ASSALAMU'ALAIKUM, SAYANG🍁🍁
SEBELUM MEMBACA, TOLONG PAHAMI, MOHON MAAF JIKA ADA KESAMAAN ALUR KARENA NOVEL INI ADALAH NOVEL MISI DARI NOVELTOON🙏🏻
HARAP BIJAK DALAM BERKOMEN JANGAN SAMPAI MENJATUHKAN METAL AUTHOR✌🏻😘
HAPPY READING YESS 🌼
Melia Zain, gadis kuat dan pekerja keras, memiliki sifat keras kepala dan tidak mudah untuk ditindas, termasuk oleh ayahnya yang ternyata telah menipu sang Ibu di masalalu.
Melia bekerja paruh waktu untuk mendapatkan uang demi pengobatan sang Ibu yang sakit parah hingga dirawat di sebuah Rumah Sakit.
"Kalau bukan karena kesembuhan Ibu, aku tak akan mau bekerja di tempat ini, tapi bagaimana tempat ini satu-satunya yang bisa memberiku gaji besar tanpa pendidikan tinggi." Melia menatap ke sekeliling, dentuman musik DJ memekakkan telinga, ia masih setia berdiri di meja bar sebuah club malam ternama di Jakarta.
Hya, Melia Zain bekerja sebagai seorang pengawal di sebuah club malam. Rupiah demi rupiah ia kumpulkan agar bisa segera mencari pendonor ginjal untuk ibunya.
"Hai, Mel bisa antar minuman ini ke ruangan VIP 02?" pinta Sarah mengulas senyum.
"Kenapa Sarah terlihat mencurigakan?" batin Melia yang merasa ada yang aneh. Minuman tamu VIP biasanya pemilik club atau bartender langsung yang mengantarnya, tapi kenapa kali ini malah Sarah meminta tolong pada dirinya yang jelas-jelas hanya pengawal.
"Oh, ayolah Mel. Aku akan memberikanmu tips nanti," ucap Sarah memohon, mau tak mau Melia mengangguk.
Sepeninggal Melia, seorang laki-laki berjass hitam menghampiri Sarah dan menyodorkan amplop coklat tebal berisikan sejumlah uang. Sarah menerima dengan antusias lalu tersenyum menggoda.
"Senang bekerja sama dengan anda, Tuan." Sarah mencium amplop coklat tadi lalu mengedipkan sebelah mata.
"Pastikan kamu memberi obat itu ke dalam minumannya, aku akan kembali." Pria itu melangkah pergi.
Melia masuk ke dalam ruangan VIP, sepi dan hanya ada satu orang disana yang tengah duduk bersandar pada sofa.
"Permisi, ini minumannya." Melia meletakkan sebotol wine dan gelas dalam nampan itu di atas meja lalu melangkah keluar.
"Kev, apa kau akan mendiamkan minuman yang aku persiapkan khusus untukmu?" ucap Tom berlagak kesal saat minuman yang diberi obat hanya didiamkan oleh Kevin.
"Oh, kau sudah datang? Dari mana saja." Kevin mengusap wajahnya sebentar, melonggarkan dasinya.
"Aku bahkan sudah habis setengah botol, rupanya kau sangat kelelahan. Minum sedikit agar penatmu hilang, aku akan menuangkannya untukmu. Jika kurang, aku akan meminta bartender mengantarkannya nanti." Tom memang sengaja mengurangi wine di dalam botol yang diantar Melia, malam ini ia harus berhasil menjebak Kevin.
Kevin Reyhan Louis adalah seorang CEO, karirnya yang terus naik di perusahaan membuat Tom yang hanya menjabat sebagai staf biasa merasa iri dengan kehidupan Kevin. Berselimut ikatan sahabat menutupi keirian Tom. Kevin selalu menganggap, apapun kesalahan Tom adalah ketidak sengajaan, lebih dari itu seseorang membayar mahal untuk menjebak Kevin malam ini juga.
