Hai, readers. Terima kasih sudah bersedia mampir di cerita ini. Jangan lupa pencet lope, masukin kranjang. Eh, maksudnya di rak buku. 😅
“Ugh, apa semalam aku mimpi buruk?” rintih Fay seraya memijat pinggangnya yang terasa nyeri. Mungkin tamu bulanan akan datang, pikirnya.
Gadis itu merasakan sakit di sekujur tubuh, kedua netranya masih terpejam, masih terasa berat untuk beranjak dari ranjang. Namun silau cahaya matahari memaksanya untuk segera membuka mata.
“Apa yang terjadi padaku?” Fay terdiam sejenak, terkesiap mendapati dirinya hanya berbalut selembar kain tebal--selimut berwarna putih. Ingatannya menjelajah pada malam sebelumnya, kepingan puzzle itu menari-nari di atas kepala.
“Tidak, pasti tidak benar, ini pasti hanya mimpi buruk.” Fay meyakinkan dirinya sendiri bahwa tidak terjadi apa pun malam itu.
Perempuan cantik berambut hitam panjang itu mengintai penjuru kamar yang terlihat kacau, Fay hanya ingat dia datang ke undangan salah seorang teman dan kepalanya terasa pusing setelah minum segelas cocktail. Pasti minuman itu bermasalah. Jika tidak, ia tidak mungkin mengalami malam nahas itu. Fay sangat berhati-hati dan menjauhi minuman yang berbau alkohol atau minuman memabukkan lain.
Fay mendengar suara gemericik air di kamar mandi, pasti orang yang melewati malam bersamanya ada di dalam sana. Ah, bagaimana ini? Apa yang harus dilakukan jika berjumpa dengannya? Orangnya seperti apa, dan wajahnya juga hanya samar-samar mengingatnya.
Beberapa jam sebelumnya.
Fay berjalan sempoyongan meninggalkan tempat itu saat menyadari ada yang tidak beres dengan tubuhnya. Saat itulah ia bertemu seseorang yang tanpa sengaja menyenggolnya hingga terjatuh.
"Aduh, pelan-pelan kalau jalan tuh pakai mata," maki Fay pada orang yang ditabraknya, dia menunjuk dengan dua jari--telunjuk dan jari tengahnya--pada pria yang mengenakan setelan jas mahal.
"Hei, Nona. Beraninya kau...," omel pria berkacamata yang berjalan dibelakangnya.
"Sudahlah, Lan. Salahku juga jalan tanpa memperhatikan jalan," ujar pemuda tampan yang ditabrak Fay.
Apa katanya? Dia membiarkan wanita ini menabraknya dan masih memakinya?
Pria berkacamata yang merupakan asisten pribadi pemuda tampan yang tengah memerima makian. Ini bukan sifat tuannya, biasanya ia pasti akan memarahi setiap orang yang berbuat salah, apalagi berani memakinya.
"Kau..., benar, Tuan Tampan." Fay memuji ketampanan pemuda itu dengan menahan nyeri di kepala. Penglihatannya terasa semakin berputar, tetapi Fay mencoba untuk melawannya.
"Hei, siapa orang yang mengirim kamu?!" sentak Arlan. Ia menjauhkan wanita itu, tetapi Vano kembali mencegahnya.
"Ah, kau sangat cerewet, Tuan Kacamata." Fay mendorong Vano dan berniat pergi. Namun tubuhnya berkata lain, kepalanya kembali membentur dada bidang Vano.
"Apa maumu?"
"Tuan, tolong aku."
"Menyingkirlah! Kau sudah mabuk!" Vano menjauhkan gadis itu.
"Aku tidak mabuk, mereka sedang mengejarku, Anda harus membantuku," rengek Fay dengan wajah sendu. Ia berusaha menggelengkan kepalanya, bukan merasa lebih baih justru semakin pening.
"Dia pasti wanita yang sengaja dikirim untuk menggoda Anda, Tuan. Jangan percaya padanya," bisik Arlan.
Vano sempat berpikir demikian, tetapi hati kecilnya mengatakan lain dan ingin menolongnya. Terlebih dua orang pengawal yang mengejar wanita itu bukan seperti rekayasa.
