Di kamarnya, Haris masih tidur pulas, posisinya tengkurap, sprei tempat tidurnya juga berantakan. Suasana kamar sedikit lengang, hanya ada dua suara yang beradu, yaitu suara televisi yang menyala dan bunyi dengkuran Haris yang terdengar nyaring.
Tapi sekejap ketenangan itu berubah.
“Krriiiiiiiiiiiiiiiiinnnggg!” terdengar bunyi panjang dan keras dari alarm telepon genggam yang ada di atas meja kamar.
Spontan saja Haris terjingkat, kaget dan bangun mendadak dari tempat tidur. Dilihatnya jam alarm.
“Mamamia.! Kenapa beta atur bunyi jam sepuluh? Harusnya jam tujuh." Haris menggerutu sembari mengusap wajah. Ia menyalahkan dirinya karena rencana untuk olahraga pagi dan mengambil baju pinjaman di teman akhirnya batal.
Selain itu, ia juga kesal karena semalam tidur sudah pukul dua pagi. Logat daerahnya masih belum bisa hilang meskipun sudah hampir tujuh tahun tinggal di Jakarta. Ia pindah ke Jakarta untuk melanjutkan pendidikan di SMA setelah lulus dari SMP di Ambon. Omnya mengajak untuk lanjut sekolah di Jakarta saja, untuk bantu meringankan beban keluarganya yang masih punya tanggungan adik empat orang.
Haris coba mengucek kembali matanya, seakan belum yakin dengan jam alarm yang ia lihat. Wajahnya kusam, rambut acak-acakan.
"Seorang pemuda nekat memanjat tiang sutet listrik dan hendak bunuh diri dengan cara terjun dari ketinggian delapan belas meter tiang sutet karena putus cinta dengan pacarnya,” suara presenter berita televisi terdengar dan Haris baru sadar jika ia juga lupa mematikan televisi.
“Aduh ale ... kalau jatuh cinta atau putus cinta itu biasa. Tidak perlu ada drama. Macam sinetron saja, hidupnya penuh drama, edodoe ...” gerutu Haris sambil meraih remot untuk mematikan televisi. Ia merasa anak zaman sekarang semakin pendek akalnya sampai nekat melakukan hal bodoh.
Perlahan Haris menarik nafas panjang dan menghembuskannya, lalu meletakkan kembali remot di atas meja. Seketika matanya tertuju pada sebuah undangan reuni yang tergeletak di dekat handphone di atas meja. Dahinya berkerut dan tampak berpikir. Ia ambil undangan itu dan dilihatnya sejenak.
Spontan saja ia kaget karena baru sadar setelah teringat kejadian tiga hari lalu saat ia menerima undangan dari kawan lama. Undangan itu bukan sekedar undangan, tapi spesial karena punya maksud khusus yaitu sebuah tantangan yang ia anggap mempertaruhkan harga dirinya sebagai laki-laki.
Mendadak Haris mulai panik dan meletakan begitu saja undangan spesial tersebut. Beberapa kali ia mondar mandir ingin melakukan sesuatu tapi bingung. Untungnya sebuah ide sempat terlintas di benaknya. Ia bergegas ingin ke luar kamar, tapi saat melewati lemari bercermin ia kaget melihat dirinya. Tampak berdada bidang dan otot kekar tapi hanya memakai celana boxer bergambar Hello Kitty. Haris tidak jadi keluar karena malu jika ketahuan orang di rumahnya.
Dilihatnya sejenak celana pendek selutut yang tergeletak di lantai, lalu cepat diambil dan ia pakai. Setelah itu Haris melangkah mendekati pintu kamar, mulai mengintip keadaan di luar. Merasa yakin tidak ada orang, ia mulai mengendap-ngendap menuju ke kamar Adi, adik sepupunya yang masih SMK kelas dua. Dadanya berdebar saat berjalan pelan dan akhirnya sampai juga di depan sebuah kamar yang tidak jauh dari kamarnya. Sebelum masuk, Haris kembali mengamati keadaan sekitar, takut ada om atau tantenya, atau pembantu di rumah yang melihat.
