Langit malam perlahan mulai beranjak. Memberikan tempat untuk sang mentari yang secara perlahan bersiap melakukan tugasnya memberikan kehangatan bagi penduduk bumi. Masih terlihat embun yang menggantung di ujung-ujung dedaunan. Beberapa orang masih betah terlelap dalam dunia mimpi, ada juga yang belum bersedia beranjak dari pembaringan empuknya meski mata mereka telah terjaga sepenuhnya dan ada sebagian lainnya sudah mulai disibukkan dengan rutinitas pagi mereka.
Hal terakhirlah yang berlaku bagi seorang gadis remaja berusia tujuh belas tahun, Haura Annisa. Gadis bersurai ekor kuda itu terlihat sangat lihai berkutat di dapur dengan alat tempur memasak bersama dengan seorang wanita paruh baya. Wanita tersebut tidak lain adalah ibu dari Haura, Bu Lastri namanya.
Dua wanita berbeda generasi terlihat sangat kompak mengolah bahan makanan untuk menyiapkan menu sarapan sang majikan. Benar, bahwa Bu Lastri adalah seorang Asisten Rumah Tangga di kediaman Sander.
Sejak satu tahun terakhir setelah meninggalnya sang suami yang bernama Hamzah, supir pribadi Tuan Liam Sander, sang tuan rumah mengajak Bu Lastri dan Haura untuk tinggal di kediaman rumahnya. Mengingat almarhum Pak Hamzah adalah orang yang baik dan jujur, maka hal itu merupakan salah satu bentuk kepedulian Tuan Liam kepada keluarga pak Hamzah. Hingga akhirnya wanita paruh baya itu memutuskan untuk menjadi salah seorang Asisten Rumah Tangga di rumah mewah tersebut.
Bukan hanya itu, Tuan Liam juga memberikan beasiswa pendidikan kepada Haura. Kini gadis remaja tujuh belas tahun tersebut bersekolah di Sekolah Menengah Atas milik Sander Group, Sander International High School.
Tuan Liam Sander adalah salah satu pengusaha penyiaran yang sukses. Beliau memiliki pribadi yang baik dan sangat bijaksana serta tegas terhadap suatu keputusan. Di rumah mewah tersebut, Tuan Liam hanya tinggal bersama seorang putra sulungnya yang bernama Zayn Sander. Laki-laki berusia dua puluh tiga tahun tersebut mempunyai tubuh tinggi yang atletis serta wajah yang rupawan. Tidak ketinggalan, Zayn juga sangat memahami dunia bisnis dengan baik.
Sementara itu putra bungsu Tuan Liam yang bernama Nevan Sander tinggal di Sydney. Selama sepuluh tahun sudah sejak Ibunya meninggal disaat usianya baru enam tahun dan usia sang kakak dua belas tahun mereka tinggal di Sydney bersama sang Grandma mereka. Sejak saat itu, Nevan hanya kembali ke Indonesia satu tahun sekali saat memperingati hari meninggalnya sang Ibu. Kini Nevan telah tumbuh menjadi remaja yang sangat sempurna. Selain wajahnya yang sangat tampan, dia juga merupakan remaja yang cerdas. Satu tahun terakhir ini Zayn telah kembali ke Indonesia untuk membantu bisnis keluarganya. Tinggallah si bungsu seorang diri bersama Grandma nya di Sydney.
\=\=\=\=\=\=\=
“Haura, udah jam enam tiga puluh, kamu siap-siap ke sekolah. Biar piring kotornya ibu yang cucikan. Jangan sampai terlambat,” kata Bu Lastri kepada Haura yang akan bersiap mencucikan piring kotor bekas mereka memasak.
“Nggak pa-pa, Bu. Haura gak bakalan terlambat,” gadis itu masih ingin menjalankan aksinya membersihkan peralatan memasak.
“Udah, tinggalin aja disitu. Biarkan Ibu yang bereskan. Lagi pula kamu sudah banyak membantu.” Kata Bu Lastri yang sedang mondar-mandir menata makanan di meja makan.
Haura masih belum juga beranjak dari posisinya yang sedang berdiri di depan tempat pencucian piring.
