NovelToon NovelToon

GELANG GIOK BERUKIR NAGA

Chapter 1: KEBAKARAN PASAR GOMBRANG

    Hari itu Minggu, bulan Mei, siang hari pukul dua belas. Matahari bersinar terang, panas sangat terik, terasa sekali menyengat kepala. Pasar Gombrang kebakaran.

    "Kebakaran ...!" teriak seorang laki-laki pedagang Pasar Gombrang. Ia berlari keluar, kebingungan.

    "Kebakaran ...!" teriak perempuan yang menyusul laki-laki tadi. Ia juga lari kebingungan.

    "Kebakaran ...! Kebakaran ...! Kebakaran ...!" teriak orang-orang yang ada di Pasar Gombrang semakin ramai.

    Siang itu Pasar Gombrang dilalap si jago merah. Orang-orang berlarian. Ada yang langsung mengambil air dengan ember, menyiramkan air ke sumber api. Api berasal dari tengah pasar, katanya dari kompor bakul mi ayam yang meledak. Yang jualan mi ayam namanya Pak Samin. Saat itu Pak Samin pergi, sementara kompor di gerobak mi ayam masih menyala. Entah janggal, atau keterlaluan, mau pergi kok menyalakan kompor. Akhirnya kompor itu meledak, api menjalar sangat cepat, karena Pak Samin berjualan di bagian tengah, yang sebenarnya itu kios-kios untuk pedagang pakaian. Tentu api dengan mudah melalap dagangan di sebelahnya. Sementara, kios pakaian membuat gerobok tempat penyimpanan dari papan kayu yang mudah terbakar.

    Beberapa pedagang berlari menyelamatkan diri. Ada yang membopong barang dagangannya, ada pula yang menyelamatkan anaknya. Ada yang hanya sempat menyelamatkan kotak uang, tetapi juga ada yang tidak sempat membawa apa-apa. Api cepat membesar dan merambat ke seluruh kios di pasar. Usaha orang-orang untuk menyiram dengan air tidak sanggup mengalahkan besarnya kobaran api.

    "Anakku ..., tolooong ...! Anakku ..., tolooong ...!" seorang perempuan menangis, selonjor di jalan sambil gedruk-gedruk, kakinya menendang-nendang, meronta-ronta, menjerit-jerit sejadi-jadinya. Tentu orang-orang langsung memerhatikan perempuan tersebut, yang ternyata Cik Lan, pedagang pakaian di los tengah.

    "Cik Lan, kenapa?" tanya seseorang yang masih sibuk ikut mengangkati air.

    "Belum tahu, anaknya kenapa?" jawab yang lain.

    "Koh Liem, itu istrimu, Cik Lan menangis kenapa ...?!" tanya orang yang lain.

    "Hah, ada apa .... Oe tak tanya dulu." jawab Koh Liem, suami Cik Lan, yang juga ikut mengankati ember air untuk menyiram api, katanya, "Hah, Lan, kamu orang menangis kenapa, ha ...?!"

    "Anak, Pah ..., anak kita, Pah ...!" kata Cik Lan.

    "Memang anak kenapa, ha ...?" tanya Koh Liem yang jadi bingung.

    "Melian, Pah ...! Anak kita, Melian masih ada di dalam pasar ...!" teriak Cik Lan, masih menangis.

    "Hah ...? Melian masih di dalam ..., hah ...? Kamu orang bagaimana, disuruh bawa anak malah ditinggal itu anak ..., hah ...?!" Koh Liem jadi bingung. Ia berlari membawa ember berisi air, diguyurkan ke sekujur tubuhnya, lantas meminta air lagi, berlari menuju ke pasar yang apinya masih berkobar. Sambil berlari ia mengguyur tubuhnya, ingin menerjang api untuk menyelamatkan anaknya.

    "Koh, jangan ...! Jangan, Koh ...!!" orang-orang berteriak melarang Koh Liem yang akan menerjang api.

    "Koh Liem, jangan, nanti terbakar ...!"

    "Koh Liem, berhenti ...!"

    Api berkobar menjilat-jilat. Orang-orang melarang Koh Liem, mencegah untuk menerjang api. Namun rupanya Koh Liem nekat, mau menerjang api. Melihat kenekatan Koh Liem, tiga orang laki-laki langsung berlari menubruk dan menyeret Koh Liem.

    "Koh Liem, jangan nekat, Koh ...!" bentak salah satu orang yangmenyeret Koh Liem.

    "Koh Liem bisa terbakar. Sadar, Koh ...!" bentak yang lain menyadarkan bahayanya.

    "Hoa ..., hoa ..., hoa .... Anakku bagaimana ...?" sekarang berganti Koh Liem yang meronta di tanah menangis karena tidak bisa menolong anaknya.

    "Sabar, Koh Liem. Yang tabah, ya." kata seorang pedagang menenangkan Koh Liem, sambil mengelus pundaknya.

    "Hoa ..., hoa ..., hoa .... Melian, kamu bagaimana, Nik ...?" Koh Liem semakin meronta, tangisnya semakin menjadi.

    Seorang wanita menggandeng, memapah Cik Lan yang juga masih menangis, menuju ke tempat Koh Liem.

