awal yang baru, tetapi siapa pun dapat memulai hari ini dan membuat akhir yang baru," gumamnya pelan. "Ini hari yang cerah buat pergi ke sekolah." Bina tersenyum memandangi pemandangan taman samping rumahnya. Setelah merasa cukup, ia lalu pergi ke kamar mandinya. Tiba di kamar mandi, Bina berdiri di cermin sembari menggosok giginya sebelum nanti mandi dan bersiap untuk pergi ke sekolah.
Fokus Bina tersita saat secara tiba-tiba ia mendengar suara air shower di dalam kamarnya itu tiba-tiba berbunyi membuatnya terkejut dan spontan menoleh. Bina memicingkan matanya saat ia menangkap siluet samar dibalik kaca yang membatasi shower tempatnya membasuh diri. Uap air yang bermunculan di kaca membuatnya tidak bisa dengan jelas melihat sosok di dalam sana. Bina yang merasa ada sesuatu yang tidak beres lalu beranjak perlahan menghampiri shower di sana. Mulutnya masih dipenuhi dengan busa dari pasta gigi yang ia gunakan untuk menyikat giginya, sementara tangannya masih menggenggam sikat giginya.
"Ada orang? Tapi siapa?" Bina membatin, ia terus mendekat. Belum sempat ia melangkah untuk mengecek, ia sudah lebih dulu dikejutkan dengan Adnan yang tiba-tiba keluar dari dalam sana tanpa busana. "KYAAA!!!" Bina memekik keras, ia terkejut bukan main saat melihat tubuh cowok itu. Adnan tak kalah terkejutnya, ia berteriak keras. Bina bergegas lari keluar dari kamar mandinya dan menutup pintunya cepat, ia menutup kedua matanya dengan tangan.
...*...
Hening. Tidak ada sepatah katapun yang terlontar dari bibir masing-masing. Saat ini Bina dan Adnan tengah berada di ruang makan, duduk di atas meja yang sama tengah menikmati waktu makan bersama. Tapi bukannya nyaman, Bina dan Adnan justru merasa canggung. Apalagi setelah kejadian beberapa saat yang lalu yang berhasil membuat mereka malu satu sama lain. Bina melirik ke arah Adnan lewat ujung bulu mata lentiknya, ia memperhatikan cowok itu yang sama sekali tak bergeming dan bersikap seolah tidak terjadi apa-apa di antara mereka.
"Gue ngerasa ambigu sendiri," ujar Bina dalam hati, ia menyendokan nasi goreng yang dibuatnya dengan sedikit kasar masuk kedalam mulutnya. Sementara itu, Adnan secara diam-diam meliriknya sekilas; meraih gelas minumnya dan meneguknya pelan. Jujur saja bukan hanya Bina yang masih ingat kejadian tadi, ia juga masih ingat dan benar-benar merasa tidak nyaman.
"Dia liat nggak, ya?" Pikiran itu ditepisnya beruang kali. Adnan menggelengkan kepalanya pelan lalu kembali fokus untuk makan.
BRAKKK
Bina menggebrak mejanya kasar membuatnya tertegun dan spontan mendongak menatap Bina yang kini menatapnya tajam.
"Lo ngapain tadi mandi di kamar mandi gue?!" Tukas Bina yang akhirnya tidak tahan menyimpan uneg-unegnya.
"Air di kamar mandi gue mati," sahutnya acuh. Adnan masih berusaha bersikap biasa, ia menyuapkan makanannya dan memalingkan wajahnya ke arah lain tidak ingin bertatapan secara langsung dengan Bina.
"Terus Lo masuk lewat mana?" Bina tak habis pikir, padahal seingatnya kamarnya di kunci sebelum ia tidur. Lagipula seharusnya Adnan tidak berani masuk ke wilayahnya karena mereka berdua sudah sepakat untuk tidak menjajah wilayah masing-masing sesuai kesepakatan yang mereka buat. Tapi ini? Sungguh di luar dugaannya, Bina merinding sendiri jadinya.
