...Intro...
"Sebenarnya nilai-nilai Molly nggak mencukupi untuk bisa naik ke kelas dua, tapi karena saya yakin bahwa Molly bukan siswa yang nggak pandai, saya berani ambil resiko untuk tetap menaikan Molly ke kelas dua."
"Tapi, Pak, bagaimana kalau misalnya Molly nggak mampu?" tanya Papa cemas.
"Molly bukannya bodoh, Pak," ujar Pak Heru. "Saya melihat gambar- gambar krayon Molly. Karyanya bagus sekali. Sebenarnya kepintaran anak-anak nggak sepenuhnya bisa dinilai dari nilai akademik. Tapi, kemampuan mereka berpikir untuk menciptakan sesuatu. Molly mungkin nggak bagus dalam pelajaran tapi mungkin saja dia punya bakat seni," jelas Pak Heru. "dan... saya hanya ingin memberitahu satu hal yang mungkin sangat penting bagi Bapak dan Ibu untuk ketahui"
Papa dan Mama menunggu dengan nggak sabar.
"Untuk masalah Molly nggak bisa berkonsentrasi dan sering lupa mungkin adalah masalah yang serius. Tapi, sebelumnya saya mohon maaf... menurut saya Molly harus diperiksakan ke dokter," kata Pak Heru.
Mama mengernyit. "Apa maksud Bapak?" tanyanya.
"Kemungkinan Molly mengidap disleksia, Bu," jawab Pak Heru. "Saya melihat gejala itu pada Molly"
"Disleksia?" ibu menatap ayah di sampingnya. "Disleksia itu apa?"
"Disleksia adalah semacam gangguan yang menyebabkan anak nggak bisa konsentrasi dengan baik dan bahkan nggak bisa mengingat hal-hal dasar seperti urutan hari, bulan, dan kadang nggak bisa membedakan kiri atau kanan. Pengidap disleksia juga sering menulis dengan terbalik-balik. Saya perhatikan, Molly sering seperti itu"
Penjelasan Pak Heru seolah sudah cukup tanpa perlu dokter untuk membuktikannya. Dan sedihnya, tetap bikin Mama kecewa. Setelah menerima raport-nya Molly, mereka bersalaman dan pamit.
Molly terlihat duduk di salah satu kursi yang ada di lorong dengan alat gambarnya. Begitu melihat orang tuanya ia mulai cemas. Perasaannya mengatakan, pasti ia tinggal di kelas dua.
"Ayo kita pergi," ajak Papa saat Mama mendahului mereka dengan langkah yang terburu-buru.
Sekilas Molly bisa melihat bahwa kesedihan melandanya. "Mama kenapa, Pa?" tanya Molly, heran dan bingung.
Papa nggak menjawab. Ia hanya tersenyum. "Habis ini kita mau ke rumah sakit, siapa tahu dokter bisa bantu kamu supaya nggak lupa terus," ujar Papa dengan tenang.
Molly semakin bingung, kenapa tiba-tiba ke dokter? Ia sama sekali nggak merasa sakit. Tubuhnya sehat-sehat aja kok.
ooOoo
...Kemah Terakhir...
Satu, dua, tiga, empat, lima, enam... Molly mulai menghitung saat matanya makin lama makin berat. Suara gitar dan nyanyian teman-teman yang terdengar gembira perlahan memudar. Tiba-tiba berganti menjadi pemandangan gelap. Beberapa saat ia nggak bisa melihat apa pun sebelum sebuah pintu terbuka, menuntun Molly ke dunia yang selalu ia rindukan setiap malam. Membuka satu-satunya pintu dalam ruang gelap itu, Molly disambut oleh padang rumput hijau di mana ia bisa berlarian dengan bebas sambil tertawa. Langit cerah sampai awanpun nggak kelihatan.