Perlahan gagang pintu diputar, ternyata tidak terkunci. Haris membuka dan mengintip ke dalam kamar, tidak ada orang. Hatinya senang karena merasa rencananya akan berhasil. Aksinya ia lakukan dengan sangat tenang dan senyap, mengalahkan aksi James Bond 007 dalam hal menyelinap. Semua filmnya sudah tamat ia nonton, juga beberapa aktor dari film action lainnya. Bukan hanya menonton, ia juga mempelajari teknik dan kiat jitu dalam menjalankan suatu misi. Kecerdasan menjadi kunci utama dalam menyusun rencana dengan baik.
Setelah diam sejenak, Haris mendengar dari arah kamar mandi dekat dapur sempat terdengar bunyi air seperti orang sedang mandi walaupun sudah berhenti bunyinya. Haris merasa yakin bahwa yang sedang mandi adalah Adi.
Tanpa banyak membuang waktu, Haris langsung masuk mengendap. Seperti misi rahasia yang bergerak cepat dan sunyi, Haris beraksi dengan cepat mengambil sesuatu, kemudian secepatnya berjalan keluar kamar dengan tergesa-gesa.
“Aman,” ucapnya pelan ketika mengintip keadaan di luar kamar. Tanpa membuang waktu, Haris langsung mengendap keluar dari kamar Adi sambil membawa sesuatu yang disembunyikan dalam dekapannya. Langkah kakinya jingkat, berharap agar tidak bersuara.
Sementara itu, Adi baru saja keluar dari kamar mandi memakai handuk. Ia sempat terkejut karena melihat tingkah kakak sepupunya.
“Bang Haris ngapain tuh?” pikirnya. Adi belum tahu apa yang terjadi dan kembali cuek sambil terus berjalan menuju kamarnya.
Adi tetap bersikap tenang dan santai masuk kamar, menutup dan mengunci pintu, lalu menuju cermin besar di pintu lemari kamar sambil bersiul riang. Ia asyik memperhatikan wajahnya di cermin. Mulutnya dimonyong-monyongkan, berusaha bergaya menirukan ekspresi model alay ibukota.
Usai melihat wajah di cermin, perhatian Adi tertuju pada sebuah lembaran foto ukuran 6 R yang tertempel di kiri atas cermin lemari. Adi memandang riang foto seorang gadis manis berpakaian seragam SMA dan senyum-senyum sendiri.
“Tenang aja, besok, aku pasti berani nyatakan cinta padamu. Kalau besok belum berani juga ... ya, besoknya lagi.” Adi bicara sambil coba ingin mencium foto tersebut, tapi ketinggian.
“Oya, sekalian juga aku akan olahraga gantung badan, biar bisa sama tinggi denganmu. Nggak apa aku gantung badan, asal bukan cinta dan perasaanku yang kamu gantung. Oh Senja, pujaanku.” Adi makin ngelantur. Lembar foto itu sengaja dicetak karena ia tidak puas jika hanya melihat dari layar telepon genggam miliknya.
Tanpa sadar Adi sempat melihat pantulan jam dinding di cermin yang menunjukkan pukul 10.15 waktu Indonesia barat, Adi menyudahi membayangkan sang pujaan. Hari ini ia sudah berencana bolos karena terpengaruh ajakan teman yang mengajaknya ikut suatu kegiatan lain di luar sekolah.
Ketika Adi balik belakang, ia jadi terkejut melihat di dinding dekat pintu, yang tergantung tinggal topi dan dasi SMK miliknya. Di sebelahnya ada tas sekolah.
“Seragam gue mana ya? Perasaan tadi sebelum mandi sudah tergantung di situ, habis disetrika si mbok. Kenapa nggak ada?” Adi berpikir sejenak dan kembali melihat sekitarnya.
Tiba-tiba, Adi jadi sadar, terkejut, dan ingat sesuatu.
“Bang Hariiiss!” teriak Adi panik, dan langsung keluar kamar.
