13 tahun yang lalu
Pertemanan antara lawan jenis itu biasa, bahkan untuk anak-anak pun sering terjadi. Begitu juga dengan Gavin dan Kenzie. Berawal dari persahabatan orangtua, turun ke anak. Tetangga sekaligus sahabat itulah gambaran kehidupan mereka.
"Ma, Abang kerumah Kenzie," teriak Gavin diambang pintu, tanpa memperdulikan teriakan mama nya dari dapur, bocah kecil itu langsung berlari keluar dari pekarangan rumah.
Tujuannya hanya satu, rumah tentangga tepat disebelah rumah mereka. Rumah sahabatnya. Dengan senyuman lebar tercetak jelas dibibirnya, Gavin melangkah masuk kedalam tanpa mengetuk pintu.
"Eh, bang Gavin. Cepat banget bangun nya, padahal Kenzie baru bangun tau," ungkap Agatha bunda Kenzie.
Terdengar tawa kecil, bocah kecil itu naik keatas kursi meja makan dengan bantuan Agatha, tepat di samping Kenzie.
"Abang Gavin udah sarapan?" tanya Agatha, seraya meletakkan roti bakar diatas piring.
"Belum Tante,"
Agatha hanya tertawa kecil, menuangkan susu hangat ke dua gelas kosong dan meletakkannya dihadapan putrinya dan Gavin. Agatha yakin, sebentar lagi akan terdengar suara dari depan pintu. Dan dugaannya benar.
"GAVIN! MASIH PAGI UDAH BERTAMU KE RUMAH ORANG, MANA NUMPANG MAKAN LAGI. ASTAGA, PAPA KAMU BISA MARAH SAMA MAMA," teriak Lara.
Siempunya hanya diam, maniknya hanya fokus menatap kearah sahabatnya sesekali meneguk susu dari gelas nya.
"Kamu sakit?" tanyanya kearah Kenzie, mengelus lembut rambut panjang sahabatnya seraya tersenyum manis.
Kenzie hanya mengeleng, nyawanya belum terkumpul dan jiwa cerewetnya belum muncul di permukaan.
"Anak nakal, udah berapa kali mama bilangin sarapan itu di rumah, bukan di rumah calon mertua," omel Lara, seraya duduk disamping putranya.
Kebetulan Lara selalu mendukung penuh putranya bersahabat dengan Kenzie, gadis kecil anak sahabatnya yang pastinya memiliki sifat persis seperti kedua orangtuanya di masa depan.
"Di masa depan Abang harus nikah sama Kenzie," ucap Lara.
"Nikah itu apa ma?" tanya Gavin dengan polosnya.
"Kayak mama sama papa, biar Abang bisa jagain Kenzie kemana-mana, pukul orang yang ganggu Kenzie, baru bisa main sepuas-puasnya tanpa mama larang."
Mendengar tawaran menggiurkan itu, spontan Gavin menganggukan kepala tanpa tau arti dari pernikahan itu.
"Abang nikahin Kenzie mau kan? biar nanti aku yang jagain kamu kemana-mana, baru bisa main sepuas-puasnya," ucap Gavin girang kearah Kenzie.
Terlihat dahi kecil itu mengerut, detik berikutnya menganggukan kepalanya antusias seraya tersenyum lebar kearah sahabatnya.
"Kenzie mau," jawab Kenzie girang.
Sontak Lara bertepuk tangan, mencium wajah putranya bertubi-tubi bangga dengan putra kecilnya. Agatha yang melihat itu hanya mengelengkan kepala, tidak heran lagi dengan kelakuan sahabatnya.
Kebetulan setelah Kenzie lahir, manusia yang paling heboh mengetahui hal itu hanya Lara. Kebetulan Gavin dan Kenzie berbeda satu tahun, Lara lebih dulu hamil dan memiliki anak. Tepat hari melahirkan Kenzie hari itu juga Lara langsung menjodohkan putranya dengan putrinya, entah apa maksud dan tujuannya.
"Mama sama calon mertua kamu jadi saksi, jadi Abang harus bertanggung jawab di masa depan. Umur 17 tahun, Abang harus nikahin Kenzie," ucap Lara serius.
Tapi sayangnya semua tak seindah yang dibayangkan, seminggu perjanjian itu keluarga Megantara harus pindah ke kota, kebetulan selama ini mereka tinggal di sebuah desa yang lumayan jauh dari kota.