    "Papah ...?!" Cik Lan memeluk suaminya, menangis sejadi-jadinya.

    "Mamah .... Anak kita, Mah ..." Koh Liem memeluk erat istrinya, menangisi anaknya yang tidak tertolong.

    Dua orang wanita separuh baya jongkok menemani Koh Liem dan Cik Lan, mengelus pundak keduanya sambil menenangkan, "Yang sabar, Koh, Cik .... Berdoa, semoga Tuhan memberi keajaiban." kata salah satu wanita itu.

    "Iya, Cik ..., yang tabah, ya. Allah memiliki rencana yang terbaik, yang tidak dimengerti oleh manusia. Percayalah pada rencana Allah." kata wanita yang satunya lagi.

    Sementara itu, Lurah Pasar Gombrang berkali-kali telpon ke Pemadam Kebakaran. Namun lama sekali pemadam belum juga datang. Padahal api semakin membesar.

    "Uiiing ..., uiiing ..., uiiing ...!" suara sirene mobil pemadam terdengar. Sudah tiga jam lebih dari awal kebakaran, mobil pemadam baru muncul.

    "Lama banget, ngapain saja .... Tidur ya!" sambut orang di situ.

    "Tempatnya dekat kok datangnya lambat!" seru yang lain.

    "Pasarnya sudah ludes, baru nongol!" bentak yang lain.

    "Besok ndak usah datang sekalian!" masih saja ada umpatan dari orang-orang yang ada di situ.

    Tentu orang-orang pada menggerutu, jengkel dan marah kepada petugas pemadam. Karena datangnya pemadam sangat lambat, apinya jadi mengamuk ke seluruh tempat. Dan para pedagang ini tentu rugi yang tidak sedikit. Koh Liem yang masih menangis, begitu mobil pemadam datang, ia berlari menubruk dan memukuli mobil pemadam tersebut. Ia meluapkan kekesalan, kejengkelan. Lantas disusul Cik Lan. Tentu pikiran mereka berdua bilang, jika petugas pemadam ini datang lebih cepat, sampai lebih awal, pasti kebakarannya bisa langsung diatasi, dan anaknya bisa diselamatkan.

    Walau demikian, orang-orang yang berkerumun langsung membuka jalan, memberi tempat mobil pemadam kebakaran untuk menyemprot api.

    "Cepat di semprot!" teriak seseorang.

    "Awas ...!!" teriak petugas pemadam yang mulai menyemprotkan air ke kobaran api.

    "Sroooot ...! Whuuuzzs ...! Bhuuus ...!" suara semprotan air yang sangat besar dan kencang, langsung memadamkan api yang berkobar. Kepulan asap keluar dari material yang terbakar.

    "Uiiing ..., uiiing ..., uiiing ...!" suara sirene mobil pemadam terdengar lagi. Mobil pemadam yang ke dua datang. Langsung menyemprotkan air.

    "Sroooot ...! Whuuuzzs ...! Bhuuus ...!" semprotan langsung menghantam api yang masih menyala.

    Tidak berapa lama, hanya sekitar setengah jam, api sudah bisa dipadamkan seluruhnya. Namun petugas pemadam masih menyemprotkan air secara perlahan, seperti membuat hujan, untuk mengantisipasi masih adanya api yang bisa menyala lagi.

    Melihat kondisi penyemprotan sudah perlahan, tanpa disangka, Koh Liem lari menuju kios dagangannya. Ia akan mencari anaknya yang tertinggal di dalam kios.

    "Koh Liem, sabar, Koh ...!" teriak Lurah Pasar.

    "Hati-hati, Koh Liem ...!"

    Koh Liem tidak menghiraukan suara itu. Ia terus berlari dengan cepat, ingin segera mengambil anaknya. Beberapa orang laki-laki yang pemberani, langsung mengejar Koh Liem, untuk membantu. Mereka semua sesama pedagang di Pasar Gombrang, kenal baik dengan Koh Liem. Mereka pun merasakan kesedihan yang dialami Koh Liem. Mereka tidak ingin terjadi sesuatu pada Koh Liem. Maklum, sehabis terjadi kebakaran, tentu banyak bara api yang masih menyala dan berbahaya jika terinjak. Selain itu, mereka khawatir jika Koh Liem menemui anaknya yang terbakar akan histeris.

    Koh Liem sampai di kiosnya. Beberapa orang yang siap membantu itu juga sampai di los kios bersamaan dengan Koh Liem. Semua kios ludes terbakar. Tidak ada yang tersisa. Termasuk kios Koh Liem. Namun, Koh Liem ada sesuatu yang aneh di kiosnya. Koh Liem melihat ada gulungan kain yang seperti membungkus tubuh orang. Tanpa pikir panjang, Koh Liem langsung menbopong dan membawa lari gulungan kain itu. Ia yakin yang tergulung di dalam kain itu adalah anaknya, Melian.

    "Mamah ...!" Koh Liem memanggil istrinya.

    "Pah ...?!" Cik Lan langsung menyambut suaminya yang membopong gulungan kain tersebut. Lantas, di tempat yang teduh, mereka berdua membuka kain.