Dari dalam rumah, Adi melihat Haris baru saja keluar pintu depan ruang tamu, gelagapan, panik, dan buru-buru pergi keluar rumah menggunakan seragam putih abu-abu.
Seragam itu terlihat sempit karena usianya yang sudah dua puluh dua tahun. Tapi Haris tidak peduli dan terus melangkah cepat keluar pagar karena tidak ingin Adi berhasil mengejarnya. Ia juga tidak peduli walau hanya mencuci muka tanpa mandi, demi bisa hadir tanpa terlambat.
“Bang Haris! Seragam guueeee..!” Adi kesel dan emosi, hanya melihat dari balik pintu ruang tamu. Ingin mengejar tapi batal karena handuknya sempat kendor akan melorot.
@ @ @
Mentari pagi cukup cerah bersinar tapi tidak begitu terasa panas pagi ini. Sebagian sinarnya terhalang beberapa pohon rindang yang memberi keteduhan dan seringkali jadi tempat berlindung di kala siang matahari terik.
Di dalam sebuah bajaj, Haris terlihat mengutak-atik telepon genggam miliknya.
“Halo ... halo.” Haris coba menelpon seseorang tetapi tidak tersambung.
“Ini kenapa sih, jaringan atau apa ya? Sudah coba telepon tapi gagal terus. Cuma bunyi tulalit. Lo ke mana Van, kok nggak bisa dihubungi.” Haris bicara sendiri agak kesal.
“Kenapa bang, nggak bisa tersambung ya?” tanya supir bajaj.
“Tau nih, dari tadi nggak bisa terus," sahut Haris masih coba mengutak atik teleponnya.
“Kadang emang gitu operator. Ada juga yang nggak enaknya tuh, nelpon kagak masuk tapi pulsa kepotong. Ditambah lagi sering banget ada SMS kagak jelas, menang undianlah, minta pulsalah, macam-macam deh. Sampe bikin kesal. Heran aja, nomor nggak dikenal itu dari mana ya bisa dapat nomor kita? Harusnya operator bisa melindungi kita sebagai pelanggan, konsumen, eh ini malah jadi merasa dirugikan. Makin banyak penipuan," celoteh supir bajaj jadi curhat tanpa diminta. Awalnya cuma jawab singkat justru malah mengeluarkan unek-uneknya.
“Iya bang, sering gitu. Ini sudah berapa kali coba juga belum bisa," jelas Haris menahan kesal.
“Kalau belum bisa, coba cek pulsanya, jangan sampe kepotong, atau malah nggak ada pulsa bang," saran supir bajaj.
"Oya bang, mudah-mudahan saya nggak terlambat ya. Soalnya buru-buru nih," pinta Haris mulai panik karena takut semakin terlambat.
Tanpa banyak tanya, supir terus mengendarai bajajnya dan tiba-tiba ia menikung mendadak. Haris kaget, bahkan hampir terjungkal ke samping jika tidak segera berpegangan.
“Cepat sih cepat, tapi hati-hati juga bang," pinta Haris masih kaget.
“Hehe ... maaf bang, tadi aksi sedikit biar nggak keduluan mobil ama motor, biar nggak kejebak macet. Biar cepat sampai,” jelasnya sambil tertawa kecil melihat di spion ekspresi Haris yang kaget.
“Iya. Tapi tadi kayaknya abang udah jago, udah bisa saingan balap sama Valentino Rosi,” canda Haris untuk mengatasi rasa kagetnya tadi.
“Bisa aja nih abang. Kalau nggak mahir dan lincah ngeles rasanya kek bukan supir bajaj, iye nggak?” tanyanya sembari tawa.
Haris hanya ketawa nyengir. Setelah itu ia masukan teleponnya ke saku dan sekilas ia melihat kembali baju yang dikenakannya. Pikiran Haris melayang membayangkan seperti apa Adi saat ini, pasti ia akan marah.
