Praang!!
Terdengar suara pecahan kaca dari arah kelas 1 A, semua guru SD yang ada di ruang guru itu saling berpandangan.
Dari arah luar ruangan, seorang cleaning servis datang dengan tergopoh-gopoh menemui para guru yang ada di ruang itu.
"Gawat! Anak itu kembali berulah, sekarang dia melemparkan botol minum temannya hingga mengenai kaca, dan sekarang salah satu kaca jendela kelas satu pecah!" lapor cleaning servis itu.
"Kau panggil teman-teman mu untuk membereskan pecahan kaca itu!" titah Bu Dita, guru kesenian.
Cleaning servis itu segera membalikan tubuhnya, dan keluar dari ruangan itu.
Bu Dita juga keluar, hendak melihat kejadian itu.
Pak Roni, kepala sekolah SD itu, nampak menarik nafas panjang, sambil mengelus janggutnya.
"Hmm, kemana wali kelas 1A?" tanya Pak Roni.
"Bu Dinda masih ijin Pak!" sahut beberapa guru yang lain.
"Ijin? Bukankah dia tidak jadi menikah? Cuti sudah tidak berlaku lagi dong!" ujar Pak Roni.
"Yah tapi kan dia masih shock Pak, namanya juga orang baru gagal menikah!" cetus Bu Ribka, guru matematika.
Ceklek!
Tiba-tiba pintu di buka dari luar, Dinda, guru baru wali kelas satu itu masuk, semua orang yang ada di ruangan itu menatap ke arahnya.
"Nah, ini dia, Bu Dinda, kau urus murid mu yang luar biasa itu sekarang, ayo! Sebelum dia berulah lagi, sebelum para orang tua murid demo, soal kelakuan anak itu!" titah Pak Roni.
"Baik Pak!"
Tanpa banyak bertanya, Dinda bergegas keluar dari ruang itu menuju ke kelasnya.
Semua murid terlihat duduk di dalam kelas, mendengarkan ceramah Bu Dita, di depan kelas, berdiri Chika, seorang murid yang selalu di jauhi teman, karena kelakuannya yang nakal nya di atas rata-rata.
Seorang cleaning servis terlihat sedang membersihkan pecahan kaca.
Perlahan Dinda masuk ke dalam kelasnya itu, Bu Dita menoleh ke arahnya.
"Bu Dinda, kebetulan kau sudah datang, aku baru saja menegur muridmu ini, belum juga mulai belajar, sudah buat perkara!" ujar Bu Dita.
"Baik Bu, trimakasih, sekarang biar saya mengurusnya!" ucap Dinda.
Bu Dita kemudian bangkit berdiri dan bergegas meninggalkan ruang kelas itu.
Dinda menatap Chika tajam, bukan hanya sekali anak ini berbuat ulah, belum lama dia memukul kepala temannya memakai pensil, hingga kepalanya berdarah, waktu itu chika juga pernah iseng melemparkan guru olah raga spidol, hanya karena dia tidak menyukai pelajarannya.
Beberapa kali orang tua murid protes, karena ulah Chika yang di luar batas kewajaran, kalau ada murid lain yang mengganggunya, anak itu tidak segan-segan untuk memukulnya.
"Chika, tadi pagi apa yang kau lakukan? Kenapa kau melempar botol minum temanmu ke jendela, hingga kacanya pecah!? Jawab!" tanya Dinda dengan mata yang masih menatap anak itu.
Anak itu diam saja, tanpa menjawab pertanyaan Dinda.
Di bangku sudut dekat tembok, seorang murid laki-laki menangis, karena botol minumnya yang baru di lempar Chika, hingga tutupnya pecah.
"Chika nakal Bu! Hukum saja!" cetus seorang murid yang duduk di bangku belakang.
"Chika di pindahkan saja kelasnya Bu, aku tidak mau berteman dengannya!" timpal seorang anak yang lain.
"Kalian semua diam! Ibu tidak bertanya pada kalian!" sergah Dinda.
Kelas menjadi hening seketika.
"Chika, sekali lagi Ibu tanya, kenapa kau melakukan perbuatan itu?" tanya Dinda.
