NovelToon NovelToon

My Beautiful Lawyer

1

Seorang pria paruh baya duduk melamun di luar ruang pengadilan. Dia menatap jam di tangan kirinya, waktu menunjukkan pukul 12.57, sidang yang akan dia jalani adalah pukul 13.30.

Seorang pria gagah menggunakan seragam jaksa menghampirinya dan mengajaknya untuk bersiap dan masuk ke sebuah ruangan dekat dengan ruang pengadilan yang akan digunakan.

"Anda bisa baca dulu semua yang harus anda utarakan di sidang nanti. Diingat dan jawablah sesuai dengan apa yang tertulis dengan santai dan tegas, lalu usahakan terlihat alami, terlihat anda menjawabnya sendiri" ucap Frans.

Jaksa berusia 35 tahun yang sudah cukup lama bergelut di banyak persidangan itu memberikan petunjuk apa yang harus dilakukan kliennya dalam persidangan nanti.

Beberapa saat kemudian datang seorang gadis cantik dengan kemeja putih dan celana hitam katun. Dengan memegang map berkas persidangan di tangan kanan, juga jubah jaksa di tangan kirinya, dia membungkuk sedikit untuk menyapa jaksa seniornya.

"Selamat siang Pak!" ucap Hasna.

"Siang!" jawab Frans dengan sedikit acuh.

Hasna duduk dan bersiap memakai jubah jaksanya. Dia merapikan diri kemudian duduk lalu memeriksa berkas pertanyaan yang akan dia lontarkan pada Pak Wahyudin, pihak pertama yang menuntut kliennya.

Ini adalah kasus perdana bagi Hasna Maulida Fadilah, setelah dia lulus dengan nilai terbaik di usia ke 24 tahunnya. Hati dan pikirannya sedang herusaha kuat untuk tak gentar menghadapi seniornya yang sudah terkenal dalam memenangkan setiap pertarungan sidang.

Banyak orang yang kagum pada Frans Sinaga karena ketegasan dan kecakapannya dalam menghadapi lawannya di sidang. Banyak juga yang mengatakan bahwa dia tak sedikit melakukan beberapa kecurangan dalam membantu kliennya untuk keluar dari masalah.

"Ini kasus perdana mu, seharusnya kamu memilih dengan benar mana yang harus kamu pertahankan dengan mana yang seharusnya kamu abaikan" ucap Frans sambil memeriksa berkas miliknya.

Hasna menatapnya dengan seksama berusaha mengerti apa yang Frans katakan.

"Heh..apa yang ada dalam pikiran mu hingga kamu berani melawan ku di persidangan? Apa dengan kalah dari ku sudah cukup membuat mu merasa bangga? Sehebat itukah aku dalam pandangan mu?" lanjut Frans menertawakan Hasna.

Hasna hanya tersenyum, dia tak menjawab meski Frans sudah menggertaknya juga menertawakan pilihannya.

#

Semua bermula dari kedatangan Fajri Megantara seorang penyelidik kepolisian, padanya pertama kali untuk meminta bantuannya membela seorang ibu yang menjadi gila setelah kehilangan anak semata wayang mereka.

Balita Nara ditemukan meninggal di ranjangnya sesaat setelah para bapaknya keluar dari mesjid dan mushola setelah ibadah sholat subuh.

Ibu Nara sedang ke kamar mandi untuk bersiap melaksanakan shalat subuh setelah suaminya keluar dari rumah hendak pergi ke mesjid.

Rina tak dapat mendengar suara apapun dari luar karena suara mesin jet pumpnya yang sudah jelek dan berisik setiap kali dinyalakan. Saat keluar dari kamar mandi pun dia tak mendengar apapun. Dia melanjutkan bersiap memakai mukena dan mendirikan sholat.

Setelah selesai berdzikir dan berdoa, dengan perlahan dia ke dapur untuk menanak nasi dan menyiapkan sarapan untuk suaminya sebelum berangkat kerja.

Beberapa saat setelah itu, dia berjalan menuju kamarnya. Alangkah terkejutnya dia saat putrinya Nara tak bergerak, bernafas atau pun merengek.

Nara yang biasanya rewel karena mengidap penyakit sindrom rett tak sama sekali terdengar suaranya. Rina berteriak histeris sembari menggendong Nara putrinya, dia berlari keluar meminta bantuan pada tetangganya.