“Kenapa kamu masih disini, nak? Cepat kamu siap-siap. Ibu bisa beresin semuanya sendiri,” sambung Bu Lastri dengan memberikan senyuman hangat untuk putrinya tersebut. Dia tahu betul sifat Haura yang tidak menginginkan dirinya terlalu lelah dengan pekerjaan. Oleh karena itu, putrinya selalu ambil peran dalam urusan membantu pekerjaan rumah tangga di rumah mewah tersebut. Meskipun Bu Lastri sudah melarang Haura agar waktu belajarnya tidak terganggu, namu Haura tetap memberikan berbagai alasan untuk bisa membantu sang Ibu.
“Ya udah deh, Bu, Haura siap-siap dulu,” jawabnya. Remaja tersebut pun beranjak menuju paviliun belakang tempat dia dan Ibunya tinggal selama satu tahun terakhir.
Meskipun mereka tinggal di rumah Tuan Liam, akan tetapi mereka tidak bernaung di satu atap yang sama. Jika keluarga Sander tinggal di rumah utama, maka Bu Lastri dan Haura tinggal di paviliun belakang. Lokasinya tepat di belakang rumah utama. Ada beberapa paviliun di lahan bangunan tersebut untuk tempat tinggal beberapa Asisten Rumah Tangga.
...****************...
Setelah menghabiskan waktu kurang lebih dua puluh menit untuk mandi dan berpakaian, kini Haura telah terlihat rapi dengan seragam sekolahnya. Tidak butuh banyak waktu untuk gadis tujuh belas tahun tersebut bersiap-siap, karena memang Haura bukanlah remaja yang terlalu repot dengan penampilannya.
Sehari-hari, rambut indah miliknya hanya di kuncir ekor kuda. Wajahnya pun hanya dilapisi dengan bedak baby serta lip balm agar bibirnya tidak terlihat kering. Tidak ada make-up sama sekali. Begitulah dia. Tidak bisa di kategorikan penampilan sederhana. Hanya bisa dikatakan bahwa penampilannya biasa saja.
Gadis tersebut berdiri di depan cermin untuk melihat penampilannya untuk terakhir kali sebelum berangkat ke sekolah. “Udah cantik dan rapi. Saatnya berangkat,” monolognya kepada diri sendiri.
Haura pun mengayunkan langkahnya menuju rumah utama untuk berpamitan kepada sang Ibu.
“Bu, Haura udah siap,” suara Haura mengalihkan perhatian Ibunya yang terlihat sedang membuatkan kopi untuk Tuan Liam.
“Duh cantiknya anak gadis Ibu,” puji Bu Lastri melihat Haura sudah rapi dengan seragamnya. “Kamu sarapan dulu, Ra.”
“Gak usah, Bu. Haura bawa bekal aja, nanti makannya di sekolah sebelum bel masuk. Takut terlambat,” jawab Haura dengan memberikan senyum terbaiknya hingga memperlihatkan lesung pipi di kedua sisi wajahnya. Gadis itu terlihat sangat manis dengan lesung pipi tersebut.
“Tadi kamu bilang gak bakalan terlambat,” Bu Lastri menarik ujung hidung Haura dengan gemas. “Sebentar ya, Ibu siapkan bekal untuk kamu.” Bu Lastri pun beranjak menuju meja makan untuk meletakkan kopi Tuan Liam. Sesaat kemudian wanita tersebut kembali untuk menyiapkan bekal untuk anak gadisnya.
Setelah menerima pemberian bekal dari Ibunya, Haura pun berpamitan kepada sang Ibu. Tidak lupa dia mencium tangan dan kedua sisi wajah Bu Lastri.
“Haura berangkat ya, Bu. Mas ojol nya udah nunggu di depan.”
“Iya nak, hati-hati di jalan. Bilang sama mas ojol nya jangan ngebut-ngebut,” ucap Bu Lastri memperingatkan.
“Siap Bu,” jawab Haura dengan cepat sambil mengangkat tangannya seakan memberi hormat kepada Ibunya.