Anak itu tetap diam mematung di tempatnya, sebenarnya Dinda tidak sampai hati melihat anak yang baru berusia enam tahun itu, harus berdiri di depan kelas karena kesalahannya.
"Bu Dinda, Edo bilang aku tidak bisa ikut acara hari Ibu tanggal 22 Desember besok!" ujar Chika tiba-tiba.
Dinda mengerutkan keningnya, kemudian dia mendekati Chika dan memegang kedua bahu nya, sedikit membungkuk untuk mensejajari anak itu.
"Apa maksudmu Chika? Kenapa Edo bilang begitu?" tanya Dinda.
"Edo bilang aku tidak punya Ibu, jadi aku tidak bisa ikut acara hari Ibu besok!" sahut Chika.
Anak itu menunduk, seperti tidak mau menunjukan perasaan hatinya pada orang lain.
Ada yang terenyuh di sudut hati Dinda, baru saja dia batal menikah hanya karena dia tidak tau siapa ayahnya, kini di hadapannya, seorang anak marah terhadap temannya hanya karena di bilang tidak punya Ibu.
Dinda terdiam tanpa mampu untuk mengucapkan apapun pada anak ini.
"Chika, kau duduklah di tempatmu!" ucap Dinda melembut.
Anak itu pun langsung beranjak duduk di bangkunya.
"Edo, sekarang juga kau minta maaf pada Chika! Lain kali Ibu tidak mau mendengar lagi kau mengatai Chika!" titah Dinda pada anak yang menangis tadi.
Edo lalu bangkit dari duduknya dan mendekati Chika, mereka kemudian saling menjabat tangan.
****
Bel pulang sekolah berbunyi, anak-anak berhamburan ke luar kelas.
Dinda berjalan cepat menyusuri lorong sekolah, menuju ke ruang kepala sekolah, karena Pak Roni memanggilnya, terkait masalah Chika yang memecahkan kaca tadi pagi.
"Bu Dinda!" Panggil Bu Ribka dari arah belakang.
Dinda menghentikan langkahnya, kemudian menoleh ke arah Bu Ribka, yang kini berdiri tidak jauh dari tempatnya.
"Ada apa Bu Ribka?" tanya Dinda.
"Sudah pernah bertemu Papanya Chika belum?" tanya Bu Ribka.
"Belum Bu, aku kan belum lama mengajar di SD, memangnya kenapa ya?" tanya Dinda.
"Papanya Chika itu duda lho, masih muda, pengusaha kaya, ganteng lagi! Dengar-dengar, sekitar dua tahun lalu, Mamanya Chika meninggal, dan sampai sekarang dia masih betah menduda!" jawab Bu Ribka.
Dinda mengerutkan keningnya mendengar ucapan Bu Ribka, rekan sesama guru itu.
"Lho, lalu apa hubungannya denganku Bu?" tanya Dinda bingung.
"Yah, tidak ada hubungannya sih, hanya sekedar informasi, Dengar-dengar nih, suster yang mengasuh Chika tidak ada yang betah di rumahnya, karena kenakalannya itu, kata Bu Dita, Chika bakal terancam di keluarkan dari sekolah, karena banyak orang tua murid yang protes!" jelas Bu Ribka panjang lebar.
Bu Ribka memang suka sekali mengobrol dan bergosip, walaupun dia baik, terkadang kalau bicara dia suka keceplosan.
"Ah, Chika hanya anak kecil, baru juga kelas satu SD, sekarang aku mulai paham, apa alasan Chika menjadi nakal di sekolah, juga di rumah, dia hanya kurang kasih sayang Ibu!" ucap Dinda sambil kembali melanjutkan langkahnya menuju ruang Pak Roni.
Seorang anak nampak berlari-lari ke arah Dinda dan Bu Ribka.
"Bu Dinda! Putri menangis di lobby Bu, katanya Chika merebut dan menghabiskan bekal makan siangnya!" kata seorang anak kelas satu murid Dinda itu.
"Ya Tuhan! Apalagi yang di perbuat anak itu! Belum kelar yang satu, sudah berulah yang lain!" seru Dinda nampak frustasi.
Bersambung ...