"Huh, kenapa badanku terasa panas." keluh Kevin membuka kancing bajunya yang atas bahkan melepaskan jassnya.
"Aku akan siapkan kamar," ucap Tom sebelum melangkah pergi.
"Sial, aku harus segera pergi." Kevin bangkit, berjalan sempoyongan, sambil memegangi kepala yang terasa nyeri, Club Red Apple hampir tutup. Meski begitu, Kevin berulang kali menabrak seseorang. Langkahnya berhenti di depan pintu, Kevin mengedarkan pandangan berharap seseorang bisa menyelamatkannya.
"Kev, mau kemana?" teriak Tom yang berusaha mengejar Kevin.
Kevin menoleh, dan yang lebih mengejutkan Tom bersama beberapa orang berbadan kekar mengejarnya.
Sial.
Matanya tertuju pada gadis yang hendak menyalakan motor, tanpa pikir panjang Kevin berusaha lari dan naik ke jok belakang motor gadis itu.
"Eh, apaan ini." Kaget Melia, saat mendapati seorang laki-laki duduk di belakangnya.
"Mbak, jalan cepat. Tolong selamatkan aku," ucap Kevin memohon.
Tanpa pikir panjang, Melia menyalakan motornya dan membawa Kevin jauh dari area Club.
"Kenapa berhenti?" tanya Kevin saat menyadari Melia menghentikan motornya.
Melia memutar bola matanya malas, matanya meneliti penampilan Kevin. Pria tampan yang bersamanya saat ini sudah dipastikan bukan pria biasa. Sangat kentara dari penampilan dan jass yang dikenakan pun bermerk.
"Cepat, selamatkan aku. Aku janji akan memberimu uang satu milyar asal kau setuju menyelamatkanku dari mereka," Ucap Kevin saat menoleh lagi ke belakang dan menemukan Tom dan anak buah bayaran mengejarnya.
"Kevin Reyhan Louis silahkan lari kau tak akan bisa kabur dariku." Tom menyeringai.
Mendengar nama yang disebutkan, Melia mengerti bahwa laki-laki di belakangnya saat ini memang mampu membayar dirinya jika berhasil menyelamatkan diri dari kejaran orang di belakang sana.
"Pegangan yang erat," ucap Melia sebelum kembali melesatkan motornya dengan kecepatan tinggi.
Melia membawa Kevin pulang ke rumah, rumah sederhana dan minimalis. Satu-satunya harta yang ia dan ibunya punya.
"Kita sampai," ucap Melia. Kevin turun, sementara Melia berusaha membawa motornya masuk setelah membuka gerbang.
"Kecil sekali rumahmu, huh kenapa badanku rasanya panas sekali." Kevin membuka satu lagi kancing kemejanya, ia merasa sangat kegerahan. Melia mengajak Kevin masuk, laki-laki itu diam dan menurut. Namun, saat sudah masuk ke dalam rumah tiba-tiba tangan Kevin mendorong tubuh Melia menempel tembok dan menguncinya dengan kedua tangan.
"Apa-apaan kam--" baru Melia hendak protes, bibirnya sudah lebih dulu diserang oleh Kevin dengan buas.
"Ck, sial. Aku tak bisa menahannya," gumam Kevin.
Melia sempat mendorong dan menatap tajam Kevin.
"Tuan Kevin yang terhormat, jaga sikapmu! Aku sudah membantumu kabur, jangan macam-macam." Melia berusaha melepaskan diri. Tubuhnya bergerak hingga terbentur ke pintu kamar dan membuatnya terbuka.
Sial.
Melia menyadari Kevin sudah terpengaruh oleh obat, dan sialnya ia tidak bisa melepaskan diri dari tubuh Kevin yang mendorongnya ke atas ranjang. Wajah Melia memucat dengan keringat dingin yang membasahi.
"K-kau mau apa?" Melia berteriak saat tubuh atletis itu berada tepat di atasnya.