Begitulah Haura dan pagi yang selalu menemaninya.
...****************...
Hai... Ini karya pertama aku. Semoga suka ya...🥰🌹
Mohon dukungannya dengan cara tinggalkan like, komen, dan subscribe akun aku juga🥰🙏
Jangan lupa tambahkan ke rak buku favorit kalian🙏
Haura tiba di sekolah dengan menggunakan ojol seperti hari-hari biasanya. Hanya dirinya dan beberapa siswa lainnya yang berangkat ke sekolah tersebut menggunakan angkutan umum. Mereka semua adalah para siswa penerima beasiswa di sekolah itu.
Bagaimana dengan siswa lainnya? Tentu saja siswa lainnya yang memang berasal dari kalangan atas berangkat ke sekolah menggunakan mobil pribadi, di antar supir pribadi atau juga menggunakan motor sport keren untuk sebagian siswa laki-laki.
Sungguh, perbedaan kelas sosial sangat terlihat di tempat itu. Mengingat memang yang mengenyam pendidikan di SMA milik keluarga Sander rata-rata dari kalangan pengusaha, pejabat atau pun orang-orang dari kalangan atas lainnya.
Gadis berlesung pipi tersebut berada di kelas XI IPA 2. Haura hanyalah siswa biasa. Dia tidak termasuk dalam kategori siswa yang populer karena latar belakangnya sebagai penerima beasiswa. Akan tetapi nilai akademik Haura cukup memuaskan. Dia memperoleh peringkat kelima di kelasnya.
“Ra…. Haura…” suara seorang perempuan memanggil namanya. Haura menoleh ke sumber suara yang berasal dari daerah parkiran. Disana sudah berdiri dua orang sahabatnya Luna dan Adel. Luna adalah putri seorang pengusaha property sedangkan Adel adalah putri seorang pengacara terkenal.
“Hai Luna, hai Adel,” sapa Haura kepada kedua sahabatnya. Sejak pertama sekali bersekolah di SMA tersebut, Luna dan Adel sudah menjadi sahabat baik Haura. Sementara itu, Luna dan Adel memang sudah menjadi sahabat sejak mereka duduk di bangku Sekolah Menengah Pertama.
Terkadang Haura merasa heran mengapa kedua sahabatnya tersebut mau berteman dengannya. Karena memang kehidupan sosial mereka berbeda. Tetapi setiap Haura bertanya kepada mereka, maka kedua sahabat Haura tersebut akan mengeluarkan jawaban yang menohok, “Memang kalau berteman harus tanya dulu ya berapa saldo di ATM kamu? Atau orang tua kamu punya usaha apa? Haura, kita ini mau berteman sama kamu, bukan berbisnis. Paham?”itulah yang selalu mereka ucapkan.
Sejak saat itu Haura tidak pernah bertanya tentang mengapa mereka berdua mau berteman dengannya. Memang Haura akui bahwa Luna dan Adel tidak seperti siswa-siswa lainnya. Mereka tulus terhadap dirinya. Dan Haura sangat bersyukur akan hal itu.
“Kamu belum sarapan?” Tanya Adel melihat paper bag yang di pegang oleh Haura. Karena dia sudah terbiasa melihat Haura membawa bekal hampir setiap paginya.
“Belum,” jawab Haura singkat sambil tersenyum memperlihatkan deretan gigi putihnya.
“Kok kamu jarang banget sarapan di rumah sih, Ra?” kini Luna ikut membuka suara. Kadang mereka merasa heran kenapa seorang Haura selalu tidak sempat sarapan di rumah.
“Biasa, aku sibuk kalau pagi,”jawab Haura nyengir.
“Sibuk apaan? Selalu jawaban kamu sibuk, tapi gak pernah bilang sama kita sibuknya apaan. Penasaran tau,” ucap Luna lagi. Setiap dirinya atau Adel bertanya tentang kegiatan Haura di pagi hari, selalu saja jawaban sahabatnya itu sibuk. Entah sibuk karena apa mereka tidak tahu.
“Iya Ra, kamu jangan main rahasia-rahasiaan deh sama kita. Emang kamu sibuk apaan sampai sarapan aja gak sempat,” Adel ikut menimpali dengan pertanyaan yang sama.
