Rachel perlahan membuka matanya, dia lalu kian kencang memeluk tubuh atletis seorang pria yang kini tertidur di sampingnya sambil sesekali mencium dada bidangnya.
"Selamat pagi Milan," bisik Rachel sambil mencium telinga Milan.
"Ayo bangun, bukankah pagi ini kau ada meeting penting."
"Hmmm, jam berapa ini Ra?"
"Sudah pukul enam pagi," jawab Rachel.
"Masih ada waktu." kata Milan kemudian bangkit dari tidurnya lalu membuka baju tidur Rachel dan menyisakan sebuah pakaian dalam berenda warna merah kemudian menciumi setiap lekuk tubuh indah Rachel.
Beberapa jam kemudian keduanya tampak sedikit tergesa-gesa saat masuk ke dalam lift. "Kau sudah membuatku terlambat Milan," gerutu Rachel.
"Memangnya kenapa? Bukankah permainan pagi ini begitu menyenangkan?" ledek Milan yang membuat Rachel tersenyum.
"Bagaimana jika aku dipecat?" jawab Rachel.
"Tidak ada yang bisa memecatmu di kantor karena ada aku, mereka tidak akan berani padaku."
"Memangnya di kantor ada yang tahu hubungan kita sampai kau berbicara seperti itu?" kata Rachel sambil bersungut-sungut yang membuat Milan terdiam.
"Aku berangkat dulu!" ucap Rachel saat mereka berdua keluar dari lift. Dia lalu berjalan keluar dari apartemen kemudian masuk ke sebuah taksi online yang dipesannya, sedangkan Milan pergi menuju basemen tempat dia memarkirkan mobilnya.
"Kau hampir saja terlambat Ra, bukankah kau tahu divisi kita ada meeting dengan petinggi perusahaan pagi ini!" protes Nadia saat Rachel masuk ke kubikelnya.
"Aku bangun kesiangan," jawab Rachel sambil meringis.
"Untungnya CEO kita juga terlambat jadi jadwal meeting kita sedikit mundur."
"Oh syukurlah, aku sedang beruntung," jawab Rachel sambil menyalakan komputernya.
'Kau tidak akan pernah tahu karena sebenarnya dia yang membuatku terlambat Nad,' gumam Rachel dalam hati.
"Eh lihat itu CEO baru kita Ra namanya Milan, mulai minggu kemarin dia sudah memegang sepenuhnya perusahaan ini karena ayahnya Pak Danu memutuskan untuk pensiun!" seru Nadia sambil menunjuk pada Milan yang kini masuk ke ruang meeting.
"Oh."
"Kok cuma oh sih Ra? Kamu ga pengin liat Pak Milan? Dia ganteng banget loh, emh e.. kayak aktor Hollywood itu siapa namanya Chris Evans."
"Hahahaha, ga penting Nad."
"Uh dasar Rachel bikin kesel deh."
"Udah ah, yuk kita jadi meeting kan?" sela Rachel kemudian bangkit dari kubikelnya.
"Jangan tinggalin gue dong Ra," jawab Nadia kemudian bergegas menyusul Rachel.
Rachel sesekali melirik pada Milan yang kini sedang sibuk memperhatikan penjelasan dari seorang manager keuangan saat sedang melakukan presentasi. Tiba-tiba ingatannya kembali pada kejadian delapan bulan lalu, saat pertemuan pertamanya dengan Milan lewat sebuah peristiwa yang awalnya dia pikir akan menjadi neraka baginya namun ternyata membawanya pada sebuah hubungan tanpa nama karena dia hanyalah menjadi partner ranjang seorang CEO.
***
TOK TOK TOK
Rachel mengetuk sebuah pintu apartemen dengan keringat bercucuran dan wajah yang tampak begitu pucat.
"Gibran, tolong aku Gibran. Aku mau menerima tawaranmu tadi siang, aku membutuhkan uang itu untuk operasi ibuku besok. Tolong aku Gibran," pinta Rachel dengan bibir bergetar saat Gibran membuka pintu itu untuknya.
Gibran pun tersenyum menyeringai. "Ayo masuk." jawab Gibran.
