Seorang gadis cantik berkulit kuning Langsat, dan rambut hitam yang tergerai indah dengan pakaian minim yang membalut tubuh indahnya berjalan dengan anggun masuk ke sebuah hotel bintang lima dan menuju kafe yang berada di dalamnya, di ikuti seorang wanita paruh baya yang tentu saja masih terlihat cantik di usianya. Kemudian gadis tersebut menghentikan langkahnya sebelum menuju meja di mana dirinya akan bertemu dengan seseorang.
“Bibi Berta. Apa aku harus melayani pria tua itu?” tanya Jane pada sang bibi yang sedari tadi mengikuti dirinya. Saat Jane melihat seorang pria yang sudah berumur dengan perut buncit sedang menunggu kedatangannya di sebuah meja yang sudah di reservasi sebelumnya oleh bibi Berta.
“Bagus bukan. Jadi kamu tidak perlu waktu lama untuk bermain,”
“Belum tentu juga Bi, kalau dia menggunakan obat kuat bagaimana?”
“Tenang saja. Ini bekal seperti biasa,” ucap bibi Berta sambil menaruh bungkusan kecil di dalam tas milik Jane
“Baiklah. Demi seratus juta,” sambung Jane sambil tersenyum karena baru kali ini dirinya akan mendapat imbalan uang sebanyak itu. Karena biasanya dirinya hanya di beri imbalan tidak lebih dari lima puluh juta itu pun tidak setiap hari, paling cepat dua minggu sekali mengingat lagi Jane tipe pemilih untuk melayani kliennya.
“Cepat temui dia. Bibi akan selalu mengawasi kamu. Bibi sudah memegang kunci cadangan sebelum melakukan cek in,”
“Siap Bi,” ucap Jane singkat sambil merapikan riasan, rambut dan juga baju yang melekat di tubuh indahnya sebelum menjalankan tugasnya untuk memuaskan pelanggan yang menyewa jasanya. Sebagai pemuas nafsu pria hidung belang yang sudah hampir satu tahun lebih Jane geluti bersama sang bibi. Untuk memenuhi kehidupan mewahnya yang tidak lagi dirinya dapatkan dari kedua orang tuanya, yang sudah meninggal karena kecelakaan dan semua harta benda peninggalan kedua orang tuanya juga di sita oleh bank. Dan dengan cara ini Jane bisa mendapatkan uang yang banyak, apa lagi dengan wajah cantiknya dan tubuh indahnya para pria hidung belang yang melihat Jane bagaikan melihat mata air di gurun pasir yang akan membayar mahal untuk bisa menghabiskan malam bersama dengan Jane. Meskipun Jane juga harus pandai memilih pria yang akan menemaninya. Jika Jane belum mendapat bayaran penuh, Jane juga tidak akan melayani pria hidung belang tersebut.
Jane yang sudah menghampiri pria yang akan menyewa jasanya. Langsung duduk di pangkuan pria tersebut sambil melingkarkan kedua tangannya di lehernya. Dan tak lupa Jane tersenyum manis memperlihatkan bibir ranum yang bervolume, membuat semua pria langsung berfantasi saat menatap bibir Jane tidak terkecuali pria yang sekarang memangku Jane sambil memegang pinggul Jane yang ramping. Yang langsung ingin mencium bibir Jane sebelum Jane menahan wajah pria yang sudah berumur tersebut yang pantas menjadi ayahnya di banding menjadi partner Jane malam ini.
“Kenapa baby?” tanya pria tersebut sambil mengerutkan dahinya.
“Kita kenalan dulu dong om,”
“Jangan panggil om dong baby,”
“Terus aku harus memanggil dengan sebutan apa?” tanya Jane sambil menggigit bibirnya dan jari-jari lentiknya sudah bermain di dada sang pria tersebut dengan lihai untuk memberi rangsangan.