Molly duduk di atas rumputnya yang hijau seperti permadani, memandangi langit. Nggak ada yang lebih menyenangkan dari saat ia bisa duduk sendirian dengan tenang, menatap langit yang nggak pernah ia temukan di mana pun selain di sini. Sambil menarik nafas lega, dengan rebahan pelan, tubuhnya yang lelah merasakan semangat baru merasuk ke paru-parunya. Namun di tempat itu ia sendirian. Begitu tersadar ia harus pulang, ia menoleh ke sekitarnya. Kosong. Rasanya ia udah terlalu lama di sini
Tempat seindah apa pun, jika kita sendirian di dalamnya, tetap terasa menyedihkan. Molly mulai cemas saat mengelilingi padang rumput tapi nggak melihat pintu yang akan membawanya pulang. Nggak ada apa-apa selain rumput hijau, langit biru dan awan putih. Hanya angin yang tetap bertiup menghembuskan hawa dingin. Pada akhirnya ia menangis.
Perasaan sedih Molly menyentuh tubuhnya yang tiba-tiba bergerak oleh goncangan hebat yang membuat kepalanya terantuk ke kaca.
Jok abu-abu lusuh di depannya masih ada. Meski nyanyian dan gitar nggak terdengar lagi, namun ini masih tempat yang sama pernah ia tinggalkan sejak dua jam lalu.
"Molly? Lo nggak turun?" tegur Chika , teman satu tempat duduknya yang sudah bersiap untuk turun bersama tasnya. "Gue duluan ya"
Molly baru menggeliat saat Chika turun bersama teman-teman mereka yang lain. Begitu bangkit dari joknya, Molly mulai mengingat-ingat di mana ia menyimpan tasnya. Dengan perlahan ia membuka bagasi atas dan sebuah tas tiba-tiba meluncur keluar!
"Awas!" seseorang memekik sementara Molly malah memejamkan mata; menantikan benda itu mendarat di kepalanya.
Perlahan ia membuka mata dengan ragu-ragu. Seseorang sudah menggenggam tas itu dengan ekspresi kaget dan cemas.
"Hampir aja...," kata cowok itu mulai tertawa. Ia melirik Molly yang jadi terpana padanya. "Apa?" tegurnya risih dipelototi.
Molly diam. Membalas pandangan teman sekelasnya itu tanpa berkedip.
"Hoi!" tegur anak lelaki itu sambil melambai-lambaikan tangannya di depan wajah Molly yang kosong. "Kamu syok ya?"
Cowok itu mulai bingung dan risih dipandangi sampai segitunya.
Molly sadar, di depannya sekarang hanyalah Getta, teman sekelas yang duduk nomor dua di belakang dari bangkunya, bukan Ben Joshua - walaupun sekilas rada mirip. Tapi tetap saja bikin Molly agak deg-degan berdiri di depannya. Kenapa baru sadar sekarang ya?
"Nyaris...," suara Molly gemetaran, ia menarik nafas panjang dengan sedikit malu memandangi Getta yang udah bisa tertawa lega.
"Kamu nggak apa-apa?" tanya cowok itu lagi dengan penuh perhatian dan Molly tersenyum sambil menggeleng. "Bagus kalau gitu..."
Tersanjung, Molly meraih tas miliknya dari genggaman Getta yang ikut grogi. "Makasih ya, Get...," ucapnya masih canggung dan malu-malu.
Sambil garuk-garuk belakang kepala dan tersenyum bodoh, Getta berusaha bersikap biasa. "Aah, biasa, aku kan duduknya di belakang...," Getta ikut canggung dan melirik ke jok di belakang jok tempat Molly tadi ketiduran.
Melihat sekeliling mereka udah kosong, mereka menyadari yang lain sudah berkumpul di luar. "Kita turun yuk," ajak Getta yang ingin mengakhiri saat-saat yang jadi mendebarkan setelah setahun mereka jadi teman sekelas yang nggak terlalu akrab.
Molly menyeret tasnya dan melangkah ke pintu bus lebih dulu sementara Getta di belakangnya.
