NovelToon NovelToon

Tolong Ubah Takdirku!

Retaknya Persahabatan

“Gak bisa Tio, kamu pacar sahabatku. Aku gak mau persahabatanku hancur hanya karena laki-laki kayak kamu,” Rima.

“Tapi aku benar-benar mencintaimu Rima. Terus aku sama Andra udah putus kok. Percaya deh!” Dengan menampakkan wajah keseriusannya, berharap jika gadis di hadapannya itu percaya.

“Putus? Kapan? Perasaan kemarin kalian masih jalan bareng deh!” Rima.

“Iya, itu yang terakhir,” Tio memastikan.

Rima berjalan mendekati Tio dengan pinggul ke kiri,ke kanan,ke kiri, ke kanan.

Lenggokannya begitu nyata, mengg0da setiap mereka yang melihatnya.

Dia mengangkat tangannya, meletakkan telapak tangan lentik nan halus di pipi milik Tio, dan dengan kepala yang diringkan ke samping. Wajah mereka sangat dekat.

“Sayang, aku gak mungkin terima kamu. Masih ingin bersahabat dengan Andra. Banyak kok cewek yang suka sama kamu, jangan aku yahhhh!” Dengan sedikit napas halus yang terasa menyambar wajah Tio membuatnya merinding.

Bahkan mampu mengangkat naluri kelaki-lakiannya.

“Tapi tak ada yang seperti kamu, sayang!” Tio mencoba tegar akan cobaan yang ada di hadapannya.

Gadis cantik nan seksi dengan body goalnya, tak lupa dengan des@h@n yang mengikut sertakan setiap ucapannya sedang berdiri sangat dekat dengannya.

Empat gadis cantik dengan status sosial yang bukan kaleng-kaleng. Olivia, Rima, Dianra dan Tiwi.

Bersahabat sejak awal masuk, dan semakin dekat hingga sampai dititik akhir perjuangan di sebuah Sekolah Menengah Atas istimewah.

Namun, hubungan mereka menjadi rapuh setelah kehadiran Tio sang lekaki tampan dengan perawakan tinggi tegap. Dengan kesempurnaanya itu ia menjadi idola kampus, dengan itupula ia sangat mudah mendapatkan gadis yang ia inginkan. Sayangnya kata setia sangat mahal untuk seorang Tio.

“Beri jalan keluar padaku agar dia melupakanku dan menjauhiku?” Rima saat mereka berempat.

Harusnya saat ini mereka berkumpul seperti biasanya. Namun kejadian kemarin justru membuat hari ini tak seperti biasanya.

“Dasar kamunya saja yang kecentilan,” Dianra.

“Makanya jadi cewek itu harus Shantik dan mempessonahhhh!” Suara lembut yang mengandung lebih banyak udara itu akan menyentil para kaum adam yang mendengarnya.

Apalagi diucapkan dengan bibir seksi yang menggoda hingga ingin menggigitnya. Ditambah lagi dengan hentakan pinggul yang seolah mencari lawan main.

Benar-benar bibit perebut yang sangat sempurna dan menyebalkan.

Jadi bagaimana jika pesona itu dipamerkan di depan wanita lain?

Tangan Dianra terangkat ke atas, namun belum saja mendarat di pipi yang di tuju, sang pemilik pipi telah menangkap dan menghempaskannya. Tak habis akal, rambut merupakan sasaran yang sangat tepat selanjutnya.

Dianra berhasil menarik rambut Rima membuatnya mundur dengan kepala mendongak ke atas.

“Ahhhh Ahhhh Ahhhh, rambutku!” Rima meringis.

Tak usah berteriak bod doh,balas dia! Tarik rambutnya juga!

Seolah mendapat kekuatan Rima berhasil meraih rambut Dianra dan dengan kekuatan yang tersisa ia juga menarik rambut sahabatnya itu.

Dengan mereka saling menarik rambut hingga berguling-guling di lantai, bukannya tak ada yang melerai, kedua sahabatnya itu telah mencoba tapi sayang mereka masih kalah tenaga. Kemarahan mampu memberikan tenaga tambahan pada kedua pemain.