"Tolong jangan..." ucap Melia lagi, ia sama sekali tak mampu melawan tenaga Kevin yang kuat.
Bulir bening menetes di pipi Melia. Namun, ia sama sekali tak punya kekuatan melawan. Jika tau laki-laki di hadapannya saat ini dalam pengaruh obat, mungkin ia akan sigap membawanya langsung ke kamar mandi dan mengguyurnya dengan air dingin. Sayang, waktu seolah berhenti dan semua sudah terlambat bahkan kini pakaiannya sudah berhasil Kevin robek.
Kevin merasakan wangi tubuh Melia yang berhasil membiusnya, memaksa diri dan yang ada di bawah sana meronta. Dengan mengandalkan insting, ia pun mulai melakukan. Meski berulang kali Melia memberontak.
"Tenanglah, aku tidak akan ingkar janji. Aku akan membayarmu karena kamu sudah membantuku," ucap Kevin yang berusaha menerobos pertahanan Melia, gadis itu memekik kesakitan saat sesuatu yang tajam menerobos tubuhnya dengan paksa.
Sakit, sangat sakit hingga ia tak sanggup melawan. Melia hanya bisa menangis, hya hanya menangis!
Setelah selesai melakukannya, Kevin merebahkan diri di samping Melia dan berusaha merengkuh perempuan itu agar tenang. Seolah apa yang terjadi hari ini adalah bukan sesuatu hal yang besar.
Siapa yang tahu, dalam hati Melia merasa hancur, kotor dan tak lagi punya harga diri. Mahkota yang ia jaga telah berhasil di renggut oleh pria asing yang telah di tolongnya.
Mentari mulai merangkak naik, cahaya kuning keemasan masuk lewat celah-celah jendela. Kevin membuka mata, merasa diri belum sepenuhnya sadar. Ponsel yang kemarin malam ia letakkan asal, berdering. Hari ini ada pertemuan dengan klien penting jam tujuh. Matanya membulat sempurna saat melihat jam di dinding. Belum lagi keterkejutannya akan wanita polos tanpa sehela benang di sampingnya.
"Astaga, apa yang telah aku lakukan." Kevin mengedarkan pandangan, lalu memegangi kepala berusaha mengingat kejadian demi kejadian yang telah membuat dirinya tanpa sadar menodai seorang wanita.
Sial.
"Dia masih perawan," gumam Kevin melihat bercak darah yang tercetak jelas di sprei putih ranjang milik Melia.
Kevin gegas memakai kembali pakaiannya setelah menemukan ada kamar mandi di dalam kamar kecil perempuan ini.
"Maaf, aku akan bertanggung jawab," ucap Kevin seraya meletakkan kartu nama dirinya di atas nakas, Kevin lantas pergi meninggalkan rumah Melia dengan dijemput Alan, asisten pribadinya.
"Kenapa seorang Kevin Reyhan Louis tersesat di rumah kecil ini?" tanya Alan, dia juga termasuk sahabat sekaligus orang kepercayaan keluarga Kevin.
"Huh, Tom berusaha menjebakku agar tidur dengan wanita di Bar." Kevin langsung masuk ke dalam mobil tanpa menunggu Alan yang malah diam mematung mendengar ucapannya.
"Sudah aku bilang, Tom hanya memanfaatkanmu." Alan terlihat geram, dan mengepalkan tangan.
"Aku akan memberinya pelajaran kali ini, kau tinggal bilang apa yang harus aku lakukan untuk membereskan teman tak tau dirimu itu."
"Sudahlah, jangan sekarang. Ada hal lain yang lebih rumit, aku akan mandi di kantor. Siapkan saja bajuku," ucap Kevin mengabaikan kekesalan Alan.
Mobil pun melaju dengan kecepatan tinggi, Alan harus mengejar waktu agar Kevin tidak terlambat bertemu dengan klien nanti terlebih saat ini bossnya itu belum mandi.
***
Melia mengerjap beberapa saat, ia merasakan area inti terasa sangat nyeri, saat mendapati ranjang sisinya kosong tangisnya kembali pecah.