“Panggil daddy saja oke baby,” jawab pria tersebut yang langsung meraih tangan Jane dan beralih mencium telapak tangannya. “Apa kamu siapa baby?”
“Tentu dad,”
“Baik kalau begitu berikan permainan terbaikmu malam ini,” ucap sang pria sambil menyalip kan rambut Jane ke belakang telinga.
“Oke dad,” sambung Jane yang langsung beranjak dari pangkuan pria tersebut dan langsung memeluk lengan pria tersebut ke arah sebuah lift menuju kamar hotel tempatnya beraksi malam ini, yang sudah di sewa oleh bibi Berta sebelumnya.
*
*
*
“Emmmm ahhhh baby,” Suara de sa han dari pria tersebut yang sekarang tidak menggunakan sehelai benang pun yang melekat di tubuhnya dan sedang duduk di pinggiran ranjang kamar hotel, ketika sedang menikmati permainan dari Jane di bawah sana.
“Sial kenapa lama sekali adik kecil ini memuntahkan laharnya,” gumam Jane dalam hati sambil terus memainkan adik kecil pria tersebut menggunakan jari-jari lentiknya dengan begitu lihainya.
“Baby kapan kita mulai?”
“Tenang dad aku tidak suka bermain langsung. Aku suka melakukan pemanasan terlebih dahulu, terlebih lagi adik kecil dad ini begitu lucu, dan aku suka memainkannya,” Bohong Jane sambil tersenyum padahal selama menekuni dunianya sekarang, belum pernah sekalipun Jane bermain sungguhan, dirinya memuaskan nafsu para hidung belang hanya menggunakan tangan dan sesekali menggunakan cara lain. Tanpa harus mengorbankan keperwanannya yang selama ini dirinya jaga.
“Baby aku sudah tidak tahan naiklah,” perintah sang pria sambil menghentikan tangan Jane yang masih bermain di adik kecilnya dan Jane langsung tersenyum mengikuti perintah sang pria. Tahu apa yang harus di lakukan bila cara pertama tidak berhasil.
Dan tidak butuh waktu lama Jane menggunakan cara kedua membuat pria tersebut mengerang merasakan kenikmatan saat adik keciknya memuntahkan lahar dan Jane langsung berlari masuk ke dalam mandi.
“Sial,” gumam Jane dalam hati ketika keluar dari kamar mandi dan mendapati pria tersebut tersenyum ke arah Jane sambil merentangkan tangannya dan adik kecilnya masih saja berdiri tegak di bawah sana membuat Jane langsung balas tersenyum dan menuju sebuah meja untuk mengambil minum.
“Minumlah dulu dad sebelum kita mulai permainan yang sebenarnya,” ujar Jane sambil memberikan segelas air dan pria tersebut langsung meminumnya sampai habis, membuat Jane langsung tersenyum senang. “oke kita mulai lagi dad,” ujar Jane sambil menarik tangan pria tersebut naik ke atas tempat tidur dan dirinya mulai menurunkan sedikit demi sedikit pakaian yang masih melekat di tubuhnya. “Dan sekarang kita mulai, satu, dua, tiga, empat dan lima,” gumam Jane dalam hati sambil tersenyum senang saat pria tersebut langsung jatuh di atas ranjang dan memejamkan matanya dengan nafas yang teratur saat sebelumnya Jane memberikan minum yang sudah dirinya campur obat tidur. Dan itulah yang selama ini Jane lakukan jika pria yang membayarnya begitu perkasa, hingga dirinya bisa menjaga kehormatannya. Dan bertepatan dengan pintu kamar hotel tersebut di buka oleh seseorang.
"Lama sekali, tidak terjadi sesuatu padamu kan Jane?"
"Tidak, benar kata aku Bi, pasti tua bangka ini minum obat kuat," ujar Jane sambil merapikan riasannya, saat bibi Berta masuk ke dalam kamar hotel di mana sekarang dirinya berada untuk memastikan keponakannya tersebut baik-baik saja.