Semua tetangga datang dan mengerumuninya. Beberapa dari mereka ikut menangis atas kepergian Nara. Ada juga yang dalam hatinya mengatakan lega karena takkan terganggu lagi oleh tangis Nara yang mengganggu mereka pada malam hari.

Wahyudin datang menghampiri dan bertanya apa yang terjadi. Dia melihat Rina memeluk putrinya yang sudah kaku tak bernyawa. Tangisnya mulai keluar, Wahyudin ikut menyebut-nyebut nama Nara dalam sedihnya.

Wahyudin dan Rina sedang bersedih, tapi seorang detektif bernama Fajri Megantara mencurigai kejanggalan kematian Nara. Dia diam-diam memeriksa TKP dan mendapatkan sebuah bukti.

Wahyudin mengetahui hal itu dari seorang petugas polisi, bahwa seorang detektif tanpa menyebut namanya, sudah menemukan sebuah bukti bahwa Nara telah dibunuh.

Wahyudin mendadak meminta untuk menghentikan penyelidikan terkait anaknya dengan alasan tidak mau nenyakiti jasad anaknya untuk keperluan otopsi. Terlebih saat itu, istrinya Rina mengalami syok berat atas kehilangan anaknya.

Namun penyelidikan tetap di lakukan. Wahyudin pun menerima semua yang diminta kepolisian untuk mendukung penyelidikan.

Suatu malam, Wahyudin menatap istrinya yang sedang menangis histeris di pojok kamar. Suaranya mengganggu para tetangga yang akan beristirahat. Wahyudin tak tahan, dia kesal dan memukul istrinya agar dia diam. Namun Rina meminta ampun pada Wahyudin dan bicara aneh.

"Ampun pak! Aku ngga bunuh anak aku pak!"ucap Rina ketakutan sambil menangis.

Wahyudin langsung menemui polisi dan melaporkannya. Dia melaporkan semua yang dikatakan Rina istrinya.

Polisi melakukan penangkapan pada Rina yang saat itu histeris menangis memeluk selimut anaknya. Hari itu semua tetangga juga mengerumuni rumah Pak Wahyudin untuk menonton.

Hasna di tunjuk sebagai pengacara pembela Bu Rina karena masih bergabung di kejaksaan umum. Hasna yang baru lulus dari universitas dipercaya untuk menangani kasus ini. Dengan bantuan dari Fajri, Hasna mendapat sebuah petunjuk dan beberapa bukti.

#

Tepat 13.25, mereka sudah diberi tahu untuk bersiap untuk memasuki ruang persidangan. Frans dan Pak Wahyudin masuk lebih dulu, sedangkan Hasna masuk setelah Bu Rina diantar ke meja terdakwa di sampingnya.

Hasna tersenyum saat Bu Rina menatapnya. Bu Rina dengan refleks membalas senyumnya. Dalam keadaan ini, Bu Rina sama sekali tak mengenali Hasna meski telah beberapa kali menemaninya menemui Dokter Rian Rangga, seorang dokter psikologis.

Rian menyarankan agar Rina tak diperlihatkan benda-benda yang berhubungan dengan putrinya, karena ada kemungkinan dia akan menjadi histeris.

Maka dari itu, Dokter Rian dan asistennya ikut menunggu di ruangan khusus bila terjadi sesuatu, karena akan banyak hal yang menyinggung tentang kematian Nara.

Sidang dimulai, para hakim dan saksi datang. Semua orang berdiri menyambut. Seorang notulen bicara untuk membuka sidang.

Hari ini sidang untuk menyebutkan tuntutan jaksa penuntut pada terdakwa dan pembelaan dari jaksa pembela.

Frans menyebutkan tuntutan yang di tuduhkan pada terdakwa Bu Rina setelah menunjukkan bukti-bukti yang dia miliki.

"Bu Rina telah membunuh anaknya sendiri dikarenakan stress yang dialaminya selama mengandung hingga balita Nara berumur 4 tahun. Bu Rina harus di hukum atas perbuatannya melenyapkan anak kandungnya sendiri" ucap Frans.

"Silahkan pembela, untuk memberikan pembelaan dan bukti-bukti!" ucap Hakim Danuarta.

