Dengan rambut yang belum tersisir rapi, seragam yang tampak kusut, dan sepatu bagian belakang yang terinjak begitu saja karena tak punya waktu untuk memakainya dengan benar, Cindy berlari menyusuri trotoar menuju halte bus yang jaraknya tinggal beberapa meter lagi.
Seperti biasa, keadaan jalan raya tampak macet. Suara klakson pun sedari tadi saling bersahutan, seakan tak ada yang mau mengalah satu sama lain. Semuanya sama-sama ingin cepat. Dan itu berhasil membuat pagi Cindy menjadi semakin buruk hingga membuatnya mengomel dalam hati.
Kekesalan Cindy kian bertambah saat gadis itu hampir saja ditabrak oleh motor yang nekat melintasi trotoar.
"WOIIII! JALAN INI KHUSUS UNTUK PEJALAN KAKI! BUKAN UNTUK ORANG GOBLOK KAYAK LO!" Teriak Cindy melampiaskan emosinya. Dirinya masih ingin mengoceh lebih banyak lagi, tapi langsung sadar bahwa ia tak punya waktu untuk itu. Kalau saja tak memikirkan tentang sekolah, mungkin pengendara motor itu sedang ia kejar sekarang juga.
Fokus dengan tujuan, Cindy pun mempercepat larinya saat melihat bus tujuan arah sekolahnya sudah berhenti dan ada banyak orang yang mulai memasukinya. Hanya dalam beberapa detik, ia telah berada di dalam bus dan beruntungnya masih bisa mendapatkan tempat duduk. Gadis itu akhirnya memangku tasnya lalu mengambil tisu untuk mengelap peluhnya. Setelah itu ia merapikan penampilannya, menyisir rambut panjangnya dengan tangan, mengusap seragamnya agar tak terlalu kusut, membenarkan sepatunya, dan tak lupa memakai name tag yang bertuliskan namanya; Cindy Cenora.
"Anjir! Apes banget dah gue hari ini! Gara-gara kebablasan nonton drakor deh nih!" Gumam Cindy kali ini mengomel secara terang-terangan. Walaupun sekarang ia sudah bisa duduk dengan tenang, tapi ia masih merasa kesal karena harus memulai paginya dengan begitu keruwetan. Salahkan dirinya yang memang baru tidur pada jam empat pagi. Padahal ia sendiri tahu bahwa hari ini masih hari Kamis dan belum waktunya libur.
Tadinya Cindy sudah berniat untuk bolos saja. Namun otaknya langsung memperingatinya bahwa ulangan matematika akan diadakan pagi ini. Daripada harus mendengar ocehan Ibu jika wali kelasnya mengadukan dirinya tidak masuk sekolah, maka lebih baik ia datang dalam keadaan acak-acakan.
Sebenarnya Cindy jarang datang ke sekolah dalam kondisi kacau seperti ini. Namun karena kebiasaannya selalu menonton drama Korea sampai lupa waktu, maka inilah akibatnya. Jangankan untuk menggosok baju, ia bahkan hanya sempat menyikat gigi, mencuci muka, dan menyemprotkan banyak parfum ke badannya.
Persetan dengan itu semua, sejujurnya Cindy tidak peduli dengan penampilannya. Karena statusnya sedang jomblo, alias tidak punya pacar ataupun gebetan. Jadi ia tak perlu dandan rapi-rapi agar bisa terlihat cantik di mata mereka.
Napas Cindy kini sudah teratur. Ia pun kembali memasukkan tisu ke dalam tasnya lalu baru sadar bahwa dirinya lupa membawa buku pelajaran.
"Bagus, Cindy. Lo emang murid paling teladan," gumamnya menyindir dirinya sendiri.
"Hah? Serius? Itu kejadiannya di SMA mana?"
"SMA Adhigana."
Cindy langsung menoleh ke arah dua orang perempuan yang duduk di sebrangnya. Mereka sedang berbincang sembari melihat ke satu handphone. Apakah ia salah dengar? Bukankah barusan mereka menyebut nama sekolahnya?
Benak Cindy tentu langsung bertanya-tanya; ada apa?