"Ya, pintu lah. Gitu aja ditanya, gimana sih." Ketusnya. Bina mengerutkan keningnya, demi apa; ia benar-benar ingat betul kalau dia sudah mengunci pintunya. "Lo nggak ngunci pintu, lupa?" Kata Adnan membuatnya beralih pandang.
"Emang iya? Perasaan udah, gue kunci."
"Tengah malem, Lo bangun buat minum udah gitu balik lagi ke kamar dan nggak ngunci pintu. Udahlah, capek gue jelasin ke orang kayak Lo!" Adnan meneguk air minumnya lagi.
"Dih, sewot banget. Yang ada seharusnya gue yang sewot karena Lo udah masuk ke wilayah gue tanpa izin! Udah gitu pake acara mandi segala."
"Kan udah gue jelasin kalo air di kamar mandi gue mati! Makannya gue numpang mandi bentar."
"Tetep aja Lo udah ngelanggar kesepakatan kita! Lo udah janji buat nggak ganggu wilayah gue, dan Lo juga udah janji nggak bakalan masuk tanda izin."
"Tapi keadaannya beda bukan gue yang mau, gue cuma terpaksa. Kok Lo nggak ngerti-ngerti juga sih! Lemot banget." Adnan kesal dibuatnya.
"Lemot? Enak aja Lo bilang gue lemot, dasar cowok mesum!" Bina tak mau kalah.
"M-mesum? Lo udah bilang gue arogan, dan sekarang mesum? Gue gak terima." Adnan tersulut emosi, hidup bersama dengan Bina sudah cukup untuk membuat hidupnya tidak tenang.
"Tapi cowok yang masuk kamar cewek tanpa izin itu cuma cowok mesum!" Bina menekankan.
"Denger! Gue cuma numpang mandi, dan gue juga nggak apa-apain Lo."
"Ya, terserah. Tapi yang pasti Lo udah nggak sopan masuk ke kamar gue tanpa izin." Bina beranjak bangun untuk mengambil tasnya dan berangkat, ia melangkah pergi meninggalkan Adnan yang kini mendengus kesal mendapati dirinya tak dihiraukan. Adnan bangun dari tempat duduknya, mengambil tasnya yang sejak tadi sudah ia siapkan dan melangkah menuju pintu depan.
Adnan mengenakan sepatunya, bersiap untuk pergi namun langkahnya terhenti saat ia memiliki ide untuk mengerjai Bina dan membuat gadis itu menyesal karena sudah menyebutnya dengan sebutan mesum.
Tak lama Adnan mendengar Bina turun dari lantai atas, bergegas Adnan pergi dan bersikap tidak terjadi apa-apa. Bina tiba dan mengenakan satu persatu sepatunya, tapi begitu ia memasukkan kaki kirinya kedalam sepatu, ia merasakan sesuatu menembus masuk lewat kaus kakinya. Bina mengeluarkan kakinya, melihat isi dari dalam sepatunya. Cairan bening, lengket mengisi bagian dalamnya, itu adalah ludah Adnan. Walaupun hanya sedikit tetap saja menjijikkan. Bina bergidik jijik.
"ADNAN!!!!" Teriak Bina penuh emosi. Sekali lagi Adnan berhasil membuat Bina emosi jiwa dengan tingkahnya.
"Awas aja, gue nggak bakal tinggal diem."
...***...
...#...
...“Ada dua keadaan yang menyebabkan arogan. Pertama adalah ketika kamu salah dan tidak bisa menghadapinya, dan yang kedua adalah ketika kamu benar dan tidak ada orang lain yang bisa menghadapinya.”...
...- Criss Jami -...
...***...