Rachel pun masuk ke dalam apartemen, bau alkohol pun terasa begitu menyengat di hidungnya. Di sana tampak beberapa orang laki-laki sedang melakukan sebuah pesta kecil. Malam ini adalah malam dimana Gibran mengadakan pesta lajang bersama teman-temannya karena besok dia akan menikah.
"Kau masuk ke kamar itu lalu bersihkan badanmu dan berdandanlah agar terlihat cantik."
Rachel kemudian masuk ke sebuah kamar yang ditunjukkan Gibran, dia lalu mandi dan mengganti pakaiannya dengan pakaian yang telah Gibran sediakan, sebuah lingerie berenda berwarna hitam kini membalut tubuh indahnya.
Rachel pun menangis memandang dirinya di depan cermin, ingatannya kemudian kembali pada kejadian tadi siang saat dia memohon pada Gibran untuk meminjam uang dalam jumlah yang cukup besar.
"Aku akan memberikan uang padamu Rachel, tapi kau harus mau menjadi wanita taruhan dalam pesta lajangku nanti malam," ujar Gibran sambil tersenyum.
"Jaga kata-katamu Gibran!" bentak Rachel kemudian meninggalkan Gibran yang masih menatapnya.
"Rachel, tawaranku masih berlaku sampai nanti malam. Masih ada waktu untuk berubah pikiran!" teriak Gibran sambil tersenyum menyeringai yang tidak diindahkan oleh Rachel.
Namun saat Rachel kembali ke rumah sakit, ternyata kondisi kesehatan Ibunya semakin menurun. Tumor yang ada di kepala ibunya semakin membesar dan kian memperburuk keadaannya.
"Nona Rachel, Ibu anda harus dioperasi secepatnya, jika tidak kemungkinan nyawanya tidak dapat diselamatkan." kata dokter yang menangani ibunya.
Rachel pun terdiam, pandangannya kosong, hatinya terasa begitu berkecamuk. "Jika mama meninggal, aku tidak punya siapa-siapa lagi." kata Rachel sambil menitikkan air mata.
"Iya dok, tolong operasi ibu saya secepatnya," ucap Rachel dengan suara bergetar.
"Baik Nona, besok kami akan mengoperasi ibu anda." kata dokter tersebut kemudian meninggalkan Rachel yang masih menangis.
Lamunan Rachel pun buyar saat pintu kamar terbuka. Seorang laki-laki tampan masuk perlahan dan menghampirinya.
"Kau tidak perlu menangis, aku tidak akan menyentuhmu. Aku terpaksa masuk ke kamar ini karena aku menang taruhan, sebenarnya aku sangat mencintai kekasihku dan aku takkan menghianatinya," ujar laki-laki itu.
"Siapa namamu?"
"Rachel," jawab Rachel lirih.
"Rachel sekarang pakailah bajumu, dan tidurlah. Kita berpura-pura pada mereka jika kita telah melewati malam ini bersama."
"Iya Tuan terima kasih."
"Jangan panggil aku Tuan, panggil aku Milan," jawab laki-laki itu sambil tersenyum.
Tiba-tiba ketukan pintu pun terdengar.
TOK TOK TOK
"Siapa?"
"Bian, aku hanya ingin mengantarkan air minum ini untuk kalian," jawab Bian.
Milan pun membuka pintu tersebut.
"Ini untuk kalian, kalian pasti membutuhkan ini agar tidak kehausan," ujar Bian dengan tatapan jahil.
"Terimakasih," jawab Milan kemudian masuk ke dalam membawa air putih yang dibawa oleh Bian.
"Kau mau minum Rachel? Aku tahu kau pasti haus karena mengeluarkan banyak air mata."
Rachel pun kemudian mengangguk, dia lalu meminum air minum yang diberikan oleh Milan.
"Sekarang pakai bajumu dan naiklah ke atas tempat tidur, biar aku saja yang tidur di sofa," sambung Milan sambil tersenyum.
Rachel pun kemudian ke naik ke atas tempat tidur.
"Kenapa kau tidak memakai bajumu?"
"Bajuku basah," jawab Rachel.
Milan kemudian mendekat pada Rachel lalu membuka jaketnya. Dia lalu membalut tubuh Rachel dengan jaket itu.