Karena penasaran, Cindy pun segera mencari handphone-nya. Untung saja ia sempat membawanya dan tak lagi tertukar dengan remote AC seperti tempo lalu. Ia segera membuka aplikasi chat dan melihat grup kelasnya yang pagi-pagi sudah ramai.
Awalnya isi chat grup tampak biasa-biasa saja. Namun ketika tangan Cindy semakin scroll ke bawah, alisnya langsung mengernyit saat melihat pesan dari salah satu temannya.
Alya
PAGI INI KAK ANITA DITEMUKAN MENINGGAL DI LAPANGAN SEKOLAH KARENA JATUH DARI ATAP GEDUNG
Cindy jelas syok membacanya. Anita merupakan kakak kelas dua belas yang tentu saja ia kenal. Karena masih tak percaya, ia pun kembali scroll ke bawah hingga pada akhirnya menemukan info yang lebih lengkap lagi.
Ray
Gue udah di sekolah. Di depan gerbang rame banget sama wartawan. Kak Anita ditemuin pak satpam jam 4 subuh dalam keadaan yang mengenaskan, di lapangan sekolah. Tapi sekarang TKP nya udah dibersihin. Kondisi sekolah agak gak kondusif. Ada banyak polisi dan wartawan yang lalu lalang.
Untuk yang baru datang hati-hati ya, sebisa mungkin hindari wartawan. Karena tadi Bu Devina minta ke gue untuk peringatin kalian jangan ngomong sembarangan tentang hal ini ke media. Kita belum tau apa-apa, jadi cukup diam aja.
Setelah membaca pesan tersebut, seketika ada banyak pertanyaan yang bergelantungan di benak Cindy. Kapan Anita jatuh? Kenapa dia bisa jatuh? Apa penyebabnya? Dan lain sebagainya. Ia pun langsung mengetikkan pertanyaan-pertanyaan tersebut, mana tau ada yang bisa menjawab. Tapi tiba-tiba ia mengingat suatu hal.
*Pasalnya kemarin, Cindy kembali ke sekolah pada jam empat sore karena handphone*-nya yang tertinggal di laci meja. Ia baru sadar saat sudah sampai di rumah. Tadinya ia ingin membiarkannya saja. Namun Ibu menyuruhnya untuk mengambil handphone-nya sebelum maghrib tiba.
Saat ia sudah berada di depan gerbang sekolah, tentu saja keadaan sangat sepi. Untungnya gerbang belum ditutup. Namun di dalam pos satpam tidak ada orang. Karena tak mau berlama-lama, Cindy pun segera berjalan menuju kelasnya.
11 IPA 3, kelasnya, ada di lantai 3. Itu artinya Cindy harus cepat-cepat menaiki tangga menuju ke sana. Namun langkahnya jadi memelan saat mendengar suara perempuan yang menggema, sepertinya perempuan tersebut tengah berbicara dengan seseorang. Karena penasaran, Cindy pun diam-diam dari belakang mencoba untuk melihat siapa mereka.
Waktu itu Cindy hanya bisa melihat seorang perempuan yang masih memakai seragam dengan atasan yang dibalut cardigan berwarna lilac dan juga tas yang disandangnya mempunyai warna yang sama. Cindy tak tahu siapa dia. Tapi sekarang setelah mengingatnya lagi, Cindy baru sadar, perempuan itu pasti Anita. Karena Anita memang dari dulu suka memakai barang berwarna lilac.
Dan di samping Anita ada seorang laki-laki yang memakai seragam juga, namun atasannya dibalut dengan jaket berwarna hitam. Ia tidak memakai tas. Suaranya juga tak terdengar. Akan tetapi, dari tubuhnya Cindy merasa sangat familiar.
Sayangnya karena tak ada yang mencurigakan, Cindy pun tak mau ambil pusing dan kembali fokus dengan tujuannya yaitu mengambil handphone-nya. Setelah selesai dengan urusannya, Cindy langsung pergi meninggalkan sekolah. Saat melewati pos satpam, keadaan masih sama seperti ia datang tadi. Kosong, tak ada satu orang pun di sana.
"Gak mungkin kan kalau..." Cindy terdiam, tak melanjutkan gumamannya. Sebenarnya ia tidak ingin mempercayai apa yang sedang ia duga saat ini. Tapi semakin lama ia mencerna, semakin pikirannya mengarah ke sana.