****
Hai ... Hai ... Hai
Ini Novel terbaru author ya, jangan lupa dukungan nya ya guys, dan jangan lupa juga favorit kan cerita ini.
Akan slow update karena menunggu cerita yang satu tamat.
Trimakasih ...
Dengan cepat Dinda berjalan ke arah lobby, dia lupa niatnya semula, bertemu dengan Pak Roni di ruangannya.
Seorang anak perempuan menangis di bangku lobby, tidak jauh dari situ terlihat Chika sedang asyik memakan sesuatu dari tempat makan temannya itu.
"Putri, kenapa kau menangis?" tanya Dinda sambil mengusap kepala Putri, anak perempuan yang menangis itu.
"Chika mengambil makananku Bu, padahal aku baru mau memakannya!" sahut Putri sambil terisak.
Dinda lalu beringsut mendekati Chika yang duduk di sudut bangku lobby itu.
"Chika, Kenapa kau mengambil bekal makan siang milik Putri? Apa kau tidak membawa bekal makan siang hari ini?" tanya Dinda.
"Aku lapar Bu!" sahut Chika singkat.
"Kalau kau lapar, kau bisa meminta ibu untuk membelikan makanan, kenapa kau harus mengambil makanan yang bukan milikmu?" tanya Dinda.
Chika tidak menjawab pertanyaan Dinda, Dia kemudian langsung menutup tempat makanan itu, lalu memberikannya pada Putri tanpa merasa bersalah.
Tak lama kemudian, nampak seorang wanita datang menghampiri Dinda yang masih duduk di situ.
Putri nampak langsung berdiri dan memeluk wanita itu, yang tak lain adalah mamanya.
"Mama! Tadi Chika mengambil bekal makananku, dia menghabiskan makananku Ma!" kata Putri mengadu kepada mamanya.
Mamanya Putri langsung melotot ke arah Chika, yang masih duduk tidak jauh dari situ.
Melihat kejadian itu Dinda cepat-cepat datang menghampiri mamanya Putri, agar tidak terjadi hal yang tidak menyenangkan di tempat itu.
"Selamat siang Mam, maafkan atas kejadian siang ini ya, nanti kami para guru akan mengganti makanannya Putri, yang sudah dimakan oleh Chika, sekali lagi saya minta maaf!" ucap Dinda sambil mengatupkan kedua tangannya.
"Lho, kok jadi Bu Dinda yang minta maaf? Hukum saja tuh si Chika! Dasar anak tidak tahu aturan! Kalau perlu keluarkan saja dari sekolah, setiap hari kan dia selalu mengganggu murid-murid yang lain!" cetus Mama Putri.
"Maaf Mam, Chika itu hanya anak kecil sama seperti putri, mungkin dia hanya sedikit kurang perhatian saja, saya akan menegurnya, sekali lagi saya minta maaf ya Mam!" ucap Dinda.
"Sudah tahu salah, masih saja dibela! Ayo Putri, kita pulang! kita makan di luar saja sekarang!" ujar mamanya Putri, sambil menuntun Putri berjalan meninggalkan lobby itu.
Setelah Putri dan Mamanya pergi meninggalkan tempat itu, Dinda lalu melangkah mendekati Chika dan duduk di sebelahnya.
"Chika, Apa kau tahu perbuatan mengambil milik orang lain itu salah? Seharusnya kau minta maaf sama Putri dan Mamanya tadi!" ucap Dinda.
"Buat apa aku minta maaf Bu? Aku sudah minta baik-baik sama Putri, tapi dia tidak kasih, sekalian saja aku ambil!" sahut Chika.
"Kalau Putri tidak memberi, berarti kau jangan memaksa, kau harus belajar banyak hal Chika, walaupun ibu belum lama mengajarmu, tapi Ibu simpati dan prihatin terhadap perkembanganmu!" ucap Dinda.
Dari arah tangga atas, turunlah Bu Dita bersama dengan guru-guru yang lain, mereka akan pulang dari sekolah.
"Lho, bu Dinda Masih Disini? Dari tadi Pak Roni mencari lho bu, beliau menunggu ibu di ruangannya!" kata Bu Dita.
"Ya Tuhan! aku lupa, tapi ini Bagaimana? Chika belum dijemput!" ujar Dinda.