Sialan.
Melia bangkit, berharap ini hanyalah mimpi buruk. Jemarinya mencubit lengan, dan Melia merasa kesakitan.
"Ini bukan mimpi, hidupku benar-benar sudah hancur sekarang." Matanya mengedar, tidak ada apapun yang ia temukan. Uang yang dijanjikan pun tak ada.
"Dasar," geram Melia dengan emosi meluap.
Gegas ia memunguti pakaiannya dan segera mandi.
Melia mengguyur tubuhnya, semua terasa menyakitkan melihat banyak tanda merah tercetak di tubuhnya.
"Laki-laki itu," gumamnya mengepalkan tangan erat.
Selesai membersihkan diri, Melia mengganti pakaian. Hari ini ia berencana mengunjungi ibu yang terbaring di Rumah Sakit. Seharusnya ia bisa menemani Ibunya sepulang bekerja. Namun, Laki-laki bernama Kevin telah merusak segalanya.
"Huh, Kevin. Aku akan datang ke kantormu menagih bayaran." Melia memandangi diri di cermin, ia memoles tipis wajahnya yang pucat karena tragedi semalam.
Sial.
Menghela napas pelan guna menetralkan detak jantungnya, Melia lalu mencari-cari dimana ia meletakkan ponsel. Hingga sorot matanya menangkap kartu nama kecil dan sepucuk surat.
"Maaf aku buru-buru, jika sudah bangun aku meninggalkan kartu namaku." Melia membaca isi pesan sepucuk surat yang Kevin tinggalkan.
Sementara di Kantor, Kevin menghela napas lega saat pertemuan dengan klien lancar, dan berhasil menjalin kerja sama.
Sialnya, ia tak melihat Tom masuk kerja hari ini. Membuat amarah sekaligus rasa kecewa memuncak.
"Sudahlah, pecat saja temanmu itu, Kev!" Alan, asisten pribadinya masih terlihat sangat kesal.
"Gara-gara jebakan Tom, aku telah merenggut kesucian seorang gadis, sial."
"Hebat, di jaman yang sudah seperti ini kau masih mendapatkan gadis perawan, kau harus menikahinya." Alan menepuk pelan pundak Kevin. Sementara Kevin terlihat tengah berfikir, meletakkan kepala di atas tangan sebagai tumpuan.
"Bagaimana dengan statusnya?" tanya Kevin. Bukan hal yang buruk jika ia menikahi gadis itu, tapi dengan status Melia yang hanya gadis biasa apakah keluarga besarnya akan menerima? Fikir Kevin.
Drrttttt, bunyi ponsel milik Kevin berdering. Lamunannya buyar akan nomor asing. Ia tak pernah memberikan nomor ponselnya kepada siapapun selain keluarga juga gadis yang kemarin menyelamatkannya.
"Lan, ambilkan aku cek," pinta Kevin, lalu dengan gerakan cepat menggeser tombol hijau ke atas guna mengangkat telepon.
"Hallo, siapa?" tanya Kevin, firasatnya mengatakan jika gadis itu yang meneleponnya.
"Hallo, Tuan Kevin yang terhormat, apa kau mau lari dari tanggung jawab." Melia dengan suara emosinya di seberang sana.
"Kau tenang saja, aku Kevin Reyhan Louis tidak akan pernah ingkar janji dan akan bertanggung jawab menikahimu." Kevin berusaha santai, meski jantungnya berdetak cepat, wanita adalah makhluk yang rumit dan sangat sulit ditebak.
"Menikah? Dasar gila! Aku hanya butuh kamu membayar apa yang kamu janjikan kemarin!" ucap Melia, ia tak habis fikir jika seorang Kevin mau menikahinya.
"Aku akan menikahimu, dan semua selesai."