"Berat ya?" tegur Getta saat Molly agak kerepotan turun dari bus.
"Nggak kok," tawa Molly masih terdengar canggung.
Namun di depan mereka, teman-teman yang lain sudah berbaris untuk mendengarkan arahan guru soal peraturan kemah. Molly masuk ke barisan anak perempuan sedangkan Getta tampak menyusup di antara teman-temannya yang berada di tengah.
Molly tersenyum untuk dirinya sendiri dan matanya menemukan Getta sedang memandangi senyum itu.
Dengan sedikit malu ia memalingkan wajahnya untuk menoleh lagi ke belakang, di mana Molly pura-pura nunduk tapi bibirnya masih senyum- senyum nggak jelas kayak kesurupan.
****
"Chika!" seorang cowok memanggil saat Molly dan Chika duduk di depan tenda.
"Eh, Jo? Ada apaan?!" sahut Chika, yang langsung berdiri.
"Dekat sini ada sungai lho! Airnya bagus banget! Kita semua mau main di sana, lo mau ikut nggak?!" ajak Jonas, cowok itu.
"Mau! Molly boleh ikut kan?!" tanya Chika sambil melompat dan tiba-tiba sudah berdiri di depan Jonas. Ia mngulurkan tangannya pada sahabatnya yang pemalu. "Yuk!"
Jonas mengangkat bahu saat Molly meraih tangan Chika dan berdiri dari tempatnya. "ya asal dia jangan ketiduran aja...nanti kita semua bisa dapat masalah kalau dia tiba-tiba hanyut...," komentarnya lalu pergi.
Chika mulai berlari tanpa melepaskan tangan Molly dari genggamannya. Berlari melintasi halaman rumput yang hijau itu, mengikuti Jonas di depan mereka dengan penuh semangat.
"Chika!" suara Jonas kembali terdengar. Separuh badan cekingnya udah nyebur ke air duluan saat Chika dan Molly baru sampai di pinggiran. Lalu Chika dengan semangat masuk ke air yang membuat ekspresi gembiranya menjadi kedinginan. Tapi, ia terlalu girang waktu mencipratJonas dan mulai main perang air.
Molly masih berdiri di pinggir memperhatikan mereka sambil ikut tertawa dari kejauhan. Udara Bukit Halimun yang dingin ini membuatnya harus menahan keinginan untuk bergabung di dalam sungai. Ia hanya menyimpan kedua tangannya yang gemetaran dalam saku jaketnya, karena nggak siap untuk basah. Airnya pasti lebih dingin dari udaranya. Ia nggak ingin sakit di saat-saat berharga seperti ini. Lagipula, ia harus menjaga kesehatan karena mudah sakit dan sebelumnya ia sempat dilarang pergi. Tapi, memandangi Chika saja sudah membuatnya senang. Dia selalu membawa keceriaan ke mana pun ia pergi.
Siska Olivia adalah sahabat Molly. Dia yang biasa dipanggil Chika. Cantik, pintar dan kaya. Dibilang feminin, dia hampir nggak pernah kelihatan memakai rok selain ke sekolah, dibilang tomboy, rambutnya panjang dan terurus. Sifatnya periang dan mudah bergaul. Dia disukai banyak orang termasuk anak cewek. Hebatnya, Chika mau bersahabat dengan Molly, yang semua tentang dirinya adalah kebalikan dari Chika. Molly yang sibuk dengan harapan-harapannya lagi-lagi menatap dengan hampa, sambil menyusun beberapa kalimat dalam kepalanya yang diawali dengan kata seandainya...
"Gettaaaaa!!" suara Jonas kembali terdengar.
Pandangan Molly mendapatkan fokusnya kembali. Masih di tempat ia berdiri sambil ngelamun, ia menemukan Getta sebenarnya nggak jauh dari Chika dan Jonas yang udah basah sama sekali. Ia terlihat bersama beberapa anak cowok yang telanjang dada berenang di tempat yang agak dalam.