Tangis pilu terdengar, bahkan Gavin mogok makan hampir sehari setelah mengetahui hal itu. Tapi demi perusahaan Megantara, kedua orangtuanya tidak tau harus mengatakan apa, karena perpisahan itu tetap harus terjadi.
"Gih peluk Kenzie dulu baru kita berangkat," bisik Lara, menenangkan putranya.
Kepala kecil itu menganguk, berlari kecil kearah sahabatnya dan memeluknya erat seakan tidak ingin melepaskannya.
"Kita tetap teman selama-lamanya," bisik Gavin terakhir kalinya.
______________
Ingin rasanya berteriak sekencang-kencangnya, mengatakan pada dunia. Bahwasanya Gavin sudah resmi menjadi seorang suami, dari gadis cantik, tapi sayangnya galak. Dia Kenzie Alison, yang kini menjadi Kenzie Megantara. Sesuai marga suaminya, Gavin Megantara.
Ibu ketua OSIS terhormat, yang selama ini menghukumnya disekolah. Kini menyandang status sebagai istri, dari manusia berandal disampingnya.
Rasanya masih tidak percaya, apalagi usia mereka masih muda. Tapi karena perjodohan yang sudah dijanjikan dari kecil, para orangtua mereka benar-benar melaksanakannya, sesuai perjanjian keduanya umur 17 tahun.
Selama berjalan nya pernikahan, gadis disampingnya tiada henti-hentinya meneteskan air mata. Padahal apa salahnya menikah dengannya, wajahnya juga tidak burik-burik amat.
"Gak usah nangis, belah duren nya belum mulai."
Kenzie hanya diam, tanpa berniat membalas ucapannya bahkan melirik sedikit pun kearahnya.
"Nangis pada waktunya, orang acaranya bahagia malah ditangisi. Nangis tuh ke kuburan."
"Diam Lo, ini semua gara-gara Lo." Teriak Kenzie, sontak semua mata tertuju kearah mereka.
Gavin tersenyum tipis kesemua orang, dengan menutup mulut ember Istrinya. Baru juga beberapa jam resmi menjadi suami istri, tapi mereka berdua sudah adu mulut diatas pelaminan. Hancur sudah image Gavin didepan mata semua orang.
"Jangan teriak-teriak, ini bukan hutan. Besok-besok gue aja kehutan. Sesuka hati Lo ngapain, cosplay jadi monyet juga gak papa."
Dengan kesal Kenzie mengigit telapak tangan yang menutup mulutnya, menatap tajam kearah Gavin.
"Dasar set*n."
"Ganteng gini malah dibilang set*n. Sakit tau Ken tangan gue."
"Rasain."
"Tunggu aja nanti malam, habis Lo gue buat."
"Gak takut tuh."
Gavin memilih diam, sembari meniup tangannya bekas gigitan Kenzie. Mana sakit, untuk tulang nya tidak retak. Kalo tidak Gavin tidak bisa ceb*k beberapa hari kedepan.
"Gue baru ber*k Ken."
Gavin tertawa terbahak-bahak, menyadari perubahan wajah gadis cantik disampingnya. Boleh dipastikan, gedung tinggi ini akan hancur sebentar lagi gara-gara teriakan Kenzie.
"GAVIN SET*N, M*TI AJA LO."
_____________
Setelah kejadian tadi, Gavin dan Kenzie kini di sidang para orangtua mereka. Terlihat semua wajah tidak bersahabat, seakan siapa memarahi pasutri muda itu.
Bagaimana tidak, pernikahan mereka berdua hancur berantakan gara-gara ulah kedua mempelai. Teriakan Kenzie menarik perhatian semua orang, dan Gavin tidak tau malu nya malah tertawa terbahak-bahak.
"Minta maaf Gavin!"
Siempunya masih tetap dengan pendiriannya, hanya mengelengkan kepala sebagai jawabannya. Habis sudah kesabaran papa Gavin, dengan kesal berteriak sama seperti teriakan Kenzie.
"Gavin!" Teriak Viktor papa Gavin memenuhi seisi ruangan, bahkan hampir memecahkan gendang telinga.
Demi keselamatan jiwa dan raga, dengan cepat Gavin memeluk tubuh kecil Kenzie yang duduk disampingnya.
"Gue minta maaf Ken, gua gak bermaksud apa-apa."