"Sebentar, kucarikan selimut dulu untukmu," sahut Milan kemudian membuka sebuah lemari dan mengambil selimut di dalamnya lalu memberikan selimut itu pada Rachel.
"Terimakasih"
"Sama-sama," balas Milan.
Sebelum tidur Milan terlebih dahulu meminum air yang dibawakan oleh Bian.
***
"Bagaimana?" tanya Gibran pada Bian
"Dia menerima minuman itu, sepertinya dia tidak curiga," jawab Bian.
"Bagus, nanti mereka juga akan meminum air itu." jawab Gibran sambil tersenyum menyeringai.
"Kenapa kau harus memberikan obat perangsang itu di minuman Milan? Bukankah itu hak dia untuk menikmati wanita itu atau tidak?" tanya Bian.
"Karena jika tidak diberikan obat perangsang, aku tahu dia tidak akan menyentuh Rachel."
"Apa pentingnya itu untukmu?"
"Itu bukan urusanmu Bian, lebih baik kau diam atau kubuat kariermu hancur jika kau sampai berani membocorkan rahasia ini!" bentak Gibran.
Beberapa saat kemudian, ponsel Gibran pun berbunyi.
[Halo Bella.]
[Halo Gibran, apa kau sudah melakukan tugasmu?]
[Tentu, semua berjalan lancar. Milan sudah kubuat menang taruhan dan dia saat ini sedang ada bersama wanita yang kusewa di dalam kamar.]
[Apa kau sudah memastikan Milan mau menikmati tubuh gadis itu?]
[Tentu saja Bella, aku sudah memasukkan obat perangsang ke dalam minuman mereka berdua.]
[Hahahaha, bagus Gibran. Kau memang selalu bisa diandalkan.]
[Tentu saja Bella, jangan sebut aku Gibran jika melakukan hal seperti itu saja aku tidak bisa.] kata Gibran sambil tertawa kemudian menutup panggilan dari Bella.
***
Hampir satu jam lamanya Milan merebahkan tubuhnya di atas sofa namun matanya belum juga terpejam. Namun perasaan di dadanya kian berkecamuk, jantungnya semakin berdegup kian kencang apalagi saat melihat tubuh indah Rachel di atas ranjang, sesekali terlihat bu*h da*anya yang menyembul di balik lingerie tipisnya membuat perasaan Milan semakin berdesir.
Rachel pun merasakan hal yang sama, jantungnya berdegup kian kencang, perasaannya begitu tak menentu, sekujur tubuhnya terasa begitu panas. Dia lalu membuka selimut yang menutupi tubuhnya kemudian duduk dan mengikat rambutnya.
Melihat Rachel yang kini duduk di atas ranjang, Milan pun tidak dapat lagi membendung jiwa kelaki-lakiannya, apalagi saat Rachel mengikat rambutnya yang memperlihatkan leher jenjangnya dan tengkuknya yang terlihat begitu menggoda.
Tanpa sadar Milan pun berdiri, dia lalu mendekat pada Rachel yang kini duduk di atas ranjang dengan posisi tubuh membelakanginya. Semakin dekat, perasaan Milan pun semakin bergemuruh. Meski ragu, dia pun kemudian mendekap tubuh Rachel.
"Rachel," panggil Milan meskipun dengan perasaan takut, namun ternyata Rachel membalas nya membalikkan tubuhnya dan men*ium bibir Milan.
Rachel kini pun semakin tak bisa menguasai dirinya sendiri, perasaannya semakin tak menentu, na*su yang semakin berkecamuk membuatnya membiarkan Milan kini menguasai tubuhnya. Milan pun kemudian melepas seluruh pakaiannya dan mulai memasukkan asetnya dengan sedikit kesusahan. Rachel pun terlihat sedikit menahan rasa sakit namun tetap menikmati sentuhan Milan di setiap bagian tubuhnya yang membuatnya merasa begitu terbuai, karena dia belum pernah merasakan itu sebelumnya.
'Kenapa rasanya seperti ini? Susah sekali,' gumam Milan dengan terus berusaha memasukkan asetnya meskipun dengan sedikit kepayahan.