"Terima kasih yang mulia!" jawab Hasna.

"Bu Rina mengalami stress sesaat setelah kehilangan putrinya, balita Nara Rasyatama" ucap Hasna sambil membagikan hasil pemeriksaan dari Psikolog.

"Bu Rina melakukan semua kegiatan rumah tangga dan kegiatan sosial juga kegiatan kesehatan rutin balita Nara. Dalam setahun terakhir terdakwa tercatat melakukan pemeriksaan kesehatan balita Nara di sebuah rumah sakit swasta dibawah pengawasan Dr. Anak Stepanus Christian. Secara mental, terdakwa sehat dan terkendali dengan pemberian semangat dari tenaga perawat untuk merawat balita Nara dan berjuang tanpa lelah" jelas Hasna.

Wahyudin membulatkan matanya seolah terkejut dengan apa yang dia dengar. Bu Rina memiringkan kepalanya dan melihat wajah setiap orang yang bicara.

"Dari TKP, terdakwa terbukti waras dari kegiatan rutinnya menyiapkan hidangan untuk suami dan anaknya. Terdakwa bahkan sudah membuat nasi tim dengan sayur"

Hasna memperlihatkan foto-foto yang diambil saat kejadian. Beserta foto Bu Rina yang memeluk putrinya yang sudah terbujur kaku. Bu Rina bereaksi, dia berdiri melihat putrinya yang sudah menutup mata.

Perawat dan Dokter Rian bersiap untuk kemungkinan yang akan terjadi. Namun Hasna memberikan makanan ringan dari sakunya untuk Bu Rina, agar dia lebih tenang.

Hasna melanjutkan, beberapa saksi di hadirkan pada saat itu, para dokter, perawat juga tetangga yang mengetahui keadaan Bu Rina. Semuanya membela Bu Rina.

Lalu Pak Wahyudin berteriak.

"Lalu kenapa dia mengatakan kalau dia ngga sengaja bunuh Nara. Aku dan adikku mendengar sendiri ucapannya!"

Semua orang terkejut dengan reaksinya, mereka menatap wajahnya yang merah padam karena tak menyangka Hasna akan melakukan penyelidikan mendalam untuk keluarga sederhana seperti mereka.

Pak Wahyudin diperingatkan untuk tak berteriak dalam ruang sidang. Namun dia berjalan menuju kotak saksi dan bicara.

"Aku dengar wanita itu mengatakan membunuhnya. Namun...dia memang terlihat sudah sangat menyerah dengan keadaan putri kami karena sindrome rett yang dideritanya" ucapnya mengendalikan nada suaranya.

"Pak Wahyudin yang terhormat! Apa anda tahu istri anda melakukan cek rutin ke rumah sakit untuk balita Nara?" tanya Hasna.

Pak Wahyudin dengan percaya diri mengangguk namun tak bicara.

"Tidak, Anda tidak mengetahuinya. Anda bahkan tidak tahu makanan dan obat apa yang harus diberikan pada Nara setiap pagi, siang dan malam. Anda baru mengetahuinya hari ini dan itu pun dari ku!" ucap Hasna dengan tegas.

Pak Wahyudin hendak mengelak.

"Aku tahu...dia suka cerita! Tapi...karena aku sibuk mencari uang untuk biaya pengobatan jadi aku sering lupa pada kebiasaannya"

Hasna tersenyum menertawakannya. Frans mengajukan keberatan atas respon Hasna.

"Keberatan yang pak hakim, jaksa tidak berhak menertawakan jawaban saksi!" ucap Frans sambil menatap Hasna tajam.

Hasna melipat bibirnya ke dalam dan berusaha menahan mengendalikan kekesalannya.

"Jaksa pembela, diharapkan tidak bersikap subjektif" ucap hakim.

"Maaf pak Hakim!" ucap Hasna.

Dia mengambil berkas rincian biaya yang dikenakan pada pemeriksaan rutin juga pengobatan balita Nara.

"Balita Nara di obati dan melakukan pemeriksaan secara gratis atas bantuan pemerintah dan donasi dari para relawan kesehatan lembaga swasta Care Sindrome Indonesia. Tidak ada biaya yang Bu Rina atau Anda sebut dikeluarkan sendiri. Bahkan terdakwa mengantar balita Nara atas kebaikan Pak Harun saksi yang saya hadirkan tadi" jelas Hasna.