“Maaf ya Di, bang Haris terpaksa lakukan karena urusan mendadak dan penting,” pikir Haris karena sempat diliputi rasa bersalah. Tapi juga rasa khawatir dan yakin Adi nanti akan marah padanya.
Tapi Haris mulai mencari alasan dan cara yang tepat untuk bisa menjelaskan nanti. Baginya saat ini ia tertolong dan bisa datang ke acara yang dianggapnya sangat penting. Walaupun ia merasa baju yang dipakai sempit dan sedikit kurang nyaman, tapi masih lebih baik daripada tidak ada sama sekali.
“Bang, ini kita ambil jalan pintas aja ya. Lewati gang sebentar. Udah dekat tuh depan sono, tapi biar nggak nunggu macet lama, ambil jalan pintas aja ya," seru supir bajaj.
“Iya, ambil jalan yang cepat," Haris membenarkan duduknya dan bersiap pegangan agar tidak terjatuh jika supir mulai beraksi balap lagi.
Bajaj kembali melaju dan belok masuk jalan kampung. Untung saja bajaj ini sudah tidak seperti bajaj lama yang bunyinya berisik mengalahkan bunyi kerumunan bebek. Bajaj biru bahan bakar gas ini bunyinya sudah lebih halus.
Haris berpegangan karena bajaj melaju cukup cepat dan jalannya lincah menghindari motor, mendahului, atau menghindari orang menyeberang. Setelah aksi singkat tersebut, akhirnya mereka sampai juga.
“Bang, berhentinya di sini aja, nggak usah persis di depan gerbang," pinta Haris seraya menyiapkan ongkos. Bajaj menepi di pinggir jalan dan Haris turun tergesa-gesa dari bajaj. Setelah menerima ongkos dan berterima kasih, sang supir bajaj berlalu pergi.
Sementara itu, di halaman SMA 007 BANGSAKU yang ada di Jakarta selatan sedang ramai, tapi bukan oleh siswa, karena siswa-siswinya semua sudah masuk kelas. Keramaian di halaman depan sekolah ini mulai dipenuhi oleh belasan orang remaja dewasa. Mereka alumni sekitar empat tahun lalu di sekolah tersebut. Beberapa di antaranya hadir bersama pasangan.
Tiga orang guru yang tidak sedang mengajar pagi ini tampak menemani alumni yang datang. Melepas rindu sekedar berbincang santai. Tapi ada juga alumni yang berpelukan histeris saat bertemu teman-teman lama dan saling menanyakan kabar.
Mereka larut terbawa euforia karena lama tidak bertemu. Memanfaatkan waktu sesempatnya karena sebentar lagi alumni satu angkatan yang mulai datang ini akan rapat pemantapan persiapan pengadaan acara reuni di sekolah tersebut. Mereka meminjam ruang aula SMA untuk rapat persiapan reuni yang akan dilaksanakan dalam waktu dekat.
Di tepi jalan, berjarak sekitar lima belas meter dari pintu gerbang, Haris mulai berjalan mendekat sambil memperhatikan keadaan sekitar. Ia melihat dan mencari keberadaan Novan karena sudah janjian akan datang bersama.
Setibanya dekat gerbang sekolah, Haris berhenti dan kembali melihat-lihat sekitar. Hampir saja ia ingin langsung masuk ke halaman sekolah, tapi seketika ia merasa ragu dan hanya mondar-mandir di depan gerbang. Dua orang satpam penjaga yang sedang berdiri di bagian dalam gerbang sekolah jadi memperhatikan dan mulai terus mengamatinya.
“Ngapain tuh anak mondar mandir kayak mesin ketik aja,” celetuk salah seorang satpam yang mengamati dari dalam pos sekolah. Tapi celetukannya tidak begitu dihiraukan teman satpam satunya karena sedang menerima panggilan telepon.
Sudah semenit lebih mondar mandir, Haris semakin ragu. Ia ingin masuk tapi takut dimarahi satpam, takut menjawab jika ditanya kenapa datang sendiri dan telat? Ia jadi teringat kenangan buruk yang sering dihukum push up karena datang terlambat, tidak disiplin. Walaupun satpam saat ini bukan satpam ketika ia masih sekolah dulu, mereka satpam yang baru masuk bekerja setahun lalu.
