Hari itu langit begitu cerah dan matahari kembali menyinari bumi, memberikan kehangatan bagi semua makhluk ciptaan-Nya.
Seorang gadis kecil bernama Alice Berliana Wijaya tengah mengayuh sepeda. Butiran peluh nyaris membanjiri seluruh kening dan pelipisnya.
Alice sudah meninggalkan rumahnya sejak pukul enam pagi, gadis kecil itu bergegas berangkat ke sekolah karena hari ini adalah hari pertama ia memulai statusnya sebagai murid SMA.
Alice merupakan anak tunggal dari pasangan suami istri bernama Calvin Wijaya dan mendiang Clara Wijaya. Sejak berusia sepuluh tahun, ia hanya dibesarkan oleh ayahnya karena ibunya sudah lama meninggal akibat penyakit kanker yang diderita.
Gadis itu memiliki postur tubuh mungil dengan tinggi badan 150 cm, hidung mancung, mata sipit, kulit kuning langsat, rambut panjang sebahu dan memiliki tahi lalat di sudut mata sebelah kanan. Sepintas wajah gadis itu seperti boneka barbie memiliki jiwa dan bisa bergerak.
Kini ia sudah berada di depan gerbang sekolah, tanpa sadar lidahnya berdecak karena mengagumi bangunan tinggi kokoh di depannya. Bangunan sekolah itu begitu luas, bagus dan menjadi salah satu SMA favorit nomor dua di ibu kota. Alice beruntung menjadi murid kesekian yang berhasil masuk kesana meskipun nilai ujiannya pas-pasan.
Alice memarkirkan sepedanya di parkiran khusus murid SMA, ia berjalan memasuki gerbang sekolah dan mengedarkan pandangan ke segala arah, mencari kelasnya karena ini pertama kalinya gadis kecil itu memasuki kawasan sekolah, membuatnya kebingungan. Ia melihat seorang murid laki-laki dan memberanikan diri bertanya pada murid tersebut.
"Permisi kak, ruang kelas 1B dimana?"
"Kamu tinggal lurus saja, setelah itu belok kiri. Nanti di depan pintu ada tulisan 1B. Itu ruang kelasnya," ucap murid laki-laki itu yang tak lain adalah Darren. Ia menjelaskan dengan detail agar Alice tidak kesasar.
"Makasih kak," Alice tersenyum lembut kepada murid itu.
Alice mengikuti petunjuk yang diberikan murid itu.
"Nah ini ruang kelasnya."
Alice menunjuk sebuah bangunan berwarna cat putih abu. Ia berjalan masuk dan memilih bangku kosong tepat berada di barisan terdepan. Disana sudah ada seorang murid perempuan berpakaian biru putih seperti dirinya. Perlahan-lahan ia duduk dibangku kosong disamping gadis remaja itu.
"Permisi, kursi ini masih kosong kan?" tanya Alice sopan.
"Kosong, loe duduk aja disitu gak akan ada yang marah," ucap gadis remaja itu.
"Oh, oke!"
"Asal sekolah mana?" ucap gadis yang duduk disamping Alice.
"SMP Merah Putih."
"Hebat, loe bisa masuk SMP favorit di Jakarta. Gue dulu gak keterima karena nilai kurang satu angka. Kan ngeselin banget tuh."
"Biasa aja kok," kali ini Alice merubah bahasanya menggunakan bahasa non formal.
"Oh iya, kita belum kenalan. Kenalin, nama gue Elva," gadis itu menyodorkan tangannya ke arah Alice.
"Nama gue Alice, panggil aja Ice," Alice menjabat tangan gadis itu.
"Loe emang lulusan mana, Va?" kini giliran Alice yang bertanya.
"SMP Kamboja."
Saat mereka asyik mengobrol tiba-tiba masuk seorang murid perempuan. Berwajah cantik, tinggi dan berkulit putih bersih.
"Halo, selamat pagi," sapa gadis itu.
"Perkenalkan, nama saya Ava. Selama satu minggu kedepan akan menjadi penanggung jawab kalian sampai kegiatan MPLS selesai."