"Akhirnya berhasil," finish Milan, hingga keduanya berteriak saat mencapai puncak kenikmatan.
Milan pun menjatuhkan tubuhnya di atas tubuh Rachel sambil meninggalkan tanda merah di atas b*ah da*a Rachel yang ada di depan matanya.
"Maaf," bisik Milan di telinga Rachel saat mulai tersadar dengan apa yang telah dia perbuat, namun sepertinya Rachel tidak mendengar perkataannya. Dia kini terlihat asyik memejamkan matanya meskipun satu benangpun belum menempel di tubuhnya.
Milan kemudian bangkit dan merebahkan tubuhnya di samping Rachel yang kini tertidur begitu pulas.
'Kenapa aku melakukan semua ini?' gumam Milan.
'Apa yang terjadi padaku? Kenapa tiba-tiba aku begitu bergairah saat melihatnya?' gumam Milan kembali sambil mengusap wajahnya dengan kasar.
"Bella, maafkan aku. Maafkan aku sudah menghianatimu!" sesal Milan sambil menjambak rambutnya.
Dia lalu memandang tubuh telanjang Rachel yang kini terlelap, kemudian mengambil selimut untuk menyelimuti tubuh Rachel. Namun saat itu juga Milan baru tersadar jika terdapat beberapa bercak noda darah di atas seprei.
"Oh tidak," kata Milan dengan begitu panik.
"Pantas saja tadi terasa begitu sulit, ternyata dia masih perawan?"
Dia lalu memandang Rachel yang kini tertidur begitu pulas. "Kau sangat cantik, meskipun aku tidak tahu alasanmu merelakan tubuhmu untuk mau menjadi taruhan dalam pesta lajang ini tapi aku tidak sepantasnya mengambil kesucian yang masih kau miliki. Rachel maafkan aku." kata Milan sambil menatap Rachel dengan sendu.
Namun tiba-tiba kepala Milan terasa begitu pusing, matanya pun terasa begitu berat dan pandangannya pun berkunang-kunang. Akhirnya Milan merebahkan tubuhnya di samping Rachel karena sudah tidak lagi sanggup menahan rasa sakit di kepalanya.
***
Milan membuka matanya saat mendengar bunyi ponsel yang ada di sampingnya. Dia lalu mengambil ponsel itu lalu menjawab panggilannya tanpa melihat seseorang yang menghubunginya.
[Milannnnnn kamu dimana?] teriak seorang wanita di ujung telepon.
'Bella,' gumam Milan.
[Milan kau dimana? Sebentar lagi pernikahan Gibran akan dimulai dan kau belum menunjukkan batang hidungmu!]
[Oo..oh iya Bella sebentar lagi aku datang. Tunggu aku.] jawab Milan. Dia lalu menutup teleponnya kemudian mengusap wajahnya dengan kasar.
'Kenapa semua terasa begitu berantakan.' gumam Milan lalu mengambil pakaiannya yang tercecer. Di saat itu pula dia melihat noda di atas seprei di bawah baju yang baru saja diambilnya.
"Jadi dia benar-benar masih perawan? Rachel kau dimana? Kenapa kau meninggalkanku begitu saja? Aku harus mencarimu, ya aku harus mencarimu, Rachel," ujar Milan sambil mengusap kasar wajahnya dengan perasaan yang begitu campur aduk memenuhi isi hatinya.
"Bagaimana keadaannya Bella?" tanya Gibran saat melihat Bella yang baru saja selesai menelpon Milan.
"Dia baru saja bangun Gibran."
"Bagus berarti tadi malam dia telah meminum obat perangsang yang kuberikan dan menghabiskan malam dengan menikmati tubuh Rachel. Hahahaha."
"Kau bekerja dengan baik Gibran, kau memang saudara sepupuku yang pintar," sahut Bella sambil tersenyum kecut.
"Tentu saja, bukankah sudah kukatakan padamu jika itu adalah keahlianku. Hahahaha."
"Dimana kau menemukan gadis sepolos itu?"
"Dia teman masa kecilku, namanya Rachel. Dia sedang memerlukan uang karena ibunya sedang sakit."