Pak Wahyudin diam karena sudah ketahuan bohong. Frans kesal manatapnya, dia merasa telah membela yang salah dan merasa akan kalah.

"Pak Wahyudin tercatat memang tak pernah terlihat buruk dimata tetangga dan kerabat. Namun dari pemeriksaan psikologi terdakwa, terdakwa punya trauma mendalam atas penyiksaan Pak Wahyudin atas kekesalannya terhadap nasib yang dialaminya, yang memiliki keturunan dengan penyakit sindrome rett"

Sekali lagi Hasna memberikan bukti rekaman pemeriksaan Bu Rina.

2

Dalam video.

Mata Bu Rina menatap ke sebuah arah yang tak tentu. Bu Rina dengan wajah yang menyesal, takut, marah dan bimbang, perlahan bicara tentang semua hal yang dia lihat.

Pagi itu, sebelum dia mandi, dia kembali lagi ke kamar Nara untuk memastikan keadaan anaknya. Namun langkahnya terhenti saat melihat suaminya berdiri di dekat kasur dan hendak mencekik anaknya.

Dia hendak mencegah, namun dia teringat dengan perkataan seorang keluarga pasien rumah sakit yang sama tentang dirinya yang tak mungkin tahan dengan keadaan anaknya. Dia hanya menghabiskan waktu dan tenaga untuk memperjuangkan penyakit anak mereka.

Langkah bu Rina menjadi mundur dan dia menutup mata juga telinga saat suaminya mencekik Nara. Sengaja mesin air dia nyalakan agar tak mendengar suara tangis Nara yang kesakitan.

Air matanya mengalir, dia mencoba berusaha tegar dan kembali beraktifitas. Menahan rasa sakit dan penyesalan, memohon pada Tuhan mereka untuk diampuni karena membiarkan anaknya di sakiti.

Semua orang terkejut dengan pengakuan Bu Rina dari video tersebut. Bu Rina meneteskan air mata tanpa sedu sedan. Sementara Pak Wahyudin terlukai duduk di kotak saksi dengan tangan menggenggam.

Hasna menghela nafas.

"Mereka berdua adalah orang tua yang tidak bertanggung jawab. Melenyapkan anak mereka karena kekurangannya" ucap Hasna setelah video berakhir.

Dia berjalan ke kotak saksi dan duduk sambil berbisik pada Pak Wahyudin.

"Akan lebih baik jika kalian yang bunuh diri bukan?" ucap Hasna sambil menyeringai.

Pak Wahyudin tertunduk, matanya membulat. Dia teringat dengan kalimat itu. Perlahan dia mengangkat kepalanya untuk sekali lagi menatap Hasna yang membelakanginya berjalan menuju mejanya.

Hasna sengaja mengatakan kalimat itu dengan lugas meski berbisik. Dia membalaskan sakit hatinya pada Pak Wahyudin yang notabene adalah saudara jauhnya.

Pak Wahyudin pernah dimintai tolong untuk mencarikan solusi atas kemalangan yang menimpa Hasna. Namun Pak Wahyudin yang kala itu belum menikah, mengatakan hal yang menyakitkan dan menyarankan pada orang tua Hasna untuk bunuh diri.

Kasus perdana Hasna, Pak Wahyudin yang tak sengaja menjadi kasusnya. Balas dendam pertama yang dia lakukan. Selama Hakim menyatakan putusan hukuman untuk Pak Wahyudin dan Bu Rina, Hasna tersenyum mengejeknya. Pak Wahyudin menunduk malu tak berani manatapnya.

Dia baru ingat dan mengingat ingat nama Hasna. Wajah ibu dan ayahnya yang sedih karena memikirkan nasib Hasna terlihat jelas dalam benaknya. Dia juga menyesal karena telah menyarankan untuk bunuh diri pada mereka.

Pak Wahyudin di vonis hukuman seumur hidup karena mengaku telah merencanakan pembunuhan pada putrinya. Bu Rina divonis hukuman karena telah dianggap membantu pembunuh.