"Untuk sesi pertama, kita akan berkenal dulu. Saya akan mengabsen satu satu."
Satu per satu murid tersebut maju ke depan dan memperkenalkan diri. Sesi pertama dilalui oleh mereka dengan penuh semangat.
Bunyi bel istirahat berbunyi.
"Kalian boleh istirahat, setengah jam kemudian kumpul lagi di kelas karena kegiatan selanjutnya akan diisi oleh ketua panitian MPLS."
"Baik kak," ucap semua murid bersamaan.
Gadis itu berjalan keluar, menuju sebuah ruangan khusus yang diperuntukan bagi panitia MPLS.
"Melelahkan!" ucap gadis yang bernama Ava.
"Kelas loe gimana Va, aman?" tanya teman sekelasnya.
"Aman, kalo yang cowoknya sama aja sering rusuh."
Ava membuka segel air mineral berukuran 300 ml.
"Udah biasa itu."
Seorang murid laki-laki masuk ke dalam ruang kelas, Ava dan temannya menghentikan sejenak percakapan mereka.
"Airon!" panggil Ava.
Airon acuh dan terus berjalan ke arah kursi kosong.
Ava tak menyerah, ia mengikuti laki-laki itu.
"Habis istirahat, loe kebagian kasih paparan dikelas gue," Ava membuka percakapan.
"Iya, gue tau!" jawab Arion singkat.
"Loe gak ambil minum?"
"Gue udah minum tadi diluar," Arion membuka buku novel yang ia pinjam dari perpustakaan.
"Loe suka juga baca novel itu?" tanya Ava.
"Hu'um.
"Ih, Airon! Loe kok ngejawabnya singkat mulu." Ava kesal karena laki-laki itu hanya menjawab singkat.
"Gue mau sendiri jadi please pergi dari sini!"
"Tapi....
"Kalo loe gak mau pergi, biar gue yang keluar!"
Arion menutup kembali novelnya dan berjalan keluar kelas.
"Arion, sampai kapanpun bakal gue kejar loe!"
***
Setelah jam istirahat selesai, para murid baru berbondong-bondong masuk ke dalam kelas.
Alice dan Elva sedang asyik mengobrol dengan teman-teman yang lain. Mereka berasal dari berbagai sekolah namun disatukan dalam wadah yang sama.
"Udah kumpul semua?" tanya Ava.
"Udah kak," jawab mereka serempak.
"Sesuai dengan janji kalo sesi kedua ini kelas kita kedatangan tamu spesial dari, dia merupakan ketua panitia sekaligus wakil ketua OSIS SMA Merah Putih. Mari kita persilahkan saja untuk kakak tampan disana masuk ke dalam kelas."
Seketika ruang kelas yang sepi menjadi ramai, seluruh murid perempuan kelas 1B terpesona oleh penampilan memukau kakak senior mereka.
Laki-laki itu memiliki postur tubuh tinggi, berkulit putih, mata sipit, hidung mancung dan alis tebal.
"Ih, ganteng banget sih."
"Iya, kayaknya artis deh."
"OMG, ganteng banget!"
"Target gue nih."
Dan masih banyak lagi ragam komentar yang terucap dari murid perempuan kelas 1B.
Alice sendiri gimana? Jangan ditanya, ia malah paling syok diantara murid yang lain. Matanya langsung melongo, mulut terbuka lebar dan tangannya meremaas tangan Elva dengan kuat.
"Ice, tangan gue!" rintih Elva.
"Eh sorry Va."
"Hati-hati, lalat bisa masuk kalo mulut loe terbuka begitu," goda Elva.
"Gak lucu Va."
"Lagian loe syok sampai segitunya. Kayak belom pernah lihat cowok ganteng."
"Yang ganteng banyak tapi ini beda Va."
"Cowok tuh semuanya sama aja Ice."
"Sst!" Elva menutup mulutnya dengan jari telunjuk.
"Jangan berisik, nanti gege tampan ini kabur loh," canda Elva.