Adnan Khaizan, menutup pintu lokernya dengan sedikit kasar. Perhatiannya dalam seketika tersita saat secara tiba-tiba ia menangkap sosok seorang gadis yang berdiri di dekat pintu lokernya dengan sebuah kotak dalam genggamannya. Adnan terdiam memperhatikan penampilan gadis itu dari atas sampai bawah. "K-kak… aku buatin cookies buat kak Adnan, t-tolong diterima ya…" ujar gadis itu gugup. Tangannya menyodorkan kotak dalam genggamannya itu ke arah Adnan. Adnan meraih kotak itu setelah terdiam beberapa saat, membuat semua orang yang berada diruang loker itu terkejut dibuatnya.
"Wah gila, diterima dong. Gue kira bakalan ditolak atau di anggurin."
"Tunggu aja, kak Adnan nggak mungkin terima gitu aja. Pasti bakalan di tolak."
"Lo buta apa gimana? Udah jelas-jelas kotaknya di terima." Beberapa gadis yang ada di sana berbisik sembari memperhatikan mereka berdua. Gadis dihadapan Adnan menunduk dengan wajah bersemu, wajahnya menampakkan senyuman malu sesekali melirik ke arah sang empu.
Jonas Cleve, sahabat Adnan yang sejak tadi berdiri dibelakangnya bersama Dev Jefrey hanya diam dan memperhatikan. Jonas mengeluarkan senyuman miring saat mendapati gadis itu tersenyum malu. "Belum tahu aja dia sama apa yang bakalan terjadi berikutnya," bisik Jonas pada Dev yang berada disampingnya. Dev diam tak bersua.
Adnan membuka kotak itu dengan sedikit kasar, ia menunduk melihat isi kotaknya. Di dalamnya ada beberapa buah cookies coklat dengan toping choco chips yang tampak lezat di tata dengan indah berjejer memenuhi kotak itu. Jonas yang berada di paling belakang mengintip sedikit ke arah kotak tersebut, cowok itu tampak tergiur dengan isinya. Apalagi Jonas ini adalah cowok pencinta makanan manis. "Kayaknya enak," gumamnya yang berhasil membuat Dev di sampingnya itu melirik. "Apa? Emang iya, kan?" Jonas balik menatapnya.
"Lo kalo liat yang manis-manis aja, cepat." Komentar Dev yang tak dihiraukan Jonas. Adnan menjatuhkan kotak ditangannya itu kasar membuat semua isinya berhamburan keluar dan hancur. Gadis di hadapannya terkejut bukan main saat melihat apa yang baru saja terjadi.
"Liat kan? Udah gue bilang, kak Adnan nggak mungkin terima."
"Gila sih, malu banget pasti."
Gadis itu termangu ditempatnya, ia mendongak perlahan menatap Adnan yang kini menatapnya dengan tatapan tajam. "Lo pikir, Lo siapa berani ngasih gue cookies kayak gini?" Tukasnya dengan suara dingin yang berhasil membuat gadis itu diam seketika membatu di tempatnya. Wajahnya mulai memanas, matanya mulai berkaca-kaca, dan bersamaan dengan itu tangannya mulai gemetar ketakutan. "Asal Lo tau aja, coklat itu mengandung kalori yang bisa bikin tubuh gendut. Jadi, maksud Lo ngasih gue coklat itu biar gue gendut? Gitu?"
"B-bukan gitu kak… aku hanya—"
"Lain kali, sebelum Lo mu ngasih apa-apa ke gue, pikir dulu sepuluh kali!" Tegasnya menatap tajam gadis yang hampir menangis dihadapannya itu. Semua orang yang ada di dalam sana berbisik, beberapa diantaranya menertawakan nasib gadis itu, sedangkan sebagian lainnya hanya bisa diam memperhatikan tanpa kata. Gadis itu tertunduk menyembunyikan air matanya yang jatuh, ia benar-benar sudah dipermalukan oleh cowok yang bahkan ia kagumi sejak ia masuk di SMA itu. Ia menggigit kulit bibir bagian dalamnya, berusaha menahan isak tangis yang nyaris keluar dari dalam mulutnya. "Cookies…" Jonas meratapi cookies yang baru saja dibuang sahabatnya itu. Dev mendelik ke arahnya.
...*...