"Bagus sekali, kau memang pintar mencari peluang. Apa dia tidak berbahaya bagi kita suatu saat nanti?"
"Tidak Bella, dia adalah seorang gadis lemah yang terkadang menyerah pada keadaan. Dia tidak mungkin berani berbuat macam-macam, apalagi tadi aku sudah memberikan uang yang cukup besar untuknya. Dia tidak mungkin berani macam-macam padaku."
"Baik, tapi kau tetap harus memperhitungkan setiap kemungkinan yang bisa saja terjadi. Jangan sampai Milan bertemu dengan gadis itu lagi."
"Ya, itu sudah kuperhitungkan, setelah ini akan kubuat agar Rachel pergi meninggalkan kota ini. Dia tidak akan bertemu Milan kembali."
"Bagus. Lalu bagaimana dengan kamera yang ada di kamar itu? Apa kau sudah memasangnya di tempat yang strategis?"
"Kau tenang saja, semua sudah beres. Semua aktifitas Milan dan Rachel di kamar itu sudah terekam. Saat kita membutuhkan video itu untuk menghancurkan bisnis keluarga Milan, kita akan mengeluarkan video skandalnya dengan Rachel. Hahahaha."
"Hahahaha, dan setelah itu tidak ada lagi yang bisa menyaingi perusahaan keluarga kita."
"Hahahaha." Gibran dan Bella pun tertawa bersama-sama.
***
Milan masuk ke dalam kamar mandi dengan begitu tergesa-gesa. "Oh ****!" teriak Milan saat melihat beberapa bekas tanda merah di bagian tubuhnya.
"Aku harus menyembunyikan semua ini dari Bella." kata Milan sambil menggosok beberapa bagian tubuhnya.
Beberapa saat kemudian dia keluar dari apartemen milik Gibran dengan mengenakan pakaian seragam groomsmen yang telah dipersiapkan Gibran untuknya.
Dia lalu keluar dari apartemen itu sambil mengendarai mobilnya dengan kecepatan begitu tinggi.
"Sial! Kenapa tiba-tiba hal seperti ini terjadi padaku? Kenapa aku harus melakukan semua itu tadi malam dengan wanita taruhan itu!" umpat Milan sambil memukul setir mobilnya saat berhenti di sebuah lampu merah.
Di saat itu juga, tiba-tiba netranya tertuju pada gadis yang sedang berlari di depan mobilnya. Dia terlihat menyebrang zebra cross di depannya sambil menangis.
'Gadis itu? Bukankah dia gadis yang tadi malam bersamaku?'
"Kenapa dia menangis? Apa dia menangis akibat ulahku?" kata Milan sambil menatap gadis itu yang kini berlari menuju sebuah rumah sakit.
"Apakah sebaiknya aku menemui gadis itu?"
"Ya mungkin lebih baik aku menemuinya," sahut Milan, namun saat dia akan memarkirkan mobilnya tiba-tiba ponselnya berbunyi.
'Bella,' gumam Milan, dia lalu mengangkat telepon dari Bella.
[Milan cepat! Dua puluh menit lagi acaranya akan dimulai! Kau mau acara pernikahan Gibran menjadi sedikit berantakan karena kau terlambat?] teriak Bella di ujung telepon.
[Iya Bella, sebentar lagi aku sampai. Tunggu aku Bella.] jawab Milan kemudian melajukan mobilnya kembali sambil sesekali mencari keberadaan Rachel yang kini sudah tidak lagi terlihat.
"Aku akan mencarinya di lain kesempatan. Aku akan mencoba menanyakan alamat gadis itu pada Gibran. Aku harus menemuinya dan meminta maaf, karena aku sudah berjanji untuk tidak menyentuhnya." kata Milan sambil mengendarai mobilnya.
"**** bahkan dia masih perawan. Sesuatu yang tidak kudapatkan dari Bella," ucap Milan lagi.
"Kenapa tiba-tiba aku jadi seperti orang gila gara-gara memikirkan gadis itu? Oh tidak Milan kendalikan dirimu," sambung Milan sambil mengusap kasar wajahnya.
***
"Kenapa aku begitu bodoh sampai menyerahkan tubuhku pada laki-laki itu?" sesal Rachel sambil menangis saat berjalan menuju ke rumah sakit.