Getta menoleh kepada temannya dengan sedikit lambaian tangan. Rambut hitamnya yang agak gondrong tampak basah oleh air yang membuat sosoknya bersinar di bawah cahaya matahari. Separuh tubuhnya tenggelam di dasar air, dan ia tertawa hingga matanya nggak kelihatan.Molly nggak pernah menyadari bahwa Getta ternyata keren juga selain karena bertubuh tinggi. Ia jadi ingat ketika berdiri di dekatnya, ujung kepala Molly berada di bahunya Getta.
Seperti punya perasaan yang sama tiba-tiba Getta menoleh ke belakang, menemukan Molly tengah memandangnya. Lalu sama-sama menyimpan rahasia yang hanya mereka tahu berdua. Di saat yang sama, mendapati pipi Molly memerah, Getta sedikit bingung. Namun, sekali lagi ia menoleh ke belakang ekspresi gadis lucu itu belum berubah.
"Chika?!" suara Jonas yang ketakutan mengalihkan perhatian mereka dalam sekejap dan Chika menghilang!
Beberapa saat dalam kepala Molly hening, tapi matanya berusaha menemukan sosok Chika yang tadi tertawa di antara bebatuan.
"Ada yang hanyut!" seru salah seorang entah dari mana dan semua orang yang berada di sekitar sungai tampak panik. Mereka menunjuk ke satu titik di mana arus sungai membawa seorang anak perempuan yang berusaha menggapai-gapai, sesekali kepalanya muncul pada permukaan bergelombang.
Itu Chika! Dia berteriak. "Tolong!" tapi suaranya menghilang oleh gesekan batu dan air beraliran deras.
Molly menjerit ketakutan sambil berlari menyusuri pinggiran sungai. "Chikaaaa!!" panggilnya histeris. "Chikaaaa!"
***
...Kemah Terakhir Season 2...
Tapi, aliran sungai deras itu membawanya semakin jauh.
Namun, tiba-tiba tertegun menyaksikan Getta melompat ke dalam air lalu membiarkan arus sungai membawanya untuk menyusul Chika yang terus terseret.
****
Molly masih menangis, semakin sering ia menyebut nama Chika semakin suaranya hilang oleh isakan.
"Udah, gue nggak apa-apa kok," suara Chika terdengar tenang tapi menggigil, sekujur tubuhnya basah dan wajahnya memutih pucat. Sambil berusaha tertawa, ia menenangkan Mollydan menemukan Getta masih bersama mereka, lalu tersenyum. "makasih ya..."
Getta yang basah hanya tersenyum simpul.
"Lain kali hati-hati ya," kata Bu Seno, wali kelas mereka. "nggak biasanya kamu ceroboh, Siska"
Chika cuma geleng-geleng kepala, sambil nyengir. "Iya, Bu...," katanya. "saya nggak nyangka, tergelincir sampai hanyut"
"Ya udah, kalau kamu masih sakit, kamu tinggal di tenda aja dulu," ujar Bu Seno lalu memghampiri Getta yang berdiri nggak jauh dari mereka. "Kamu nggak apa-apa kan?"
Getta menggeleng sambil tersenyum. "saya nggak apa-apa, Bu...," suaranya ikut-ikutan menggigil.
"Kamu ganti baju sana, bentar lagi acara kita mulai ya...," Bu Seno mulai melangkah, meninggalkan mereka.
Getta berusajaha menenangkan dirinya, memastikan sahabatnya benar- benar masih hidup dan dia nggak sedang bermimpi. Betapa menakutkannya detik-detik saat Chika terbawa arus. "Lo sih, udah gue bilang jangan ke sana, masih aja ke sana...," gerutu Jonas yang sudah lebih tenang.
Chika nyengir lagi. "Udah, lo nggak senang gue masih hidup apa?!" cetusnya.
