NovelToon NovelToon

Pernikahan Tanpa Cinta

Prolog

"Barang siapa yang mencintai karena Allah, membenci karena Allah, memberi karena Allah dan tidak memberi karena Allah, maka sungguh telah sempurna imannya." ~HR. Abu Dawud dan At-Tarmizi

Cinta adalah pemberian terbaik, cinta juga adalah penghargaan terbesar untuk yang menerima.

Menyatukan dua insan yang berbeda prinsip memang bukanlah hal mudah. Terlebih mengingat mencari tambatan hati membutuhkan waktu yang lama. Proses adaptasi terkadang menimbulkan percekcokan, entah itu karena hal-hal sepele berbau kecurigaan, kurangnya komunikasi, hingga kehadiran pihak-pihak tertentu yang dicurigai menjadi orang ketiga dalam tali percintaan yang mereka jalin.

Sebenarnya, melangkah ke pelaminan tak hanya perihal mental saja. Jauh dari itu, sepasang kekasih harus lebih dulu mendapatkan restu dari orang tua. Mereka harus bisa menyeimbangkan antara kepentingan bersama dan pribadi, apalagi memiliki segudang aral yang akan mereka jumpai saat membangun biduk rumah tangga. Problematika yang menghampiri jelas jauh berbeda dengan masa-masa pacaran yang mereka jalani.

Islam adalah agama rahmatan yang menebarkan kasih sayang ke seluruh umat manusia. Artinya, Islam adalah agama cinta. Perasaan cinta terhadap lawan jenis merupakan fitrah yang diberikan oleh Allah Subhanahu Wata'ala dalam diri setiap manusia. Hal tersebut sebagaimana Allah tegaskan dalam Al-Qur'an surat Ar-Rum ayat 21, bahwa salah satu tujuan dari diciptakannya manusia secara berpasang-pasangan, laki-laki dan perempuan, adalah supaya satu sama lain bisa saling menyayangi dan menemukan kenyamanan bersama. Dengan demikian, pada dasarnya cinta bukanlah sesuatu yang kotor dan hina.

Dalam hal cinta terhadap lawan jenis, ada rambu-rambu dalam Islam yang harus ditaati untuk menjaga kesucian cinta serta harkat martabat manusia sebagai makhluk yang mulia. Dalam Islam, pembuktian cinta untuk sang kekasih hati diwujudkan dalam sebuah ikatan suci pernikahan, cinta halal yang dipersatukan karena Allah.

Inilah indahnya Islam. Sebagai agama yang sejalan dengan fitrah manusia, Islam tidak pernah membelenggu perasaan cinta yang tumbuh pada diri setiap manusia. Islam mengajarkan manusia untuk menjaga perasaan cinta, merawat dan melindunginya dari segala kehinaan yang bisa mengotori kesucian cinta. Oleh karena itu, Islam mengarahkan supaya hubungan antara laki-laki dan perempuan bersih dari segala persentuhan yang haram sebelum akad nikah dilaksanakan

Lalu bagaimana jika pernikahan ini karena rasa belas kasihan, dan hanya dianggap sebagai sebuah permainan?

Bermula dari beban hutang kedua orang tuanya, ia terpaksa harus menikah dengan lelaki yang tidak pernah ia kenal dan memiliki sifat kasar serta dingin.

Famira Azzahra, gadis cantik yang berumur 24 tahun yang memiliki akhlak terpuji.

Semua orang tua yang memiliki anak laki-laki di kampungnya menginginkan Famira menjadi menantunya. Siapa yang tidak mau dengan Famira? Perempuan yang pekerja keras dan wanita yang sangat shalihah.

Musibah mulai datang bertubi-tubi kepada Famira, ketika abi yang sangat ia sayangi meninggal dunia, karena penyakit kanker yang sudah parah dan dialami sejak dahulu.

Atas hal itulah keluarga Famira meminjam uang kepada tuan yang sangat kaya di kota itu untuk biaya pengobatan abinya. Itulah awal cerita kehidupan Famira yang penuh dengan lika-liku.

Famira selalu berprinsip bahwa setiap kesulitan yang dialaminya pasti ada hikmahnya.