    "Hah ...?!" Koh Liem kaget bahagia, "Melian ...!" teriaknya.

    "Melian, sayang ..." Cik Lan langsung memeluk dan menciumi anak perempuannya yang baru berusia satu tahun.

    Orang-orang mengerubut Koh Lim dan Cik Lan, menyaksikan Melian selamat dari kebakaran.

    "Syukur ..., ya,  Allah ...."

    "Slamet ..., slamet ..., slamet ...."

    "Ya ampun, kuasa Mu sungguh ajaib ya, Allah."

    Semua orang bersyukur, semua orang keheranan, semua orang takjub akan keajaiban yang diberikan oleh Tuhan kepada Melian, bayi masih berusia satu tahun tersebut. Ya, memang sangat ajaib, kebakaran besar yang terjadi di Pasar Gombrang itu sudah menghanguskan seluruh pasar. Tetapi, Melian, bayi imut yang tertinggal di dalam kios, bisa selamat dalam bungkusan selembar kain, tanpa ada goresan maupun bekas api yang mendekati. Kain itu utuh membungkus bayi Melian. Benar-benar aneh.

    Peristiwa kebakaran Pasar Gombrang itu sudah terjadi dua puluh tahun yang lalu.

    Lantas, setelah dua puluh tahun lewat, apa yang terjadi?

Chapter 2: MISTERI KEMATIAN BERUNTUN

KOH LIEM dan Cik Lan tentu sangat bahagia ketika mendapati anaknya, Melian, selamat dari kebakaran besar yang menghanguskan seluruh Pasar Gombrang. Bagaimana tidak, pasar yang terbakar hingga ludes tanpa menyisakan apa-apa, hanya abu dan puing-puing bangunan, namun anak kecil berumur satu tahun yang bernama Melian itu selamat dalam bungkusan selembar kain. Tidak terjilat oleh api sama sekali. Bahkan bau sangit dari asap pun tidak ada. Memang aneh, tetapi itulah kuasa Tuhan Yang Maha Ajaib. Tidak hanya ayah ibunya yang keheranan, tetapi semua warga Pasar Gombrang, maupun orang-orang yang melihat hal aneh ini. Sangat mengherankan.

    Bagi Koh Liem maupun Cik Lan, sebagai orang tua Melian, keajaiban keselamatan anaknya itu tidak pernah dibahas sampai ke hal yang tidak bisa dinalar. Yang penting anaknya selamat. Namun bagi para pedagang, teman-teman Cik Lan, teman-teman Koh Liem, para pedagang di Pasar Gombrang, mereka selalu menanyakan masalah keselamatan Melian, karena mereka menganggap peristiwa ini benar-benar ajaib, tidak masuk akal. Ada yang mengatakan diselamatkan oleh malaikat, ada pula yang bilang Koh Liem dan cik Lan itu orang baik, selalu menurut perintah Tuhan, rajin berdoa, makanya Tuhan selalu memberikan rejeki yang berlimpah. Contohnya saja, belum lama ini Cik Lan mendapat hadiah kalung liontin cantik dari bank, terus satu bulan sebelumnya, Koh Liem menang undian sepeda motor dari promo bungkus kopi yang dikirim hanya asal-asalan ngirim saja, bahkan setelah Koh Liem menikah dengan Cik Lan, dagangannya di pasar laris manis, selalu ramai pembeli. Tetapi ada juga yang mengaitkan dengan cerita klenik. Namanya juga orang banyak, pendapatnya berbeda-beda, pikirannya lain-lain, pandangannya tidak sama. Ada yang bilang kalau Melian itu dilindungi oleh makhluk gaib dari Gunung Kawi, dulu ayahnya Koh Liem sering meminta berkah di Gunung Kawi, makanya Melian tidak mempan dibakar api. Ada lagi yang suka klenik, suka memasang jimat-jimat, suka dengan takhayul, maka orang-orang ini datang menemui Koh Liem, minta sobekan kain yang membungkus tubuh Melian waktu kebakaran, akan dijadikan jimat, akan dijadikan kekuatan, akan dijadikan aji-aji. Tidak hanya satu orang yang minta kain itu, tetapi banyak. Rata-rata mereka akan menggunakan sobekan kain itu sebagai jimat penglaris dagangannya. Harapannya, dagangan bisa laris dan selamat jika terjadi kebakaran lagi. Akhirnya Koh Liem memotong-motong kain yang kemarin membungkus tubuh Melian, menjadi bagian kecil-kecil, lantas dibagi-bagikan ke orang-orang yang meminta. Toh hanya kain biasa saja yang ada di kiosnya.

    Setelah peristiwa kebakaran Pasar Gombrang, pihak kepolisian melakukan olah TKP. Hasil investigasi telah menetapkan Pak Samin sebagai orang yang harus bertanggung jawab. Karena kelalaian Pak Samin yang menyalakan kompor di gerobak mi ayam dan ditinggal pergi, lantas kompor tersebut meledak dan mengakibatkan kebakaran, maka Pak Samin ditangkap oleh pihak kepolisian untuk menjalani hukuman.