"Jo, udahan yuk! Gue kedinginan nih!" seru Getta yang nggak tahan lagi.
Jonas berdiri sambil mencak-mencak. "Iya iya!" celetuknya, menghampiri Getta. "kita balik dulu ya, ntar jurit malam kita ketemuan lagi"
Chika mengangguk, menyaksikan dua cowok itu berlalu. Sebelum ia mengatakan sesuatu pada Getta, ia malah mendapati sahabatnya yang manja itu tengah terpana pada salah seorang yang baru saja pergi dari mereka.
"Woi!" serunya sambil menepuk punggung Molly sampai gadis itu terkejut setengah mati. Melihat ekspresi kaget Molly memang lucu dan ia cekikikan.
"Sejak kapan lo flirting sama Getta?!" tanya dia sambil tertawa-tawa karena Getta sempat menoleh ke belakang untuk tersenyum pada mereka.
"Enggak!" Molly memekik seperti bayi dan Chika tertawa makin keras.
****
Ketika momen menakutkan bagi para cewek tiba, mereka mulai bertingkah manja dengan mengeluh dan menggerutu.
Setelah acara pembukaan yang apik dan mendengar sambutan dari kepsek yang panjaaang banget, mereka baru bisa menyebutnya bersenang-senang ala Sekolah.
"Pada lebay deh semua...," gerutu Chika melihat tingkah teman-teman sejenisnya. Sebelum namanya dipanggil dan ia maju ke depan.
Molly terlihat santai, apa sih yang ditakutin saat jurit malam? Bukannya mereka ada di sini untuk bersenang-senang?, ia tersenyum sendiri saat melihat Putri, salah seorang teman mereka menolak untuk ikut jurit malam dengan berbagai alasan. Sakit asma-lah, phobia gelap-lah, dan yang paling bikin semua orang tertawa adalah hantu. Molly menggeleng- geleng.
"Kamu nggak takut?" tegur Getta yang duduk di sebelahnya tanpa ia sadari.
Ternyata Jonas dan Chika sudah ada di depan bersama kelompok mereka masing-masing.
Jawaban yang mudah nggak bisa keluar begitu saja sejak sadar, bahu Getta bersentuhan dengan bahunya.
"Nggak...," jawabnya malu-malu tertunduk lagi dengan pipi merona. "Kalau tempat ini ada hantunya nggak mungkin dijadiin tempat kemah kan?"
"Yap," sahut Getta kembali menoleh ke depan, menunggu giliran pembagian kelompok. Chika dan Jo suda bergabung bersama anggota kelompok mereka.
"Kelompok 8, Adhia Getta , Molly Andreata!" panggil Bu Seno dengan lantang.
Keduanya sama-sama terkesiap. Lalu segera berdiri dengan canggung, keluar sebagai pasangan untuk jurit malam yang awalnya nggak terlalu menjadi perhatian. Meski beberapa orang cewek sempat deg-degan apakah Bu Seno bakal memasangkan Getta dengan salah seorang dari mereka. Tapi, pilihan Bu Seno memang tepat, memasangkan Getta dengan siswi pendiam seperti Molly.
Berdiri di depan orang-orang di barisan yang sama membuat, Molly sedikit malu. Ia memilih berada di belakang Getta sampai pembagian kelompoknya selesai.
Jonas dari kejauhan tampak mengeluh dengan pasangannya - si Amy gendut yang sepertinya nggak masalah di pasangkan dengan siapa pun termasuk orang seberisik Jonas yang sering bikin cewek-cewek gerah di dekatnya.
Sedangkan Chika, memperhatikan Molly yang menoleh sambil tersenyum padanya. Terlambat, Chika membalasnya dengan tersenyum simpul. Seperti ada yang mengganggu, ia tertunduk sejenak sebelum kembali pada Molly yang masih melihat ke arahnya. Chika agak sebal -entah kenapa, lalu nggak pernah menoleh lagi sampai kegiatan mulai.