"Bukankah dia mengatakan jika dia tidak ingin menyentuhku, tapi kenapa dia tiba-tiba memelukku dan aku pun terbuai dengan sentuhannya hingga kemudian aku begitu menginginkan tubuhnya?" gerutu Rachel sambil menghapus air matanya.
'Sudahlah, aku tidak boleh memikirkan hal ini lagi karena yang terpenting saat ini adalah aku bisa mendapatkan uang untuk membiayai pengobatan mama. Meskipun ini sedikit terlambat karena kondisi mama sudah begitu parah, setidaknya aku sudah berusaha menyembuhkan mama,' gumam Rachel dalam hati.
Beberapa saat kemudian dia pun sampai di rumah sakit dan langsung menuju bagian administrasi untuk melakukan deposit untuk operasi Ibunya.
Baru saja Rachel membalikkan tubuhnya, tiba-tiba dia melihat dokter dan beberapa orang perawat berlari ke arah ruangan tempat Ibunya dirawat. Rachel pun kemudian mengikuti dokter tersebut.
"Dokter apa yang terjadi?" tanya Rachel saat dokter itu memeriksa keadaan ibunya.
"Nona Rachel keadaan ibu anda semakin buruk. Kita harus melakukan operasi sekarang juga."
"Iya dok, operasi ibu saya sekarang juga. Saya juga sudah melakukan pembayaran di bagian administrasi."
"Baik Nona Rachel, tapi kemungkinan sembuhnya pun hanya empat puluh persen karena kondisinya sudah sangat kritis."
"Tidak apa dok, yang penting masih ada kemungkinan untuk sembuh."
Dokter tersebut lalu mengangguk, kemudian tampak sibuk memerintahkan pada beberapa perawat untuk segera melakukan operasi.
Beberapa saat kemudian, Rachel melihat tubuh lemah ibunya di atas brankar didorong masuk ke ruang operasi. Rachel menatap sendu detik demi detik saat mereka membawa masuk Ibunya sampai pintu ruang operasi tertutup.
Rachel lalu menatap pintu itu. "Mama, semoga saat pintu itu terbuka, aku bisa mendengar kabar baik yang dibawa oleh dokter, namun jika dokter tidak bisa menyelamatkanmu setidaknya aku pernah berusaha untuk membuatmu bertahan hidup meskipun itu gagal. Hanya itu bakti terakhir dariku sebagai putrimu. Mama, maafkan aku karena belum bisa membuatmu bahagia," ucap Rachel sambil berurai air mata.
Hingga satu jam lamanya, Rachel menunggu di depan ruang operasi. Akhirnya pintu ruangan itu pun terbuka. Rachel pun kemudian mendekat pada dokter yang keluar dari ruang operasi itu lalu menanyakan keadaan ibunya.
"Dokter, bagaimana keadaan ibu saya dokter?"
Dokter itu awalnya terdiam, lalu mengambil nafas panjang sambil memejamkan matanya.
"Nona Rachel, maafkan saya. Saya sudah berusaha semaksimal mungkin tapi nyawa ibu anda tidak bisa diselamatkan. Dia sudah tidak sanggup lagi bertahan dan menghembuskan nafas terakhirnya saat kami belum selesai melakukan operasi."
DEG
Jantung Rachel seakan berhenti berdetak. Tubuhnya terasa lemah dan bergetar, kepalanya pun terasa begitu berkunang-kunang.
"Ja.. Jadi?"
"Iya Nona Rachel, ibu anda sudah meninggal."
Tubuh Rachel pun seketika ambruk.
"TIDAKKKKK MAMAAAAAAAA!" jerit Rachel dengan begitu histeris sambil menangis sejadi-jadinya.
"Nona Rachel tenangkan diri anda." kata dokter itu sambil memegang bahu Rachel yang kini bersimpuh di hadapannya sambil terus menangis dan berteriak.
"MAMAAAAA KENAPA MAMA TEGA MENINGGALKAN RACHEL MA! MAMAAAA."
"MAMAAAAAA!" jerit lagi Rachel dengan suara yang kian parau dan tubuh yang terasa begitu lemas.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!