    Sebenarnya pernah terdengar desas-desus, jika kebakaran Pasar Gombrang itu disengaja. Pasalnya, Pasar Gombrang akan dibangun menjadi shopping center terbesar di Kota Jenang. Beberapa waktu yang lalu sudah pernah dilakukan pertemuan antara perwakilan pengurus paguyuban pedagang pasar dengan pihak pemerintah, yang intinya akan memindahkan pedagang Pasar Gombrang. Namun para pedagang tidak setuju. Mereka menolak. Tiba-tiba, hari Minggu itu, beberapa pekan setelah pertemuan orang-orang pasar dengan pemerintah, Pasar Gombrang mengalami Kebakaran. Tentu semua pedagang curiga. Apalagi penjual mi ayam itu seakan sengaja menyalakan kompor dan ditinggal pergi begitu saja.

    Akibat dari kebakaran di Pasar Gombrang, tentu para pedagang mengalami kerugian yang tidak sedikit. Barang dagangannya terbakar, kiosnya ludes dilalap api, dan tidak dapat berjualan lagi. Yang terlihat di pasar, kini hanya puing-puing reruntuhan bangunan pasar yang sudah menjadi abu dan arang. Waktu itu, hanya sedikit saja barang dagangan yang bisa diselamatkan, dibawa lari keluar oleh pemiliknya. Saat di tumpuk di pinggir jalan, eeh, masih ada yang tega mengambil, dicuri tangan setan. Namun kebanyakan, para pedagang tidak bisa menyelamatkan barang dagangan, karena api yang cepat membesar. Barang habis, modal habis. Mereka pasrah. Tidak bisa apa-apa lagi.

    Yang lebih menyakitkan lagi, sudah lebih dari seminggu, para pedagang tidak boleh masuk ke area pasar. Pagar pasar diberi pita kuning oleh polisi, ada tulisan "Dilarang melintas". Setiap ada orang yang akan masuk, Pak Lurah Pasar langsung membentak, "Tidak boleh masuk!" begitu katanya. Padahal niat para pedagang, mereka akan membersihakan kios dan lapaknya, ingin menata lagi tempatnya. Mereka ingin berjualan lagi.

    "Kami mau bersih-bersih, Pak." kata seorang laki-laki yang ingin masuk.

    "Tidak boleh!" bentak Lurah Pasar yang berdiri di depan garis kuning, menjaga pasar.

    "Tapi kami ingin menata tempat jualan, Pak." kata orang yang sudah mencoba mau menerobos masuk.

    "Pokoknya, tidak boleh! Kalau berani masuk, saya tangkap, saya laporkan polisi!" bentak Lurah Pasar yang menyeret tangan orang itu agar keluar.

    "Waaalaaah .... Lha, terus sampai kapan kami menganggur?" kata laki-laki itu.

    "Itu masalahmu sendiri, bukan urusanku!" kata Lurah Pasar ketus.

    Tentu para pedagang merasa jengkel. Mereka menganggur, dagangannya ludes, tidak bisa berjualan lagi, tidak punya penghasilan, tidak bisa makan. Mau membersihkan dan menata tempat jualannya saja, tidak diperbolehkan masuk. Ibarat kata,orang sudah susah masih dipersulit untuk berusaha.

    Pagi harinya, beberapa orang pedagang mencoba berjualan di pinggir jalan, di depan Pasar Gombrang. Mereka pedagang sayuran. Tentu sepi, karena pembeli belum ada yang tahu. Pagi harinya, yang berjualan bertambah banyak. Pembeli sudah mulai berdatangan. Suasana lebih ramai. Pagi berikutnya lagi, pedagang bertambah lagi. Tidak hanya jualan sayuran, tetapi sudah beraneka macam dagangan. Pembeli lebih ramai. Suasana jalan di depan Pasar Gombrang pun menjadi penuh sesak. Akibatnya, lalu lintas menjadi macet.

    "Tidak boleh berjualan di sini! Bubar ..., bubar ..., bubar ...!" Lurah Pasar membentak-bentak, menyuruh para pedagang bubar.

    "Kami mencari nafkah, kenapa dipersulit?!" kata seorang pedagang sayur, yang pertama kali mulai jualan.

    "Kami tidak mencuri, jangan diusir!" yang lain ikut membentak Lurah Pasar.

    "Beri kami kesempatan untuk berusaha." kata seorang perempuan yang berjualan di depan pintu pasar.

   "Tidak boleh ...! Mengganggu ketertiban ...!" sergah Lurah Pasar, yang mulai mendorong pedagang.

    Begitu menyaksikan teman pedagang ada yang didorong oleh Lurah Pasar, mereka beramai-ramai balas mendorong tubuh Lurah Pasar. Akhirnya keributan terjadi. Beberapa petugas pasar membantu Pak Lurah Pasar dari amukan para pedagang.

    Suasana masih ribut, ketika petugas kepolisian dari Polsek Gombrang sebanyak satu mobil datang, untuk menghentikan keributan. Beberapa orang yang dianggap provokator, ditangkap dan diangkut mobil polisi.

    Walaupun belum ikut berjualan, Koh Liem yang menggendong Melian, menonton suasana orang-orang di depan pasar, termasuk menyaksikan keributan yang terjadi. Tetapi Koh Liem diam saja, tidak ikut-ikutan ribut dengan para petugas pasar. Maklum, ia menggendong anak yang masih kecil.