Akan ada, jalan setiap kesulitan yang kita hadapi. Pandai-pandai lah bersyukur dan jangan pernah berhenti meminta petunjuk dari-Nya.

2

Matahari sudah mulai terbenam di ufuk barat, wanita yang menggunakan gamis warna pink soft, dipadukan dengan jilbab yang senada itu, tengah berjalan sendirian menyelusuri jalan setapak menuju rumahnya.

"Baru pulang kerja, Famira?" tanya salah seorang ibu yang sedang menyapu teras rumahnya.

"Iya, Bu," sahut Famira dengan seulas senyum di bibirnya. Wajah wanita ini sangat teduh, membuat siapa saja yang memandangnya sangat kagum.

"Mampir dulu ke sini."

"Lain kali aja, Bu," tolak Famira halus. Ibu tadi mengangguk paham.

Setelah mengatakan itu Famira melanjutkan perjalanan pulangnya. Banyak ibu-ibu lainnya, yang menyapa hal serupa.

Beberapa menit kemudian, Famira sampai di rumahnya. Rumah minimalis yang sederhana.

Famira kaget saat memasuki rumah. Ia mendapati barang-barang di rumahnya berserakan dimana-mana.

'Ya Allah ada apa ini?' batin Famira saat memasuki rumah.

"Ummi!" teriak Famira khawatir mencari keberadaan umminya. Tetapi, dia tidak menemukan seorang pun di dalam rumahnya. Netra milik Famira terus menyapu setiap sudut ruangan rumahnya yang minimalis itu mencari keberadaan umminya.

Dengan suara ngos-ngosan dan penuh khawatir Bu Sinta, yang merupakan tetangga Famira berjalan masuk ke dalam rumah, seraya berkata, "Famira kamu pergi tolong ummi dan adikmu sekarang," ucap ibu Sinta. Raut wajah wanita paruh baya ini terlihat sangat ketakutan membuat Famira kian khawatir.

"Ummi dan adik saya k--kenapa, Bu?" tanya Famira.

"Ummi dan adikmu diseret paksa oleh anak buah tuan Bara tadi, gara-gara hutang ummi kamu belum terbayar. Mungkin dibawa ke rumah Tuan Bara itu," ujar ibu Sinta.

"Astagfirullah, aku harus segera ke sana. Aku takut terjadi apa-apa dengan ummi dan Fikri, Bu," sahut Famira, bening air matanya jatuh saja di pelupuk matanya, ia sangat ketakutan, "Bu Sinta tahu, di mana rumah Tuan Bara itu?" tanya Famira lagi.

"Ibu tahu Famira, rumahnya di depan jalan raya sana."

"Terima kasih, Bu. Saya pergi dulu. Assalamu'alaikum," ucap Famira lalu pergi menyusul ummi dan adiknya.

"Wa'alaikumussalam, kamu hati-hati Famira. Karena Tuan Bara itu orangnya kejam," teriak Ibu Sinta kepada Famira. Famira mengangguk kecil dari kejauhan.

****

Bara Sadewa, pemuda tampan yang lahir dari keluarga yang sangat terpandang. Di usia yang masih muda, ia sudah sukses dalam urusan bisnis. Dibalik kesuksesan pemuda ini, ia memiliki sikap kasar dan suka menindas terhadap orang-orang di bawahnya. Masa lalunya yang menjadikan ia seperti itu.

Rumah Bara, terjaga ketat oleh anak buahnya. Famira pun sampai di sana dan mencoba masuk ke dalam rumah tersebut.

"Ada keperluan apa kamu di sini?" tanya pria bertubuh besar dan kekar di depan gerbang. Ia menatap, Famira dengan tatapan sinis dan juga benci.

"A---ku, mau bertemu dengan ummi dan adik saya," sahut Famira takut.

"Sebentar," ucap dari pria itu dan mengambil teleponnya di saku celananya.

"Bos ada gadis yang datang, dia mau bertemu ummi dan adiknya," ucap pria itu melalui telepon dan Famira masih dapat mendengarkan perbincangan mereka.

Anak buah Bara itu pun, mengizinkan Famira masuk setelah mendapat persetujuan dari bosnya.