Sontak Kenzie melototkan matanya, berusaha melepaskan pelukannya.
"Diam, biar cepat kelar masalahnya." bisik Gavin tepat ditelinganya.
"Gue minta maaf Ken, maafin gue yah." ucap Gavin dengan suara tinggi, agar orangtuanya mendengar suaranya.
Seakan percaya dengan drama yang ditunjukkan Gavin, para orangtua mereka menghela napas lega dan tersenyum mengoda kearah mereka berdua.
"Dimarahi dulu baru maju, dasar anak muda." ucap Viktor, sembari menepuk pundak putranya.
Merasa suasana mencenkam sudah berubah, dengan cepat Kenzie mendorong tubuh kekar itu. Spontan terdorong kebelakang, jatuh dengan mulusnya keatas lantai.
Sontak Kenzie tertawa terbahak-bahak, tanpa berniat menolongnya sama sekali.
"Hahaha, enak gak?"
Siempunya meringgis kesakitan, perlahan bangkit dari tempatnya kembali duduk disamping Kenzie.
"Gak boleh gitu, kasihan suami kamu." nasehat Agatha ibunda Kenzie.
"Iya bund, maaf."
Kenzie menundukkan kepalanya, dengan mengulum senyum berharap tawanya tidak pecah. Apalagi wajah Gavin barusan terlihat lucu, dan Kenzie tidak tahan menahan tawanya.
Sontak tawanya kelepasan, menarik perhatian para orangtuanya terutama Gavin.
"Ck, mana masih muda."
Gavin mengelengkan kepalanya, menatap Kenzie yang tiada hentinya tertawa terbahak-bahak.
"Kayaknya senang banget lihat orang menderita."
"Iya, apalagi orangnya Lo."
"Dasar ratu iblis."
Kenzie hanya menjulurkan lidah kearahnya, kembali tertawa terbahak-bahak.
Interaksi mereka berdua tidak hilang dari pandangan orangtuanya. Mereka hanya bisa mengelus dada, dan mengelengkan kepala.
Padahal waktu kecil keduanya sangat akur, tapi sekarang terlihat bagaikan tom and Jerry.
"Vin, bawa mobil papa."
"Kemana pa?"
"Ikut aja, kalian berdua satu mobil ikuti mobil ayah dari belakang."
"Siap pa."
Gavin bangkit dari tempatnya, sembari menarik lengan Kenzie dan melangkah mengikuti langkah orangtuanya.
"Ck, gue bisa jalan sendiri."
"Gak, nanti ada yang culik. Lo gak takut, ini hotel. Katanya banyak om-om mesum."
"Gak usah nakut-nakutin, jauh-jauh Lo dari gue."
"Terserah."
Gavin melepaskan genggamannya, melangkah lebar menyamakan langkah para orangtua.
Kenzie yang melihat itu, sontak berlari kecil takut dengan ucapan Gavin. Walau sebenarnya Gavin saja sudah terlihat om mesum, tapi itu rahasia. Takutnya Kenzie malah jadi mangsanya.
Tepat diparkiran hotel, kebetulan acara pernikahan mereka tertutup dan diadakan dihotel berbintang. Karena bagaimanapun juga, pernikahan satu kali seumur hidup. Orangtua mereka menyediakan yang terbaik untuk mereka berdua.
"Silahkan masuk ratu."
Gavin membuka pintu mobil untuk Kenzie, dibalas dengan tatapan tajam. Istrinya memang benar-benar. Apa salahnya tersenyum manis, atau mengucapkan terimakasih. Emang ratu iblis selalu berbeda.
Dengan wajah berbinar, Gavin duduk dikursi kemudi. Tersenyum lebar, akhirnya impiannya membawa mobil terwujud. Karena selama ini, papa nya melarang keras Gavin membawa mobil. Takutnya malah melakukan hal yang aneh.
"Kampungan." Cibir Kenzie, yang sedari tadi melihat drama Gavin.
Sontak siempunya duduk tegap, menatap lurus kedepan. Bisa-bisanya sifat noraknya terlihat Kenzie, memalukan.
"Vin." Kaca mobil diketuk, dengan cepat Gavin menurunkan kaca mobil.
"Kenapa pa?"
"Ikuti kita dari belakang, jangan ngebut!"
"Iya pa."