"Ya udah, kita minta gege tampan ini untuk menyampaikan materi MPLS, gimana?"
"Setuju!"
"Setuju banget kak!" ucap Alice.
Gadis kecil itu terlihat lebih antusias diantara murid yang lain. Airon hanya memandang sinis ke arah Alice.
Dengan penuh pesona, Airon menyampaikan materi seputar visi misi OSIS SMA Merah Putih, rencana kerja dan kegiatan yang berkaitan dengan kesiswaan. Semua murid antusias mendengarkan paparan dari kakak senior tampan dihadapan mereka.
Sejak pertemuan pertama dengan Airon membuat Alice semakin bersemangat pergi ke sekolah.
Pagi-pagi sekali gadis itu sudah bersiap dengan seragam putih biru miliknya. Selama masa MPLS seluruh murid baru diwajibkan memakai seragam sekolah asal sebelum akhirnya mereka diperbolehkan memakai seragam putih-abu.
"Ice, tumben jam segini kamu sudah bangun nak," ucap Ayah Calvin saat ia berjalan ke dapur untuk mencuci piring kotor.
"Iya ayah, Ice tidak ingin terlambat. Nanti tidak diperbolehkan masuk kelas jika telat."
"Wah, ada kemajuan nih anak ayah," puji Ayah Calvin.
"Harus dong, kan sudah masuk SMA jadi harus berubah."
Alice mengambil alih tugas ayahnya mencuci piring sementara itu Ayah Calvin menyiapkan sarapan untuk mereka.
"Kamu mau makan apa untuk sarapan?"
"Terserah ayah aja," Alice masih sibuk membilas piring kotor.
Ayah Calvin membuka lemari es, mengecek stock makanan yang tersedia di dalam lemari es.
"Ayah buatkan omlet dan roti isi selai stawberry, mau?"
"Boleh."
Kemudian pria paruh baya itu menyiapkan semua bahan dan mengolahnya
***
Tepat pukul tujuh, Alice dan teman-teman sesama murid baru sudah berbaris di tengah lapangan. Seluruh murid kelas 1 mulai dari kelas 1A sampai dengan kelas 1C diminta berkumpul di lapangan sekolah.
Pagi itu kelas A sampai kelas C akan mendengarkan sambutan dari kepala sekolah, mereka akan diberikan beberapa wejangan selama mengikuti kegiatan MPLS.
Alice berdiri dibarisan paling depan, ia sengaja memilih barisan itu agar bisa menatap dengan jelas wajah Airon. Matanya tak berkedip saat melihat kakak seniornya berdiri dengan gagah di belakang tubuh bapak kepala sekolah. Walaupun terhalang tubuh pria itu namun Alice bisa dengan jelas melihat keindahan ciptaan Tuhan di dahapannya.
"Omo!" ucap Alice dalam hati.
"Ice, jangan lupa berkedip," Elva mencolek lengan Alice.
"Elva, diam! Nanti kita kena tegur," ucap Alice lirih tanpa memindahkan pandangan matanya dari sosok Airon.
Setengah jam berlalu, kini saatnya semua murid kembali ke ruang kelas. Alice beserta murid lainnya bergantian memasuki ruang kelas dengan tertib.
"Ice, loe serius menyukai Kak Airon?" tanya Elva saat keduanya sudah duduk di bangku.
"Iya emang kenapa? Gak ada larangan kan kalo gue menyukai Kak Airon?"
"Ya gak sih tapi loe harus bersaing dengan murid perempuan lain untuk menaklukan hatinya."
"Itu urusan gampang, gue akan buktikan bahwa Ice akan menjadi murid pertama yang dikenal oleh Kak Airon," ia membusungkan dadanya ke depan.
"Jangan terlalu percaya diri, ditolak tahu rasa loe," ucap teman Alice yang duduk dibelakang kursi mereka.
"Sialan loe, malah mendo'akan hal buruk kepada teman sendiri."
Elva dan teman yang duduk dibelakang hanya tertawa.
"Gue jadi penonton aja ye Ice, sambil bantu do'a."
Alice hanya tersenyum kecut.