"Ikut aku sekarang," titah pria itu sambil berjalan ke dalam rumah.

Famira mengikuti ke mana pria itu membawanya dan pada saat sampai di dalam rumah. Terlihat ummi dan adiknya dengan keadaan tangan di ikat dan beberapa luka di tubuhnya. Hati Famira saat itu sedih dan sakit, melihat kedua orang yang disayangi tersiksa.

"Ummi!"

"Dek!"

Famira berlari kecil lalu memeluk tubuh ummi dan adiknya yang terduduk lemah di lantai.

"Famira, kenapa kamu harus datang ke sini?" tanya ummi Famira lemah.

"Aku mau bantu, Ummi," sahut Famira menangis.

Pemuda yang duduk di kursi kehormatannya itu tersenyum sinis, menatap gadis yang baru saja datang.

"Berhenti menangis!" gertaknya yang masih duduk di kursi kehormatannya, terlihat sekali kesan sombong dari pria itu.

"Jadi ini yang namanya Tuan Bara Sadewa?"

"Kenapa?!" tanyanya dingin. Ia bangkit berdiri, memasukkan kedua tangannya dalam saku jaketnya.

"Anda ini tidak berperikemanusiaan dan Anda tidak memiliki hati sama sekali!" ucap Famira tegas dan tanpa ada rasa takut sedikit pun.

Plak!

Satu tamparan keras mendarat tepat di pipi mulus Famira.

"Kamu orang miskin, jaga omongan kamu. Kalau tidak aku akan membunuhmu ...!" ancam Bara.

"Aku memang miskin, tapi masih memiliki hati dan belas kasihan kepada orang lain. Dan tidak seperti Tuan, coba Tuan pikir bila ibu dan adik Anda di siksa begini, apakah Anda tidak sedih dan sakit hati?" tanya Famira meneteskan air mata. Tatapan benci, ia arahkan pada Bara.

Bara, hanya diam membisu mendengar perkataan gadis tersebut. Hatinya seperti tertusuk pisau oleh perkataannya.

"Tuan, maafkan anak saya," ucap ummi Famira dengan suara kian melemah. Sekujur tubuhnya terasa sakit. Ummi Famira tidak mau putrinya berurusan panjang dengan seorang Bara Sadewa.

"Ummi, tidak usah minta maaf kepada orang ini," sahut Famira, pipinya terasa perih mendapat tamparan keras itu.

"Aku hanya menuntut hak, bila hutang keluarga kamu lunas, aku tidak akan melakukan semua ini," ucap Bara dengan nada suara melengking tinggi.

"Hutang keluarga kami kepada Tuan tinggal satu juta, dan Tuan sudah memberi kami waktu untuk melunasi hutang dua minggu lagi. Ini belum waktunya Tuan menagih hutang kepada kami," tegas Famira. Famira masih ingat dengan perjanjian itu.

"Hahaha ... terserahku untuk menagih hutang pada kalian kapan pun, siapa bilang hutang keluarga kamu tinggal satu juta? Total hutang kalian adalah sepuluh juta dengan bunganya," sahut Bara tersenyum miring.

"Apa sepuluh juta? Anda penipu?!" tegas Famira.

"Konsekuensinya sudah kuperjelas kepada ibu kamu, meminjam uang kepadaku memiliki bunga yang sangat besar. Dan ibu kamu setuju ...," jawabnya enteng. Senyum jahat terbit di bibirnya, "Aku mau, hutang kalian lunas hari ini dan detik ini pula!" tegasnya lagi.

"Bagaimana kami bisa melunasi hutang sebanyak itu hari ini? Dan kenapa Tuan menipu kami?" tanya Famira masih tidak bisa menerima keputusan pemuda yang berlagak sok di hadapannya.

"Aku tidak mau tahu, kalian harus melunasi hutang detik ini pula. Kalau tidak aku akan membuat keluarga kalian menderita dan ingat aku sangat tidak suka bernegosiasi dengan orang seperti kalian!" ujarnya.

Famira bingung, bagaimana ia akan melunasi hutang sebanyak itu. Famira memang memiliki tabungan kerjanya tetapi, itu belum mencukupi untuk melunasi hutang-hutangnya.

Famira diam, terus berpikir keras.