"Apa kau fikir aku mau menikah denganmu, dengar aku baik-baik Tuan. Bayar uangnya dan kita selesai." Melia memang harus menagih uang yang dijanjikan oleh Kevin. Dengan uang itu ia bisa mencari pendonor dan membayar operasi ibunya.
"Apa yang kau janjikan, Kev!" Alan masih mengamati wajah Kevin saat telepon dengan gadis itu.
"Aku akan membayarnya satu milyar, masalah beres." Kevin terlihat santai. Sementara Alan menautkan alisnya.
"Dia menolak kau nikahi?" tebak Alan, Kevin mengangguk.
Ptpfff...
Tawa Alan membuat Kevin heran, "baru kali ini kamu ditolak perempuan haha, biasanya perempuan selalu berusaha menggodamu."
"Diamlah!"
"Hanya satu milyar," gumam Kevin, ia kemudian segera mengirim pesan kepada Melia agar menemuinya langsung.
Beres!
***
Tring...
Bunyi pesan masuk ke dalam ponselnya, Melia tersenyum. Namun, senyum itu seketika pudar karena Kevin mengirim pesan agar ia menemuinya langsung jika ingin uang satu milyar.
Sial, dia mencoba menipu kah? Itulah yang ada di benak Melia. Ia melesatkan motornya menuju Rumah Sakit Pusat Medika.
Pertama, ia harus ke loby rumah sakit mengurus pembayaran, barulah ia akan masuk ke ruang rawat sang Ibu. Tabungan yang ia punya belum cukup, Melia hanya bisa membayar biaya perawatan Ibunya.
"Silahkan anda ke ruangan Dokter Revan." ucap salah seorang perawat memanggil Melia.
Melia pun mengangguk. Namun, sebelum ia datang ke ruangan Dokter Revan. Melia ingin menjenguk ibunya sebentar, memastikan keadaan sang Ibu.
Langkahnya terhenti, tepat di depan kamar rawat Sintia Zain, ibunya.
Samar-samar ia mendengar seseorang tengah marah.
"Selamat ya, Tuhan memang adil. Akhirnya aku melihat kau menerima karma karena telah menggoda suamiku," ucap Lyn dengan tatapan tajam. Ia terkekeh pelan, melihat Sintia terbaring lemah dengan selang infus di tangan membuat dirinya semakin bersemangat.
"Sudah aku katakan, jika bukan aku yang berusaha menggoda Mas Bram, dia sendiri yang bilang jika dirinya belum mempunyai istri." Sintia berusaha menjelaskan, meskipun wanita yang saat ini ada di depannya tak akan percaya.
Plakk...
Lyn menampar keras pipi Sintia.
"Cukup, jangan membela diri! Kau hanyalah jal*ng diantara pernikahan kami."
"Pergilah," lirih Sintia, ia memalingkan wajah. Berhadapan dengan Lyn hanya akan mengingatkannya pada keburukan. Saat dimana anak yang ia perjuangkan dianggap sebagai anak haram, menyakitkan.
Melia mengepalkan tangan emosi, ini sama sekali tak adil bagi ibunya. Di luar ia mendengar semua ucapan Lyn, istri sah ayahnya.
Damn.
Brakkkkk!!!
Melia mendorong pintu sekuat tenaga, dengan napas memburu ia melangkah masuk ke dalam ruangan sang ibu.
Kehadirannya membuat Sintia terperanjat. Namun, tidak dengan Lyn yang memancarkan aura api permusuhan.
Plakkk, dengan gerakan cepat Melia menampar balik Lyn, hingga berhasil membuat wanita itu kesal.
"Beraninya kau..."
"Pergi dari sini atau aku akan panggil satpam," Usir Melia, emosinya meluap saat wanita paruh baya bergaya modis di hadapannya ini telah menampar ibunya.
"Ibu dan anak memang sama, sama-sama jal..." terhenti saat Melia mendorong paksa tubuh wanita itu keluar ruangan.
"Pergi dari sini, dasar wanita tua," ucap Melia kesal. Lyn memutuskan pergi dengan langkah kesal, pipinya masih panas akibat tamparan dari Melia.