Cindy pun kembali fokus dengan handphone-nya dan mengurungkan niatnya untuk bertanya di grup. Ia lebih memilih membuka forum berita online. Di sana terdapat headline besar yang berjudul;
SEORANG SISWI DITEMUKAN MENINGGAL DUNIA DI SEKOLAHNYA
Detak.com - Seorang siswi ditemukan meninggal dunia di lapangan sekolahnya dalam keadaan yang mengenaskan. Satpam sekolah menemukannya pada Kamis (7/10) sekitar jam empat subuh pagi.
Untuk saat ini masih belum diketahui apa penyebabnya. Namun pihak polisi telah menyatakan bahwa korban meninggal karena terjatuh dari atap gedung sekolah.
Sedangkan pihak sekolah, yaitu SMA Adhigana, masih bungkam tentang kejadian ini dan belum memberikan pernyataan apapun.
Cindy hanya membacanya setengah karena tiba-tiba ia mendapatkan pesan dari grup yang anggotanya adalah teman-teman dekatnya di sekolah, yaitu Sania, Dafin, Zaferino, dan Fathan.
Sania
Guys kalian udah pada di sekolah blm? @Cindy @Dafin @Fathan @Zaferino
Dafin
Ini gue lg di perpus, balikin buku. Kenapa emang San?
Sania
Gapapa, gue lagi feeling bad aja :(
Dafin
Karena kak Anita?
Sania
Iyaa
Zaferino
Emang lo dimana San?
Sania
Di kantin. Temenin gue dong
Zaferino
Otw
Dafin
Otw
Fathan
Gue blm di sekolah nih. Kalian udah tau belum kenapa kak Anita bisa jatuh dari atap?
Dafin
Belum tau. Tapi ada yang bilang karena bunuh diri
Tadinya Cindy ingin mengetik sesuatu untuk memberitahu kejadian kemarin—yang dimana ia sempat melihat Anita bersama seorang laki-laki pergi ke atap gedung sekolah—kepada teman-temannya. Namun setelah menimbang-nimbang banyak hal, ia langsung mengurungkan niatnya dan memutuskan untuk tidak membalas apa-apa.
Mata Cindy kini mengarah keluar jendela. Sebentar lagi ia akan sampai di sekolahnya. Dan ia sudah bisa membayangkan betapa sesaknya keadaan sekolah.
Namun tentu saja ia tak bisa tak ikut peduli. Nyatanya dirinya saat ini memegang kunci besar dalam kasus kematian Anita. Mungkin jika kasus ini diinvestigasi lebih jauh lagi, ia bisa dijadikan sebagai saksi.
Cindy pun mencoba untuk mengingat setiap detail kejadian kemarin. Ia yakin seratus persen, penyebab Anita jatuh dari atap gedung bukanlah karena bunuh diri. Sebaliknya, Anita sengaja didorong oleh laki-laki yang bersama dengannya waktu itu hingga dirinya jatuh ke bawah dan meninggal dunia.
Di benaknya kini tinggal satu pertanyaan;
Siapa pelakunya?
Dua minggu dengan cepat berlalu sejak Anita ditemukan meninggal karena terjatuh dari atap gedung sekolah. Kabar tersebut bukan hanya jadi konsumsi warga SMA Adhigana saja, tapi juga seluruh masyarakat Indonesia. Bahkan pada hari itu, karena kondisi yang sudah tidak kondusif lagi, sekolah sempat diliburkan selama dua hari demi menghindari kejaran wartawan.
Di minggu pertama, kabar kematian Anita tentu saja masih menjadi trending topic. Entah itu di sekolahan ataupun media massa. Semua orang pun sibuk menerka-nerka apa yang sebenarnya terjadi dengan Anita dan apa yang menyebabkan ia jatuh dari atap gedung sekolah.
Pasalnya Anita merupakan siswi kelas tiga yang dikenal oleh seluruh angkatan. Selain karena dirinya cantik, pengikutnya juga banyak di sosial media. Kepribadiannya pun menyenangkan dan punya banyak teman. Namun memang, sejak dirinya menginjak kelas dua belas, sifatnya jadi berubah seratus delapan puluh derajat dan sering bermasalah dengan orang. Banyak yang mengira bahwa perubahan tersebut dikarenakan Anita tiba-tiba saja masuk ke dalam geng pembuat onar yang diketuai oleh seorang pentolan sekolah bernama Gery.