Sidang sudah selesai, tidak ada yang kalah, tidak ada yang menang. Frans menatap Hasna yang sedang merapikan berkasnya ke tasnya. Hasna pun tak sengaja melihatnya yang sedang menatapnya.

Dia tersenyum dan menghampiri.

"Anda sedang tidak fokus pada kasus ini Pak. Kurasa liburan adalah solusi terbaik. Tempo hari, saya dengar Ibu mengeluh karena sudah lama tidak liburan" ucap Hasna.

Frans membulatkan matanya, ada perasaan aneh yang dia rasakan dari cara Hasna bicara. Dari yang dia katakan semuanya normal tapi cara menatap dan tersenyum seolah mengejek kesalahannya.

"Ya, terima kasih atas saran mu!" jawab Frans.

Dia pergi dan keluar dari ruang sidang. Sementara Hasna masih di sana, duduk di kursi tamu dan mengikuti sidang-sidang selanjutnya.

Seperti biasanya, mencatat semua kasus yang ada dan melihat cara bicara setiap pengacara yang "bertarung".

##

Malam sudah larut. Hasna masih merapikan berkas-berkas yang dia pelajari dari kasus-kasus yang ditangani seniornya. Seorang pria membuka pintu dan muncul sedikit mengeluarkan kepalanya saja, lalu menyapanya.

"Hei...aku lapar! Kita makan?" ajak Vino rekan pengacaranya.

Hasna menatapnya dan mengangkat dahinya.

"Oke, aku juga lapar. Sebentar!" jawabnya sambil menyimpan sebuah berkas ke lacinya lalu menguncinya.

Hasna berjalan menghampirinya, Vino tersenyum dan hendak mengaitkan tangan ke bahu Hasna, namun Hasna menjauh.

"Jangan pernah berpikir seperti itu!" ucap Hasna.

"Ayolah...kita kan teman!" jawab Vino.

"Benarkah?" tanya Hasna meragukannya.

Vino tersenyum dan mengusap kepala belakangnya sendiri.

"Ya....awalnya teman...lalu dekat...lebih dekat...dan akhirnya hubungan menjadi sesuatu yang dinamakan..."

"TE...MA....NNNNN!" ucap Hasna.

Mereka tertawa sambil berjalan hingga sampai di sebuah kedai kaki lima dekat kantor mereka. Keakraban mereka membuat suasana kedai yang sepi, terasa ramai. Beberapa orang yang lewat jadi mampir dan memesan makanan mendengar candaan mereka.

"Oh ya, apa kau tahu kasus yang sedang di tangani Mas Armand?" tanya Vino.

Hasna menggelengkan kepalanya.

"Tidak!"

"Hanya kasus penipuan sertifikat tanah dan rumah sih. Yang lucunya, kliennya adalah pria yang mempunyai julukan Juragan Garang. Hahahahahah!" ucap Vino lalu tertawa terbahak-bahak.

Hasna tertegun mendengar julukan itu. Namun setelah itu dia ikut tertawa.

"Dulu...saat aku masih suka main, aku pernah mendengar julukan di sebuah markas ojek pangkalan. Kau tahu masing-masing dari mereka mempunyai julukan tersendiri. Dan yang paling lucu adalah Gani Cipirit, katanya karena dulu setiap main dia hobinya cepirit sampe celananya basah. Hahahahah!" gelak tawa Hasna membuat semua orang menatapnya.

Vino terkejut dan diam sejenak, lalu ikut tertawa sesaat setelah menyadari arti Cipirit. Semua orang ikut tertawa.

Selesai makan, Vino mengambil dompet dari saku celananya. Hasna melarangnya.

"Hei...ngga....ngga usah. Aku aja yang bayar!" ucap Hasna.

"Apaan! Masa cowok ditraktir cewek!" jawab Vino dengan kekeh mengambil uang dari dompet nya.

"Oh ya sudah, tadi aku cuma basa basi kok! Lagi pula aku lagi nggak punya duit" ucap Hasna sambil berbalik.

Vino menelan ludah dan memasang wajah merasa tertipu dengan ucapannya. Beberapa orang yang mendengar tertawa dengan menutup mulut mereka. Vino melihat mereka yang tertawa lalu mendelik.

Mereka keluar dari kedai itu dan kembali berjalan ke arah kantor.