Sebenarnya bukan hukuman itu yang ia takuti, melainkan rasa malu karena diketahui banyak temannya. Apalagi jika diketahui oleh gadis pujaan yang diincarnya, bisa remuk dan hancur reputasinya sebagai pria.
Haris mulai bimbang dan gelisah.
“Mamamia, beta masuk saja apa tidak ini? Novan juga mana, apa dia sudah masuk duluan ya? Kenapa seng tunggu beta.” Haris bicara bercampur logat Ambon. Ia jadi bingung dan kembali coba mengintai keberadaan Novan di sekitarnya tapi tidak juga dilihatnya.
Di dalam sekolah, dari lorong depan gedung ia melihat beberapa teman alumninya mulai beranjak menuju gedung aula.
Haris makin bingung, antara memikirkan jawaban dan juga gugup dengan tatapan selidik dari satpam yang sedang bertugas meski dari jarak beberapa meter.
“Mau ikut rapat persiapan acara reuni juga ya bang?” tanya salah satu satpam. Nada bicaranya datar, tanpa senyum, sambil berdiri depan pos ketika Haris mencoba lebih dekat ke celah pintu gerbang yang sedikit terbuka dan ingin masuk ke dalam komplek sekolah.
“Eee … iii ... iya pak,” jawab Haris gugup. Tapi ia tidak mau melihat wajah satpam. Ia tidak ingin ketahuan dari ekspresi wajahnya jika ia sedang cemas dan merasa ada yang salah.
Setelah mengumpulkan keberanian dan hilangkan rasa gugup, Haris memberanikan diri untuk masuk menyusul teman almuni yang ada di dalam. Ia melangkah melewati pintu gerbang dan pos satpam untuk menuju ke arah gedung serta lapangan yang ada di sebelah dalam, tempat para alumni lain telah berkumpul.
Satpam terus memperhatikan Haris dari ujung kaki sampai ujung rambut, menatap penuh selidik. Sedangkan Haris masih tetap melangkah meski mulai grogi karena menyadari dipelototi satpam. Langkah kakinya tidak meyakinkan akibat perasaan gugup.
Tanpa banyak bicara, Haris mempercepat langkahnya dan tidak menoleh sedikit pun. Ia berharap lolos dan bisa cepat sampai di dalam menyusul teman-temannya. Beberapa sudah sempat menghubunginya semalam dan menanti untuk bertemu, melepas kerinduan, menanyakan kabar, dan berbagai hal lainnya. Haris terus coba alihkan rasa gugup dengan coba memikirkan hal lain, membayangkan betapa senangnya bertemu kembali dengan kawan lama.
Ketika Haris coba tenangkan diri untuk atasi rasa gugupnya, tiba-tiba terdengar suara teriakan.
“Berhenti!” hardik satpam yang ia lewati tadi.
Satpam itu agak berlari mendekati Haris yang mulai panik, berdiri grogi diam mematung di tempat tanpa melanjutkan langkahnya.
“Bahaya kalau ketahuan nih,” batin Haris. Menyadari situasi yang tidak diinginkan, Haris makin gugup ketika satpam mendekatinya.
@ @ @
Ketika sampai di dekat Haris, tanpa senyum, tanpa basa-basi, satpam langsung bicara tegas dan lugas pada Haris yang tampak gugup.
“Maaf bang, anak SMK nggak bisa ikut. Acara ini untuk alumni SMA sini aja. Abang ’kan SMK, bukan alumni sini, jadi nggak bisa masuk ke dalam. Sebaiknya keluar sekarang,” tegas satpam berbadan kekar, lebih kekar dari Haris. Satpam itu mencoba memegang logo SMK di lengan kiri Haris.
Melihat lengan bajunya dipegang, Haris baru sadar dan salah tingkah. Ia merasa tertangkap basah, tidak bisa menyangkal bukti nyata yang ditemukan satpam.