    "Tu ..., tu. Tu ..., tu. Ti ..., tu ti." ucap Melian yang digendong papahnya, tangan menunjuk-menunjuk.

    "Ada apa ...?!" tanya Koh Liem yang belum memahami apa maksud anaknya.

    "Tu ..., ti ...." Melian menunjuk Pak Lurah Pasar.

    "Oo ..., ya ..., ya ...." jawab Koh Liem sekenanya. Walau tidak paham maksud yang dikatakan anaknya, tapi setidaknya ia tahu anaknya menunjuk Pak Lurah Pasar.

    Keributan sudah dibubarkan oleh petugas. Orang-orang sudah pada pulang meninggalkan keramaian di depan pasar. Para bembeli pulang, walau belum dapat belanjaan. Para pedagang merasa rugi kembali, karena dagangannya banyak yang rusak terinjak-injak saat keributan.

    Pagi hari berikutnya, terdengar kabar Lurah Pasar Gombrang meninggal.

    "Pak Lurah mati ...!"

    "Kenapa?"

    "Tidak tahu."

    "Sokor ...!"

    "Alhamdulillah ...!"

    "Syukuran!"

    Berbagai reaksi para pedagang Pasar Gombrang berceloteh semaunya. Itu reaksi atau ungkapan hati nurani sesuai dengan perasaannya. Menurut para pedagang, Lurah Pasar Gombrang memang keterlaluan. Sering memaksa para pedagang. Bahkan uang iuran pedagang pasar dinaikkan semaunya, sehingga memberatkan para pedagang. Walau demikian, para pedagang masih mau melayat untuk penghormatan yang terakhir.

    Demikian juga Koh Liem, ia ikut melayat. Begitu sampai di rumah Lurah Pasar yang meninggal, sudah banyak orang yang melayat. Koh Liem melangkah ingin melihat jasad yang terakhir. Ia teringat, kemarin saat ia menggendong Melian, anaknya menunjuk-menunjuk ke Lurah Pasar sambil mengatakan, "Tu ..., ti ...." Koh Liem menafsirkan yang dikatakan Melian itu berarti "Orang itu akan mati." Ya, kenyataannya hari ini Lurah Pasar Gombrang meninggal dunia.

    Berita meninggalnya Lurah pasar Gombrang itu tentu membuat para pedagang pasar menjadi senang. Pasalnya, tidak ada yang mengusir lagi kalau mereka berjualan. Tentu mereka bisa masuk ke lokasi pasar, untuk membersihkan dan menata kembali pasar yang sudah terbakar.

    Maka hari itu, beberapa orang mulai masuk ke pasar. Akan membersihkan puing-puing dan abu bekas kebakaran. Mereka melepas pita garis kuning yang dipasang oleh polisi. Petugas pasar yang lain tidak berani melarang. Mereka takut. Ya, yang paling galak memang lurah pasarnya. Namun salah satu dari petugas pasar, ada yang lapor ke Polsek Gombrang, minta bantuan untuk memarahi para pedagang yang masuk ke dalam pasar. Akhirnya petugas kepolisian dari Polsek Gombrang datang satu mobil bukaan, dipimpin langsung oleh Kapolseknya, memarahi para pedagang yang menerobos masuk ke dalam pasar.

    "Hei ..., siapa yang nyuruh masuk ...?!" bentak salah seorang aparat.

    "Kami mau membersihkan tempat dagangan kami." jawab salah seorang yang masih sibuk mengangkuti puing.

    "Tidak boleh! Pasar ini ditutup, tidak boleh dimasuki siapa saja, untuk pemeriksaan!" kata petugas.

    "Tapi kami harus mencari nafkah, Pak. Kalau tidak jualan, anak dan keluarga kami makan apa?" sahut para pedagang.

     "Pokoknya tidak boleh. Tunggu perintah Pemda!" kata sang petugas lagi.

    "Sampai kapan, Pak?!" tanya para pedagang lagi.

    "Tunggu saja!" tegas si petugas.

    "Pokoknya kami mau jualan. Kalau tidak boleh di pinggir jalan, kami mau menata sendiri pasar ini!" para pedagang tetap membantah, berusaha agar bisa berjualan.

    Keributan tidak terelakkan. Jumlah pedagang pasar yang lebih banyak dari petugas, berani melawan. Walau akhirnya para pedagang ini mundur, ketika beberapa orang ditangkap dan dibawa ke Polsek. Pedagang pasar pun akhirnya kalah dan pulang dengan kehampaan. Lagi-lagi usahanya untuk mencari rejeki gagal.

    Pagi hari setelah keributan para pedagang dengan petugas-petugas dari Polsek Gombrang, tersiar berita, Kapolsek Gombrang meninggal dunia. Entah kenapa, tidak ada yang tahu. Tapi menurut petugas pasar yang melayat, kematian Kapolsek Gombrang ini terjadi gara-gara disengat lebah. Ah, kok sampai sebegitunya, apa lebahnya ratusan? Orang-orang tidak peduli. Para pedagang Pasar Gombrang tidak ada yang melayat satu orang pun. Mereka tidak senang, karena kemarin teman-temannya ditangkap dan ditahan. Padahal hanya bersih-bersih, tidak mencuri.