Namun ada juga yang berperan sebagai penyemangat layaknya cheerleaders diluar lapangan.Mereka berteriak “Ayo! Ayo!”, “Tarik! Tarik!” Dan lain sebagainya.

Entah apa yang ada dipikiran mereka, apakah terlihat seru ketika melihat wanita berkelahi dengan berguling-guling di lantai?

Hingga pihak keamanan sekolah datang mampu melerai mereka dengan sedikit ancaman.

Pakaian kusut, rambut berantakan dengan ujungnya yang kesana kemari, polesan make up yang meleber kemana-mana.

Mungkin seperti itulah penampilan ke dua gadis itu, dan kedua sahabat mereka lainnya yang bertugas melerai hampir sama dengan mereka. Hanya saja mereka lebih telihat berwujud berbeda dengan kedua pemeran utama perkelahian itu.

Dua tahun setengah yang mereka lalui dengan saling mendukung satu sama lain kini harus terhempas hanya karena seorang lelaki yang sering membagi-bagikan hatinya.

“Meskipun bukan denganku, Tio akan tetap selingkuh!” Rima memastikan kepada kedua temannya.

“Iya, kamu benar Rim. Tio juga pernah nembak aku loh!” Olivia penuh meyakinkan.

“Hah? Tio pernah nembak kamu juga?” Tiwi histeris entah karena apa.

Sementara Olivia hanya mengangguk menaggapi ke-histerisan Tiwi.

“Kalau Tio pernah nembak kamu, kenapa dia gak pernah nembak aku? Diantara kita berempat hanya aku yang tidak pernah dilirik sama Tio,” Tiwi dengan raut wajah sedihnya.

“Apakah aku kurang cantik? Atau aku kurang menarik?” Tiwi, memandang pada diri sendiri, sebentar merapikan pakaian lalu tangan menyisir rambutnya sendiri.

Merasa tak kalah cantik dengan teman-temannya yang lain. Tapi kenapa pria seperti Tio tak pernah meliriknya, apa yang kurang darinya.

“Ah tidak, Rima bilang harus cantik dan mempesona. Berarti aku tidak cantik dan mempesona ya?” Tiwi.

Rima Dan Olivia saling melirik mendengarkan ocehan teman se-gengnya yang entah sangat polos atau.....?

“Kamu bukannya tidak cantik atau tidak mempesona. Tio gak nembak kamu karena dia takut nanti dia yang kena tembak. Kamu tau sendirikan kakak kamu yang jendral itu,”Via.

Entah opini yang diutarakan Tiwi benar atau tidak, setidaknya membuat Tiwi kembali normal, dan tidak terlihat seperti seorang yang habis terjatuh dan menahan sakit.

“Lagian Andra masa tidak bisa menilai pria yang benar-benar setia dengan yang obral cinta kemana-mana?” Via.

“Tuh kan, kalian sadar! Aku juga yakin kalau Tio punya cewek lain selain Andra,” Rima.

“Iya ada, cewek itu kamu,” Tiwi dengan lirikan mata ke arah Rima.

“Bukan aku, lagian Tio bukan tipe aku kok,” Rima dengan mengerak-gerakkan kedua tangannya.

“Terus kenapa kamu terima? Andra sahabat kita loh Rim!” Tiwi masih mencecar Rima dengan segala tuduhan

“Aku gak pacaran sama dia tau!” Rima mengibaskan rambutnya dengan jemari lentiknya, diikuti dengan gerakan kepala dengan tujuan memperlihatkan wajah cantiknya.

Bahkan di depan teman-temannya dia masih bersikap kecentilan rada sombong.

“Tapi Andra melihat kalian sedang bersama dengan sangat dekat di depan kantin,” Tiwi.

“Soalnya dia.....” Kalimat Rima bergantung demi melihat sosok Andra mendekati mereka.

“hus, hus!” Rima mengusir Via agar menjauh darinya dan mendekati Andra. Setelah kejadian pertengkaran itu, keempat sahabat itu terbagi menjadi dua kubu.