Selama perjalanan hening. Tidak ada yang berniat membuka suara. Kenzie memilih menatap jalan dari kaca mobil, dan Gavin fokus menyetir.
"Ternyata kerumah."
Kenzie menatap pekarangan rumahnya yang terlihat didepan, bergegas turun dari mobil.
"Kita tidur disini bund?" Kenzie mendekat kearah bundanya, dan berbisik sepelan mungkin.
"Gak, cuman jemput koper kamu."
"Yah kok gitu sih bund."
"Udah jadi istri orang, jadi harus ikut suami."
"Kenzie gak mau bund."
"Gak boleh ngomong gitu, mulai sekarang harus nurut sama suami."
Kenzie memeluk erat tubuh bundanya, dan terisak kecil.
"Jangan nangis, gak malu sama suami."
"Dia juga malu-maluin."
Gavin yang sedari tadi mendengar pembicaraan anak sama ibu tersebut, tersentak kaget mendengar ucapan Kenzie.
"Dasar bocil."
"Vin." Lara mama Gavin mencubit pinggang putranya.
"Maaf ma."
"Masukin koper istri kamu kemobil."
Gavin menganggukan kepalanya, mengambil alih koper dari pembantu rumah tangga Kenzie, dan memasukkannya kedalam mobil.
"Mulai sekarang Kenzie harus nurut sama suami."
"Iya bund."
Agatha bunda Kenzie hanya bisa menahan tangis. Rasanya tidak rela, tapi bagaimanapun juga putri kecilnya sudah menikah.
"Ayah titip Kenzie yah nak." Ayah Kenzie membuka suara, sembari menepuk pundak Gavin.
"Siap yah."
Sontak semua orang tertawa, melihat tingkah konyol Gavin. Mana menghormat, memalukan.
Kenzie hanya bisa pasrah, perlahan melepaskan pelukan bundanya dan berganti memeluk ayahnya.
"Kenzie pergi yah."
Ayahnya hanya mampu mengangukan kepala, sembari mencium pucuk rambut gadisnya.
"Kita pamit om, Tante." Pamit Gavin dan hendak menyalim mertuanya. Sebelum suara cempreng mama nya menghentikan pergerakannya.
"Hei, ngapain panggil om tante. Kamu pikir mereka siapa kamu? Ikuti panggilan Kenzie."
"Iya-iya nyonya besar, marah-marah mulu."
Orangtuanya hanya bisa mengelengkan kepala, melihat tingkah konyol putranya.
Selesai acara pamit, Gavin langsung menarik lengan Kenzie dan menyuruhnya berdiri disampingnya.
"Selamat datang kedunia Gavin, Kenzie sayang." Bisik Gavin tepat ditelinga Kenzie, dan mengedipkan sebelah matanya.
Kini Gavin, Kenzie, serta kedua orangtuanya sudah berada dirumah. Padahal Gavin sempat mengatakan kepada kedua orangtuanya, bahwasanya dia dan Kenzie ingin tinggal berdua. Tapi sayangnya, Gavin tidak mendapatkan izin.
Kata mama nya "Gavin tetap tinggal dirumah sama Kenzie. Mama gak yakin sama kamu, takutnya malah KDRT sama Kenzie."
Padahal Gavin ingin kebebasan, kalo begitu ceritanya dia mana bebas melakukan apa yang dia mau. Yang ada malah dimarahi nyonya besar.
"Turunin koper Kenzie, bawa masuk kedalam!" Perintah Lara kearah Gavin.
Siempunya hanya diam, menuruti ucapannya.
"Ma, Kenzie tidur dimana?"
"Ayo Mama antar."
Lara dan Kenzie menaiki tangga satu persatu, berdiri didepan pintu kamar paling pojok dilantai atas.
"Kenzie ti–"
"Eh, ma. Kok Kenzie malah tidur disana? kamar Gavin pintu warna hitam." Sela Gavin, menarik lengan Kenzie.
"Masa suami istri tidur terpisah, gimana sih ma."
Lara hanya bisa mengeleng kepala, mendengar ucapan putranya.
"Terserah kamu, asal Kenzie mau."
"Pasti mau, iya kan yang?"
Gavin menatap wajah cantik itu, dengan senyuman manis terukir indah dibibirnya.
"Tapi–"
"Gak ada tapi-tapian, tenang aja kamar Gavin bersih kok."