"Yang penting kamu aman kan?"
"Tenang saja aman, oh ya Bi, langsung pulang ya aku lelah,"
"Oke sayang, uang kita cukup untuk dua minggu ke depan, jadi kita bisa bernafas lega. Apa kamu melakukan cara lain?"
"Menurut bibi? Dan aku ingin muntah bila mengingatnya,"
"Maaf sayang," bibi Bertha langsung memeluk pinggul Jane dan keluar dari kamar hotel tersebut.
Bersambung................
Jane yang sedang tertidur pulas, untuk menghabiskan sisa-sisa paginya, menarik selimut miliknya kembali saat ada yang menariknya.
"Bibi, ini masih pagi, jangan ganggu aku," suara parau Jane dengan mata yang masih terpejam, tahu kebiasaan sang bibi bila di pagi hari.
"Pagi kamu bilang, ini sudah siang bolong,"
Jane yang tadi tidur sambil tengkurap sekarang beralih menelentangkan tubuhnya, dan membuka sebelah matanya, saat mendengar suara seorang pria yang tidak asing baginya.
"Oh kamu, ada apa pagi-pagi datang kemari?"
"Pagi kamu bilang Jane, ini sudah tengah hari bolong, dasar gadis pemalas!"
Jane tidak menanggapi ucapan pria tersebut, dan malah menarik tangannya hingga terjatuh tepat di samping Jane, dan Jane langsung memeluknya.
"Jangan berisik sini aku peluk,"
"Jane, awas–
"Awas apa, burung kamu saja tidak bisa berdiri tegak Zain, sudahlah kamu pasti mengantuk kan, jam berapa semalam kamu pulang berjualan?"
"Jam tiga pagi,"
"Oh sayangku, kamu pasti lelah," ujar Jane sambil mengeratkan pelukannya.
Zain, pemuda tampan yang selalu Jane hina saat keduanya masih duduk di bangku sekolah menengah atas.
Tapi saat teman dekat Jane menjauhinya karena Jane sudah tidak memiliki apa pun, Zain datang mengulurkan tangannya dan menjadi penguat dan pendengar yang baik bagi Jane, hingga Jane yang dulu selalu membuly Zain sekarang bersahabat dekat dengannya hingga tidak ada jarak di antara ke duanya, dan bagi orang yang baru mengenal ke duanya berfikir Jane dan juga Zain adalah pasangan kekasih.
Zain pun balas memeluk Jane. "Jane,"
"Hem," jawab Jane dengan malas saat Zain memanggilnya.
"Kenapa burungku tidak bisa berdiri ya?"
"Entahlah, tapi setiap aku pergi melayani pria hidung belang, hanya dengan memegangnya, milik mereka sudah berdiri tegak, tapi saat aku memegang milikmu tetap saja tidur, sepertinya kamu memiliki kelainan Zain,"
"Mungkin aku tidak ada bakat jadi pria hidung belang Jane,"
"Bagus kalau begitu, siapa juga yang mau sama kamu, dompet aja tipis," ujar Jane sambil tertawa.
"Terus saja hina, aku pasrah,"
"Cup cup cup marah nih ye," Jane melepas pelukannya lalu beranjak dari tidurnya, saat kantuknya tiba-tiba hilang entah ke mana, tapi tidak dengan Zain yang masih di tempatnya.
Jane mengikat rambut dengan penjepit rambut, lalu menatap ke arah Zain yang terlentang dengan bertumpu ke dua tangannya, dan melihat wajah yang berbeda dari sahabatnya tersebut.
"Ada apa denganmu? Apa kamu sedang memiliki masalah?"
"Tidak,"
"Kenapa wajahmu seperti itu,"
"Aku ingin mengatakan sesuatu,"
"Apa?"