Kubu satu di isi oleh Rima dan Tiwi, sementara kubu yang lain diisi oleh Andra dan Olivia.

“Apa?” Andra dengan mentap tajam pada Rima.

“Heh” Hembusan kasar itu di iringi dengan kibasan rambut centilnya.

“Vi!” Tiwi lirih dengan tangannya yang mengibas di bawah. Dan seolah mengerti, Olivia menarik tangan Andra agar bisa menjauh dari Tiwi dan Rima.

“Gara-gara kamu persahabatan kami hancur,”Tiwi.

Saat ini-- Empat sekawan minus Diandra itu--sedang mengepung Tio. Sumber dari keretakan persahabatan mereka.

“Kamu kenapa sih gak bisa berhenti tebar pesona?” Via menatap heran pada pria itu. Jengah juga rasanya.

“Aku bukannya tebar pesona loh, mereka saja yang mendekatiku tanpa diminta,” Tio dengan pedenya.

“Yakin kamu tuh cewek-cewek mendekati lo dengan sukarela? Termasuk aku?” Rima.

“Kamu berbeda sayang,” Tio membalikkan tubuh guna memandang penuh pada gadis incaran selanjutnya.

“Kalau aku?” Jangan lupakan Via yang juga pernah Tio tembak untuk menjadi pacarnya.

“Iya maaf, saat itu aku khilaf?” Tio dengan santainya.

What? Nembak cewek dibilang khilaf?

Benar-benar alasan yang tak bisa dilawan. Astaga, yang benar saja. Untung saja gak di terima.

“Rim, coba kamu tolak Tio, pasti nanti dia bilang khilaf juga!” Bisik Via di telinga Rima. Dijawab dengan anggukan kepalanya, menandakan setuju dengan usul sahabatnya itu.

Benar juga, tapi aku telah menolakknya sebanyak ribuan kali. Heh, tak apalah, setidaknya lelaki ini menghindar dariku karena malu dan tak lagi menggangguku, meskipun persahabatanku dengan Andra tak mungkin kembali karena gadis itu sangat mengidolakan dan mempercayai Tio.

Rima berdiri mendekati Tio, dengan jarak yang sangat dengan mata mereka saling memandang satu sama lain.

“Tio, maaf ya! Aku sudah punya tunangan, kemarin malam ayah ngasih liat fotonya. Cakep loh, maaf ya hhhhhh!” Dengan napas lembut yang menggugah selera kaum adam termasuk Tio tentunya.

Meskipun dengan wajah piasnya karena mendapat penolakan namun Tio terlihat menikmat hembusan napas yang keluar dari mulut Rima.

Entah mengapa ada getaran tersendiri ketika harus berhadapan dengan gadis ini. Tak dipungkiri kecantikan dan kemolekan tubuhnya mampu menarik perhatian setiap kaum adam ditambah desahannya yang sering terdengar di akhir kalimat yang ia lontarkan?

“Maaf, aku harus segera pergi. Papa sudah menungguku!” Tio tak mampu menatap mata Rima lebih lama lagi.

Meskipun ia masih ingin merasakan hembusan demi hembusan napas yang keluar dari mulut Rima ketika berbicara dengannya, namun ia sadar jika hari ini ia batu saja ditolak untuk kesekian kalinya. Bahkan kali ini di depan ke dua sahabat Rima.

Mungkinkah Ini Karma

Tiga tahun berlalu sejak kejadian itu. Mereka saling menjauh. Melanjutkan pendidikan sesuai dengan jurusan yang mereka idam-idamkan.

Meskipun masih berada dalam satu nama kampus terkemuka di kota itu.

Rima bersama Via melanjutkan study di jurusan Kedokteran. Bahkan mereka masih bersama dalam satu kelaspun. Membuat mereka semakin akrab dan dekat.

Sementara Diandra dan Tiwi mengambil jurusan Ekonomi-Bisnis. MEskipun berbeda kelas, namun masih terlihat akrabpun.

“Kamu baru pulang?” Romi menyapa Rima, adiknya yang baru saja masuk.

“Iya kak, mau mandi!” Sempat berhenti di dekat Romi, lalu kemudian kembali melangkah masuk ke kamarnya.