"Hei, jangan lari kamu!" teriak salah seorang pengawal yang mengejarnya. Fay bersembunyi dibelakang punggung Vano, berharap para pengawal itu tidak menyadari keberadaannya.
"Tuan, kumohon!" ucap Fay dengan wajah ketakutan.
Kedua orang itu hanya melewati Vano dan Arlan tanpa memperhatikan wanita yang bersembunyi di belakangnya, mereka mengira bahwa wanita itu adalah pasangan Vano yang sengaja disembunyikan. Tahu bahwa dua orang ini bukanlah orang yang bisa mereka singgung. Bukan hanya itu, mereka juga memberi hormat dengan mencondongkan tubuh ke depan.
"Mereka sudah pergi!" ucap Vano datar.
"Baiklah." Fay berniat pergi, tetapi lututnya terasa lemas untuk berjalan. Bukan hanya itu, ia tiba-tiba merasa mual dan segera membungkam mulut dengan kedua tangannya.
"Aargghhh...!"
Vano terpaksa membawa wanita itu ke penthouse miliknya. Kesadaran Fay semakin menghilang, ia tidak dapat mengendalikan dirinya dan tidak lagi mengingat apa-apa setelah itu.
Suara bergetar benda pipih persegi mengembalikan kesadaran Fay. Ia mencari keberadaan bunyi bergetar yang ternyata berasal dari ponsel miliknya. Di sana ada dua buah ponsel dan dompet milik seorang pria.
Fay begitu penasaran dengan pemilik dompet itu, tetapi benda pipih itu terus bergetar. Membuatnya harus menunda rasa penasaran dan mencati tahu siapa yang menghubunginya sepagi ini?
Dahinya berkerut melihat nama yang tertera di sana, Mbak Jum--tetangga sebelah rumahnya yang menelepon. Fay segera menggeser ikon hijau pada layar, ia takut terjadi sesuatu pada ibunya yang tinggal seorang diri di rumah. Terlebih semalam ia tidak pulang ke rumah. Pasti wanita itu mencemaskannya.
"Ya, Mbak...,"
"Gawat, ini gawat," ucap Mbak Jum dengan nada panik.
"Apanya yang gawat, Mbak Jum katakan yang jelas."
"Itu, Ibu kamu. Ibu kamu pingsan dan sekarang dibawa ke rumah sakit," jelas Mbak Jum.
"Apa? Rumah sakit mana?" Fay langsung berdiri, melupakan keadaannya yang tidak memakai apa pun.
Mbak Jum memberitahu rumah sakit tempat Ibu Yuri di rawat. Telepon dimatikan, Fay meletakkan benda pipih itu di sembarang tempat. Fay bergegas mencari pakaiannya, tetapi ia tidak menemukannya. Namun di atas meja di samping sofa, ada sepasang pakaian baru. Satu set untuk wanita dan satu set untuk laki-laki.
Tanpa berpikir panjang, Fay segera mengenakan pakaian itu, melupakan rasa penasarannya pada dompet edisi khusus yang isinya belum sempat ia buka. Rambutnya hanya dikuncir sembarangan, ia bahkan tidak memperhatikan ponselnya yang masih tertinggal di atas nakas kamar presidential suit hotel. Untung saja ia masih membawa tas selempangnya.
Fay begitu cemas memikirkan keadaan sang ibu, hal apa yang membuat penyakitnya kembali kambuh? Apakah karena dia tidak pulang semalam? Atau ibunya tahu bahwa dirinya telah bermalam dengan seorang pria di hotel?
"Kamu begitu ceroboh, Fay. Seharusnya lebih berhati-hati" makinya pada dirinya sendiri.
Sepanjang jalan, Fay mengutuki dirinya. Pikirannya begitu kacau, ia hanya mengingat nama rumah sakitnya, lupa bertanya di ruangan apa ibunya dirawat. Dia melupakan kesedihannya, saat ini yang ada di pikirannya hanya keadaan sang ibu.
Sesampainya di rumah sakit, Fay segwra bertanya pada bagian administrasi tentang keberadaan sang ibu. Baru saja hendak mengetuk pintu, Fay mendengar suara keributan dari kamar tempat ibunya dirawat.