Tanpa menunggu persetujuan dari siempunya, Gavin langsung menarik Kenzie masuk kedalam kamar mengunci pintu dari dalam.
"Kok dikunci?"
"Biar istri Gavin yang cantik jelita ini, tidak kabur."
Gavin tertawa terbahak-bahak, layaknya set*n dimata Kenzie. Gak ada yang lucu malah ketawa, kan aneh.
Kenzie hanya mengangkat bahunya acuh, menyelusuri kamar dengan maniknya. Kamar Gavin luas, rapi, bersih sesuai ucapan pemilik kamar. Kenzie rasa akan nyaman ditempat ini, hanya saja orang yang tidur dengannya yang tidak aman.
"Vin," panggil Kenzie ragu.
"Apa?"
"Gue boleh susun baju kewalk closet gak?"
"Silahkan."
Kenzie menganggukan kepalanya, mendorong kopernya masuk kedalam walk closet. Tepat pintu terbuka, Kenzie sedikit tercengang. Ternyata pria yang satu itu rapi, penampilannya saja yang selalu berantakan kesekolah. Entah apa kegunaannya.
"Hidup gue bakalan gimana yah kedepannya? Gue pusing mikirin itu."
gumam Kenzie, sembari sibuk merapikan pakaiannya.
"Ken."
Sontak Kenzie tersentak, menoleh kearah Gavin yang berdiri menjulang tinggi didepan pintu walk closet.
"Ambilin baju ganti gue dong."
"Malas."
"Dosa nolak suami."
"Dosa juga maksa istri."
"Ck, hitung-hitung belajar jadi istri yang baik."
"Ngatain diri sendiri."
"Cepatan, gue mau mandi."
Kali ini Kenzie mengalah, bangkit dari tempatnya melangkah kearah lemari pakaian Gavin. Dengan asal meraih kaos dan celana pendek, melemparnya asal kearah siempunya.
"Jahat banget jadi istri, lembut dikit napa jadi cewek."
Kenzie hanya diam, hendak kembali merapikan pakaiannya. Sebelum suara bariton Gavin menghentikan pergerakannya.
"Pakaian dalam mana?"
"Ambil sendiri, emang Lo pikir gue pembantu apa?"
"Berbuat baik jangan nangung."
"Mulai dari tadi Lo cuman ngomong, hitungan detik Lo jalan kesini seimbang sama ucapan yang keluar dari mulut Lo."
"Pelit."
Gavin menatapnya tajam, sembari melangkah masuk kedalam.
"Ratu iblis."
"Set*n."
Mereka sama-sama mengalihkan tatapannya kearah yang lain, sibuk dengan urusan masing-masing.
Pria yang satu ini ternyata melebihi wanita, tukang ngambek, manja, ngeselin lagi.
Selesai Gavin mandi, kini giliran Kenzie. Sedari tadi pikiran Gavin berkeliaran kemana-kemana, membayangkan apa yang seharusnya dilakukan pasangan suami-istri.
Apalagi ini malam pertama mereka, Gavin panas dingin memikirkan itu. Mana tubuh Kenzie cantik, sesuai dengan wajahnya.
"Gue tidur dimana?"
Sontak Gavin tersentak, menoleh kearah Kenzie yang kini berdiri disamping ranjang.
"Gue gak mau tidur sama Lo. Takutnya kuman."
"Kuman-kuman gini juga udah yang punya. Mana Sah lagi."
"Jangan kepedean, gue tidur dimana?"
"Disini seranjang sama gue."
Gavin menepuk ranjang disebelahnya,
sembari tersenyum mengoda kearah Kenzie. Tapi sayangnya, di mata Kenzie berbeda.
"Tau gak?"
"Apa?"
"Lo kayak om-om mesum."
Kenzie tertawa terbahak-bahak, melihat perubahan wajah Gavin.
"Ratu iblis, sana cari tempat tidur. Gue gak mau tidur sama Lo."
Kenzie hanya mengangkat bahunya acuh, melangkah kearah sofa. Untung sofa nya luas, cukup menampung tubuhnya.
Pukul 23:00, kamar terasa sepi. Sedari tadi Gavin tidak bisa tidur, hanya memikirkan Kenzie yang tidur diatas sofa. Mana dingin, selimut juga tidak ada.
Terpaksa Gavin bangkit dari tempatnya, melangkah pelan-pelan kearah sofa. Terlihat wajah cantik itu tertidur nyenyak, sesekali meringkuk kedinginan.