"Ah, Chika sih sudah biasa pulang terlambat, tinggalkan saja dia di sini, nanti juga ada yang jemput!" sahut Bu Dita, sementara guru-guru yang lain terlihat sudah keluar dari lobby.
"Tapi ..."
"Jangan terlalu mengurusinya Bu, nanti dia jadi besar kepala, kalau bukan karena Papanya donatur tetap di sekolah ini, pasti sudah lama Chika di keluarkan dari sekolah! Ya sudah deh Bu, aku duluan ya!" ujar Bu Dita sambil melangkah meninggalkan tempat itu.
Dinda hanya menganggukan kepalanya sambil tersenyum kecut.
****
Dinda baru saja selesai bertemu dengan Pak Roni, Pak Roni hanya menyampaikan informasi mengenai kasus Chika, sudah ada keluhan dari beberapa orang tua murid, terkait dengan perilaku Chika di sekolah.
Tugas Dinda adalah merubah karakter Chika, dan membuatnya lebih baik dari sebelumnya.
Karena Dinda Baru beberapa bulan terakhir ini mengajar di SD, sebelumnya Dinda adalah seorang guru TK.
Lobby sudah terlihat sepi, para murid dan guru juga sudah pada pulang.
Namun di sudut bangku lobby itu, Chika masih duduk menunggu di sana.
"Ya ampun Chika, kau belum dijemput juga?" tanya Dinda.
Chika tidak menjawab pertanyaan Dinda, dia hanya menggelengkan kepalanya, terlihat dari wajahnya anak itu begitu lelah.
"Kalau begitu, Bu Dinda akan menunggu Chika di sini, sampai Chika dijemput, sekalian Bu Dinda mau bilang sama orang tua Chika, kalau lain kali tidak boleh menjemput terlalu lama!" ucap Dinda.
"Ngapain Bu Dinda nungguin aku? Bu Dinda pulang saja duluan!" sahut Chika.
"Bu Dinda mana tega meninggalkan Chika sendirian, lagian kenapa sih Chika lama sekali di jemputnya?" tanya Dinda.
"Kata papa, kalau aku dijemput terlambat, Berarti Papa sedang ada meeting di kantor nya!" sahut Chika.
"Memangnya tidak ada lagi yang menjemput Chika selain Papa?" tanya Dinda.
"Dulu ada supir, tapi dia sudah keluar, gara-gara matanya aku semprot pakai saus cabe, habis dia pernah ambil uang Papa di mobil!" jawab Chika.
"Ya ampun Chika, kau ini!" Dinda geleng-geleng kepala membayangkan tingkah nakal anak ini, sampai supir pun mundur.
Dari arah pintu lobby, muncul seorang laki-laki berpostur tinggi, berpakaian formal, dan berwajah menawan, datang menghampiri Chika.
Wajahnya kelihatan datar dan dingin, tidak ada senyum dan matanya terlihat begitu sayu dan sendu, seolah menyimpan kepahitan dalam hidupnya.
"Tuh Papa!" kata Chika sambil menunjuk ke arah laki-laki itu.
Dinda tertegun sejenak, baru kali ini dia bertemu langsung dengan Papanya Chika, penampakannya tidak seseram yang di bayangkannya, Dinda kira, anaknya nakal, Papanya preman, ternyata tidak.
"Chika, ayo kita pulang!" ajak laki-laki itu, yang adalah Papanya Chika.
"Iya Pa, itu Bu Dinda ibu guru aku, hari ini aku nakal, tapi Bu Dinda tidak menghukum aku, tadi dia menunggui aku sebelum Papa jemput!" cerita Chika.
Sekilas Laki-laki itu menoleh ke arah Dinda yang masih duduk di tempatnya.
"Trimakasih Bu!" ucap laki-laki itu datar.
Dinda hanya menganggukan kepalanya sambil tersenyum, kemudian laki-laki itu menuntun tangan Chika melangkah meninggalkan lobby yang kini terlihat sepi itu.
Bersambung ...
****
Yuk dukung karya baru ini supaya tetap lanjut...