Bina Esfand, melangkah menyusuri koridor sembari membaca buku berjudul Healology karya pengarang asal Amerika serikat Criss Jami. Ia menghentikan langkahnya saat mendengar suara gaduh yang berasal dari satu ruangan yang tidak sengaja ia lewati. Bina berhenti di depan pintu masuk, ia menurunkan buku ditangannya dan menatap ke arah cowok yang baru saja memarahi gadis dihadapannya dengan perlakuan yang cukup kasar. Bina menghela napasnya kasar, ia kemudian melangkah memasuki ruangan tersebut. Kedatangannya membuat beberapa orang yang berdiri menoleh spontan ke arahnya.
"Cewek itu siapa?"
"Kayaknya murid baru deh, gue baru liat soalnya."
Beberapa orang berbisik sembari memandang kearahnya yang terus melangkah masuk melewati mereka.
"Ada dua hal yang menyebabkan arogan. Pertama adalah ketika kamu salah dan tidak bisa menghadapinya, dan yang kedua adalah ketika kamu benar dan tidak ada orang lain yang bisa menghadapinya," ucap Bina dengan suara tegas, atensi semua orang berhasil disita oleh kedatangannya. Semua orang yang ada di sana menoleh serentak ke arah datangnya suara dan melihat Bina yang kini berjalan hingga akhirnya berhenti tepat di hadapan Adnan yang yang menatapnya penuh selidik. Bina mendongak, beradu pandang dengan Adnan.
"Sekarang gue tahu apa arti dari omongan Criss Jami dalam pepatahnya, dan contohnya… Lo!" Bina menunjuk Adnan tepat di wajahnya membuat cowok itu melongo dengan kalimat menohok yang baru saja terlontar dari mulutnya. "Berani banget ini cewek nunjuk gue," pikir Adnan dengan raut wajah kesal. Semua orang kaget dibuatnya, sebelumnya tidak pernah ada cewek yang berani melawan balik Adnan, dan Bina adalah satu-satunya cewek yang berhasil membuat semua orang terkejut dengan tindakannya.
Jonas menatap Bina berbinar, cowok itu kagum melihat sosok Bina yang berbeda di banding cewek-cewek lain di sekolahnya yang pernah ia temui. Beda halnya dengan Jonas dan Adnan, Dev justru menunjukkan respon yang berbeda. Kedua matanya membulat sempurna, ia menatap gadis itu nyaris tak berkedip.
"Lo siapa datang-datang main nunjuk-nunjuk muka orang?!" Adnan menatapnya tajam, Bina justru balas menatapnya dengan tatapan datar.
"Identitas gue nggak penting." Bina melipat kedua tangannya di depan dada. Ia memicingkan matanya ke arah Adnan, "tapi yang pasti gue paling benci sama orang yang merendahkan harga diri orang lain."
Gadis dibelakangnya itu mendongak perlahan menatap Bina yang melawan tanpa rasa takut. Ia menghentikan tangisnya dalam seketika.
"Apalagi didepan banyak orang kayak gini. Gue benar-benar nggak bisa tinggal diem." Sambungnya. Bina berbalik, berhadapan dengan gadis di belakangnya. "Lo nggak usah nangis. Nggak penting banget nangis cuma gara-gara cowok arogan kayak dia." Ia mendelik kesal pada Adnan.
"Arogan?" Adnan mengulang, Jonas di belakangnya cekikikan saat melihat Adnan yang tampak terkejut dengan ucapan Bina. "Diem, Lo!" Kesal Adnan melirik Jonas yang langsung terdiam sambil masih berusaha menahan tawanya. "Berani banget Lo bilang gue arogan!"
"Lo nggak terima? Lo emang arogan, saking arogannya Lo sampai rendahin orang."
...***...
...***...
"Rendahin diri orang lain di depan banyak orang kayak gini." Balas Bina yang berhasil membuat Adnan speechless dibuatnya.