“Aku punya pekerjaan ekstrim setiap pagi. Kalian gak bakalan percaya kalau aku ceritain,” jawab Haura setengah berbisik kepada kedua sahabatnya dengan wajah seolah bergidik ngeri.
“Emang kerja kamu apaan?” Kini Luna ikut berbisik seolah-olah memang pekerjaan yang Haura lakukan memang sebuah rahasia yang tidak boleh di dengar oleh orang lain.
“Kerjaan aku mandiin kambing. Kebayang kan gimana repot nya?” Dengan entengnya Haura menjawab pertanyaan tersebut hingga membuat kedua sahabatnya memekik karena terkejut.
“What?” Luna dan Adel kaget secara bersamaan.
Melihat temannya yang sangat kaget dengan jawabannya, Haura pun tertawa dengan nyaring hingga menarik perhatian siswa lainnya menatap ke arah mereka bertiga.
“Ahahaha... serius amat kalian nyimaknya,” Haura terus tertawa melihat ekspresi kedua sahabatnya tersebut.
“Sekalian aja kamu bilang kalau kerjaan kamu sikat gigi buaya. ‘Kan lebih ekstrim,” Adel terlihat sewot dengan jawaban yang diberikan Haura.
“Kebetulan kandang buaya di rumah aku belum selesai dibangun. Ntar kalau udah siap, aku bakal ngajak kalian untuk nyikat gigi buaya." Gadis itu terlihat begitu menikmati mengerjai kedua sahabatnya. "Buaya darat maksudnya,” tambah Haura khas dengan jawaban konyolnya.
“Kalau itu aku mau ikutan. Apalagi buaya daratnya ganteng,” Luna pun ikut nyambung dengan pembicaraan unfaedah kedua sahabatnya tersebut.
“Itu sih maunya kamu. Dasar.” Adel tahu betul bahwa sekarang jiwa centil Luna mulai bangkit membayangkan buaya darat ganteng dalam dunia imajinasinya.
“Lagian nih, Ra, kenapa sih kamu main rahasia-rahasiaan dari kita?” tanya Adel heran kepada sikap Haura yang seolah menutup diri dengan kehidupan pribadinya.
“Rahasia gimana maksud kamu, Del? Perasaan aku gak nyembunyiin rahasia apapun dari kalian berdua?” Haura balik bertanya. Sebenarnya Haura paham arah pertanyaan yang diberikan Adel pada dirinya.
“Gak main rahasia gimana. Buktinya kamu gak pernah kasih kita izin untuk main ke rumah kamu. Kenapa sih, Ra,” Adel merasa benar-benar penasaran dengan kehidupan sahabatnya Haura. “Apa kamu malu dengan keadaan rumah kamu? Kamu tenang aja, Ra. Kita tetap akan jadi sahabat kamu bagaimana pun kehidupan kamu,” tegas Adel lagi.
“Kalau ini, aku juga setuju sama Adel. Kenapa kamu gak pernah kasih tau ke kita dimana rumah kamu? Perasaan kita udah sahabatan satu tahun lebih, tapi kita gak pernah main ke rumah kamu,” pertanyaan serupa pun diberikan oleh Luna yang juga merasa aneh dengan sikap Haura yang tidak pernah mengizinkan dirinya dan Adel setiap kali ingin main kerumahnya.
“Nanti suatu hari aku pasti bakal ajak kalian main ke rumah aku. Aku janji. Tapi suatu hari nanti. Bukan karena aku malu dengan kondisi tempat tinggal aku. Cuma waktunya aja yang belum tepat.” Haura bingung harus menjelaskan bagaimana kepada kedua sahabatnya. Bagaimana bisa dia mengajak Luna dan Adel untuk main ke rumahnya, sementara statusnya dan ibunya hanyalah Asisten Rumah Tangga di rumah keluarga Sander. Sungguh, Haura cukup tahu diri untuk tidak mengajak teman-temannya ikut ke tempat tinggalnya. Dia tidak mau mengganggu ketenangan si tuan rumah.