Saat jam istirahat, Alice bertekad akan memulai aksinya mendekati Airon. Siang itu ia melihat Airon sedang duduk di kantin sekolah bersama teman-temannya. Sebuah ide muncul dalam benak gadis itu, ia memesan segelas jus alpukat untuk diberikan kepada kakak seniornya namun tiba-tiba saja kakinya tersandung dan gelas itu tumpah mengenai seragam putih Airon.
"Loe apa-apaan sih, jalan gak pake mata!" bentak Airon.
Sontak semua mata melihat kearah Airon dan Alice. Gadis itu begitu ketakutan, tubuhnya bergetar, butiran keringat sebesar biji jagung satu per satu jatuh membasahi seragam sekolahnya dan ia merasakan sakit pada ujung ibu jari kaki.
"Maaf kak, aku tidak sengaja," ucap Alice terbata-bata.
"Mau loe apa?" Airon masih emosi.
"Aku hanya berniat membawakan jus ini untuk kakak tapi gak sengaja malah tersandung."
"Loe tuh ya, masih murid baru tapi udah sok kecentilan."
"Lihat nih seragam gue jadi kotor!"
Ava memberikan kotak tisu ke meja Airon.
"Iya nih, loe murid baru udah buat masalah," Ava menimpali ucapan Airon.
"Siapa nama loe?" Tanya murid laki-laki itu.
"A-Alice, kak."
"Oke, gue catat nama loe di kepala. Gue tandain loe sebagai biang masalah."
Airon pergi meninggalkan kantin dengan penuh emosi, sementara Alice masih berdiri di depan meja yang ditempati Airon barusan.
"Awas loe ya!" ancam Ava.
Setelah Airon, Ava dan teman-temannya pergi, Elva menghampiri Alice dan memapahnya duduk dikursi.
"Loe gak apa-apa Ice?" Elva begitu panik melihat wajah temannya pucat.
"Gak apa-apa, cuma kaki gue rasanya sakit."
"Gue bawa ke UKS, gimana?"
"Boleh."
Akhirnya Elva membawa Alice ke UKS.
Setelah peristiwa buruk yang terjadi antara Airon dan Alice tak membuat gadis kecil itu gentar mengejar idolanya, ia selalu memiliki beribu cara agar bisa mendekati Airon.
Kejadian lalu menjadi sebuah penyemangat bagi Alice untuk tetap mengejar sang idola walaupun kesan pertama terlalu buruk namun berkat peristiwa itu membuat Airon bisa mengetahui namanya dan ia menjadi murid baru yang pertama dikenal oleh anak laki-laki tersebut.
"Kak!" ucap Alice saat ia melihat Airon duduk di perpustakaan.
Ia sengaja mengikuti anak laki-laki itu untuk memberikan kotak makan berisi bekal makan siang sebagai tanda permintaan maaf.
"Loe mau apa lagi? Belum puas ngotori seragam gue?" ucapnya pelan namun Alice bisa merasakan bahwa saat ini Airon masih marah.
"Aku hanya ingin memberikan ini."
Baru saja kotak makan itu akan ia dikeluarkan dari dalam tas kain namun sudah ditolak duluan oleh Airon.
"Gue gak butuh, udah sana jangan dekat-dekat. Gue lagi belajar."
"Maaf ya kak."
Alice meninggalkan Airon dan duduk dikursi taman depan ruang kelas.
"Gimana, sukses?" Tanya Elva.
"Gak, dia masih marah," ucap Alice putus asa.
"Lah, kok baru segini loe udah nyerah. Semangat dong."
Elva mengangakat tangan dan mengepalkannya. Ia memberikan semangat kepada temannya.
"Iya, gue akan terus semangat demi menaklukan hati Kak Airon."
"Hari ini gagal namun besok atau lusa siapa yang tahu, mungkin aja dimasa depan Kak Airon akan menyukai dan menjadi kekasihku."
"Hu.... Mimpi loe terlalu tinggi. Hati-hati nanti jatuh malah sakit," Elva menyenggol siku Alice.