Seketika pikirannya melayang liar teringat agen 007. Haris coba cari akal dalam hitungan detik yang bisa membantunya keluar dari masalah, tapi hasilnya nihil, tidak ada. Ia jadi sadar, tidak semua yang ia pelajari dari film berhasil. Ia juga sadar bahwa kehebatan agen James Bond itu ternyata hanya di film, tapi bukan di dunia nyata. Ia terperdaya karena terlalu kagum dan lupa bahwa di film sang jagoan pasti akan selalu menang walau sudah terluka, kena tembak, tertangkap, tapi masih berhasil lolos. Bahkan yang sudah luka parah babak belur juga masih tetap bisa kuat dan hidup kembali.
“Beta ... eh, gue, eh, saya ...” Haris makin gugup dan grogi, sampai salah ucap. “Saya alumni SMA di sini juga pak, tapi baju seragam saya yang dulu sudah tidak ada. Sudah saya coret-coret saat lulus dan tidak tahu bentuknya sekarang sudah seperti kain pel lantai. Ini seragam SMK adik sepupu saya, sumpah pak, Kalau bapak tidak percaya, periksa saja di daftar alumni sekolah ini, pasti ada nama saya; Haris," jelasnya berusaha meyakinkan meskipun ia sendiri tidak percaya diri ketika memberi penjelasan.
“Hei bang, saya nggak bodoh. Masa mau nyuruh saya lihat daftar alumni dari tahun ’63 sampai sekarang tahun 2021?! Bisa mati berdiri saya, sampai malam nggak selesai ngecek bukunya yang tebal banget. Yang benar aja dong," tegas satpam mulai emosi.
"Yah, yang suruh lihat dari angkatan awal siapa? Lagian ngapain juga abang lihatnya dari tahun awal berdiri sekolah? Kayak orang kurang kerjaan saja," lanjut Haris coba menjelaskan.
"Eh, ini kok jadi menyalahkan saya?" jelas satpam makin emosi, ekspresi wajahnya makin jelas menunjukan muka tidak senang.
"Eh, bukan gitu pak. Maksud saya nggak menyalahkan, cuma kasih tahu tadi." Haris coba menenangkan sambil berusaha tersenyum meskipun dipaksakan.
"Sudah deh, jangan banyak alasan dan berdebat. Saya malas berdebat kusir, kayak anggota dewan, debat nggak selesai-selesai, mutar ngeles kayak bajaj. Sekarang mending pulang saja!"tegasnya semakin kesal dan mulai tidak ramah kepada Haris yang dianggapnya melawan.
"Lagian, kita sudah sering diganggu anak-anak dari SMK mas, tetangga sebelah. Kemarin, anak-anak dari sekolahan mas jadi biang kerok, sampai ada siswa di sini meninggal akibat tawuran. Ayo cepat keluar! Jangan bikin onar di sini!” lanjutnya kembali tanpa kompromi.
Haris terkejut mendengar protes tersebut. Ditambah lagi aksi spontan satpam yang menarik tangan Haris, menuntunnya untuk keluar dari pagar sekolah dengan paksa.
Dalam hati Haris jadi dongkol. Ia merasa diperlakukan seperti anak kecil yang dipaksa pulang dari warung karena merengek tidak dibelikan permen. Ingin rasanya ia protes dan menjawab langsung satpam. Tapi ia sadar kalau seragam yang ia gunakan justru membuktikan kesalahannya. Ia takut karena berada di pihak yang salah.
"Pak, dengar dulu,” ucapnya. Haris ingin coba jelaskan tapi satpam sudah cuek.
“Nggak usah banyak bicara! Simpan saja protesmu itu untuk anggota dewan dan pejabat. Mereka lebih pantas dapat protes," sahut satpam dengan tegas, lalu menutup penuh gerbang agar tidak dilalui Haris.
Merasa tidak bisa diajak bicara dan bekerja sama, Haris jadi jengkel. Rasa gugupnya hilang dan berubah jadi kekesalan. Dari luar pagar Haris sempat mengejek dan mengumpat satpam tersebut.