“Setelah mandi kembali ke sini, kami ingin bicara!” Romi sedikit lebih kencang, sebelum adiknya itu masuk ke dalam kamar.

“Ok!” Jawaban singkat sebelum benar-benar masuk ke dalam kamarnya dan menutup pintu.

Setelah mandi ia kembali ke ruang keluarga. Di sana masih setia kakak dan ayahnya yang sedari tadi menunggunya. Sementara yang ditunggu tanpa rasa bersalah duduk disofa setelah membuat menunggu selama 30 menit lebih hanya untuk mandi.

“Kapan Wisuda?” Tanya Romi saat Rima benar-benar mendaratkan diri di sofa ruang keluarga.

"Em, ikut yang bulan dua. Kenapa?"

“Boleh kakak minta mobilmu?” Romi.

“Oh, pakai saja! Tapi kuncinya masih di kamar. Mau ku ambilkan?” Rima, dan kakaknya hanya mengangguk.

“Dompet juga!” Romi berteriak.

Iapun berjalan kembali ke kamarnya mengambil yang diinginkannya, dan kembali bergabung dengan ayah dan kakaknya sembari menyerahkan kunci mobilnya.

“Dompet buat apa?” Rima yang tak memberikan permintaan yang satu itu. Mau apa kakaknya itu dengan dompetnya? Bukankah itu salah satu barang privasi?

“ATM sama kartu Kredit kamu mana?” Romi berusaha menampilkan ekspresi datarnya, meskipun sebenarnya ia sedang galau.

“Kenapa mesti tanya ATM?” Rima dengan kening berkerut, bingung.

“Kita habis Rim, kita habis.” Romi menghempaskan punggungnya ke sandaran kursi, sepertinya putus asa sedang melanda pria itu.

“Maksud kakak?” Rima yang justru mencondongkan tubuhnya, menjauhkan punggung dari sandaran sofa. Mendekatkan diri ke arah kakaknya. Rasa penasaran baru saja menghampiri.

Habis? Apanya yang habis?

“Papa di tipu sahabatnya!” Romi menundukkan kepala, suaranya terdengar lirih.

"Om, Dika." Suaranya tercekat. "Om Dika memanipulasi berkas dan ngasih ke ayah buat tanda tangan, ternyata berkas itu,..... surat pengalihan."

"Om Dika ambil semuanya Rima." Suaranya semakin tercekat sedikit terbata-bata.

DEG.

Om Dika?

Tidak mungkin pikirnya.

Memandang ke arah kanan. Ayahnya terlihat sangat tegar, tak nampak satu gores kekhawtiranpun terlihat dari wajah itu. Seperti kejadian ini adalah sesuatu yang biasa-biasa saja.

Om Dika yang selalu menyambangi mereka di rumah itu bahkan sejak dia kecil. Selalu membawakan mainan untuknya dan Kak Romi.

Barbie atau boneka untuknya. Robot atau mobil-mobilan, pesawat atau figure super hore untuk kakaknya.

Orang lain yang telah dianggap seperti keluarga sendiri.

Tidak mungkin!

Kepalanya menggeleng-geleng keras, melenyapkan semua pemikiran yang mungkin saja terjadi. Mencari sebab-akibat dari kejadian ini.

Sahabat.

Seperti dirinya dan juga Diandra.

Sahabat yang berakhir tragis hanya karena keegoisan seorang pria.

Mungkinkah ini karma? Ia harus mendengar berita mengejutkan ini.

Dan setelah ini apa?

Ah, tidak tidak. Aku tak ingin kehilangan semuanya. Ayah dan Kak Romi pasti sedang bercanda, atau mereka sedang ingin mengujiku. Berupaya untuk tidak menerima kejadian ini.

Ia berdiri dan melangkahkan kakinya kembali ke kamar. Tempat yang paling nyaman bagi semua orang termasuk dirinya.

Tak ingin ambil pusing dengan perkataan kakaknya, Rima mencari kesibukan lain di kamar.