Vino mengambil motornya untuk dia gunakan pulang. Sementara Hasna hendak membawa mobilnya namun dia terlihat kebingungan mencari kunci mobilnya.

Vino dengan motornya menghampiri Hasna.

"Ayo aku antar pulang! Kamu pasti lupa naro kunci lagi" ajak Vino sambil memberikan helm untuknya.

Dia seolah mengerti kebiasaan buruk Hasna yang selalu lupa meletakkan kunci mobil. Dia juga mengambil kesempatan itu untuk selalu mengantar Hasna pulang.

Hasna tersenyum dan mengambil helm yang ditawarkan Vino lalu memakainya. Dia naik dan memegang pinggang Vino.

Vino hendak memutar handle gas motornya agar Hasna terpental dan bisa memeluknya, namun sebelum semua itu terjadi, Hasna memukul kepalanya dan mengancam.

"Kalo nge gas, aku batal traktir di hari ulang tahun mu!" ucap Hasna.

"Apa?" jawab Vino yang jelas mendengarnya.

Vino kesal dengan ancaman Hasna, jika dia tak mentraktirnya, berarti rencananya nembak Hasna akan gagal. Dia pun diam dan bersikap baik. Hasna tersenyum puas dibelakang karena merasa Vino menurutinya.

Hasna kembali ke rumahnya setelah di beri tumpangan Vino. Membuka kunci rumahnya dan meraba stop kontak lampu yang berada di dinding. Lampu menyala, ruang tengah yang kecil, yang hanya berisi sofa dan televisi yang menempel di dinding.

Rumahnya kosong, sama seperti hatinya. Meski tawa dilontarkan pada teman dan rekan kerja, namun ada kehampaan di dalam hatinya. Hasna masuk ke kamarnya, melempar tas kecilnya dan duduk di kursi menatap laptopnya di meja.

Dengan tangan kirinya, dia menyalakan laptop dan membuka sebuah file. Dia memilih sederet nama yang ada di sana. Satu nama WAHYUDIN, dia hapus dalam daftar itu. Lalu dia kembali mencari dengan mouse yang ada di tangan kanannya.

Terlihat sebuah nama dengan tanda kutip. "Juragan Garang". Mata Hasna membulat, dia melihat semua keterangan yang pernah dia dapatkan dan dia input dalam laptopnya. Alamat, nama istri dan anak hingga nama peliharaannya, Hasna mencatatnya dengan detil.

Kemudian, dia masuk ke sebuah akun dengan ilegal. Membajak akun organisasi lawyer milik kantornya dan mencari detil kasus yang sedang ditangani Armand seniornya.

Hasna tersenyum setelah mengkopi semua file yang dia dapat. Dia merasa berhasil untuk satu langkah yang akan dia ambil nantinya. Hasna kembali ke layar utama dan mematikan laptopnya.

Dia berdiri dan mengambil handuk lalu masuk ke kamar mandi. Dengan mandi dia merasa mendapat waktu luang untuk merenung dan memikirkan semua yang akan dia lakukan. Juga mengingat kembali semua rasa sakit yang dia dapat dari mereka yang berkata atau berbuat atau bahkan tak berbuat apapun untuknya.

Balas dendam adalah alasannya tetap hidup selama 10 tahun ini. Dia mematikan hati dan perasaannya untuk melakukan balas dendam bagi mereka.

Hasna mengusap kepalanya dengan kedua tangannya yang mana sebelah kiri terlihat bekas luka sayat yang cukup dalam. Hasna menghela dalam guyuran shower air hangatnya. Melepas penatnya untuk hari ini, mengumpulkan seluruh tenaga lagi untuk menjalani hari esok.

3

Suasana makan siang di kantor pengacara umum, semua orang sedang menikmati makanannya di kantin. Hasna duduk sendirian dan menatap ponsel pintarnya yang membuka sebuah halaman mengenai kasus penipuan rumah dan tanah.

Tiba-tiba sebuah pesan muncul dari atas layarnya, Hasna membacanya sebagian. Pesan dari Fajri, penyelidik dari kepolisian.

《aku sudah mendapatkan rincian kasusnya, kapan kita bisa bertemu?》

Hasna menjawabnya dan menyelesaikan makannya.