“Huuh! Baru juga jadi satpam sudah belagu. Memangnya sekolah ini milik lo sendiri?” protes Haris kesal.
“Eh, tadi bilang apa? Jangan dipikir saya nggak dengar ya.” Satpam marah dan balik badan untuk kembali menuju ke luar gerbang menghampiri Haris. Ia kesal dan bersiap menghajar Haris sambil mengacungkan pentungan.
“Mamamia ... beta kira dia cuma main-main.” Haris kaget dan panik. Tanpa pikir panjang, ia berusaha kabur, tapi masih ingin meluapkan kekesalannya. Haris kembali mengejek dengan menjulurkan lidah ke arah satpam.
Melihat kelakuan Haris, satpam semakin emosi dan langsung mengejar sambil kembali mengacungkan pentungan. Ia teringat dengan peristiwa sebelumnya saat sering melerai anak sekolah tawuran. Ia ingin luapkan kekesalan atas kebandelan pelajar yang masih sering tawuran.
“Awas ya! Jangan lari. Kalau jantan, hadapi saya!" Hardik satpam.
“Cie ... jantan. Emangnya ayam pake jantan segala?” balas Haris sambil menahan tawa.
Satpam makin emosi dan serius ingin menghampiri Haris. Giginya beradu dan tatapan matanya tajam. Ia laksana singa yang siap menerjang mangsanya.
Melihat perubahan ekspresi dan tatapan tajam satpam, Haris kaget. Tanpa pikir panjang ia langsung berlari sekencangnya. Tapi satpam sudah terlanjur tersinggung, nalurinya sebagai pemberani menyeruak. Sebagai lelaki ia merasa hal ini sudah harus diselesaikan sesama lelaki, ia ingin adu fisik. Ia tidak ingin kalah dari Haris, pemuda berbadan kekar bercambang tipis tersebut. Teman satpam yang tadi sibuk main telepon jadi kaget, ia ingin mengejar tapi tidak jadi karena harus ada yang jaga gerbang. Ia hanya melihat heran saja pada rekan kerjanya tersebut.
Kejar mengejar terjadi di jalanan sekitar sekolah yang ada di Jakarta selatan. Sekuat tenaga Haris berlari kencang menghindari satpam yang terus mengejar. Tidak puas sampai di situ, satpam yang sudah terlanjur tersulut emosinya juga sempat memberitahu beberapa pemuda yang sedang nongkrong di salah satu pos pangkalan dan warkop pinggir jalan.
“Kejar berandaal itu! Dia mau bikin rusuh di SMA sini lagi seperti sebelumnya. Tangkap biang kerok perusuh itu!” tegas satpam sambil terus mengejar. Ternyata beberapa orang itu merupakan preman yang biasa mangkal di warkop dan pangkalan ojek dekat situ. Mereka langsung bereaksi.
"Ayo cepat tangkap, jangan sampai lolos!" sahut salah seorang preman. Kejadian makin ramai dan menegangkan. Empat pemuda dan remaja ramai-ramai ikut mengejar Haris.
Saat menoleh ke belakang, Haris semakin panik karena bertambah banyak orang yang mengejar. Ia berusaha belok ingin masuk wilayah lain untuk bisa sembunyi, tapi masih terlacak dan aksi kejar-kejaran yang seru terus berlanjut.
“Edodooee ... mau baku dapa deng beta? Kejar kalau bisa. Beta sudah tamat belajar cara James Bond dan Jacky Chan meloloskan diri. Lari, panjat dinding, tembok, loncat ke atas mobil, itu gampang.” Haris mengoceh sambil terus berlari menirukan aksi Jacky Chan melewati beberapa pagar trotoar dan rintangan motor yang parkir sembarangan di trotoar. Kejar-kejaran masih terus berlanjut menimbulkan kegaduhan, beberapa orang yang melintas terkejut dan berhenti menyaksikan.
@ @ @
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!