Dan di tengah situasi seperti ini, tersiar gosip yang menyatakan bahwa Anita memutuskan untuk bunuh diri karena dirinya dijauhi dan juga di-bully oleh teman-teman satu geng nya sendiri. Karena dalam beberapa bulan terakhir, Anita menjalani kehidupan di sekolahnya sendirian tanpa ada teman. Dan beberapa hari sebelum ia ditemukan meninggal pun, ia sempat membuat instastory yang menyatakan bahwa dirinya tengah depresi.
Namun mereka semua yang namanya terlibat dalam gosip 'penyebab Anita jadi depresi' langsung membantah hal itu. Mereka pun memperlihatkan kesedihan mereka atas kematian Anita, entah itu di real life ataupun sosial media. Akan tetapi, banyak yang merasa bahwa itu palsu. Mereka tak benar-benar berduka karena tepat 7 hari setelah kematian Anita, mereka malah mengadakan party di sebuah club.
Dan sekarang masuk ke minggu kedua. Tadinya topik tentang kasus kematian Anita sudah mulai lenyap, namun perlahan-lahan kembali naik hingga menjadi bahan pembicaraan semua orang. Karena pihak polisi baru bisa menyatakan bahwa penyebab kematian Anita adalah bunuh diri.
Surat wasiat pun ditemukan di dalam tasnya yang ternyata terbuang di tong sampah belakang sekolah. Namun surat tersebut tak dipublikasikan isinya. Hingga membuat banyak orang kembali menerka-nerka; sebenarnya apa alasan Anita memutuskan untuk bunuh diri di sekolah? Apakah ada sangkut paut dengan teman-teman satu gengnya?
Cindy yang terus mengikuti perkembangan kasus ini tentu saja merasa ada yang janggal. Apalagi handphone Anita sampai sekarang belum ditemukan. Padahal handphone tersebut bisa jadi bukti paling penting dalam penyelidikan. Ditambah lagi, dari awal Cindy sudah merasa ada yang janggal dalam kasus ini. Karena jelas-jelas sore itu Cindy melihat Anita bersama seorang laki-laki. Namun ia merasa takut jika jujur tentang hal ini ke polisi. Karena yang ada ia malah jadi ikut terlibat, dan bisa saja berbalik jadi tersangka.
Oleh karena itu, Cindy pun sempat bertanya pada polisi yang kebetulan berpas-pasan dengannya mengenai CCTV yang terpasang di setiap lantai. Namun polisi menjawab bahwa semua CCTV di sekolah waktu itu mati total. Membuat Cindy jadi bingung harus bernapas lega atau malah semakin terasa sesak.
Jam saat ini masih menunjukkan pukul 9 pagi. Cindy sedang bengong dengan pandangan mengarah kepada Pak Andre yang tengah mengajar matematika di depan sana. Tak ada satupun angka yang masuk ke kepala Cindy. Semua angka-angka yang disebut oleh Pak Andre langsung memantul dari kepalanya, seperti tak diperbolehkan memasuki otaknya sama sekali.
"Oi." Sania yang duduk di sebelah Cindy sengaja menyenggol lengannya. Ia perhatikan sedari tadi Cindy seperti tidak fokus.
"Kenapa?" Tanya Cindy tanpa menoleh.
"Lo kenapa?" Sania berbalik tanya.
Cindy pun langsung menatapnya dengan raut wajah bingung. "Hah? Emangnya gue kenapa?"
Sania mengangkat kedua bahunya. "Dari tadi lo bengong terus."
Cindy memilih untuk menggeleng saja untuk menyatakan bahwa ia tidak apa-apa. Tapi tiba-tiba perutnya berbunyi. Sepertinya karena sibuk berpikir, tenaganya jadi habis. "Laper. Kantin yuk, San."
"Ayo deh."
Cindy pun mengangkat tangan kanannya. "Pak."
Pak Andre langsung menghentikan penjelasannya lalu bertanya, "Kenapa Cindy?"