"Keras kepala."
Dengan entengnya Gavin mengangkat tubuh gadisnya, memindahkannya ke atas ranjang.
"Untung cantik."
Gavin tertawa kecil, ikut berbaring di atas ranjang tepat disamping Kenzie. Menyelimuti tubuhnya dengan tubuh Kenzie, perlahan memeluknya.
"Enak juga punya bini."
Gavin tersenyum smirk menatap wajah cantik itu, sembari menyelipkan helaan rambut yang menutupi wajah cantik gadisnya. Mengamati setiap inci wajah cantik itu dengan saksama, sampai satu titik yang mengalihkan perhatiannya.
Itu terlihat mengoda, Gavin penasaran ingin mencicipi. Perlahan Gavin memajukan wajahnya, mengecup bibir pink itu.
"Maaf."
1 kata yang keluar dari mulutnya, tapi sayangnya Gavin malah melanjutkan aksinya, kembali mencium bibir mungil itu dan sedikit mengulum nya.
"Manis."
Gavin tersenyum tipis, sembari menghapus salivanya dibibir Kenzie. Gadis yang satu ini terlihat mengoda, pria normal seperti nya, hanya bisa sebatas memandangnya saja.
"Hari ini Lo selamat."
Kata terakhir yang keluar dari mulutnya, perlahan memejamkan matanya.
__________
Tubuh kecil itu merasa sesak, dan berat. Terasa ada sesuatu yang menimpa tubuhnya. Saking penasarannya Kenzie membuka matanya, sontak terbuka lebar bahkan hampir keluar dari tempatnya.
"GAVIN!" Teriak Kenzie mengema seisi ruangan, mendorong tubuh kekar itu menjauh dari tubuhnya.
"Mesum!"
Kenzie melempar bantal kearah Gavin, memukul tubuh kekar itu secara bruntal.
"Sakit woi, masih pagi udah kesurupan."
"Lo yang kesurupan, siapa nyuruh lo meluk-meluk gue. Gavin mesum."
"Cuman peluk doang kok Ken, Lo juga malah tidur dimalam pertama. Padahal yang gue tonton, orang-orang gak cuman tidur."
Sontak Kenzie menghentikan aksinya, mengeser tubuhnya kearah Gavin.
"Ulangi!"
"Semalam itu malam pertama, harusnya kita ngelakuin itu."
"Oh, gue lupa."
Gavin mendongakan kepalanya keatas, menatap wajah cantik itu. Kenapa tiba-tiba suara itu berubah, ada yang aneh. pikirannya.
Tidak mungkin juga Kenzie mau melakukan itu, kalo Gavin mah asal dia mau saja.
"Jadi semalam pertama Vin?"
Kenzie mengelus wajah tampan itu, membuat siempunya merinding sendiri. Bahkan Gavin memejamkan matanya, merasakan sapuan jemari lentik itu diwajahnya.
Tapi sayangnya semua hanya khayalan semata, tiba-tiba telinganya ditarik, diputar dengan sekuat tenaga.
"Semalam, kenapa gak kasih tau gue kalo malam pertama. Ha?"
"Sakit Ken."
"Sakit yah, kasihan banget sih suami gue."
"Lepasin dong Ken, nanti telinga gue putus."
"Biarin!"
Gavin bungkam, dengan menahan sakit ditelinganya. Mungkin ini karma yang semalam, padahal apa salahnya. Orang mereka berdua suami istri. Sah-sah saja melakukan hal itu, bahkan lebih dari itu.
"Jangan-jangan main sama gue."
Kenzie melepaskan jeweran nya, dan beranjak dari tempatnya.
Hari pertama sekolah, menyandang status sebagai istri orang rasanya deg deg kan. Kenzie takut salah bertindak, Gavin malah mengadu. Mana anak yang satu itu tidak bisa dipercaya, tampang doang yang lakik. Tapi kelakuan, bikin geleng-geleng kepala.
Tapi pagi ini Kenzie merasa ada yang aneh, bibirnya tiba-tiba bengkak tidak tau apa penyebabnya. Tidak mungkin digigit nyamuk, kamar Gavin juga bersih.
Bahkan Kenzie sengaja memakai masker, malu menunjukkan bagian bibirnya. Mana ketua OSIS, yang ada di cap wanita yang tidak jelas.