Jika Luna dan Adel memaksa untuk mengantarnya pulang, Haura hanya meminta diantar sampai di depan komplek perumahan, selebihnya dia memilih jalan kaki menuju tempat tinggalnya. Meskipun kedua sahabatnya memaksa, dia akan berusaha memberi pengertian kepada mereka. Hingga sampai sekarang kedua sahabat Haura tidak tahu persis dimana tempat tinggalnya.
“Suatu harinya pakai titik kan, Ra?” tanya Luna.
“Iya, pakai titik. Aku janji.” Haura tersenyum manis kepada kedua sahabat terbaiknya. Suatu hari nanti jika aku udah punya rumah, aku pasti akan ajak kalian main ke rumah aku, batin Haura.
Selama ayah Haura masih hidup, Pak Hamzah memiliki tabungan yang cukup untuk membeli sebuah rumah sederhana. Akan tetapi ketika sang ayah meninggal dan Tuan Liam menawarkan agar Bu Lastri dan Haura untuk tinggal di rumah mereka, maka Bu Lastri menerima tawaran tersebut dengan senang hati. Sehingga tabungan yang ditinggalkan oleh Almarhum suaminya bisa digunakan untuk biaya pendidikan Haura ke perguruan tinggi. Bu Lastri dan Pak Hamzah sangat ingin Haura menjadi seorang dokter. Itulah cita-cita kedua orang tua Haura.
“Udah ah… nanti aja keponya. Ayo masuk kelas, aku mau sarapan. Takut keburu bel masuk,” Haura pun menggandeng tangan kedua sahabatnya. Kini gadis mungil tersebut berjalan di tengah kedua sahabatnya yang mempunyai tinggi tubuh yang ideal. Ekor kuda milik Haura pun bergerak dengan indah mengikuti langkah kaki pemiliknya.
Ya, Haura tidak pernah menceritakan tentang kehidupan pribadinya dan pekerjaan orang tuanya kepada kedua sahabatnya. Bukan karena dia malu, tapi Haura tidak suka di kasihani.
Baginya setiap orang mempunyai jalan hidup masing-masing. Dan beginilah jalan hidupnya. Dia hanya tinggal menikmati dan mensyukuri apapun pemberian Tuhan. Haura hanya ingin menikmati masa remajanya bersama sahabat-sahabat terbaiknya. Tanpa ada tatapan iba kepada dirinya. Itulah alasannya kenapa Haura tidak pernah mau menceritakan tentang kehidupan pribadinya kepada Luna dan Adel.
Hanya penulis pemula.... Mohon dukungan dan komennya.
Siswa Baru
Bel istirahat pun berbunyi, semua siswa siap menuju ke lokasi favorit masing-masing. Ada yang menuju kantin, perpustakaan, dan ada juga sebagian lainnya yang betah berada di kelas mereka.
“Kayaknya bakal ada siswa baru deh di sekolah kita,” ujar Haura ketika mereka berjalan menuju kantin.
“Dapat info dari mana, Ra?” tanya Adel
“Tadi waktu aku ke kantor guru, aku dengar kata guru-guru kalau minggu depan bakal ada siswa baru,”Haura menceritakan kepada kedua sahabatnya perihal info yang dia dapat ketika membantu Miss Sarah mengantar buku ke Ruang Guru.
“Cewek atau cowok?” tanya Luna penasaran.
“Kalau gak salah cowok,” jawab Haura.
“Kita liat aja nanti cewek atau cowok. Atau bisa jadi kan diantara cewek atau cowok,” Adel ikut menimpali pembicaraan Haura dan Luna.
Mereka bertiga pun tertawa karena perkataan Adel.
“Yang penting sekarang kita fokus ke tujuan awal, Kantin. Peliharaan aku di dalam perut udah pada demo minta jatah,” ujar Luna.
“Iya… Iya. Ini kan kita mau jalan ke kantin,” ujar Haura
“Buruan gitu jalannya. Aku beneran lapar.” Luna pun menarik tangan kedua sahabatnya agar mempercepat langkah mereka.