"Loe gak tahu ya, segala sesuatu itu harus berawal dari mimpi kemudian alam bawah sadar kita merekam kemudian alam semesta meng-aamin-i."
"Iya-iya terserah loe aja deh. Gue sebagai teman hanya memberikan support. Semoga berhasil!"
Dari kejauhan ada seorang murid laki-laki yang tak lain merupakan saudara sepupu Airon, bernama Darren Tan. Diam-diam ia menaruh hati pada Alice.
Darren terkesan oleh sikap Alice, walaupun terkesan ceroboh dan polos namun menurut murid laki-laki itu sikap polosnya itu merupakan daya tarik dari adik kelasnya tersebut.
"Kamu lucu dan menggemaskan Ice," gumam Darren.
"Aku menyukaimu namun biarkan rasa ini kusimpan dalam hati."
Sepulang sekolah, Alice memutuskan untuk menemui ayahnya di sebuah restoran cepat saji. Dari sekolah menuju restoran, ia menaiki angkutan perkotaan (angkot) karena lokasi restoran saat siang hari sangat ramai Alice memutuskan untuk melewati sebuah gang kecil yang biasa dilaluinya ketika ingin menemui ayahnya saat jam makan siang.
Jalanan gang kecil itu biasanya ramai namun hari ini entah mengapa terasa sunyi seperti tidak ada tanda-tanda kehidupan, biasanya banyak pedagang dan orang lalu lalang namun kini jalanan begitu lengang bagaikan kota mati tak berpenghuni.
"Aneh sekali mengapa jalanan ini begitu sepi, tidak biasanya begini," gumam Alice.
Alice berjalan dalam kesunyian, ingar bingar kemacetan lalu lintas, kepulan asap kendaraan seolah tak mampu menembus kesunyian, ia terus berjalan tanpa menoleh kebelakang sama sekali. Alice berhenti sejenak saat mata indahnya menangkap segerombol pria bertato dengan penampilan menyeramkan berjongkok membentuk lingkaran kecil.
Ia mematung memperhatikan gerak gerik ketiga pria bertato, gadis itu hendak melarikan diri namun belum sempat kakinya bergerak pria bertato itu mendekati Alice.
"Eh, ada gadis cantik," ucap pria bertato, ia mencoba menyentuh dagu Alice namun gadis kecil itu menghindar.
"Kalian mau apa? Tolong biarkan Ice lewat,"
Alice ketakutan setengah mati karena baru pertama kali ada sekelompok pria asing menghalanginya.
"Mau kemana Neng?" tanya teman pria bertato.
Tubuh pria itu tinggi dan memiliki luka di wajah.
"Ice mau lewat om, tolong beri jalan," ucap Alice dengan wajah memucat dan napas mulai tersengal-sengal.
"Duh, si Neng kok panggil om segala. Kita masih muda panggil aja abang," timpal yang lain.
"Om mau apa? Tolong beri jalan untuk Ice lewat."
"Oh, jadi namanya Neng Ice. Bagus namanya. Ice berarti dingin ya. Wah kalau begitu biar abang menghangatkan dirimu," ucap preman itu.
"Om, tolong jangan ganggu Ice!"
Alice panik karena ketiga pria bertato sudah mengelilinginya, salah satu dari mereka mulai mendekati tubuh gadis kecil itu dan mencoba menangkap namun Alice secepat kilat berlari menghindari mereka. Ia berlari kencang tak mempedulikan suara teriakan dari arah belakang yang memanggil dirinya.
"Hei gadis kecil, tunggu. Jangan lari!"
Namun Alice tak menghiraukannya, ia terus berlari dan berlari hingga tak sengaja menabrak seorang pria. Jantung gadis itu mulai berdegup kencang, kaki dan tangannya terasa dingin dan tubuhnya bergetar hebat seperti terkena aliran listrik ia sudah pasrah jika memang nasibnya akan berakhir saat ini.
"Neng Ice, sini!" ucap salah seorang preman.
"Gak mau!" ucap Alice berteriak meninggikan suaranya.