"Ck, lama-lama pusing sendiri."
Kenzie memilih keluar dari ruangan OSIS, menyelusuri lorong sekolah yang sudah sepi. Pelajaran pertama sudah dimulai sedari tadi, dan Kenzie memilih membolos untuk hari ini.
Takutnya malah disuruh membuka maskernya, dan itu harus dihindari.
Dengan wajah yang serius, Kenzie memilih keliling belakang sekolah. Karena biasanya anak brandal disana, salah satunya Gavin.
Kebetulan mereka berdua berangkat sendiri-sendiri, dan Kenzie tidak tau Gavin sudah berangkat atau tidak. Ternyata seperti biasa, pria yang satu itu terlambat melompat dari dinding belakang sekolah.
"Ekhm, ngapain bang?"
Sontak Gavin tersentak kaget, gagal melompat dari dinding. Akhirnya mencium tanah.
"Sakit."
"Kenapa gak sekalian hancurin temboknya?"
"Rencana sih iya, biar gak perlu lompat lagi."
"Ngawur."
Kenzie duduk disampingnya, perlahan membantunya bangkit. Bagaimana pun juga, Gavin suaminya. Kenzie mana tega melihatnya.
"Besok-besok bawa alat berat, robohin nih sekolah."
"Masalahnya bukan sekolah bapak gue."
"Tau juga, masih aja berulah."
Dengan kaki yang tertatih, Gavin melangkah dengan bantuan gadisnya. Mendudukkannya diatas rerumputan, dan membersihkan seragamnya. Tumben-tumbenan Kenzie jadi malaikat, biasanya jadi ratu iblis.
"Ada yang sakit?"
"Didalam yang sakit."
"Kalo itu urusan Lo."
Gavin tertawa kecil, sembari menatap wajah Kenzie. Gavin baru sadar, ternyata gadisnya memakai masker mulai dari tadi. Ini pasti gara-gara ulahnya semalam.
"Kenapa pakai masker?"
"Terserah gue."
"Sini gue lihat."
"Diam!"
Kenzie menutup mulutnya, sedikit menundukkan kepalanya dengan kepala Gavin.
Anggota OSIS lainnya sedang keliling, mereka tidak boleh ketahuan.
"Ken, lepasin tangan Lo."
Kenzie baru menyadari hal itu, dengan cepat menjauhkan tangannya dari mulut Gavin.
Untung anggota OSIS tidak melihat mereka, kalo tidak habis sudah Gavin. Mana peraturan sekolah ketat, sekali melanggar hukumannya tidak main-main.
"Sana masuk kelas, kalo gak keruang BK."
"Pulang aja deh."
"Dikasih hati malah minta jantung."
Dengan kesal Kenzie menjewer telinganya, bangkit dari tempatnya.
"Awas aja sampai ketahuan bolos, gue banting Lo."
Gavin hanya mengangguk kan kepalanya, sembari tersenyum tipis menatap punggung itu berlalu pergi. Ada rasa senang terselip didalam hatinya, melihat Kenzie perhatian dengannya. Kenapa tidak seperti itu mulai dari semalam?
Daripada dimarahin dirumah, Gavin memilih bangkit melangkah kearah ruangannya. Mengetuk pintu, dan melongos masuk begitu saja.
Bu Clara yang awalnya fokus mengajar, mengalihkan tatapannya kearah Gavin.
"Darimana kamu?"
"Terlambat Bu."
"Besok-besok gak usah sekolah."
"Dari dulu memang itu keinginan saya Bu, tapi takutnya keturunan saya malah bodoh semua."
"Sok tau kamu tentang keturunan."
"Lah memang itu Bu yang tertulis."
"Jangan ngawur kamu."
"Coba nanti ibu cari dari goggle, pasti jawabannya gak ada."
"Gavin."
Sontak seluruh ruangan tertawa terbahak-bahak, menatap Gavin dan Bu Clara secara bergantian. Hanya Gavin siswa disekolah ini yang paling berani menyahut ucapan guru. Mana melakukan semuanya sesuka hatinya, dan semua guru sudah angkat tangan dengan tingkah nya.
Tapi herannya, otaknya tidak bisa dikalahkan. Mana sering mengikuti olimpiade matematika, entah kapan dipelajari. Orang kerjanya cuman bolos.