"Izin ke toilet boleh gak Pak?"
Pak Andre dengan mudahnya mengangguk. Cindy dan Sania pun berdiri dari duduknya. Melihat itu, Pak Andre langsung berkata, "Sendirian aja ya, Cindy."
Cindy langsung merengek, "Yahhh, Pakkk. Saya maunya pergi berdua sama Sania boleh ya, Pak? Soalnya saya takut. Gosipnya di toilet sekolah kita kan ada hantu. Nanti kalau saya sendirian terus kesurupan gimana?"
Teman-teman kelasnya yang lain segera membantah gosip hantu toilet tersebut.
"Bohong tuh pak."
"Biarin aja Cindy kesurupan pak. Biar nanti pada kesurupan masal terus disuruh pulang deh."
"Jangan dipercaya pak. Alasan aja itu."
Cindy dengan cepat menyuruh mereka semua untuk diam dan jangan menghancurkan rencananya.
"Beneran lho ini pak," lanjut Cindy sambil memelas pada pak Andre.
"Ya sudah sana pergi." Akhirnya Pak Andre memilih untuk mengizinkannya.
"Yes, makasih pak!" Seru Cindy kegirangan. Ia pun segera berjalan keluar kelas bersama Sania.
"Jangan lama-lama," peringat Pak Andre.
"Siap, Pak!"
"Beneran ke toilet ya! Jangan pergi ke kantin!" Seru Pak Andre saat mereka telah keluar dari kelas.
"Siap, Pak!" Balas Cindy yang dengan santai berjalan ke arah berlawanan dari toilet. Untungnya Pak Andre tak sadar akan hal itu.
"Kayaknya Pak Andre cenayang deh. Tau aja kalau kita mau ke kantin," kata Sania sambil terkekeh.
"Punya indra keenam dia," tawa Cindy. "Suruh Dapin, Zape, sama Patan ke kantin."
Dafin, Zaferino, dan Fathan memang berbeda kelas dengan Cindy dan Sania karena mereka bertiga anak kelas 11 IPS 2. Walaupun berbeda jurusan, tapi mereka sangat dekat dan selalu terlihat bersama.
Mereka berlima dipertemukan sejak awal masuk sekolah yaitu saat MPLS (Masa Pengenalan Lingkungan Sekolah) tahun lalu. Kebetulan waktu itu mereka sama-sama bolos ke kantin saat semua murid baru berada di aula untuk mendengarkan pidato kepala sekolah. Dari situ saja sudah terlihat kalau mereka cocok sekali bukan?
Sania segera membuka aplikasi chat di handphone-nya untuk mengabari di grup mereka. Namun bukannya mengetik, ia malah menunjukkan isi chat grup kepada Cindy. "Mereka udah di kantin duluan."
Cindy langsung menyengir. "Bagus! Berarti kita berlima emang sejiwa!"
...***...
"Lo kenapa dah, Cin?" Tanya Dafin yang merasa terganggu dengan kegiatan perempuan di hadapannya saat ini.
"Apanya yang kenapa?" Tanya Cindy langsung menghentikan kegiatannya. Pasalnya di mata teman-temannya, ia sedari tadi sibuk mengaduk sisa kuah mie ayamnya dengan raut wajah muram. Aneh sekali.
"Muka lo tuh kek pengen ditanya kenapa gitu," sahut Fathan yang sedari tadi juga ikut memerhatikannya.
"Emang keliatan banget ya?"
"Lo kalau mau cerita langsung cerita aja dah. Jangan nunggu dipancing-pancing dulu," kata Dafin yang tentunya sudah mengenal Cindy dengan baik.
Sedangkan Zaferino dan Sania hanya menatap ke arah Cindy saja tanpa berkomentar apa-apa karena mereka sedang sibuk makan.
"Gue mah sukanya dipancing atau dipaksa-paksa dulu baru mau cerita, Pinnn," rengek Cindy sambil menarik-narik tangan Dafin. Ia punya kebiasaan aneh yang dimana lebih bisa bercerita dengan leluasa kalau dipaksa.
"Ya udah, cepet cerita!" Seru Dafin memaksanya.