“Makan mulu yang kamu ingat,” celetuk Adel. Di antara mereka bertiga, Luna paling jago dalam urusan menghabiskan makanan meskipun tubuhnya langsing.
“Makan itu untuk hidup, Del. Demi kelangsungan hidup,” protes Luna.
“Kalau kamu mah hidup buat makan,” jawab Adel. Si mulut pedas level mampus.
“Bodo amat, yang penting kenyang,” jawab Luna cuek.
Sementara itu Haura hanya menggeleng-gelengkan kepala saja melihat perdebatan yang menjadi rutinitas kedua sahabatnya itu.
Di kantin Haura hanya memesan jus jeruk. Karena memang dia masih kenyang akibat ibunya mengisi bekal sarapan lebih banyak dari porsi biasanya. Alhasil kenyangnya masih awet sampai jam istirahat. Begitu pun Adel, dia hanya memesan kentang goreng dan jus jeruk.
Sementara Luna langsung memesan tteokbokki, ramyeon dan kentang goreng, tidak ketinggalan segelas jus jeruk dan sebotol air mineral.
“Seriusan Lun, kamu bisa habisin ini semua?” Haura takjub melihat susunan makanan yang dipesan oleh Luna.
“Pasti habis dong, Ra. Kamu tenang aja,” jawab Luna dengan sangat yakin. “Kalian jangan minta ya. Kalau mau pesan sendiri,” sambungnya
“Gak bakalan, Lun. Tenang aja. Aku masih kenyang. Lagian di perut aku gak ada container penyimpanan makanan,” ujar Haura enteng.
Mendengar hal tersebut Luna sampai tersedak oleh makanannya ketika mengunyah.
Haura pun mengambilkan botol air mineral dan menyerahkannya kepada Luna. “Pelan-pelan makannya. Gak ada yang rebut makanan kamu juga.”
“Lama-lama mulut kamu udah kayak Adel ya, Ra. Kayak sambel ulek.”
“Bedalah. Kalau aku sambel ulek level biasa. Sedangkan Adel sambel ulek level luar angkasa.” Ocehan Haura membuat Adel tergelak.
“Hahahaha…. Jujur banget kamu, Ra.” Ucap Adel sambil merangkul pundak Haura yang duduk tepat di sebelahnya. “Kamu memang sahabat aku, Ra.”
Mendengar dua sahabatnya kompak menertawakannya, Luna tidak mau ambil pusing. Karena dia tahu bahwa mereka hanya bercanda. Luna pu melanjutkan makannya.
Ketiga remaja itu asik dengan obrolan mereka. Terdengar candaan yang diiring tawa dalam pembicaraan mereka.
Sesaat kemudian perhatian ketiganya teralihkan karena di kantin kedatangan murid yang paling di idolakan di sekolah tersebut. Bukan hanya Haura, Luna dan Adel yang memperhatikan mereka, akan tetapi atensi seluruh penghuni kantin saat itu tertuju kepada mereka.
Mereka adalah Gian, Niko, Rhea dan Bella.
Gian Sander, remaja laki-laki berusia tujuh belas tahun. Memiliki wajah yang tampan, tubuh tinggi dan atletis serta pesonanya yang mematikan membuatnya menjadi idola pertama di sekolah tersebut. Kapten tim
basket idaman para kaum hawa Sander International High School. Julukan playboy pun melekat padanya. Hampir semua siswi cantik di sekolah itu pernah menjadi pacarnya. Jangan tanyakan bagaimana bisa? Karena tanpa diminta pun oleh Gian, para siswi tersebut bersedia menjadi pacar Gian.
Beda halnya dengan Niko Adhitama. Remaja yang usianya sama seperti Gian. Hanya saja Niko lahir tiga bulan lebih cepat daripada Gian. Jika Gian adalah si playboy dengan wajah pangeran, maka Niko adalah si kaku
berwajah tampan. Dia hampir tidak tersentuh. Oleh karena itu, semua siswa di sekolah tersebut sangat penasaran padanya. Niko juga dikenal sebagai siswa cerdas yang penuh karisma. Dia merupakan ketua broadcasting club di sekolah tersebut. Tidak seorang pun yang tahu siapa yang menjadi pacar seorang Niko. Karena memang Niko tidak pernah dekat dengan perempuan mana pun kecuali Rhea dan Bella.