    Karena pejabat, maka yang berdatangan melayat juga banyak dari kalangan pejabat. Termasuk ada Pak Camat. Bahkan ada juga beberapa anggota dewan. Waktu itu Pak Camat diminta untuk memberi sambutan. Pak Camat berdiri, memegang michrophone, akan memberikan sambutan. Namun pada saat Pak Camat berdiri akan memberikan sambutan, belum berkata-kata, kakinya terlihat gemetar, dan tiba-tiba roboh, terjatuh. Suasana di tempat melayat itu menjadi ribut. Orang-orang langsung menjunjung tubuh Pak Camat, memberikan pertolongan. Namun setelah diraba beberapa orang yang paham, ternyata Pak Camat sudah meninggal.

    "Pak Camat ...!"

    "Kenapa ...?!"

    "Ada apa dengan Pak Camat?!"

    "Pak Camat meninggal."

    "Hah ..., apa?!"

    "Pak Camat mati!"

    "Waduh ...?!"

    Geger. Ribut. Suasana kematian di tempat Kapolsek menjadi kacau. Orang-orang jadi kebingungan. Sementara upacara pemakaman belum selesai, kini giliran Pak Camat Gombrang yang harus diurusi untuk dimakamkan. Orang-orang yang melayat pun kebingungan sana-sini.

    Kematian beruntun yang terjadi dalam dua hari di kawasan Pasar Gombrang. Mulai dari Lurah Pasar, Pak Kapolsek, dan Pak Camat. Adakah yang akan meninggal lagi? Siapa? Ada misteri apa dengan kematian orang-orang ini?

Chapter 3: BERANI MENANTANG

    Setelah kematian Lurah Pasar, kematian Kapolsek serta Camat Gombrang yang terjadi secara beruntun, diyakini oleh para pedagang kalau kematian mereka adalah hukuman dari malaikat pencabut nyawa kepada orang-orang dolim. Maka kini para pedagang pasar Gombrang menjadi berani untuk masuk ke pasar yang dibatasi oleh pita kuning dari pihak berwajib. Para pedagang ini akan membersihkan puing-puing bekas kebakaran. Setidaknya mereka akan menata kembali pasar yang sudah hangus tersebut.

    Menyaksikan para pedagang yang masuk ke pasar yang terbakar, para petugas pasar, anak buah lurah pasar sudah tidak berani menghalangi. Tentu karena niat dari para pedagang ini sudah bulat dan nekat. Jika para pegawai kantor pasar ini berani menghalangi, pasti para pedagang akan melawan. Akhirnya para pegawai atau petugas pasar membiarkan saja para pedagang masuk ke area pasar. Toh tujuan mereka juga baik, yaitu membersihkan puing-puing sisa kebakaran. Jika memang itu niatnya baik, mengapa harus dilarang.

    Maka hari itu, suasana bekas pasar Gombrang yang terbakar menjadi riuh ramai. Penuh orang yang umumnya para pedagang. Laki-laki, perempuan, tua muda, semua bergotong royong membersihkan puing-puing. Mereka akan menata kembali pasar yang sudah menjadi arang. Namun semangat dan niatan mereka tidak pernah patah arang. Maka wajar jika dihalang-halangi, mereka tetap menerjang.

    "Ayo semua puing di tumpuk ke tengah, kita hanguskan sekalian." kata salah seorang pedagang yang cukup disegani oleh pedagang-pedagang yang lain. Ya, laki-laki itu bertubuh tegap tinggi besar. Sangat pantas untuk menjadi pemimpin.

    "Dibakar?" tanya orang yang lain, tentu agak ragu-ragu.

    "Iya .... Sisa-sisa puing kita hanguskan sekalian, agar bersih, tidak ada arang. Nanti kalau sudah jadi abu semua, lebih mudah dalam membersihkan." kata laki-laki yang memimpin.

    "Apa nanti tidak bahaya kalau dibakar lagi?" tanya salah seorang yang ikut membersihkan.

    "Makanya puing-puing itu kita tumpuk di tengah, dibakar sedikit demi sedikit. Jangan ditumpuk terlalu tinggi. Kalau kebanyakan nanti apinya jadi besar, tapi kalau dibakar sedikit demi sedikit apinya tidak membesar dan tidak bahaya." jelas orang yang lain, yang tentu paham ketakutan teman-temannya. Karena mereka masih trauma dengan api yang melalap seluruh Pasar Gombrang.

    "Siap ...!" sahut laki-laki yang sudah mulai membakar puing-puing sisa kebakaran tersebut.

    Api mulai menyala membakar arang dan puing sisa-sisa kebakaran Pasar Gombrang. Pasti sangat mudah terbakar. Sedikit terbakar, lantas ditambah puing yang lain. Habis terbakar, ditambah lagi dengan sisa-sisa yang lain. Terus dan terus, silih berganti orang yang mengusung sisa-sisa kebakaran.

    "Yang ini dibakar apa tidak?!" tanya salah satu pedagang yang membawa potongan kayu masih agak besar.