Memperhatikan isi lemari kaca transparan berisi tas pada beberapa tingkat bagian atas dan sepatu pada beberapa tingkat bagian bawah berjejer rapi.

Ia kembali di mana kakak dan ayahnya masih duduk terdiam dengan segala pemikiran yang memusingkan.

“Kak, aku butuh shoping?” Ucapnya tak merasa ini sebuah kesalahan.

“Kita habis Rim," Romi dengan tegas, adiknya itu seolah tak mengerti keadaan ini.

"Kakak gak punya apa-apa lagi,” Kembali tertunduk.

“Tapi aku udah lama gak shoping,” Ia masih berharap mendapat belas kasihan dari kakaknya. Jika tidak, pada siapa lagi dia harus meminta uang untuk memenuhi semua kebutuhannya.

Kebutuhan yang sangat-sangat tidak penting.

"Aku mau beli kebaya buat wisuda nanti." Memajukan bibir, menunjukkan ekspresi imutnya. Siapa tahu kakaknya itu langsung luluh.

“Bukankah kamu baru saja beli kebaya? Kalau tidak salah sewaktu temanmu menikah? Iya kan?” Kini Romi telah menatapnya seolah memastikan perkataannya.

“Itu sudah tiga bulan yang lalu kak. Apalagi itu di pakai saat teman kuliahku menikah, terus mau dipakai wisuda lagi? Teman-temanku sudah liat semua kak!” Rima masih merengek.

“Tapi itukan masih baru Rima?” Suara itu penuh penekanan.

“Hah, Tiga bulan yang lalu kakak bilang baru? Hello brother, this is Rima. Tiga bulan untuk sebuah kostum itu sudah sangat sangat LAMA.” Rima dengan menekan kata lama, tak lupa dengan gerakan jari lentiknya yang mengibas-ngibas.

“Dan ya, lemarimu sudah sangat penuh, sudah tak bisa menampung barang-barang lagi! Kamu bisa menjual tas, atau sepatumu! Lumayan harganya mahal kan?” Romi melirik adiknya jengah.

Sulit sekali rasanya memberikan pengertian pada adik satu-satunya ini.

Mungkin ini kesalahan dia dan ayah yang selalu saja memanjakan dan memberikan apa saja yang diminta oleh satu-satunya orang yang paling cantik dalam keluarga mereka itu.

“Kalau lemariku penuh, harusnya kakak beli lemari baru buat aku! Bukannya menjual isi lemarinya kak!” Rima masih dengan kecentilannya.

“Ayah akan cari kerja!” Kalimat itu seolah membenarkan kondisi mereka saat ini.

“Ayah mau kerja di mana? Dan Siapa yang akan mempekerjakan seorang mantan CEO?” Romi membuat Rima semakin bingung.

Sebenarnya bukan bingung tapi Rima sendiri belum menerima keadaan keluarganya saat ini.

Acting!

Kakak dan ayahnya itu sedang beracting.

Mereka tidak mungkin jatuh miskin saat ini.

Hahahah, lucu sekali.

“Ayah akan kerja apa saja, yang penting halal. Atau membuka toko bagaimana?” Ayah yang memperlihatkan wajah seriusnya.

“Please! Hentikan! Katakan semua baik-baik saja! Aku butuh uang!”

Rima kembali ke kamarnya. Berhadapan dengan kakak dan ayahnya itu membuatnya semakin pusing saja.

Ditatapnya isi lemari yang penuh dengan barang-barang branded loh!

Kismin? Hah, yang benar saja!

Gak mungkinlah Ia menjadi miskin dan kehilangan semuanya.

Tapi mendengar kakaknya tadi yang menyuruhnya menjual barang-barangnya sedikit menggelitik rasa penasarannya.

Tapi wisuda semakin mendekat. Ia tak memiliki banyak waktu untuk memikirkan keadaan ini benar atau tidak.

Yang ia butuhkan sekarang adalah mempersiapkan segalanya.

“Jual tas untuk beli kebaya baru? Atau pakai kebaya lama tanpa harus kehilangan salah satu koleksiku?”