"Kamu masih berani hubungi suamiku? Mau apalagi, belum puas kamu menghantui kebahagiaan rumah tangga kami, hah?"
"Dasar murahan, pelakor, rasain kamu sekarang penyakitan. Heh, kenapa gak mati aja sekalian? Biar dunia ini gak ada lagi wanita penggoda macam kamu!" teriak seorang wanita.
Siapa yang memaki ibunya begitu kasar? Dia pasti penyebab penyakit sang ibu kambuh. Benar, Fay tidak boleh diam dan menonton wanita yang telah melahirkannya di hina dan dicaci maki.
Brak!
Pintu ruangan dibuka paksa, menimbulkan suara berdebam. Yuri sudah sadarkan diri, namun wajahnya masih terlibat pucat. Di sana juga terlihat seorang wanita paruh baya yang usianya tidak jauh berbeda dengan ibunya.
"Pergi dari sini!"
Bersambung ….
"Pergi dari sini!" ucap Fay dengan suara tinggi, sehingga menimbulkan rasa penasaran pada orang di ruangan yang hanya disekat dengan horden.
"Kamu anak kecil, jangan ikut campur!" sentak wanita itu. Bukan hanya memarahi Fay, dia juga mendorong Fay hingga terhuyung ke belakang.
"Dia sudah merebut suamiku dan masih memanfaatkannya untuk mengambil hartanya. Tidak tahu malu!" maki wanita itu dengan menggebu-gebu.
"Jaga ucapan Anda, yang merebut bukan Mamaku, tapi kamu, wanita jahat." Fay berjalan mendekat, berdiri di depan sang ibu untuk melindunginya. Ia tidak peduli lagi dengan banyak pasang mata yang memperhatikan mereka.
"Anak kecil sepertimu tahu apa? Pasti wanita ini yang mengajarimu bicara tidak sopan pada orang yang lebih tua, dasar anak haram!" ejek wanita itu pada Yuri--ibu kandung Fay.
"Aku selalu mengajarkan sopan santun padanya, tapi lihat dirimu yang tidak punya aturan. Dia anakku dengan suamiku, maksudku mantan suami. Dia bukan anak haram!" Sebagai seorang ibu dia harus membela putrinya, apalagi Fay bukanlah anak haram seperti tuduhnnya.
"Haha... suami? Bukankah Riko sudah menceraikanmu? Dia hanya suamiku, milikku seorang." Wanita itu tidak mau kalah, ia tetap bersikukuh pada pendiriannya bahwa gadis itu adalah anak haram.
"Kami memang sudah berpisah, dan semua itu karena kamu," tegas Yuri.
"Kamu menyalahkanku? Seharusnya lihat dirimu yang penyakitan ini, mana pantas mendampingi Riko? Hanya aku--Riana yang pantas berada di sampingnya. Lihatlah penampilanku ini." Wanita bernama Riana itu menyombongkan dirinya yang sehat dan masih cantik.
"Karena Anda hanya menginginkan barang milik orang lain." Fay tidak terima ibunya dipojokkan. Meski ia tidak tahu permasalahan yang sebenarnya, tetapi ia percaya sang ibu memiliki alasan tersendiri.
"Kau..., anak kecil lebih baik tutup mulutmu!" Ana kembali mendorong Fay. Namun kali ini Fay dalam keadaan siap sehingga ia bisa menjaga dirinya tetap berdiri stabil.
"Sudah kubilang, dia bukan anak haram!" ucap Yuri dengan suara meninggi. Darah dalam tubuhnya ikut mendidih melihat Fay diperlakukan kasar.
"Aku istrinya yang sah sekarang, Riko suamiku, dia tidak akan menganggap kamu. Kamu lihat sendiri, sekarang hidupku bergelimang harta dan bahagia dan kamu, miskin penyakitan, dan tidak dianggap."
"Benar, karena Anda hanyalah wanita ulat berbulu." Yuri berusaha menenangkan diri dengan menarik napas panjang dan membuangnya perlahan. Dadanya masih terasa sesak karena baru saja saarkan diri, bahkan selang oksigen masih berada di hidungnya.