Mulut Cindy sudah menganga, ingin mengatakan seluruh kegalauannya. Namun tak berapa lama kemudian berubah jadi manyun. "Tapi gue masih ragu."
"Ragu kenapa dah?" Tanya Fathan heran.
"Ya... ragu aja," jawab Cindy kembali mengaduk-aduk sisa kuah mie ayamnya.
Dafin langsung menahan tangan Cindy untuk tidak melakukan itu lagi. "Tentang apa emangnya?"
Cindy pun menatapnya. "Kak Anita."
"Bukannya kita udah janji untuk gak bahas ini lagi?" Zaferino akhirnya bersuara sambil melirik ke arah Sania yang hanya ingin diam saja ketika nama itu disebut.
"Sorry," ujar Cindy yang lupa kalau pembahasan ini agak sensitif bagi Sania.
Enam bulan yang lalu, Anita sempat berkelahi dengan Sania karena Sania dekat dengan pacar Anita. Mereka bahkan sampai masuk BK dan dipanggil orang tua. Walau masalah mereka telah diselesaikan, tapi tetap saja Sania tak bisa menyangkal bahwa ia sangat membenci Anita, karena waktu itu Anita benar-benar mempermalukannya di depan semua orang dan menjelekkan reputasinya. Begitu pula dengan Anita yang juga sangat membenci Sania, karena Sania menghancurkan hubungannya dengan pacarnya.
Padahal yang sebenarnya terjadi adalah pacar Anita yaitu Angga yang mendekati Sania duluan. Sania tidak terlalu menanggapi karena ia malas berurusan dengan Anita. Namun lama-lama ia baper dengan perlakuan Angga. Di saat itulah Anita tahu dan melabraknya di depan kelas hingga semua orang menyaksikannya.
Setelah itu Angga memutuskan hubungannya dengan Anita dan lebih memilih bersama Sania. Konflik semakin berlanjut karena Sania dan Anita secara terang-terangan menunjukkan kebencian mereka satu sama lain. Namun lama-lama jadi meredam sendiri karena Anita waktu itu punya konflik internal dan mulai dijauhi oleh teman-teman satu gengnya.
"Gak apa-apa kok," kata Sania akhirnya buka suara. Karena rasanya akan terlihat aneh jika ia tak memperbolehkan orang lain membahas tentang hal ini di depannya. "Gue udah gak ada masalah lagi sama dia. Dan dia juga udah tenang di atas sana. Jadi seharusnya gak ada masalah. Emangnya lo mau ngomong apa, Cin?"
Cindy menggaruk kepalanya yang sebenarnya tak gatal. Itu refleks karena ia bingung dan ragu harus mulai dari mana. Namun Dafin dengan cepat menghentikan pergerakan tangan Cindy dan memilih untuk menggenggamnya agar tangan Cindy bisa diam.
"Ketombe lo masuk semua tuh di mangkuk," kata Dafin sengaja mengusili Cindy. Ia semakin mengeratkan tangan mereka.
"Enak aja! Gue gak ada ketombe yaa!" Seru Cindy tentu saja marah. Tapi ia tidak menarik tangannya, malah membiarkannya saja.
Dafin tertawa. "Yaudah cepet cerita. Kebanyakan ngomel lo."
Cindy terdiam sejenak. Menarik napas terlebih dahulu lalu mengembuskannya secara perlahan. Setelah merasa dirinya siap, ia pun mulai bercerita.
"Jadi menurut lo kak Anita jatuh dari atap gedung bukan karena bunuh diri, tapi sengaja didorong sama orang lain?" Tanya Dafin mengulang inti dari penjelasan Cindy barusan.
Cindy mengangguk dengan cepat. "Iya! Gue yakin banget! Soalnya gak mungkin gue salah kan? Ya... ada sih kemungkinannya. Tapi rasanya aneh aja gitu. Jelas-jelas gue lihat pake mata gue sendiri, dia pergi ke atap gedung sama cowok itu."
"Lo liat cowoknya siapa?" Tanya Fathan untuk memastikan.
"Sayangnya enggak. Karena gue gak ngira bakal kayak gini kejadiannya. Gue cuma ngeliat cowok itu dari belakang doang," jawab Cindy seketika merasa lesu. Ia benar-benar menyesali hal ini. Seharusnya waktu itu ia sadar kalau ada hal yang mencurigakan di antara mereka. Tapi ia malah tak berbuat apa-apa.