“Tapi apa kata dunia jika seoranga Rima Damayanti Herman memakai kebaya yang sama dalam setahun?Heh!”

Mungkin tidur menjadi obat penenang yang sangat efektif dan alami.

\=\=\=\=

Saat ini Rima masih bingung menimbang antara kebaya baru dengan mengorbankan koleksinya atau mengenakan kebaya lama dan tetap bersama koleksi-koleksinya. Kakaknya benar-benar tak luluh dan tak mau memodali keseluruhan wisudanya.

Menggunakan kebaya lama tidak mengapa karena wisuda juga hanya terjadi hanya sekali.

Tapi?

Dia akan berfoto saat wisuda dan itu akan menjadi kenang-kenangan yang akan ia banggakan seumur hidupnya. Harus cantik dan perfeck.

Ok deal. Untuk saat ini tak apa mengorbankan satu atau dua tas demi kebaya baru.

Rima memandang lemari kaca berisikan tas dibagian atasnya, dan beberapa rak bagian bawah berisikan sepatu tentu saja dengan merek dan harga yang wow.

Menimbang barang mana yang akan melayang meninggalkannya. Meskipun koleksinya tak terlalu banyak setidaknya tidak terlalu berpengaruh jika kehilangan satu atau dua dari penghuni lemarinya.

Kembali serangkaian acara setelah wisuda kembali menyita isi dompetnya.

Terutama oleh para wanita yang menjadikan malam itu sebagai ajang mereka menjadi puteri. Tampil secantik dan seperfect mungkin menjadi kewajiban.

Sekali lagi itu menjadi satu alasan mengorbankan koleksinya demi membeli gaun indah yang akan ia kenakanan.

Namun tanpa sadar, dengan alasan sama dan dengan berbagai keperluan yang katanya mendadak dan urgent koleksinya melayang satu demi satu.

---------

TBC!

Promo novel!

Antara Jarak Dan Waktu

**

**

Udah tamat. Mewek deh!

Dinda tunggu di sana yah!

Meraih Mimpi

Di sebuah ruangan perawatan.

Dengan diiringi tetesan air mata, Dihyan terus menggenggam tangan wanita lemah yang berada diatas pembaringan itu.

Erat, sangat erat hingga tak ada rongga udara antar kedua tangan mereka. Penyesalan yang tak berguna terus menghantam dadanya ketika mengetahui keadaan wanita yang selama ini selalu mendampinginya.

“Kenapa kamu tidak pernah jujur padaku? Apakah aku tidak pantas mengetahui keadaan istriku sendiri?” Ucapnya lirih, dilengkapi dengan setetes air yang terasa asin kembali meluncur dari sudut matanya.

Sekalipun begitu, wanita di sampingnya itu tak terganggu sedikitpun.

Wanita itu sangat betah dengan tidurnya, sebab hanya dengan tertidur ia bisa menghilangkan rasa sakit yang menyerang di seluruh tubuhnya.

Ingin sekali bertahan, memberikan kebahagian lain pada suami tercinta namun perasaan iba melihat suaminya yang terus menangisi kondisinya semakin  membuatnya berada dalam kondisi yang semakin menurun.

Seiring lelap tidurnya imajinasinya mulai berkelana, di mana mereka akan hidup berbahagia dengan dilengkapi tawa riang sang malaikat kecil.

Namun itu semua hanyalah imajinasi, penghias lelapnya. Karena ia sudah sangat terlambat, hanya keajaiban yang mampu mewujudkan semuanya.

Malaikat kecil yang ia impikan hanya sebatas mimpi, karena penyakit yang bersarang di tubuhnya telah berhasil menghancurkan mimpinya itu. Bukan hanya mimpi bahkan nyawanya kini menjadi sasaran berikutnya.

Kanker serviks, penyakit yang di takuti oleh semua kaum wanita telah bersarang sejak lama di tubuhnya. Bahkan saat ini penyakit itu telah menduduki level tertinggi, karena setelah level ini meningkat, bisa dipastikan nyawakan tak dapat tertolong.

Tak ada pilihan lain, selain merelakan suaminya dimiliki wanita lain hanya untuk kebahagiaan tersebut. Meskipun ragu ia harus siap.