Meskipun berbeda karakter, Gian dan Niko merupakan sahabat baik. Selain bersahabat, mereka juga merupakan saudara sepupu.
Si tuan putri Sander International High School, Rhea Putri Pradipa. Jika Gian dan Niko adalah idola kaum hawa, maka gadis cantik bak model tersebut menjadi idola kaum adam. Wajahnya yang cantik selalu saja menjadi pusat perhatian semua siswa laki-laki. Akan tetapi tidak ada satupun yang berani mendekatinya, karena mereka cukup tahu diri mengingat Rhea adalah anak tunggal dari keluarga Pradipa yang merupakan pengusaha sukses dan salah satu pemegang saham dari Sander Group.
Terakhir adalah Bella Ayu Mahesa. Putri seorang Direktur Rumah Sakit Swasta. Remaja cantik tersebut adalah sahabat baik Rhea. Mereka sudah bersahabat lama, karena Ibu Bella yang merupakan seorang dokter adalah dokter pribadi keluarga Pradipa.
“Wah... Niko. My love,” Luna sangat terpesona dengan ketampanan Niko. Sudah menjadi rahasia umum, bahwa sejak dulu Luna sangat mengidolakan Niko. Hingga dia ikut mengambil ekskul broadcasting demi dekat dengan seorang Niko yang merupakan ketua broadcasting club. “Kalau kayak gini, kapan aku bisa move on dari kamu?” Luna menopang dagunya menggunakan kedua tangan. Matanya masih tertuju ke arah Niko dan teman-temannya
“Kamunya aja yang lebay. Gak capek apa, suka sama orang yang gak pernah liat kamu,” Adel buka suara melihat tingkah Luna yang terlalu mengidolakan Niko.
“Ya nggak lah. Lagian nih ya, Niko itu bukan gak liat aku, tapi belum liat aja,” balas Luna sambil berbisik agar kata-katanya tidak di dengar oleh sang Idola.
“Itu sama aja,” Adel memutar bola matanya kaena Luna selalu bersikap konyol setiap melihat Niko.
Tanpa mereka sadari yang menjadi bahan perdebatan antara Luna Adel justru tersenyum dengan sangat tipis ke arah sahabat mereka, Haura.
Melihat Niko tersenyum kearahnya, Haura pun membalas senyuman siswa tampan tersebut sama seperti bagaimana Niko tersenyum kepadanya. Dia tidak ingin hal menjadi bahan perhatian sahabatnya. Haura takut kedua sahabatnya akan salah paham. Terutama Luna.
Bukan kali ini saja Niko tersenyum padanya. Sering kali setiap Haura bertemu Niko yang sedang seorang diri, remaja laki-laki itu selalu menyapa dirinya. Haura tidak pernah salah paham terhadap sikap baik Niko. Dia cukup paham alasan laki-laki itu bersikap baik kepadanya.
“Eh... Ra, kamu kenapa? Liatin apaan?” tanya Adel yang melihat mata Haura tertuju ke arah lain.
“Ehhh... aku gak liat apa-apa, kok.” Haura tersenyum kaku mendapat pertanyaan tiba-tiba dari Adel.
“Jangan bilang kamu liatin Niko ya, Ra.” Luna menatap menyelidik ke arah Haura. “Kamu gak boleh liatin Niko. Karna dia cuma milik aku,” tambahnya lagi dengan senyum-senyum malu khas remaja yang sedang jatuh cinta.
“Sejak kapan Niko jadi hak paten kamu?” Adel membalas sengit melihat tingkah laku Luna yang malu-malu tidak jelas.
“Sejak dulu lah,” balas Luna sambil menjulurkan lidahnya mengejek Adel.
“Kamu tenang aja, Lun. Niko milik kamu. Forever,” Haura ikut buka suara dengan berbisik kearah Luna.
“Kamu memang terbaik, Ra,” Jawab Luna dan memberikan dua jempol untuk Haura.