Hari ini di sekolah ada acara perayaan hari Ibu, setiap murid membawa ibunya masing-masing untuk di bacakan sebuah puisi, yang dikarang oleh para murid.
Dinda masuk ke dalam kelasnya, semua anak-anak murid nampak sangat antusias, namun ada satu bangku yang kosong, hari ini Chika tidak masuk sekolah, mungkin karena Chika tidak punya ibu yang bisa dia bacakan puisi.
Sejenak Dinda tertegun di depan kelasnya, semua murid nampak bersemangat untuk mengikuti perayaan hari Ibu di sekolah, yang akan dimulai sebentar lagi, namun ada salah satu murid yang dengan terpaksa tidak hadir dalam perayaan itu, hanya karena satu alasan, Dia tidak punya ibu.
Ada yang tersentuh di sudut hati Dinda, dia juga pernah merasakan apa yang Chika rasakan saat ini, bedanya Dinda tidak punya ayah, sejak kecil dia selalu di bully karena dia tidak punya ayah, bahkan sampai dia batal menikah, hanya karena alasan dia tidak punya ayah, ini sangat menyedihkan.
"Bu Dinda! Kapan kita mulai acaranya? Orang tua kita sudah menunggu lho di lapangan bawah, kelas yang lain juga sudah berkumpul di bawah!" tanya seorang murid, yang membuyarkan lamunan Dinda.
"Oh iya, sebentar lagi kita akan turun anak-anak! Nanti pada saat kalian tampil, kalian harus fokus pada ibu kalian masing-masing, dan membacanya juga harus lancar, tidak harus panjang, yang penting jelas!" jelas Dinda.
"Jadi kita kapan bisa mulai Bu? Sudah tidak sabar nih ingin tampil di depan mama!" cetus Putri.
"Oke anak-anak, sekarang kalian bisa turun, ingat pesan Ibu tadi ya, jangan grogi dan tetap percaya diri!" ujar Dinda.
"Horeee!!!"
Anak-anak murid kelas satu pun berlari berhamburan keluar kelas, Dinda masih termangu di kelas itu, sambil menatap Bangku Kosong milik Chika.
Kemudian dengan langkah gontai, Dinda keluar dari kelas, dan berjalan menuruni tangga, untuk mengikuti acara perayaan hari Ibu tersebut.
"Bu Dinda!" Panggil seseorang di belakang Dinda.
Dinda menoleh, orang yang memanggilnya ternyata adalah Pak Roni kepala sekolah SD tempatnya mengajar.
"Ada apa Pak Roni? Ada yang bisa saya bantu?" tanya Dinda.
"Begini bu Dinda, saya baru dapat pesan singkat dari Papanya Chika, Kalau hari ini Chika tidak bisa mengikuti acara di sekolah, minta tolong di absen kan ya Bu!" jawab Pak Roni.
"Baik Pak, walaupun acara ini masuk dalam nilai sekolah, saya akan memberikan pengecualian untuk Chika, karena yang saya dengar, Chika tidak punya ibu!" ucap Dinda.
"Benar Bu, kasihan Chika, sebenarnya dia anak yang cukup pintar, hanya saja tertutup oleh kenakalannya!" ujar Pak Roni.
"Kalau begitu, saya pamit ke bawah dulu ya Pak, anak-anak sudah menunggu saya, mereka tidak sabar untuk tampil!" pamit Dinda. Pak Roni menganggukan kepalanya mempersilahkan.
Dinda kemudian langsung turun ke bawah, mendampingi para murid-muridnya, untuk tampil naik ke atas panggung.
Tiba-tiba Bu Dita, guru kesenian itu, datang tergopoh-gopoh menghampiri Dinda, nafasnya nampak tersengal-sengal, seperti habis berlari dengan jarak jauh, keringat membasahi wajahnya.
"Bu Dinda! Gawat Bu! Itu si Chika baru datang sama seorang suster, datang-datang dia langsung berbuat ulah, dia melempari mobil-mobil yang terparkir pakai batu, suster nya juga kualahan!!" seru Bu Dita.
"Apa?? Chika datang? Tadi Pak Roni baru saja memberitahu, kalau Papanya Chika bilang Chika tidak datang ke sekolah, kenapa tiba-tiba dia datang?" tanya Dinda bingung.