Vino yang baru datang ke kantin hendak menyapanya, namun Hasna berjalan terburu-buru dan pergi dari kantin, sehingga dia tak bisa menyusulnya.

Vino menatap nampan makanannya lalu menatap Hasna yang mulai hilang dari pandangannya. Dia menghela dan memutuskan untuk melanjutkan makannya karena perutnya sangat lapar.

Hasna merapikan meja dan mengambil tasnya. Pak Armand bertanya padanya.

"Kau mau pergi?"

Hasna terkejut, ada yang dia sembunyikan dari Armand sehingga setiap Armand bertanya membuatnya gugup.

"Ya?"

"Aku hanya mau minta tolong. Kemarilah sebentar!" pinta Armand.

Hasna menghampiri dan melihat apa yang dia inginkan.

"Ini, aku sedang menangani kasus ini. Bisakah kita pergi bersama untuk bertemu dengan klien? Dia sedang tidak enak badan dan ingin aku ke rumahnya. Sambil belajar dari ku, aku juga belajar dari mu, bantu untuk melihat seberapa jauh penipuan ini" jelas Armand.

Hasna membulatkan matanya, dia tak harus sembunyi-sembunyi untuk mengetahui kasus ini. Dia tersenyum dan menyetujuinya dengan semangat.

"Ya, ayo!" jawab Hasna.

Armand tersenyum merasa puas dengan respon Hasna. Sama seperti yang diinginkannya.

Kasus Hasna yang pertama membuatnya mendapat perhatian khusus dari para senior nya. Armand ingin punya rekan yang sangat gigih. Membela hanya pada kebenarannya saja. Tidak memihak pada yang kaya atau kasihan pada yang miskin.

Semua orang harus mendapatkan ganjaran atas semua kesalahannya. Jika kasusnya sudah masuk dalam berkas di ruangannya, maka hanya kebenarannya saja yang akan terungkap.

Armand beranjak dari kursinya dan membawa tasnya. Mereka pergi.

Hasna berjalan di belakang Armand. Mencoba menghubungi Fajri, namun tak bisa. Dia pun mengirim pesan dan membatalkan pertemuan dengannya.

Fajri yang baru keluar dari kamar mandi memeriksa pesan yang masuk. Dia menghela kecewa saat pesan itu untuk membatalkan pertemuannya dengan Hasna.

"Ccckk...batal? Ah yang benar saja, aku sudah merapikan rambutku. Ah...!"

Fajri mengacak-acak rambutnya lagi, merasa percuma merapikannya untuk bertemu dengan Hasna. Dia pergi melakukan pekerjaan lainnya dengan wajah kesal.

"Kita akan ke TKP, sebuah tas berisi mayat ditemukan di pinggiran kali" ucap Beno temannya.

"Huuh!" jawab Fajri dengan kesal.

"Hei...kau kenapa?" tanya Beno.

"Tidak apa-apa!" jawab Fajri singkat.

Beno tersenyum.

"Oh ya, pengacara cantik itu menutup kasus dengan cara yang unik!" ucap Beno.

Fajri diam saja, hingga sampai di mobil dan menyalakan mobil. Tapi Beno tetap bicara dan memuji Hasna dihadapannya.

"Dia pasti tak bekerja sendirian, siapa yang bekerja untuknya? Apa ada kemungkinan anggota kita? salah satu dari mereka?" tanya Beno.

"Mayatnya perempuan atau laki-laki?" tanya Fajri.

Beno merasa tak didengarkan. Dia menatap berkas yang dia catat dari laporan warga yang dia terima.

"Wanita, tas dan dompetnya berceceran saat saksi membuka tas besar itu" jawab Beno.

"Aneh juga ya! Pembunuh tak membuang identitasnya" ucap Fajri heran.

Fajri menancapkan gas dan melaju kencang menuju TKP.

###

Hasna dan Armand tiba di depan pagar rumah "Juragan Garang". Seorang penjaga dengan pakaian jaket jeans menahan dan hendak bertanya.

Matanya melihat ke arah Hasna lalu Armand. Saat melihat Armand, dia tersenyum, sudah kenal dan menanyakan kabar pada Armand.

"Apa kabar Pak pengacara? Siapa dia? anak buah mu?" tanya nya melihat pada Hasna.

"Ya, aku masuk ya Din!" jawab Armand.