________
Bel istirahat berbunyi, semua siswa langsung heboh keluar dari ruangan. Tapi tidak untuk Kenzie. Sedari tadi mengurung diri di ruangan OSIS, malas keluar apalagi kedalam kelas.
Gara-gara bibirnya yang bengkak, mood nya berantakan mulai dari tadi. Entah apa penyebabnya, Kenzie sedari tadi bingung. Sampai suara cempreng menyadarkan lamunannya, disusul dengan kursi yang bergeser.
"Tumben bolos, sakit Ken?" Tanya Dian sembari menatap wajahnya.
"Kenapa pakai masker?" Dengan cepat Fani melepaskan masker Kenzie, sontak melototkan matanya.
"Lo dapat ini darimana?" Tunjuk Fani, sembari mengelengkan kepalanya.
Dian dan Fani sahabat Kenzie, yang selalu mendukungnya dan menjadi teman cerita. Tapi untuk soal pernikahannya dengan Gavin, untuk sementara waktu Kenzie rahasia kan.
Takutnya Gavin malah jadi bahan bulyan Dian dan Fani. Mana kedua sahabatnya bar-bar, berbeda dengan nya.
"Lo ciuman dimana, sama siapa? kok ganas sih. Tapi gak papa, namanya juga cowok. Tapi masalahnya, siapa Ken yang ngambil keperawanan bibir Lo?" Tanya Dian panjang lebar, ikutan heboh seperti Fani.
Kenzie hanya diam, mengerutkan dahinya menatap kedua sahabatnya secara bergantian.
Darimana mereka berdua tau tentang ciuman, atau jangan-jangan. Dasar, katanya gak punya cowok. Tapi ini, tentang ciuman saja tau. Mana sampai hapal ini itu.
"Baru jadian Ken?" Fani meletakkan kedua tangannya kepundak Kenzie, menatap wajah sahabatnya dengan saksama.
"Jujur, jangan bohong."
"Bohong apaan? gue gak ngerti."
"Bibir Lo bengkak gara-gara ciuman. Kayaknya dia gigit semalam, makanya jadi bengkak."
"Darimana Lo tau?"
"Ck, gue udah pro."
Sontak Kenzie melototkan matanya, dengan gemas menjewer telinga Fani.
"Sejak kapan Lo begituan."
"Sakit Ken."
"Jawab dulu!"
"Tanya aja sama Dian, dia juga udah pro."
Spontan siempunya bangkit dari tempatnya, tersenyum lebar kearah Kenzie dan berlari terbirit-birit keluar dari ruangan OSIS.
"Tanya aja sama Fani, dia lebih pro dari gue." Dian tertawa terbahak-bahak, sampai suaranya hilang dan menjauh.
Kini pandangan Kenzie beralih kearah Fani, yang sibuk mengelus telinganya yang memerah.
"Fan."
"Iya."
"Memang bibir gue bengkak gara-gara ciuman?"
"Hm, iya. Emang Lo gak tau?"
Kenzie hanya mengelengkan kepalanya, kembali duduk di kursinya dengan tatapan kosong. Sejak kapan Kenzie ciuman? sama siapa juga? Atau jangan-jangan. Gavin set*n.
"Sama siapa?"
"Gue gak tau."
"Masa iya sih."
Fani beralih menatap kearah Kenzie, meneliti wajah sahabatnya dengan tatapan serius.
"Iya Ken, itu gara-gara ciuman. Tapi sama siapa? masa iya Lo gak tau."
Kenzie memilih diam, meraih kaca kecil diatas meja kembali menatap pantulanya.
"Bentar lagi bel, gue balik. Lo disini aja, nanti gue kirim tugas lewat email."
"Gaya Lo, email-email. Emang apaan."
Fani tertawa kecil, sembari kembali memasangkan masker yang menutupi wajah Kenzie.
"Biar keren dikit, kayak CEO."
"Udah sana, makin ngawur."
"Bye."
Kenzie hanya mengangguk kan kepalanya, menatap punggung Fani berlalu keluar dari ruangan OSIS.
"Masa iya, Gavin ngelakuin ini? Pria yang satu itu memang benar-benar."
Kenzie bangkit dari tempatnya, melangkah keluar dari ruangan OSIS.
Tau gitu, mulai dari tadi Kenzie mencuci bibirnya. Bila perlu pakai deterjen, dan pemutih.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!