"Mendingan sekarang kita pergi dari sini." Bina meraih tangan gadis itu dan membawanya keluar dari ruang loker, meninggalkan semua orang yang ada di sana.
"Wah gila, apaan itu tadi."
"Gue merinding sumpah. Ini pertama kalinya gue liat cewek kayak dia."
"Bener. Dia cewek pertama yang ngomong kayak gitu sama si Adnan."
Beberapa anak cowok berbisik setelah cukup lama hening dan hanya memperhatikan. Setelah Bina keluar dari ruang loker, satu persatu dari mereka mulai beranjak bubar dari tempatnya. Adnan terdiam ditempatnya menatap kearah dimana Bina menghilang di balik pintu masuk. Tangannya di bawah sana terkepal erat, Bina berhasil membuatnya naik darah.
"Gila sih, cewek itu berani banget. Siapa sih dia, sok jadi pahlawan banget."
"Kasihan gue sama kak Adnan, dia sampai nggak bisa berkata-kata dong!"
"Parah sih, belum tau aja dia gimana kak Adnan kalo udah marah."
Gadis-gadis di sana beranjak pergi. Kini di dalam ruang loker hanya tersisa Adnan, Dev, dan Jonas yang sama speechless-nya dengan Adnan. Bina berhasil membuat Jonas si cowok pencinta makanan manis itu kagum. "Wah gila, cewek tadi siapa? Keren banget! Ini pertama kalinya gue liat cewek yang nggak terpesona sama Lo, dia benar-benar cewek langka yang ada di sekolah ini!" Tutur Jonas dengan bisingnya membuat Adnan semakin kesal.
"Diem! Lo bikin gue makin kesel, tahu gak?!" Bentak Adnan berhasil membuat Jonas tersentak dan diam tak berkata-kata. Adnan beranjak pergi meninggalkan Dev dan Jonas berdua di dalam sana. Cowok itu pergi dengan langkah besar dan menghilang di balik pintu keluar. "Marah tuh gara-gara cewek yang satu itu nggak klepek-klepek sama pesonanya." Ledeknya, Jonas kemudian beralih menatap Dev yang masih diam terpaku di tempatnya. Ia memperhatikan cowok itu dengan raut wajah bingung. "Dev?" Jonas memanggilnya tapi tidak ada jawaban sama sekali dari cowok yang menjadi sahabatnya itu. Cowok itu hanya diam tak merespon, entah apa yang sedang dia pikirkan tapi tatapan matanya kosong seakan-akan dia tidak ada di sana.
"Dev!" Jonas menepuk keras bahunya membuat Dev tersadar dari lamunannya. "Ya? Argh… Lo mukul kenceng banget." Dev meringis.
"Lagian Lo pakai acara ngelamun segala. Ngelamunin apaan sih?"
"Ah… nggak, gue nggak ngelamunin apa-apa."
"Nggak mungkin. Udah jelas-jelas dari tadi Lo diem aja kayak patung."
"Udah ah, gue mau ke kelas." Dev pergi meninggalkan Jonas seorang diri di dalam ruang loker. Cowok itu memperhatikan Dev dengan raut wajah bingung.
"Aneh…" gumamnya pelan.
...*...
"Ini." Bina menyodorkan sebotol soda yang telah dibukanya pada gadis bernama Rosetta itu. Gadis itu meraihnya lalu meneguknya pelan. Sekarang ini Bina dan Rosetta tengah berada di lorong dekat taman, lorongnya cukup sepi jadi sangat cocok untuk menenangkan pikiran. "Makasih buat minumannya," ujar Rosetta dengan suara sedikit pelan. Bina beralih dari buku yang sedang dibacanya. "Sama-sama," sahutnya.
"Oh, ya… ngomong-ngomong nama Lo siapa?"
"Rosetta."