Plak!
Wajah Yuri memerah, tangan Ana terasa gatal untuk tidak menampar Yuri--madunya. Fay membelalak, ia sangat sedih melihat wajah Yuri merah.
Gadis itu berhadapan dengan Ana, tatapan keduanya saling membakar. "Anda pikirkan baik-baik mengapa suami Anda lebih memilih kami dari pada keluarganya yang sekarang, mungkin saja dia menyesal karena telah membawa harimau betina ke dalam rumah," ejek Fay.
"Kurang ****, jadi begini wanita ini mendidikmu? Kalian anak dan ibu sama-sama nggak punya akhlak!"
Plak!
Tangan gadis itu tidak mau kalah, kelima jari Fay mendarat di wajah Ana, gadis itu tidak takut sama sekali, justru merasa tertantang.
"Ini balasan untuk orang yang suka mengusik kehidupan orang lain. Silakan tinggalkan tempat ini atau saya panggil security!" ucap Fay dengan lantang.
"Kau..., tunggu saja pembalasankj!" telunjuk Ana berada di depan wajah Fay, namun ia segera menariknya kembali. "Aku tidak akan tinggal diam!"
Ana menghentak kaki meninggalkan ruangan itu, beruntung dua ranjang di sebelah Yuri kosong, kalau tidak ia pasti akan merasa sangat malu.
"Saya akan memunggunya, Nyonya." Sebelah sudut bibir Fay terangkat, matanya menyala penuh amarah.
"Mama, maafin Fay datang terlbat," ucap Fay mengusap bekas tangan yang masih memerah.
"Mama enggak papa, Fay. Justru Mama yang harus minta maaf, kamu harus melihat kejadian seperti ini," lirih Yuri.
"Ma, jangan dengarkan kata orang. Fay percaya sama Mama."
"Terima kasih, Sayang. Maaf, Mama selalu membebamimu."
"Fay enggak pernah merasa begitu, Ma. Fay senang melakukan ini semua." Keduanya saling memberi semangat melalui pelukan.
"Fay, apa yang terjadi dengan Mama kamu?" tanya Mbak Jum. Dia baru saja kembali dari kantin untuk membeli minuman dan beberapa makanan ringan. Yuri belum mengisi perutnya, mungkin hal itu juga yang menyebabkan dirinya pimgsan.
Sementara itu, di kamar presidential suit hotel ternama.
Pemuda itu baru saja selesai membersihkan diri. Semalaman dia tidak bisa tidur dengan nyenyak, bahkan tidak dapat memejamkan mata barang sebentar pun. Ternyata gadis itu diberi obat, membuat dirinya tersiksa semalam penuh dan tidak membiarkannya pergi.
Vano hanya mengenakan handuk yang melilit pinggang, satu handuk kecil ditangan untuk mengeringkan sisa air yang menempel di rambut. Namun kedua alisnya saling bertaut sehingga hampir menyatu, gadis yang sudah menyiksanya tidak lagi ada di tempatnya. "Kemana dia pergi?" batin Vano.
Dia mencari ke setiap sudut ruangan, tetapi tidak mendapati gadis itu di mana pun. Pakaian yang diantarkan Arlan sudah tidak ada lagi di tempatnya.
"Beraninya kamu kabur, meninggalkan dan mempermainkan aku!"
Rahang Vano mengetat, giginya gemeletuk menahan amarah. Dia merasa direndahkan, ditinggalkan setelah dimanfaatkan.
Meski sudah bertahun-tahun hidup di luar negeri dengan gaya hidup bebas, tetapi Vano selalu diajarkan untuk mempertahankan nilai moral dalam kebidupannya. Terlebih orangtuanya berasal dari keluarga yang menjunjung tinggi kesopanan.
Selama ini banyak gadis yang dengan rela menyerahkan diri padanya, tetapi ia masih bisa menahan diri untuk tidak tergoda. Sebisa mungkin Vano selalu melakukan persiapan ketika menghadiri jamuan agar tisak terjerumus. Namun, gadis itu benar-benar menggoyahkan keimanan Vano. Dia juga pria dewasa yang normal, digoda oleh wanita juga bisa khilaf dan melakukan kesalahan.