"Ciri-cirinya gimana?" Dafin kembali bertanya.
Cindy mengerutkan dahinya sebelum akhirnya menjawab, "Ya ... kayak cowok pada umumnya."
"Rambutnya?" Tanya Dafin lagi.
"Rambutnya? Warna hitam," jawab Cindy dengan sangat yakin. Namun itu berhasil membuat Dafin langsung mendengus. Jawaban yang cukup konyol, karena rata-rata rambut semua orang di sekolah ini berwarna hitam.
"Modelnya apa?"
Dahi Cindy semakin mengerut. Ia tak terlalu mengingat hal itu. "Apa ya? Gue gak tau model rambut cowok itu apa aja. Tapi yang normal-normal aja gitu, kayak cowok pada umumnya."
"Badan?"
"Tinggi ...?" Cindy menjawabnya dengan nada tak yakin. Membuat semua orang yang mendengarnya jadi gemas ingin menampolnya.
Dafin menghela napas sejenak. Jawaban Cindy sedari tadi berhasil membuatnya dongkol. "Ya setinggi apa?"
"Hm... setinggi apa ya? Yah, lumayan lah. Gak tinggi-tinggi banget. Tapi gak pendek juga."
"Perkiraannya berapa?"
Dengan santainya Cindy mengangkat kedua bahunya. "Mana gue tau. Gue kan gak bawa meteran."
"Perkiraan, Cindoy! Perkiraan! Masa lo gak bisa ngukur dari mata lo?" Tanya Dafin kali ini sedikit nyolot karena sudah terlanjur kesal.
"Ya pokoknya setinggi kalian bertiga lah," balas Cindy yang membuat Dafin lagi-lagi harus menghela napasnya.
"Dia pake seragam sekolah kita kan ya?" Kali ini Zaferino yang bertanya.
"Iya, tapi dia juga pake jaket warna hitam."
"Jaket bahannya apa? Kulit? Atau apa?" Dafin bertanya lagi. Pasalnya ada banyak laki-laki di sekolah ini yang suka memakai jaket berwarna hitam.
"Gak tau ... waktu itu cahayanya agak gelap. Jadi gue gak terlalu perhatiin. Tapi kayaknya bukan kulit deh." Cindy menjawab dengan agak ragu. Nyatanya waktu itu ia benar-benar tak terlalu memerhatikan laki-laki tersebut. Ditambah lagi ingatannya juga tak terlalu kuat.
Dafin mengembuskan napas dengan kasar. Ia cukup frustrasi dengan jawaban Cindy yang sedari tadi seperti tak ada gunanya. "Sumpah ya, Cin. Gue yakin banget kalau lo jadi detektif nih, lo bakal dapet penghargaan detektif terbego sedunia."
Cindy mengerucutkan bibirnya, menatap Dafin kesal. Ia langsung menghempaskan tangan Dafin yang sedari tadi masih menggenggamnya. "Ya gue kan lupa! Kejadiannya juga udah dua minggu yang lalu! Wajar dong kalau gue bingung ngedeskripsiin tuh orang gimana!"
"Waktu lo udah ngambil handphone di kelas, emang lo gak ngecek lagi ke atas, Cin?" Sania akhirnya bersuara, mencoba untuk memastikan. Walaupun bisa dibilang ia dan Anita musuhan, tapi tentu saja ia jadi prihatin dan ikut bersimpati kalau ternyata dugaan Cindy memang benar bahwa Anita sengaja didorong oleh seseorang dari atap gedung sekolah.
Cindy terdiam sejenak untuk berpikir, lalu menggelengkan kepalanya. "Enggak. Gue takut keburu maghrib, jadinya gue langsung pulang."
"Lo udah punya dugaan belum siapa cowok itu?" Tanya Zaferino sambil menatap Cindy.
"Belum. Tapi gue yakin cowok itu pasti berhubungan dekat sama Kak Anita."
"Kenapa lo bisa yakin?"