"Kak, tolongin Ice," gadis itu menagkupkan kedua tangan dan memelas meminta pertolongan pada pria asing yang berdiri di hadapannya.
"Apa mereka berbuat macam-macam padamu?" tanya pria itu seraya menyentuh pundak Alice.
"Tidak Kak, tadi Ice sempat berlari sebelum mereka menyentuh."
"Eh kamu anak muda, sebaiknya lepaskan gadis itu dan segera pergi dari sini!" titah mereka.
"Enak saja, seharusnya kalian yang pergi!"
Darren menyembunyikan tubuh Alice dibelakang tubuhnya.
"Cih, memang kamu siapa?" ucap pria bertato seraya meludah ke tanah.
"Aku teman gadis ini."
Darren sudah mulai melepaskan tas ransel dan menggulung lengan seragamnya. Ia mengepalkan kedua tangan dan meletakannya ke depan serta kedua kaki terlentang selebar bahu.
Darren mulai melontarkan pukulan, ia menyerang daerah selangk*ngan dengan tendangan, memukul hidung dan wajah menggunakan siku.
Brugh!
Satu preman tumbang, kini tersisa dua lagi.
Preman itu tidak tinggal diam, ia mengepalkan tangan dan mengarahkan ke wajah Darren namun murid laki-laki itu menghindar.
Darren menangkis setiap gerakan pukulan, disaat mendapatkan kesempatan untuk menyerang, ia mengarahkan lututnya ke arah kaki dan memutar tubuhnya ke samping, memukul bagian kepala si preman hingga tersungkur ke tanah.
Dua orang preman lumpuh kini tersisa satu namun si preman tersebut tidak berani melawan Darren.
Ilmu bela diri Darren tidak bisa diragukan lagi, ia merupakan seorang atlet taekwondo. Sejak dini ia sudah berlatih dan banyak memenagkan kejuaraan nasional bahkan pernah mengharumkan nama SMA Merah Putih di Kejuaraan Taekwondo Indonesia.
"A-ampun Dek, Abang ngaku salah," ucap preman seraya bersimpu di hadapan Darren.
Darah segar mengalir dari sudut bibir dan pelipis serta wajah mereka babak belur. Mata, hidung dan pipi bengkak akibat dihajar oleh Darren.
"Jangan pernah macam-macam, kalau gue lihat loe gangguin gadis itu terima ganjarannya."
"S-siap bos."
Seorang preman dengan luka di wajah memapah kedua temannya menjauhi Darren. Bahkan ia mengompol karena takut melihat teman-temanya habis dihajar oleh Darren.
Alice tertawa terpingkal-pingkal.
"Ha-ha-ha, rasain loe. Suruh siapa gangguin orang lewat," teriak Alice.
"Terima kasih Kak."
"Apa Kakak terluka? Kalau iya, di depan adalah restoran tempat ayah bekerja. Kakak bisa ikut dengan Ice nanti akan diobati lukanya."
"Hanya tergores saja saat memukul perut mereka."
Alice melihat punggung tangan Darren berdarah.
"Sepertinya punggung tangan Kakak mengenai ujung ikat pinggang pria tadi."
"Ayo."
Darren mengikuti Alice.
"Ayah!" gadis kecil itu memanggil ayahnya dari balik pintu dapur restoran.
Ayah Alice dan teman-temannya langsung menengok ke sumber suara.
"Ice, kamu kenapa nak?" tanya Ayah Calvin.
"Yah, teman Ice terluka. Dia telah menolong Ice dari para preman di gang situ."
"Cepat ambilkan kotak obat!" perintah Ayah Calvin.
Salah satu teman Ayah Calvin berlari mencari kotak obat yang terletak di dekat tempat cuci piring.
"Sst!" Darren mendesis menahan perih akibat obat yang ditaburkan ke lukanya.
"Nak, terima kasih karena sudah menolong putriku," ucap Ayah Calvin disela-sela mengobati luka Darren.
"Iya om sama-sama. Kebetulan saja aku lewat."
"Ice, lain kali jangan pernah lewat gang itu lagi. Bahaya!"