"Kamu tahu aku sudah tidak memiliki siapa pun di sini,"
"Kan ada aku yang selalu bersama denganmu Zain,"
"Bukan itu Jane,"
"Iya tahu, jangan serius begitu kenapa,"
"Karena ini serius, mungkin kita tidak akan bertemu lagi,"
"Jangan bercanda,"
"Tidak, aku tidak bercanda, hari ini aku akan pulang kampung menemani nenek dan aku tidak akan kembali lagi ke sini,"
Mendengar perkataan Zain, Jane langsung menatap intens wajah sahabatnya tersebut.
"Kamu yakin?"
"Untuk saat ini seratus persen aku yakin, aku sudah bosan hidup di ibu kota, karena tidak ada kemajuan materi yang aku dapatkan, kamu tahu sendiri semua pekerjaan sudah aku tekuni, tapi aku begini-begini saja tidak ada kemajuan, ingin melamar ke perusahaan, apalah dayaku yang hanya memiliki ijazah sekolah menengah atas," ujar Zain dirinya pun sama dengan Jane, setelah di tinggal ke dua orang tuanya hidupnya berubah drastis dan tidak lagi meneruskan pendidikannya, dan Zain bertahan hidup dengan cara bekerja serabutan yang tidak pasti, padahal Jane sudah menyuruhnya untuk mencoba ikut casting, karena wajah Zain sangatlah menjual, tapi Zain menolak karena dasarnya Zain adalah tipe pria pemalu dan tidak percaya diri, hingga dulu saat di bangku sekolah dirinya menjadi bahan bullyan.
"Zain kita masih muda, kita baru dua puluh tahun, masih banyak jalan untuk kita bisa sukses,"
"Tapi–
"Sssstt," Jane menaruh jari telunjuknya tepat di bibir Zain untuk menghentikan ucapannya. "Jangan katakan apa pun lagi, jika kamu pergi, bagaimana dengan aku Zain?"
"Ada bibi Bertha yang bersamamu,"
"Tapi aku ingin tetap bersamamu, aku tidak ingin jauh darimu Zain,"
"Jangan bicara seperti itu, seolah oleh kita seperti pasangan kekasih,"
"Sebenarnya aku mau jadi kekasihmu, tapi aku urungkan karena burung mu tidak bisa berdiri,"
"Kurang ajar kau Jane!" Zain menarik tangan Jane dan membawanya ke dalam pelukan dan tidak lupa Zain, menggelitik perut Jane.
Bersambung..............
Zain maupun Jane masih berada di atas tempat tidur yang sama dan keduanya masih saling berpelukan, setelah Zain puas menggelitik perut sahabatnya tersebut.
"Jane,'
"Hem,"
"Kapan kamu akan berhenti dari pekerjaanmu?"
Jane melepas pelukannya dan beranjak dari tidurnya, lalu menatap Zain yang sekarang juga sudah beranjak dari tidurnya, dan duduk sila tepat di hadapannya.
"Kenapa kamu berkata seperti itu?"
"Aku hanya tidak ingin sesuatu yang buruk menimpa dirimu Jane, mungkin sekarang kamu bisa menjaga diri, tapi tidak tahu nanti,"
Dan hembusan nafas kasar keluar dari bibir Jane, benar apa yang di katakan oleh sahabatnya tersebut.
"Terus aku–
"Jane, kalau kamu tidak pernah bersyukur seberapa pun uang yang kamu dapatkan tidak akan pernah cukup, dan sekarang aku tanya padamu, baju, sepatu, tas, perhiasan dan semua merek branded yang kamu miliki untuk apa? Tidak ada gunanya. Jangan bilang kamu ingin memamerkan itu semua pada teman-teman yang sudah menghinamu dulu, itu tidak ada gunanya Jena. Hidup itu bukan untuk memamerkan apa yang kita miliki,"
Jane menautkan kedua alisnya menatap sahabatnya tersebut, lalu Jane menempelkan punggung tangannya di kening Zain.
"Zain kamu baik-baik saja?"