"Ya ... karena siapa lagi kalau bukan orang terdekat? Gak mungkin kan Kak Anita mau aja kalau ada stranger yang tiba-tiba ngajak dia ke atap gedung sekolah dengan posisi sendirian dan sekolah udah sepi?"
Zaferino mengangguk setuju. "Iya juga sih ya."
"Tapi kalau ternyata Kak Anita emang beneran bunuh diri gimana?" Tanya Sania.
Cindy pun menatap ke arah Sania. "Kenapa?"
Sania seketika mengerutkan dahinya. "Maksudnya?"
"Kenapa dia mutusin untuk bunuh diri? Apa alasannya? Soalnya bagi gue, bunuh diri itu hal yang paling sulit untuk dilakukan. Apalagi caranya ekstrem banget dengan jatuhin diri dari atap gedung. Di sekolah pula. Kalau gue pribadi, gue gak terlalu yakin kak Anita bisa senekat itu."
"Ya ... gak tau juga sih. Tapi kan ada yang bilang kalau dia lagi berantem sama orang tua dan temen-temen deketnya. Bisa aja itu ngebuat dia makin depresi dan akhirnya mutusin untuk bunuh diri."
"Ada benernya juga. Tapi ..." Cindy langsung mengacak-acak rambutnya karena frustrasi. "Gak tau lah anjir. Bingung gue."
"Masih abu-abu ya berarti," kata Dafin dengan tangan yang terangkat untuk merapikan rambut Cindy. Namun Cindy langsung menepis tangan Dafin dan merapikan rambutnya sendiri.
"Apa yang mau lo lakuin tentang hal ini, Cin? Lapor ke polisi?" Tanya Fathan memusatkan perhatiannya pada Cindy.
"Kayaknya mending jangan ikut campur deh. Apalagi polisi juga udah bilang kalau kematian Kak Anita karena bunuh diri. Takutnya lo yang malah dicurigain, Cin," sahut Zaferino langsung memperingati.
"Iya, sebenernya gue juga takutin hal itu. Tapi gue gak bisa diem aja. Gue harus mastiin hal ini. Gue harus nemu jawaban dari apa yang sebenarnya terjadi hari itu," ujar Cindy yang tentu saja merasa bahwa dirinya ikut bertanggung jawab karena menyangkut nyawa seseorang.
"Mau selidikin sama-sama gak?" Usul Dafin sambil menatap teman-temannya secara bergantian. Ia tahu ini bukanlah keputusan yang tepat untuk mereka lakukan. Tapi melihat Cindy yang bisa-bisa tidurnya jadi tak tenang karena hal ini, membuatnya harus melakukan sesuatu.
"Maksud lo?" Tanya Sania bingung.
"Yang bener aja," kata Fathan langsung merasa tak setuju.
"Gue kan udah bilang, mending kita gak usah ikut campur. Karena bisa aja hal ini malah ngebuat kita jadi kena masalah," ujar Zaferino juga tak setuju.
"Gak apa-apa kali. Kalau emang beneran Kak Anita dibunuh, seenggaknya kita bisa memberikan fakta yang sebenarnya ke publik dan pembunuhnya bisa ditangkap. Mumpung si pelaku masih ada di sekitar kita nih. Kalau misalnya dia udah keburu lulus nanti, malah makin susah untuk nemuinnya," ucap Dafin mencoba untuk meyakinkan mereka.
"Iya, bener kata Dapin. Gue juga bakal ngerasa bersalah banget kalau misalnya cowok yang gue liat itu beneran celakain Kak Anita, tapi gue nya malah diam aja dengan nutupin fakta yang sebenarnya." Cindy pun ikut meyakinkan mereka.
Keadaan hening. Tak ada tanggapan sama sekali. Mereka tampak sibuk dengan pikiran masing-masing.
"Pleaseeee... mau ya? Gue janji, kalau ada masalah, gue bakal tanggung jawab," kata Cindy lagi agar mereka mau membantunya untuk menyelidiki hal ini.
"Hm.... gue sih ngikut aja," kata Sania mau tak mau mengikutinya.
"Gue terserah deh," kata Fathan akhirnya menyetujui.
Zaferino mengangguk. "Ya udah."
Senyum Cindy mengembang. "Yes!! Kalau gitu, malam minggu kumpul di rumah gue ya?"
"Oke."
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!