"Anak tidak tau diri, berani sekali menampar pipi mulusku," geram Lyn yang terus berjalan menuju ke arah ruangan kepala rumah sakit.
Bram tidak tau, jika di rumah sakit, Sintia terbaring lemah.
Bulir bening jatuh di pipi Sintia.
"Bu," panggil Melia, memastikan bahwa istri sah ayahnya tidak menyakiti atau macam-macam dengan ibunya.
Melia mengusap pelan pipi Sintia, menghapus air mata itu.
"Ibu jangan sedih, Melia akan selalu melindungi Ibu." Melia menggenggam erat tangan Sintia.
Sintia hanya mengangguk, Melia lantas memanggil beberapa perawat untuk mengecek keadaan Ibunya, ia khawatir wanita tua itu berusaha mencelakai Sintia.
"Tolong pindahkan Ibuku ke kamar rawat kelas atas," pinta Melia kepada para perawat.
Mereka pun kebingungan dengan permintaan Melia, bukankah ia belum mampu membayar biayanya?
"Kenapa, pindah sekarang aku akan membayar biayanya nanti setelah menemui Dokter Revan."
"Tapi, Nona prosedurnya." Salah seorang perawat menyela.
"Aku akan membayarnya," tegas Melia.
"Baik, Nona!"
"Mel, tapi bagaimana mungkin?" lirih Sintia.
Melia mengulas senyum, "Ibu tenang aja, ada Melia."
Dalam hati, Melia bertekad akan menagih satu milyar itu dari Kevin, Melia ingin agar ayah dan istri sahnya itu tak lagi meremehkan ia dan Ibunya.
***
Kehidupan memang kejam bukan, selain dari pada harus melindungi diri sendiri, aku juga harus melindungi Ibuku, hanya saja aku tak pernah menyangka jika takdir hidupku seperti ini, andai aku diberi kesempatan memilih ayah. Mungkin, aku tak akan memilih laki-laki brengs*k yang telah menipu Ibuku, hingga menghadirkan penderitaan hingga saat ini.
Lamunannya buyar, saat perawat melaporkan bahwa Dokter Revan menyetujui permintaannya agar memindahkan ruang perawatan sang Ibu ke kelas atas.
"Nona, lebih baik anda menemui Dokter Revan!" ucap salah seorang perawat, Melia seketika menepuk jidat.
"Oh maaf, aku lupa jika Dokter Revan memintaku datang ke ruangannya, titip ibuku ya, Sus!" pamit Melia sebelum melangkah pergi.
"Bu, aku tinggal sebentar gak apa-apa 'kan?" tanya Melia, Sintia pun mengangguk.
Melia melangkah keluar, kaki jenjangnya menyusuri koridor demi koridor Rumah sakit, mencari dimana ruangan dokter Revan berada.
"Ketemu!" gumamnya yang melihat ruangan Dokter Revan di depan mata.
Tok tok tok...
Melia mengetuk pintu, tak berselang lama suara bariton dari dalam terdengar.
"Masuk!"
Melia meraih gagang pintu dan masuk ke dalam, "permisi, Dok. Apa anda memanggilku?" tanya Melia dengan suara pelan dan sesopan mungkin.
Revan mendongkak, mendapati gadis yang ia tunggu sudah datang.
"Duduklah, Mel!" titah Revan.
"Makasih, Dok!"
Melia pun duduk di kursi depan dokter tampan itu, sementara Revan memandang Melia dengan senyum.
"Bagaimana kabarmu?"
"Baik, Dok. Em, begini. Aku meminta agar perawat memindahkan ibuku ke kamar kelas atas, aku akan..."
"Tidak apa, biar aku yang jamin semua." Melia tak habis fikir, mendadak suasana berubah menjadi canggung. Bagaimana dokter di depannya ini begitu baik pada dirinya yang bahkan baru dikenal.
"Aku akan membayar semua biayanya segera."