Adel hanya bisa menepuk jidatnya melihat tingkah Luna yang bagaikan anak SD yang melihat ice cream ketika ada Niko di sekitarnya. Sebahagia itu dia.
Sementara itu Gian asik menebar pesona kepada anak-anak yang terus saja melihat kearahnya. Jangan lupakan Rhea, gadis remaja itu tidak pernah peduli pada berpasang-pasang mata yang sejak tadi menatap kearahnya dengan kagum. Begitulah dia yang hanya bersikap ramah pada sahabatnya saja.
\=\=\=\=\=\=\=
“Kalian serius kalau Nevan beneran balik ke Indo?” terdengar Rhea menanyakan seseorang yang bernama Nevan kepada Gian dan Niko.
“Hmmmm....” hanya gumaman yang diberikan oleh Niko sebagai jawaban atas pertanyaan Rhea.
“Apaan sih lo. Jawabnya gitu doang.” Rhea mencebikkan bibirnya mendengar jawaban irit kata dari Niko.
“Maksud lo Nevan anak Om Liam?” kini Bella balik bertanya kepada Rhea.
“Iya. Nevan mana lagi sih, Bel. Kalau bukan Nevan yang itu,” jawab Rhea.
“Serius Rhe. Bahkan kak Zayn udah daftarin Nevan ke sekolah kita,” ujar Gian.
“Beneran, Gi,” Rhea nyaris berteriak karena bahagia mendengar jawaban yang Gian berikan.
“Sebahagia itu lo mendengar Nevan balik?” tanya Gian.
“Iya dong. Gue kangen banget sama dia,” jawab Rhea dengan wajah bahagia. Bagaimana tidak, karena Nevan adalah cinta pertamanya.
“Ck... dasar cewek. Segitunya lo cinta sama Nevan,” sindir Gian.
“Daripada barisan cewek lo. Masih mau aja di ajak pacaran padahal mereka tahu kalau lo gak cinta sama mereka,” balas Rhea tidak mau kalah.
“Gue gak maksa mereka buat jadi pacar gue. Merekanya aja yang ngejar-ngejar gue,” Gian tidak mau kalah dan masih saja membela dirinya.
“Dasar lo nya aja yang playboy,” kini Bella ikut menyindir Gian.
Merasa tidak terima dengan cap playboy yang memang benar adanya, Gian pun terus memberikan jawaban-jawaban aneh dengan sindiran kedua sahabatnya itu. “Gue bukan playboy, cuma ketampanan gue memang di atas rata-rata. Jadi wajar kalau banyak cewek ngantri buat jadi pacar gue.”
“Lagian gue ini normal. Sebagai cowok gue punya pacar,” tambah Gian. “Yang gak normal itu, Niko. Kalian liat aja, mana pernah Niko punya pacar,” ledek Gian kepada sahabatnya Niko.
“Gue bukan gak punya pacar. Tapi gue lagi cari yang benar-benar tepat. Gak kayak lo, kambing berlipstik pun lo pacarin,” jawaban menohok dari seorang Niko.
Mendengar ucapan Niko, sontak saja membuat Rhea dan Bella tertawa terbahak-bahak, sambil memegang perut mereka.
\=\=\=\=\=\=\=
Di sisi lain, Haura cs sayup-sayup mendengar pembicaraan Niko dan teman-temannya. Luna dan Adel pun ikut tertawa diam-diam mendengar kata pamungkas dari seorang Niko.
Lain halnya dengan Haura. Dia masih mencerna tentang nama siswa baru yang akan bergabung dengan sekolah mereka. Nevan. Apakah itu Nevan yang dia kenal? Kalau iya, akan seperti apa nantinya? Pertanyaan itu terus bermunculan dalam fikiran Haura.
Kini fikiran Haura tertuju pada sebuah nama yang berhasil mengusiknya. Ada rasa bahagia dan cemas datang secara bersamaan. Nevan, sebuah nama yang tidak pernah di dengarnya lagi sejak sepuluh tahun lamanya.
Hai readers... Maaf ya kalau banyak typo. Jangan lupa like and comment...
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!