"Ck, aku bisa dipermainkan oleh gadis kecil sepertinya. Kenal tidak, bertemu baru sekali tetapi sudah berani menggodaku. Tidakkah dia tahu siapa orang yang sudah dipermainkannya?" Vano tersenyum smirk.
Vano mengenakan setelan kemeja sudah dipersiapkan untuknya. Keberuntungan masih berpihak padanya, ponsel gadis itu tertinggal di sana. Bibirnya melengkung ke atas, membentuk sebuah senyuman. Gadis itu pasti akan memcarinya. Tidak, bukan mencarinya, melainkan benda pipih yang ada di tangannya.
Vano menghubungi asisten pribadinya--Arlan--untuk mencari tahu identitas gadis itu.
"Saya tunggu satu jam. Kamu cari tahu tentang gadis yang bersamaku tadi malam. Jangan ada yang terlewat satu pun. Mengerti?"
"Baik, saya akan segera melakukannya," tegas Arlan. "Mobil Anda sudah siap, kita berangkat ke kantor sekarang?"
"Ya, saya segera ke sana."
Vano melenggang, meninggalkan ruangan yang menjadi saksi bisu malam mendebarkan yang sudah mereka lalui. Sepanjang jalan Vano terus berpikir, bagaimana dia bisa melewati para pengawal yang berjaga?
Pengawal pribadi Vano ada di setiap sudut hotel ini, mereka menyembunyikan identitasnya dengan sangat rapi. Mengapa hanya menangkap satu orang saja tidak becus?
Bersambung ....
"Mbak, tolong jaga Mama sebentar. Fay mau menemui dokter," ujar Fay pada Mbak Jum--wanita yang sudah dianggapnya sebagai kakak sendiri.
"Iya, Mbak juga hari ini enggak ada kerjaan," sahut Mbak Jum.
"Terima kasih, Mbak. Fay tinggal sebentar, Ma." Yuri hanya menjawabnya dengan anggukan. Efek obat yang diberikan dokter mulai bekerja, Yuri merasa matanya berat untuk dibuka.
Fay sedang berada di ruang administrasi untuk membayar biaya pengobatan sang ibu. Dia terpaksa menggunakan uang tabungan untuk biaya kuliahnya karena tidak memiliki uang lain. Salah satu syarat agar sang ibu bisa ditangani lebih lanjut.
Setelahnya ia menemui dokter yang menangani Yuri membawa kwitansi pembayaran uang muka. Sisanya bisa dilunasi setelah Yuri sembuh beserta tambahan biaya lainnya.
"Siang, Dok."
"Silakan duduk," ujar sang dokter dengan ramah. "Apakah ibu Anda memiliki riwayat penyakit ginjal sebelumnya?"
"Setahu saya tidak, Dok. Apakah penyakit Mama begitu parah?"
"Ini hanya dugaan awal saja, ginjal Ibu Yuri bermasalah, beliau mendapat banyak tekanan dan berpengaruh pada imun tubuhnya. Itulah sebab tidak sadarkan diri. Terlebih tensi darahnya sangat tinggi, melebihi batas normal. Jika tidak segera ditangani, saya takut hal ini akan berdampak buruk pada tubuhnya." Dokter muda itu menjeda kalimatnya. "Namun, ini hanya dugaan awal. Lebih jelasnya kita akan melakukan pemeriksaan lebih lanjut dengan dokter ahli yang akan menanganinya."
Hal itu sangat mengejutkan Fay. Memang ibunya sering mengeluh sakit di pinggang, tetapi selalu beralasan karena telat makan. Jika tidak ada kejadian hari ini, mungkin ia tidak akan pernah tahu keadaan sang ibu yang sebenarnya. Selama ini, Yuri tidak pernah mengatakan keadaan ginjalnya yang bermasalah karena tidak ingin membuat Fay cemas.
Ana ternyata belum beranjak dari rumah sakit, ia mendengar semua percakapan Fay dan petugas administrasi. Bola matanya membulat seperti hendak keluar dari tempatnya saat tahu Yuri dipindahkan ke ruang perawatan yang lebih baik.