"Jane aku sedang tidak bercanda, aku mengatakan dengan serius," Zain meraih tangan Jane yang masih memegangi keningnya. "Jane!"
"Tapi aku tidak bisa sepertimu Zain, yang menerima apa saja hinaan dari mereka, aku ingin menunjukkan pada mereka aku juga bisa memiliki apa yang mereka memiliki,"
"Tapi cara kamu salah Jane,"
Jane menghela nafasnya kasar, lalu turun dari tempat tidurnya tidak ingin menanggapi perkataan Zain yang semuanya benar. Jane menghentikan langkahnya saat ingin keluar dari kamar, saat Zain memanggil dan berjalan menghampirinya.
"Bagaimana kalau kamu ikut aku ke kampung dan memulai hidup baru di sana,"
"Maaf Zain aku tidak bisa, jika kamu ingin pulang kampung pulanglah," ujar Jane yang langsung keluar dari kamar meninggalkan Zain seorang diri.
Dan Zain pun dengan segera mengikuti Jane dan merangkul bahunya.
"Jangan ngambek gitu lah, maaf jika aku lancang mengatakan ini, apa kamu yakin mengijinkan aku pulang?"
Mendengar perkataan Zain, Jane menghentikan langkahnya, lalu melepas tangan Zain yang masih merangkul bahunya, dan menatapnya.
"Aku mengijinkan kamu pulang, tapi kamu tidak boleh menetap di sana, kamu harus segera kembali, aku tidak bisa jauh dirimu Zain,"
"Aku usahakan,"
"Benarkah? Kamu tidak bohong?" tanya Jane penuh antusias dan langsung memeluk Zain saat sahabatnya tersebut menganggukkan kepalanya. "Terima kasih Zain,"
"Iya tapi lepaskan dulu pelukanmu, aku tidak bisa bernafas Jane,"
"Maaf," Jane langsung melepas pelukannya, lalu melangkahkan kakinya menuju ruang makan, saat merasakan lapar yang luar biasa.
Jane mendengus kesal saat di meja makan dirinya tidak menemukan apa pun untuk di makan.
"Jangan begitu, lebih baik kita cari makanan di luar Jane,"
"Memang kamu memiliki uang, ingin mengajakku makan di luar,"
"Tentu saja punya, semalam aku mendapat bayaran dua kali lebih banyak dari biasanya, karena warung pecel lele bang ucok laris manis,"
"Berapa?" tanya Jane penasaran sambil mendekat ke arah Zain.
"Dua ratus ribu,"
Jane tertawa kencang saat mendengar jawaban dari Zain, lalu Jane menoyor kepala sahabat tersebut.
"Dasar malih, dua ratus ribu di bilang banyak, aku dong satu malam seratus juta,"
"Tapi aku mencari uang dengan cara halal Jane,"
"Kamu kira aku mencari uang dengan cara ngepet, aku juga mencari uang dengan cara halal,"
"Halal apanya,"
"Ya jelas halal lah, aku menyediakan jasa, dan mereka membutuhkan jasaku iya kan?"
"Ajaran sesat itu Jane,"
"Sudah jangan banyak ngemeng, sekarang gendong aku ke kamar, aku ingin mandi setelah itu baru kira makan di luar, tenang saja aku yang akan membayarnya, aku tahu kamu kere,"
Jane langsung memeluk Zain dari belakang memintanya untuk menggendong, dan Zain pun langsung menggendong Jane di punggungnya dan berjalan kembali menuju kamarnya.
"Kamu sudah mandi belum Zain?"
"Kenapa? Jangan bilang minta gosokin punggung,"
"Itu tahu, mau ya?"
"Tidak, aku sudah mandi tadi di kosan,"
"Ah tidak asyik kamu Zain,"
"Bodo amat," sambung Zain dan masuk ke dalan kamar, mengingat kembali jika keduanya juga sering mandi bersama, dan Zain yang selalu menggosok punggung Jane.
Bersambung....................
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!