    "Ya, bakar saja. Itu sudah tidak bisa dipakai lagi." sahut yang lain yang tentunya menyuruh membakar kayu yang dibawa orang itu.

    Sampai siang hari, para pedagang itu membersihkan puing. Belum selesai. Masih ada banyak puing yang ditumpuk, mengantri untuk dibakar. Bahkan masih ada yang masih harus dibongkar dari tempat warung semula, karena memang belum terbakar semua. Masih ada kayu dan tiang yang belum hancur. Seperti halnya warung Koh Lim, yang baru terbakar separo.

    "Capai .... Bagaimana ini? Kita selesaikan hari ini apa dilanjutkan besok?" kata salah seorang yang sudah kelelahan.

    "Istirahat dahulu .... Kemari, minuman dan jajanan ada di sini." sahut yang lain sambil menunjukkan jajanan dan minuman.

     "Bapak-bapak .... Ini ada kiriman masakan dari ibu-ibu untuk makan siang!" tiba-tiba saja ada tiga wanita datang menggendong dunak berisi nasi, serta membawa panci besar berisi sayur sop.

    Ya, ternyata saat yang laki-laki pada bersih-bersih di bekas tempat kebakaran, beberapa ibu berinisiatif untuk memasak. Ada yang masak sayur, ada yang menanak nasi, ada juga yang menggoreng tahu tempe. Bahkan ada yang membuat sambal. Semua berpartisipasi. Walau hanya sekadar sayur sop apa adanya, tapi kalau dimakan bersama oleh orang banyak, pasti rasanya nikmat.

    "Di taruh di mana ini makanannya?" tanya wanita yang menggendong dunak nasi tersebut.

    "Di sini saja .... Biar nanti pada ngumpul di sini." jawab laki-laki yang pantas menjadi pemimpin itu.

    "Ya .... Makanan taruh di sini semua." kata perempuan yang membawa makanan.

    "Bapak-bapak ..., mari kemari .... Kita makan dahulu. Ini ada kiriman dari ibu-ibu ...!" kata laki-laki bertubuh tegap besar itu.

    "Ya ...."

    "Siap ...."

    "Ayo, kita makan dahulu!"

    "Asyik ...."

    Orang-orang yang bekerja bakti membersihkan puing sisa kebakaran tersebut, langsung pada menyerbu makan siang yang sudah disiapkan oleh ibu-ibu. Yang masak juga para istri mereka. Tetapi mereka senang, karena lahan berjualan mereka, pasti sebentar lagi bisa dipakai untuk berjualan kembali.

    "Enak ...."

    "Sayur sopnya segar."

    "Sambalnya enak .... Pedas tapi tidak terasa panas."

    "Siapa ini yang bikin sambal?"

    "Waah, besok mesti di buatkan lagi ini ...."

    Mereka makan sambil berbincang dan bersendau gurau. Itulah yang menambah kenikmatan dalam acara makan bersama. Apalagi setelah separo hari mereka bekerja bakti. Rasa lelah dan capai itu terbayar oleh nikmatnya makan siang bersama. Tentu mereka senang walau beberapa hari yang lalu seluruh dagangannya dilalap si jago merah.

    Namun, belum selesai mereka menikmati hidangan makan siang secara prasmanan, tiba-tiba ada dua mobil, yang satu dengan plat merah, sedangkan yang satu lagi mobil sedan bagus, datang dan berhenti di depan pasar. Tentu itu membuat orang-orang yang riuh menyantap makan jadi terdiam. Tentu ada tanda tanya dengan kedatangan mobil plat merah tersebut. Kemudian dari dalam mobil yang pertama keluar tiga orang laki-laki yang mengenakan pakaian dinas kepemerintahan. Mereka pasti orang pemerintah, pejabat kabupaten. Sedangkan dari mobil yang satu lagi keluar dua orang, laki-laki dan perempuan, dengan pakaian ala orang kaya. Sangat perlente dan keren. Sopirnya tidak keluar.

    Selanjutnya orang-orang dengan pakaian seragam pemerintah itu masuk ke area bekas pasar yang terbakar tersebut, diikuti oleh dua orang laki-perempuan yang perlente itu. Mereka tidak menyapa maupun menanyai orang-orang yang ada di situ. Padahal sangat banyak orang yang sedang makan bersama. Tetapi orang-orang itu seakan menganggap tempat itu tidak ada manusianya. Setidaknya, orang-orang itu tidak mau tahu dengan orang-orang yang sedang kerja bakti membersihkan puing. Bahkan laki-laki yang perlente itu masih mengenakan kaca mata hitam, biar tidak terlihat matanya. Mereka benar-benar tidak tahu unggah-ungguh, tidak kenal sopan santun. Ada orang sebegitu banyak yang sedang kerja bakti tidak dianggap sama sekali. Sungguh keterlaluan.

    "Mereka itu siapa, sih? Kok sombong sekali ...!" gumam salah seorang yang tidak senang melihat orang-orang pemerintah yang datang itu.

    "Itu pasti orang kabupaten. Paling tidak pejabat." sahut yang lain mengira-ira.

    "Dari mana kamu tahu kalau dia pejabat?" tanya temannya.