Dari mana anak ingusan itu mendapatkan uang untuk membayar sewa kamar pasien ini? Heh, jangan-jangan dia mengandalkan tubuhnya dan menjadi simpanan pria kaya.
Tapi baguslah kalau wanita itu benar-benar memiliki penyakit serius. Dengan begitu ia akan semakin tersiksa dan perlahan sakitnya itu akan menggerogoti kewarasannya. Aku tidak perlu bersusah payah mengotori tanganku, dia akan meregang nyawa dengan cara yang menyakitkan.
"Sudah kuduga, kamu pasti mencari sugar daddy, tidak sadar kalau sama murahnya dengan ibumu," cibir Ana menghadang Fay yang hendak masuk kembali ke ruang perawatan ibunya.
"Jaga ucapan Anda!" Fay sangat marah ia merendahkannya, terlebih menyebut ibunya murahan.
"Kenapa marah? Bukankah semua itu benar? Kalau tidak, bagaimana kamu mendapatkan uang sebanyak itu untuk biaya rumah sakit yang mahal ini?"
Suara ribut Ana membangunkan Yuri yang baru saja terlelap. Apakah benar yang dikatakan Ana bahwa Fay rela bertindak sembarangan untuk membiayai pengobatannya? Jangan sampai hal itu terjadi, dalam mimpi pun Yuri tidak pernah terpikirkan bahwa Fay akan melakukan hal itu.
"Tidak, Fay bukan orang yang seperti itu, aku harus percaya padanya. Dia tidak akan melakukan hal itu hanya untuk mendapatkan uang." Yuri meyakinkan dirinya sendiri, ia tahu betul bagaimana sifat Fay.
"Uang dari mana bukan urusan Anda, terserah saya mau dapat uang dengan cara apa yang pasti tidak akan mengemis uang pada kalian, dengan suami Anda sekali pun," elak Fay.
"Mulutmu boleh berkata tidak, tapi kita lihat saja nanti. Semuanya akan segera terungkap." Ana berjanji akan mengungkap semua keburukan Fay. "Aku pasti akan segera menwmukan buktinya padamu, salah satunya tanda kepemilikan di leher kamu."
Fay sendiri tidak menyadarinya, ia segera menutup leher jenjangnya dengan rambut. Tetap saja Ana sudah terlanjur melihatnya.
Bukkk!
"Fay, cepat tolong Mama kamu," teriak Mbak Jum.
Fay terbelalak melihat Yuri kembali terbaring di lantai, ternyata ia mendengar semua percakapannya dengan Ana.
"Suster, dokter, cepat tolong ibuku," teriak Fay dengan wajah panik.
Para tenaga medis bergegas membantu Yuri kembali ke kamarnya, Fay tidak diperbolehkan masuk dan harus menunggu di luar.
Ma, jangan sampai terjadi sesuatu yang buruk padamu, kalau tidak, Fay akan menyalahkan diri sendiri karena sudah membuat Mama sedih.
Fay berjalan mondar-mandir di koridor rumah sakit, sampai akhirnya dokter yang menangani Yuri mempersilakan Fay masuk ke ruang perawatan, hembusan nafasnya berat, tetapi ia harus mengatakan apa yang terjadi.
"Dokter, bagaimana keadaan Mama?" tanya Fay dengan wajah cemas.
"Ibu Yuri baik-baik saja, ia hanya syok dan beruntung bisa langsung ditangani. Untuk saat ini beliau sedang beristirahat, dan efek obat yang saya berikan akan membuatnya tidur dalam waktu yang lama," jelas dokter itu.
"Syukurlah." Fay bisa bernapas lega mendengar penjelasan yang baru saja dokter wanita itu katakan.
"Tapi, saya harap kejadian seperti ini tidak terulang kembali. Karena hal itu sangat beresiko dan membahayakan nyawa pasien," imbuhnya.
"Terima kasih, Dok. Saya pasti tidak akan membiarkan hal ini terulang lagi," ucap Fay dengan tegas.
"Kalau begitu saya permisi," pamit dokter itu bergegas keluar ruangan.