"Rosetta, oke denger. Kalo boleh, gue mau ngasih saran. Tapi ini terserah Lo mau dengerin apa nggak, gue cuma mau ngomong apa yang ada di benak gue aja." Rosetta terdiam menyimak ucapan Bina, ia memperhatikan dengan seksama. "Lo itu cantik, dan pastinya bakalan ada banyak cowok yang mau sama Lo. Sebaiknya Lo lupain cowok tadi, terus cari cowok lain yang lebih baik dibanding dia. Terus saran gue juga… sebagai cewek Lo juga jangan terlalu gampangan buat jatuh cinta. Apalagi buat nyatain perasaan lebih dulu kayak tadi, gue harap dengan adanya kejadian tadi, bisa Lo jadiin pelajaran buat kedepannya supaya Lo lebih baik dan nggak ngulangin kesalahan yang sama."
Rosetta diam membenarkan ucapan Bina, ia menundukkan kepalanya mencerna setiap kalimat yang baru saja terucap dari bibir cewek asing yang baru saja menolongnya bebas dari situasi yang memalukan tadi. "Gitu aja sih saran dari gue, tapi… jangan terlalu dipikirin apa kata gue. Kalo Lo nggak suka, Lo nggak perlu dengerin apa yang gue omongin barusan." Bina beranjak bangun dari tempat duduknya. "Ngomong-ngomong gue ada urusan, gue duluan." Bina pergi meninggalkan Rosetta seorang diri di sana. Gadis itu mendongak perlahan menoleh ke arah dimana Bina melangkah hingga sosoknya menghilang di balik pertigaan di sana. "Apa yang barusan dia bilang itu benar…" gumamnya pelan.
...*...
"Oke, denger semuanya. Hari ini kita kedatangan murid baru yang akan jadi teman sekelas baru kalian, bapak hadap kalian bisa bersikap baik dan buat dia nyaman sekolah disini." Jamal selaku guru wali kelas. Itu berbicara di depan ruang kelasnya, memperkenalkan Bina selaku siswi baru yang kini bergabung dengan anak-anak didiknya di kelas yang ia ajar.
"Baik pak," sahut seluruh siswa di dalam sana serentak. Jamal beralih pandang pada Bina yang berdiri di depan ruang kelasnya sejak tadi.
"Sekarang, silakan kenalin dirimu." Jamal mempersilahkan. Bina menganggukkan kepalanya pelan, ia lalu menatap lurus ke depan dengan penuh percaya diri.
"Kenalin semuanya, nama gue Bina Esfand. Gue pindahan dari SMA Mandana 3, gue harap kita bisa jadi temen satu kelas yang akrab. Jadi salam kenal." Bina memperkenalkan dirinya singkat, padat, dan jelas. Sebagai seorang perempuan dia adalah orang yang cukup to the point dan tidak ingin bertele-tele dengan basa-basi lebih dulu untuk berkenalan.
"Salam kenal dan selamat datang di kelas X-IPS II. Gue ketua kelasnya, kalo butuh apa-apa; Lo bisa minta bantuan gue atau temen-temen yang lain. Jangan sungkan, dan anggep aja kita temen lama supaya Lo ngerasa lebih nyaman." Jeff memberikan sedikit sambutannya selaku ketua kelas. "Makasih." Bina menganggukkan kepalanya.
"Sekarang kamu bisa duduk di bangku yang kosong," ujar Jamal. Bina melangkah menghampiri satu meja kosong yang berada di bagian paling belakang. Ia duduk di salah satu meja yang kini ditempati oleh seorang cewek cantik yang tadi duduk sendirian. "Gue Renata!" Cewek itu menyodorkan tangannya ke arah Bina sembari tersenyum hangat sebagai sambutan. "Gue Bina," jawabnya menjabat tangan cewek itu.
"Gue suka nama Lo, unik." Renata melepaskan jabat tangannya dari Bina.
"Oke, kita mulai pelajarannya. Buka buku geografi kalian, kita lanjutin pelajaran Minggu lalu," cetus Jamal mengintruksikan pada seluruh siswa-siswinya. Mereka semua bergegas mengeluarkan alat tulis masing-masing untuk mulai belajar, begitu juga dengan Bina di sana.
...***...
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!