"Daripada kamu pikir lama-lama dan di mana kamu akan mendapatkan uang untuk membayar hutang kepadaku, aku akan memberikan keringanan kepada kamu dengan syarat ...." Ucapan Bara tergantung.

"Syaratnya apa?" potong Famira cepat, ia berharap pria itu masih ada sisi baiknya.

"Hutang keluarga kamu akan aku anggap lunas, dengan syarat kamu harus menikah denganku," ucap Bara memasuki kedua tangannya ke dalam saku jaketnya.

"Maaf Tuan, aku tidak mau, menikah dengan lelaki kejam seperti, Tuan!" sahut Famira menolak keras. Apa yang terjadi bila dirinya menikah dengan pria yang baru saja ia kenal, dan memiliki sikap yang sangat kejam?

"Kamu menolak tawaran ini? Kamu tidak akan menyesalinya?" tanya Bara menaikkan sebelah alisnya, sungguh wanita berani, yang menolak penawaran yang diberikan oleh dirinya. Banyak wanita luar sana yang mengejarnya, sedangkan wanita berjilbab syar'i di hadapannya itu dengan gamblang dan secara terang-terangan menolaknya. Sungguh ia tidak terima!

"Cambuk ibu dan adiknya sekarang," perintah Bara kepada anak buahnya.

Famira membulatkan kedua bola matanya, mendengar perintah pria itu.

"Berhenti!" tutur Famira memberhentikan anak buah Bara yang ingin mencambuki ummi dan adiknya, "Kumohon jangan!" Cegah Famira lagi.

Bara tersenyum culas.

"Baiklah aku—bersedia, menikah dengan Tuan," ucap Famira terpaksa dan pasrah karena ia tidak rela melihat ummi dan adiknya tersiksa.

"Jawaban yang sangat kutunggu wanita pemberani, besok juga kita akan melangsungkan pernikahan." Bara tersenyum penuh kemenangan

3

"Tidak ada penawar yang lebih manjur bagi dua insan yang saling mencintai dibanding pernikahan." ~HR. Ibnu Majah

Walau dengan siapa pun Allah menjodohkan kita, bersyukurlah dengan kelebihannya dan bersabarlah dengan kekurangannya.

Keesokan paginya, acara akad nikah pun di laksanakan di rumah Bara Sadewa. Pernikahan tersebut tertutup, dan hanya beberapa orang khusus yang diundang. Wali pernikahan dari pihak perempuan diwakilkan kepada wali hakim, mengingat seorang Famira Azzahra tidak punya siapa-siapa untuk menjadi wali pernikahannya. Abinya tidak mempunyai sanak saudara pun.

"SAH!" ucap para saksi saat ijab qobul selesai di ucapkan.

Famira menatap langit-langit kamar saat ijab qobul selesai. Sungguh sakit, menikah dengan pria yang tidak ia kenal sama sekali. Beberapa kali ia menahan air matanya, beberapa kali juga dirinya merasa gagal.

'Bila ini takdirku ya Rabb, aku terima,' batin Famira. Famira tersenyum getir, mengusap secara kasar air mata di pipinya.

Ceklek. Pintu kamar terbuka pelan, terlihat seseorang wanita paruh baya menjemputnya yang tak lain adalah ART di rumah itu, "Ayo turun, Non," ucap Bibi Ina.

Famira mencoba tersenyum tipis, mengangguk paham. Ia segera bangkit dan turun ke bawah. Masih terbesit di hati Famira, apa yang membuat pria itu menikahinya? Padahal ia bukan wanita cantik atau pun kaya. Ia hanya wanita biasa, yang pekerjaan sehari-harinya hanya menjadi seorang pelayan di salah toko di kota itu. Pertanyaan itu berputar-putar di kepala Famira.

Famira duduk di samping Bara. Bara memasang cincin berlian ke jari manis wanita yang sudah sah sebagai istrinya.

Famira terdiam, tidak berniat untuk menatap wajah pria itu. Air mata Famira terus berjatuhan, antara senang dan sedih yang sedang dialami oleh Famira saat ini. Ia sekarang sudah resmi menjadi istri dari Bara Sadewa, seorang tuan muda yang memiliki harta berlimpah namun, sayang dia sangat kejam, dan tidak memiliki belas kasihan kepada siapa pun.