"Mereka memang sering nongkrong di gang itu dan beberapa kali tertangkap basah sedang memalak anak sekolah namun saat ditangkap mereka melarikan diri," ucap salah satu teman Ayah Calvin.
"Tuh, kamu dengar sendiri jadi jangan lewat situ lagi."
"Baik ayah."
"Kak, sekali lagi terima kasih."
"Sama-sama."
"Aku Darren Tan."
"Hah? Kakak satu marga dengan Kak Airon?"
"Benar, dia sepupuku."
Nampak rona bahagia di wajah Alice, matanya bersinar dan dari tubuhnya ia merasakan muncul bunga bermekaran.
"Wah, kebetulan." ucap gadis itu lirih.
"Kebetulan apa?"
"Bukan apa-apa."
Alice tersenyum.
***
Sejak kejadian kemarin membuat Alice dan Darren semakin dekat. Murid laki-laki itu selalu menyapa Alice ketika berpapasan dengan gadis itu di jalan.
"Ice, loe kenal dengan kakak senior itu?" Tanya Elva.
"Iya, dia sepupunya Kak Airon."
"Wah, keluarga Tan banyak melahirkan generasi cerdas dan tampan."
"Kenapa loe gak pacaran aja dengan kakak itu? Kan sama-sama tampan."
"Gue dengan Kak Darren cuma teman. Hati dan cinta gue hanya untuk Kak Airon seorang. Selamanya akan tetap ada nama Kak Airon disini." Alice menyentuh dadanya, menunjuk letak hati berada.
"Astaga, loe lebay banget sih!" Goda Elva.
"Biarin!"
Blee....
Alice menjulurkan lidah.
Kedekatan Alice dan Darren memunculkan api cemburu di dalam hati Airon, perlahan-lahan ia mulai menyukai adik kelasnya. Hatinya mulai luluh atas semua kerja keras Alice untuk mendekatinya namun Airon gengsi mengakui bahwa ia telah menyukai gadis itu.
Airon membuang jauh perasaan yang ada di hatinya, ia mencoba mengalihkan pikiran dan perhatiannya ke hal lain. Ia kini lebih sering menghabiskan waktu di perpustakaan membaca buku atau hanya sekedar mengerjakan tugas sekolah.
Saat ia tak sengaja bertemu Alice di kantin, murid laki-laki itu mencoba bersikap dingin dan cuek seperti biasa. Alice melihat sikap dingin, cuek dan acuh semakin gencar mendekati Airon.
"Kak Airon," sapa Alice.
"Loe mau apa?"
"Udah sana jauh-jauh, bisa kena sial jika ada loe didekat gue!" ucapnya sarkas.
"Ih, kakak. Kejadian tempo hari benar-benar gak disengaja."
"Udah deh sana, ganggu aja loe!" bentak Airon.
"Ron, loe bisa gak sih bersikap lembut dikit ke Alice. Dia cuma mau kenalan doang tapi kenapa loe malah bentak-bentak dia!"
Darren mendengar sepupunya membentak Alice menjadi kasihan melihat gadis itu menjadi bahan tontonan semua murid yang sedang istirahat di kantin sekolah.
"Belain terus pacar loe!"
"Eh Ron, kalau ngomong hati-hati jangan tebar fitnah."
Emosi Darren meluap, kedua alisnya tertarik kebawah, matanya menatap tajam ke arah Airon, cuping hidung mengembang dan rahang menonjol keluar.
"Kak Darren sudah, tidak apa-apa."
"Loe berani ribut cuma gara-gara cewek ini? Mata loe udah dibutakan oleh cinta Ren!"
"Loe!"
Darren menunjuk wajah Airon dengan telunjuk.
"Gue balik ke kelas dulu, loe lanjutin aja bareng gadis aneh ini!"
Airon meninggalkan Darren dan Alice di kantin sekolah.
"Berhenti loe!" teriak Darren.
"Sudah Kak," Alice menahan lengan Darren.
"Ice tidak apa-apa," ucapnya seraya tersenyum.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!