"Jadi kamu sudah memutuskan agar ibumu segera ditangani?"
"Iya, aku akan berusaha. Terima kasih atas semua bantuan Dokter Revan selama ini," ucap Melia tersenyum.
"Oh baiklah, kalau begitu salam buat Ibumu dan jaga beliau."
Melia mengangguk lalu ijin pamit.
Melia kembali ke ruang rawat ibunya yang kini sudah berada di kelas atas. Melia bertekad akan segera meminta bayaran kepada Kevin Reyhan Louis.
"Bagaimanapun juga aku sudah mengorbankan hidupku, aku akan menutup mulut mereka yang menindasku, aku harus segera menemui Kevin." gumam Melia.
Tanpa sadar, langkahnya sudah sampai di depan ruang rawat ibunya. Melia masuk ke dalam, terlihat wanita paruh baya yang ia panggil Ibu sedang menunggunya.
"Ibu," panggil Melia, pandangannya mengedar ke sekeliling ruangan. Ruang rawat yang lebih luas dan nyaman. Melia berharap jika Mama tirinya itu tak lagi bisa menemukan keberadaan ibunya dan Melia berharap agar ia tak perlu lagi bertemu mereka.
"Mama tiri?" tanyanya lebih ke diri sendiri.
Melia benar-benar menjaga ibunya, jika siang hari. Karena nanti malam, ia harus kembali bekerja.
"Biar Melia yang suapin Ibu," ucap Melia, meraih makanan yang di bawa suster. Melia duduk menghadap ibunya, dengan telaten ia menyuapi Sintia.
"Ibu harus banyak makan, biar cepat pulih dan sehat."
"Penyakit ibu sudah parah, Mel." lirih Sintia, Melia mengusap-usap rambut ibunya.
"Ibu gak boleh menyerah, Melia akan terus berusaha demi kesembuhan Ibu."
Hebatnya Melia, ia harus menanggung segala lara sendirian, kalau bukan dirinya yang menguatkan Sintia, lantas siapa lagi. Sakit yang diderita Ibunya memang membuatnya menjadi anak yang rapuh, tapi perlahan Melia sadar, jika ia harus tetap menjadi anak yang kuat yang bisa melindungi Sintia agar tidak ditindas lagi oleh Lyn, istri sah ayahnya.
"Bu, bolehkah Melia izin keluar sebentar?" tanya Melia pelan. Ia harus segera menemui CEO muda LS Grup.
"Tidakkah bisa lebih lama temani Ibu, Sayang." Sintia bukan ingin egois, tapi ia ingin agar hari ini Melia menemani dirinya di Rumah sakit, Sintia sangat merindukan kebersamaan bersama putrinya.
"Hanya sebentar, Bu!" pinta Melia. Namun, melihat wajah sang Ibu yang berubah mendung, Melia mengurungkan niatnya pergi sekarang.
"Ibu cuma pengen Melia di samping Ibu lebih lama, Sayang."
"Baiklah, Melia tidak akan pergi. Melia akan disini sampai nanti waktu berangkat kerja," ucap Melia mengulas senyum, menggenggam jemari Sintia.
"Mel, kamu harus bisa jaga diri kamu sendiri. Ibu tidak mau kamu, bernasib sama seperti Ibu. Melia, kamu satu-satunya harta yang Ibu punya, jadilah wanita tangguh yang tak mudah di tindas. Ibu sayang Melia,"
Ucap Sintia, memandang lekat-lekat wajah putrinya.
"Maafin Melia, Bu! Maaf Melia sebenarnya sudah sangat mengecewakan Ibu," batin Melia, sedih.
Melia mengirim pesan kepada Kevin, ia harus segera menerima uang itu dalam beberapa hari ini.
"Gadis itu, kenapa terus menerus mendesakku, apakah dia type perempuan matre, hanya butuh uang. Tanpa ingin dinikahi? benar-benar keras kepala," gumam Kevin yang sedang merenung di kursi kebesarannya.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!