"Ya mana aku tahu bu? Sudah, kau urusi saja tuh murid mu, biar aku yang menunggui anak-anak yang akan tampil, daripada nanti Chika mengganggu anak-anak yang lain!" sergah Bu Dita yang langsung duduk menggantikan posisi Dinda.
Tanpa menunggu, Dinda langsung berjalan cepat menuju ke arah parkiran yang dimaksud oleh Bu Dita tadi.
Dari kejauhan, Dinda melihat Chika yang melempari mobil-mobil dan motor-motor yang terparkir itu, dengan batu-batu Kerikil yang dipungut, tidak jauh dari tempat parkiran itu.
Seorang wanita yang mengenakan seragam suster, nampak kebingungan dan beberapa kali mencegah tindak brutal anak itu.
"Chika!!" teriak Dinda.
Chika menghentikan aksinya, kemudian dia menoleh kearah Dinda, tatapan matanya menyiratkan kemarahan, entah apa yang terjadi dengan anak ini.
Perlahan Dinda mendekati Chika, lalu memegang bahunya yang mungil itu.
"Kalau Chika datang, Kenapa tadi tidak naik ke atas? Kenapa kau melempari mobil dan motor-motor itu dengan batu-batu? Itu kan akan merusak, dan kau pasti akan dimarahi oleh pemilik kendaraan itu!" tanya Dinda.
"Biarkan saja Bu! aku sengaja kok supaya acaranya batal! Aku benci hari ibu!" seru Chika.
Suster yang dari tadi nampak kebingungan, seketika mendekat ke arah Dinda dan Chika.
"Aduh maaf bu guru, padahal dari pagi Papanya sudah wanti-wanti Chika jangan berangkat sekolah, tapi tadi Chika mengancam kalau Saya tidak Mengantar ke sekolah, dia akan mengamuk di rumah, ya terpaksa saya antar dia ke sekolah!" ungkap Suster itu.
Dinda menganggukkan kepalanya, kemudian Dinda menuntun Chika berjalan ke arah lobby, dan kemudian mereka duduk di sana, sang Suster juga mengikuti dari belakang.
"Chika, Ibu tidak suka perbuatanmu barusan, dengan alasan apapun, perbuatanmu itu tetap salah!" tegas Dinda.
"Tapi Bu..."
"Tidak ada alasan apapun! Sekali salah, tetap salah, dan Ibu tidak suka sifat brutal mu yang seperti itu!" cetus Dinda.
"Jadi ibu juga membenci Aku sama seperti yang lain??" tanya Chika sambil berdiri.
"Tidak!"
"Tapi Ibu bilang Ibu tidak suka!"
"Ibu tidak suka perbuatanmu, bukan berarti Ibu membencimu! kau harus paham itu!" ujar Dinda.
Chika diam saja tanpa menjawab lagi ucapan dari Dinda, anak itu hanya diam dengan sorot mata yang terlihat ada ada raut kesedihan dan kekecewaan.
Tiba-tiba turun gerimis, disertai dengan suara petir yang menggelegar, acara yang digelar di lapangan sekolah, tiba-tiba bubar dan dialihkan ke ke aula sekolah.
Dari pintu kaca lobby, yang menembus ke arah parkiran, terlihat sebuah mobil mewah yang terparkir di parkiran itu, kemudian turunlah seorang laki-laki membawa payung setengah berlari menuju ke lobby.
"Chika! kau ini nakal sekali! Papa sudah katakan kau jangan datang ke sekolah! Tapi Kau tidak mendengarkan papa! Apa maumu?? kau selalu saja membuat Papa malu!!" sengit Papanya Chika itu, sambil menjewer telinga Chika, hingga Chika meringis kesakitan.
"Aduh! Sakit Pa! Sakit!!" jerit Chika.
"Ayo pulang!!" Papa Chika langsung menyeret anak itu keluar dari lobby, di ikuti oleh susternya, menembus derasnya hujan yang mulai mengguyur.
Dinda terpana melihat pemandangan di depannya, hatinya tiba-tiba sakit, sangat sakit, sama sakitnya seperti saat dia gagal menikah.
Bersambung ...
****
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!