\====

Dengan bantuan koneksi ayahnya, kini Rima bekerja di sebuah RS terkenal di kotanya.

Meskipun telah jatuh dalam lubang kemiskinan, masih ada yang perhatian pada ayah dan keluarganya.

Tak semua teman memilih meninggalkan mereka berjuang dalam keterpurukan ini.

Romipun mendapat bantuan pekerjaan dari salah satu teman ayahnya. Meskipun tak mendapatkan jabatan tinggi, setidaknya mampu membuat mereka bertahan untuk hidup.

Menyandang status Dokter Muda ia masuk melangkah ke rumah sakit itu.

Di sini, ia akan mengabdikan hidup dan ilmunya seperti sumpah yang pernah ia ucapkan.

Memakai jubah putih bersih, semakin membuatnya bangga dengan dirinya sendiri.

Senyum merekah sepanjang perjalanan, menyapa seraya menundukkan sedikit kepalanya kepada hampir semua orang yang ia temui.

Semakin merasa tercantik di seluruh negeri, memang cantik sih.

Hingga batas tertentu, iapun mulai merasa canggung dengan keadaan sekitar.

Mulai dari mana yah?

Salah satu sahabatnya juga diterima di RS itu Via, mereka kini telah bekerja di RS yang sama dengan semangat yang menggebu-gebu.

Bersukur ia langsung mendapatkan pasien sesaat setelah memperkenalkan diri pada seorang dokter senior. setidaknya rasa canggung itu tak berlangsung lama.

Rima dan Elina kini tengah menangani seorang pasien wanita.

“Ayo Rima!” Elina, seorang Dokter wanita yang merupakan salah satu dokter terbaik di RS tersebut.

“Rima, mbak punya job tambahan buat kamu, mau gak?” Elina.

Sambil terkekeh Rima tetap memandangi dokter seniornya itu, “Job apaan mbak?”

“Kamu tau kan Pak Dihyan, suami dari bu Nindi?” Elina.

Mereka baru saja melakukan visit beberapa pasien.

“Iya mbak, kenapa mbak?” Ucapnya berbinar. Tahulah, Pria yang sempat menarik perhatiannya.

Pria gagah, dengan wajah dan postur tubuh yang serasa sangat menunjang untuk disebut sempurna.

Tapi bukan itu yang membuatnya tertarik.

Pria gagah itu, terlihat rapuh di samping wanitanya. Apalagi kalau bukan alasan cinta.

Sangat mencinta pastinya. Namun cintanya itu tengah sakit, membuat pria itupun terlihat sakit juga.

“Pak Dihyan minta satu dokter buat stand by di rumahnya.” Elina terlihat lebih serius, “tapi mbak gak bisa, soalnya kamu tau sendirikan mbak punya suami and anak. Jadi mbak rekomendasikan kamu, kalau kamu mau kita bisa atur jawdalmu.”

“Kenapa mbak bilang gak bisa?" Rima mengerutkan keningnya.

“Dokternya harus tinggal di rumahnya bu Nindi. Kamu hanya menemaninya shift pagi sampai pak Dihyan pulang kantor. Jadi kamu bisa jaga di RS itu shift sore, dan malamnya kamu tidur di rumah pak Dihyan. Kita bisa atur jam kerjamu di RS.

“Honornya lumayan loh,” Elina setengah berbisik di telinga Rima.”Kamu maukan gantiin mbak?”

“Aku harus minta ijin dulu, sama ayah sama kak Romi. Kalau dapat ijin, aku sih ok saja, lagian kayaknya gak terlalu berat jagain satu orang bisa sambil istirahat jugakan sebelum masuk kerja?” Rima.

“Iya, paling menyiapkan keperluannya dan temani jalan-jalan bu,...? Siapa tadi namanya mbak?” Rima sedang mengingat nama pasiennya.

“Bu Nindi, Suaminya sangat terpukul karena baru mengetahui keadaan istrinya. Bu Nindi tidak memberi tahukan tentang masalah sakitnya pada suaminya karena tidak mau meropotkan suaminya. Padahal jika saja bu Nindi lebih cepat memberi tahukan suaminya, kita bisa cepat mengambil langkah-langkah tepat.”