"Jangan menangis di sini! Jangan cengeng!" bentak Bara, berbisik sengit di samping telinga Famira. Famira mengangguk ketakutan.

Bara muak. Melihat gadis itu menangis terus. Ummi Famira hanya bisa menatap wajah putrinya itu, tidak tahu akan berbuat apa lagi. Semua sudah terjadi. Tamu undangan mulai bubar, tidak ada pesta pernikahan atas pernikahan itu.

"Kamu mulai hari ini tinggal di rumahku," ucap Bara yang duduk di sofa. Membuka jas hitam yang dipakai dan di buang begitu kasar ke wajah Famira.

Famira bungkam seribu bahasa, ia tidak menggubris perkataan Bara.

"Kamu dengar nggak?" tanya Bara kasar.

"Ah, i--ya," sahut Famira ketakutan.

"Nak, ummi pulang dulu ya. Kamu baik-baik di sini dan kamu harus patuh kepada perintah suami kamu," ucap ummi Famira.

"Iya Ummi, tapi Famira belum siap berpisah dengan Ummi," ucap Famira memeluk tubuh umminya dan meneteskan air mata.

"Kamu harus siap, karena kamu sudah bersuami sekarang, Nak. Ummi harap kamu tetap sabar," tutur ummi lembut membalas pelukan putrinya itu.

****

Malam harinya. Famira masih duduk termenung di bibir ranjang. Tinggal di rumah besar tapi tidak ada kedamaian yang di rasakan Famira, padahal baru beberapa jam ia tinggal. Rumah Bara bagaikan neraka bagi dirinya sekarang.

Ceklek. Pintu kamar terbuka pelan.

"Kamu belum tidur?" tanya Bara dingin.

Famira hanya diam.

Bara langsung menampar pipi Famira.

"Sakit," lirih Famira.

"Itulah akibat kamu tidak menjawab pembicaraanku," ucap Bara kasar.

"Maaf."

Kekerasan mulai dilancarkan oleh Bara pada saat itu, ia mendorong tubuh Famira ke lantai dan menarik jilbab Famira, sampai Famira merintih kesakitan. Famira tidak tahu dimana letak kesalahannya, sehingga membuat suaminya itu jadi marah tidak jelas.

"Kamu tidak usah menunjukkan muka sedih kamu, di hadapanku. Dan perlu kamu ingat aku menikahimu bukan karena cinta tapi karena kasihan ...," ucapnya dan mendorong lagi tubuh Famira.

"Kenapa Tuan harus kasihan samaku?" tanya Famira menahan sakit.

"Itu karena kamu wanita lemah, dan juga aku menikahi kamu karena ingin balas dendam karena kamu sudah berani menolakku," ucap Bara dengan nada suara kian meninggi," Ini bukan seberapa kekerasan yang aku lakukan dengan kamu, aku akan membuat hidupmu menderita di sini," lanjutnya lagi penuh dengan ancaman.

Famira menangis dalam diam, ingin melawan tapi Famira tidak punya tenaga.

'Kuatkan hambamu ini ya Rabb," batin Famira.

Bara melempar bantal dan selimut kepada Famira. "Kamu tidur di lantai malam ini, aku jijik tidur bersama orang miskin seperti kamu. Nanti aku dapat kesialan lagi!" tegas Bara menghina lalu menutup tubuhnya dengan selimut, "Ingat di lantai jangan tidur di sofa!" tegasnya kembali. Famira mengangguk pasrah.

Famira tidur di lantai beralaskan selimut, air mata mengalir di pipinya dan matanya tidak bisa terpejam memikirkan nasibnya yang sungguh malang.

Pernikahan yang di anggap akan mendapatkan kebahagiaan dan menyempurnakan ibadah namun, nyatanya hanya kesengsaraan dan kekerasan yang dialaminya.

Jangan menikah hanya karena jatuh cinta, Jangan menikah hanya karena harta dan janganlah menikah hanya karena iba. Tapi menikahlah karena kau yakin bahwa bersamanya surga menjadi lebih dekat denganmu.

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!