****
Molly menguap dan tiba-tiba Getta cekikikan. Membuatnya malu, dan jurit yang terasa bisu tanpa suara menjadi kikuk. Selain suara langkah mereka nggak ada suara selain suara serangga malam yang kedengaran menggigil. Malam ini memang dingin, sejak mereka berjalan menyusuri jalan setapak gelap dengan sebuah senter, Molly nggak pernah mengeluarkan tangannya dari saku jaket tebalnya.
Tanpa sadar Molly menguap sambil menutup mulutnya dengan tangan. Sampai air matanya keluar. "Ini masih jam sembilan, kamu udah ngantuk?" tegur Getta di dalam pekikan suara serangga malam yang panjang dan bersahutan.
"Nggak peduli siang atau malam aku selalu ngantuk," jawabnya.
"Kenapa bisa kayak gitu sih? Heran...kamu emang suka tidur atau itu penyakit ?" tanya Getta lagi.
"Penyakit? Memangnya ada penyakit suka tidur?" balas Molly, suaranya pelan dan dalam, menahan suara detak jantungnya yang keras.
"Ada!" kata Getta. "ada lho, sakit langka yang bikin seseorang itu bisa tidur sampai berhari-hari. Nggak bangun-bangun!"
Molly tertawa lagi. "Oh ya?"
Getta mengangguk. "Kalau nggak salah namanya Sleeping Beauty Syndrome," jelasnya lagi.
"Memang ada ya penyakit kayak nama putri dongeng?"
Getta mengangkat bahu. "Mereka bilang sih gitu...," ia melirik Molly sebentar. "Jangan-jangan kamu sakit itu ya?"
Molly menggeleng. "Itu cuma karena kebiasaan kok...," katanya.
"Kamu suka tidur ya?"
Sambil mengambil nafas panjang, ia menatap Getta sebentar. "Dibilang suka tidur sih nggak juga...," ia menjelaskan dengan pelan, sarat renungan akan sesuatu yang membuatnya sedih. "Tidur itu... kayak ngelindungin aku dari hal-hal yang nggak ingin aku lihat atau rasain di kehidupan nyata..."
"Terus kalau kamu mimpi buruk gimana? Misalnya mimpi dikejar setan...
kan serem..."
Molly menghentikan langkahnya, lalu tersenyum lagi. "Mimpi nggak pernah bisa melukai atau membunuh. Seburuk apa pun yang aku lihat atau rasain di sana, begitu aku bangun semuanya pasti hilang. Tapi, kalau hal yang nggak diinginkan terjadi dalam kenyataan...," Molly nggak bisa melanjutkan kata-katanya.
Getta tampak menghembuskan nafas. "Ya udah, aku ngerti kok...," ujarnya. "Semua orang punya caranya masing-masing untuk menghadapi sesuatu... tapi mungkin aja kamu memang kena gejala itu deh..."
"Kamu ngawur ah!" Molly bertambah malu.
"Penyakit itu bahaya juga lho. Kalau kebiasaan, bisa-bisa kamu nggak sekolah lagi dan ketinggalan pelajaran..."
Molly terdiam. "Separah itu ya?"
"Makanya jangan suka tidur terus. Kamu suka yang lain kek, yang bikin kamu senang supaya nggak lihat hal-hal yang nggak diinginkan," ujarnya.
Mengatakannya memang mudah. Kata-kata seperti itu sudah sering diucapkan Chika namun nggak dapat menyentuhnya. Namun, entah mengapa ketika Getta yang mengatakannya, seperti memberi harapan baru.
"Suka yang lain?" Molly menatapnya heran dan Getta segera membuang muka dengan gugup.
Getta nggak pernah segugup ini berhadapan dengan seorang cewek.
"Aku...," Molly mencoba mengatakan sesuatu, kata-katanya tersangkut entah di mana. Akhirnya menyerah dengan tertunduk.
***
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!