    "Kesombongannya .... Biasanya orang kalau jadi pejabat itu sombong." jawab orang tadi.

    "Lha kalau laki-laki yang pakai kaca mata hitam itu?" tanya orang tadi.

    "Apa mungkin dia itu bos yang mau beli lahan pasar ini, ya?!" duga yang lain lagi.

    "Wah ..., kalau begitu percuma kita kerja bakti membersihkan puing-puing ...." kata temannya.

    "Siapa yang bilang kalau pasar ini mau di jual?!" tiba-tiba laki-laki gagah besar itu berteriak pada teman-temannya.

    "Lha itu .... Orang-orang yang datang itu ...! Pasti suami istri itu yang mau membeli, yang katanya mau dibual shoping center." jawab temannya.

    "Apa kalian rela kalau pasar ini dijual kepada investor?!" kata sang pemimpin itu mulai menanyai teman-temannya secara keras.

    "Tidak! Saya tidak rela kalau lahan pasar ini dijual ke investor. Nanti kita mau nyari rejeki bagaimana?" jawab salah satu dari mereka.

    "Saya juga tidak mau!" kata yang lain.

    "Saya juga tidak rela ...!!" yang lain pun ikut bersuara lantang.

    Entah mendengar atau tidak, para pejabat dan dua orang laki-perempuan itu seolah tidak mau tahu orang-orang pasar pada berteriak. Padahal jaraknya cukup dekat. Tetapi seakan mereka cuek saja. Pasti mereka pura-pura dan tidak menganggap orang-orang yang sedang kesusahan itu.

    Tanpa ada yang menyuruh, laki-laki yang sudah dianggap jadi pemimpin teman-temannya itu melangkah menghampiri lima orang yang berdiri mengamati lahan Pasar Gombrang yang terbakar.

    "Maaf, Pak .... Bapak-bapak ini datang kemari mau apa?" tanya laki-laki tegap besar sang pemimpin kerja bakti. Tentu ia ingin tahu kedatangan orang-orang itu.

    Tiga orang laki-laki dengan pakaian seragam pemerintah itu hanya menoleh sebentar. Mereka tidak menjawab. Sedangkan laki-laki perlente yang masih mengenakan kaca mata hitam itu menarik lengan yang perempuan, dia melangkah mundur. Mungkin takut saat ditanyai lelaki tegap besar yang terlihat kekar itu.

    "Maaf, Pak .... Saya ingin tahu, bapak-bapak ini datang kemari mau apa?" sang pemimpin itu mengulangi pertanyaannya kembali.

    Sama seperti semula. Tiga orang pemerintahan itu tidak menjawab, malah memandang dengan sinis pada laki-laki yang bertanya tersebut. Mereka terlalu sombong dengan pakaian seragam pegawainya. Bahkan seolah menganggap musuh kepada orang yang bertanya. Sedangkan lelaki yang bersama perempuan itu sudah melangkah mundur agak jauh, bahkan hampir mendekati mobilnya.

    Laki-laki yang memimpin teman-temannya membersihkan puing itu menoleh ke teman-temannya yang masih berkumpul di tempat mereka makan, lantas katanya, "Saudara-saudara ..., rupanya lahan Pasar Gombrang ini betul akan dijual ...! Apa kalian rela ...?!" teriak laki-laki tegap besar itu kepada teman-temannya.

    "Tidak ...!!!" jawab orang-orang yang ada di tempat itu serempak dengan suara yang lantang dan keras. Bahkan, orang-orang pada mulai mengambil potongan-potongan kayu sisa kebakaran yang masih berserakan. Mereka bangkit berdiri dengan memegang potongan kayu, berjalan menuju ke arah tiga orang pemerintahan itu. Seakan mereka mengancam dengan potongan-potongan kayu yang mereka bawa, mereka akan melawan tiga orang itu.

    Ternyata, tiga orang pejabat dari pemerintahan itu takut dan lari terbirit-birit meninggalkan bekas lahan Pasar Grombyang, masuk ke dalam mobil plat merah itu. Sedangkan laki-laki dan perempuan yang terlihat perlente tadi, juga sudah meninggalkan tempat itu lebih duluan. Mereka ketakutan. Takut kalau dikeroyok orang-orang pasar.

    Orang-orang yang beramai-ramai akan menghadapi para pejabat dari pemerintah itu langsung menuju ke mobil plat merah yang dinaiki oleh pejabat yang dikejar. Ternyata, orang pejabat yang sombong itu, ketika digeruduk banyak orang, mereka takut juga.

    "Ayo ..., siapapun yang berani mengusik kami, hadapi kami ...!!!" teriak laki-laki gagah perkasa itu.

    Para pejabat itu terbirit-birit. Mobil plat merah itu pun dilajukan kencang menghindari amukan masa. Namun karena sang sopir ketakutan, maka menyetirnya kurang konsentrasi. Sang sopir menginjak gas terlalu kencang, dan tidak mampu menguasai setir mobil. Akibatnya mobil itu menabrak pohon besar yang ada di seberang pasar. Bagian depan mobil hancur. Ketiga pegawai Pemda itu mengalami luka parah.

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!