Fay membenarkan selimut yang menutupi wanita yang telah melahirkannya. Ia sangat sedih telah membuat kesehatan sang ibu menurun.
"Istirahatlah dengan baik, Ma! Maafin Fay yang sudah membuat Mama seperti ini." Gadis itu mengecup wajah Yuri dan melenggang ke luar ruangan.
Tatapan gadis itu beralih pada wanita yang memakai dress merah, semua ini terjadi karena ulah wanita itu. Dia pasti sengaja ingin memprovokasi dirinya dan memperkeruh keadaan.
"Aku tidak akan melepaskanmu jika terjadi sesuatu pada Mama," gumam Fay pelan.
Sorot mata tajam yang menusuk, seolah mengatakan bahwa dia pasti akan melakukan apa pun untuk kesembuhan samg ibu.
Ana yang mendengar penjelasan dokter sangat menyayangkan hal itu, mengapa Yuri masih baik-baik saja dan hanya pingsan? Ia justru berharap kejadian itu akan membahayakan nyawa Yuri atau membuatnya pergi untuk selamanya.
"Heh, kali ini kamu beruntung, tapi kita lihat saja nanti, kamu pasti akan meregang nyawa dengan cara yang lebih menyakitkan," ucap Ana dengan tangan terkepal erat.
Wanita itu merasakan hawa dingin di sekitarnya, tatapan Fay seolah ingin menelannya hidup-hidup. Ana merasakan perubahan wajah Fay, tapi segera menepisnya. Untuk apa juga memikirkan hal itu, dia hanya gadis kecil yang lemah.
"Percuma kamu memindahkan dia ke ruangan ini, jangan lupakan kekuasaan keluarga Adijaya. Dengan kekuasaan yang kumiliki pasti bisa melakukan semuanya. Termasuk mengusir wanita rendahan seperti ibumu keluar dari rumah sakit ini." Ana mengancam akan membuang Yuri dari rumah sakit ini.
"Coba saja kalau berani," tantang Fay.
"Memangnya apa yang tidak bisa aku lakukan? Kamu hanyalah anak haram yang tak dianggap bahkan suamiku juga tidak menganggap keberadaan kalian," ejek Ana.
"Kalian ini tidak lebih berharga dari sampah, miskin, kotor, dan bau."
"Cukup, meskipun saya miskin tetapi masih memiliki hati. Tidak seperti kalian memiliki harta tapi miskin hati," ucap Fay dengan bibir menyungging.
Ucapan Ana membuat darah Fay terasa mendidih, tetapi memang benar adanya. Selama ini Riko tidak pernah membela saat orang lain menghina dan merendahkan mereka, lelaki itu seolah buta melihat kesulitan yang dihadapi Fay dan ibunya.bHanya hinaan dan caci maki yang Fay dapatkan, bahkan sebagai ayah ia lari dari tanggung jawab. Tunggu, ayah? Pantaskah ia memanggilnya ayah? Ah, hati ini sakit sekali setiap mengingatnya.
Jika saja ia dilahirkan dari keluarga kaya, pasti tidak akan ada yang berani menghina dan merendahkannya.
"Anda tunggu saja, saya pasti akan membuktikan pada semua orang bahwa saya bisa melalui ini semua dan saya harap Anda yang terhormat tidak akan melupakan ucapan Anda. Bahwa kekuasaan bisa melakukan segalanya."
Fay mencari benda pipih persegi miliknya, ia harus menghubungi seseorang untuk meminta bantuan. Namun, Fay tidak menemukan benda itu di dalam tasnya.
"Dimana ponselku? Perasaan tadi aku sudah memasukkannya ke dalam tas," gumamnya. Fay mengingat kembali saat terakhir memegang benda pipih persegi miliknya. Di hotel, Fay menepuk kening pelan. Bagaimana dia begitu ceroboh meninggalkan benda berharganya di hotel?
Ponsel yang dibeli dari hasil kerja kerasnya, ia kumpulkan sedikit demi sedikit dari pekerjaan paruh waktu. Tidak hanya itu, yang terpenting semua nomor penting ada di sana.
"Aaaa..., Bagaimana ini, apa aku sebaiknya kembali ke sana?"
Bersambung ….
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!