“Rasa cinta yang mereka miliki membuat mereka saling mengalah satu sama lain.” Elina. “jadi gimana kamu mau kan?” kembali menatap ke arah Rima menunggu persetujuan.

“Emm, kalau aku sih yes, tapi tunggu ayah dulu ya mbak!” Rima.

“Kalau kamu mau mbak bisa datang ke rumahmu buat minta ijin sama ayah kamu,” Elina sangat berharap pada Rima.

“Emm boleh mbak! Sekalian bawa Alexa juga yah! pengen kenalan." Rima semangat mengingat dirinya sangat membutuhkan uang untuk melanjutkan kemewahan yang sempat terhenti.

“Ok, besok mbak singgah di rumahmu!” ucapnya akrab Seperti telah mengenal lama.

" Eh Sherlock rumahmu dong, kelupaan!" kali ini menepuk keningnya sendiri dengan pelan.

" Mau singgah padahal nggak tahu rumahmu." kali ini diiringi dengan tawa kecilnya.

“Semangat banget!” Rima.

“Rima, Mbak Nindy diprediksi bisa keluar 3 hari kedepan. Bersamaan dengan dokter pendampingnya."

"JADI,.... " kali ini dengan penuh penekanan

"Kita hanya di kasi 3 hari buat ngirim dokter ke rumah bu Nindy. Jadi kalau besok sudah dapat ijin dari ayahmu, maka lusanya kamu harus mempersiapkan semuanya. Mbak akan menemani kamu ke rumah bu Nindy.” Elina.

“Ok deh! Aku tunggu besok, sama Alexa yah mbak!” Rima.

Sementara Elina tersenyum senang pada Rima. berharap semoga saja terima mendapatkan izin dari keluarganya. jika tidak maka ia harus mencari dokter lainnya.

Tiba saatnya meminta ijin pada ayah Herman.

Menekan tombol bel di dekat pintu.

“Assalamualaikum!” Suara lembut dari seorang wanita di balik pintu.

“Walaikumussalam! Akhirnya datang juga! Kirain gak jadi mbak!” Rima sambil membuka pintu rumahnya lebar-lebar. mempersilahkan tamu yang ditunggu-tunggu tadi untuk masuk.

“Jadi dong, aku butuh pemeran utama nih!” Elina.

“haaaahaaaaahaaaaaa, pemeran apaan? Masuk mbak, mas masuk mas!”Rima.

“Hai bocah!” Tanpa permisi Rima langsung meraih gadis kecil berusia 4 tahun itu,

menggendongnya dan tak henti-hentinya mengecup pipi chuby sang gadis.

“Rima, gak usah di gendong, dia berat loh!” Elina berjalan di belakang Rima yang

menuju ke ruang tamu.

“Iya, mon thok juga."

"Eh, enteng ya? Enggak nangis aku cium-cium." Rima, sesekali mencium anak perempuan itu, sekali-sekali pula melirik pada orang tua bocah itu.

"Iya, dia cepat akrab dengan siapapun."Elina.

"Waaaah bahaya itu Mbak, boleh gitu." dengan mata sedikit terbuka.

" terbiasa bertemu dengan orang banyak, jadi ya gitu deh.

"Duduk dulu mas-mbak, aku panggilin ayah!” Tanpa melepaskan anak yang ada dalam gendongannya, Rima berjalan masuk untuk memanggil ayahnya.

Rima berjalan mendahului ayahnya.

Saat ayahnya duduk berhadapan dengan kedua tamunya itu dia malah melewati ruang tamu.

“Mbak, aku bawa jalan dulu yah!” terus berjalan ke arah pintu.

“Mau di bawa ke mana Rima? Dah malam,” Elina yang langsung terlonjak kaget saat Rima terus berlalu dengan membawa buah hatinya.

" Mau kuculik hahaha." Rima yang terus berlalu sambil tertawa. Tak mengidahkan panggilan dari sang pemilih anak.

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!