Mata Hasna menatap pria kekar itu, tatapan Hasna kosong sejenak. Lalu dia ingat saat Bardin, pria itu menahannya di luar rumah itu saat dia masih berumur 14 tahun.

Lalu teringat kenangan saat ayahnya keluar dari rumah itu dalam keadaan babak belur. Tak sedikit darah yang keluar dari mulutnya. Hasna hanya bisa menangis menatap ayahnya yang berusaha mengusap darah di wajahnya lalu tersenyum dihadapannya.

Hasna terbangun dari lamunnya saat Armand menginjak rem. Mereka berhenti di halaman rumah besar itu.

"Ayo!" ajak Armand.

Hasna menarik nafas dalam. Dengan menatap seluruh bangunan, dia melangkah mengikuti Armand masuk. Disambut seorang wanita paruh baya yang wajahnya terlihat sedang sedih.

"Siang Bu!" sapa Armand.

"Siang Pak Armand. Terima kasih sudah mau datang. Suami saya sedang di kamarnya. Silahkan!" ucap Bu Wati.

"Oh iya bu makasih!" ucap Armand.

Hasna menatapnya, dia ingat wajah ini. Wajah yang menangis saat ayahnya di lempar keluar dari rumahnya. Memohon pada suaminya untuk memperlakukan ayahnya seperti manusia.

Matanya masih sendu seperti dulu, rasa sedih seolah tak pernah lepas dari mata itu. Namun Hasna tak mau tahu sebabnya. Bukan itu yang ingin dia tahu, ada satu hal lain yang dia incar.

Hasna masuk tanpa ekspresi, dia mengikuti Armand dan masuk ke sebuah kamar. Langkahnya perlahan, dia merasakan tangannya gemetar. Terbayang wajah "Juragan Garang" yang dulu pernah dia lihat dari balik pagar besar.

Tubuh besar dengan perut buncit, mata merah juga wajah merah padam menatapnya setelah kedua orang tuanya di usir dari sana. Tangan dengan penuh cincin batu di jarinya, mengepal setelah memukuli wajah ayahnya.

Hari ini Hasna akan melihatnya lagi. Pria itu sedang duduk di ranjangnya. Dia tersenyum melihat Armand sudah datang.

"Siang Pak Armand!" sambutnya.

"Siang Pak! Wah kenapa nih Pak, kok kelihatan pucet?" Armand berbasa-basi.

"Iya nih Pak, kepikiran tanah yang jadi sengketa" jawab Pak Rusdi.

Ya Rusdiawan Pratama, seorang pengusaha. Awalnya dia hanya seorang makelar tanah, tahun berganti tahun, dia menjadi terkenal sebagai rentenir yang meminjamkan uang dengan jaminan surat tanah atau rumah.

Semua orang yang mengenalnya menyebutnya "Juragan Garang", karena terkenal kegarangannya saat menagih surat tanah atau rumah yang dijaminkan. Dia juga terkenal tak kenal rasa belas kasih, tega dan berani melukai peminjamnya.

Zaman semakin modern, pemahaman masyarakat semakin maju dan semakin mengetahui arti rentenir berkat dari pengalaman dan pendidikan para relawan ekonomi yang membagikan pengetahuan tentang bahaya dan mengerikannya rentenir.

Beberapa dari mereka melawan lewat pengadilan dan melaporkan tindakan renternir. Sebagian wilayah melakukan pembersihan terhadap rentenir, sebagian lagi masih tetap tunduk pada premanisme mereka.

Maka dari itu, Pak Rusdi melakukan pencucian uang dan mencari usaha baru yang bisa dia jadikan alasan pohon uangnya. Dia mengatasnamakan dirinya sebagai pengusaha rongsok.

Armand bicara banyak dengan Pak Rusdi, sedangkan Hasna hanya menatapnya. Pak Rusdi menjadi agak canggung karena tatapan Hasna berbeda.

"Dari tadi dia ngeliatin terus, kenapa?" tanya Pak Rusdi.

Armand membangunkan Hasna dari fokusnya yang entah kemana. Hasna hanya tersenyum mendengar pertanyaan Pak Rusdi.

"Saya terkesima dengan cerita Bapak tentang para penipu itu. Mereka terbilang pandai, mereka melakukan hal itu dihadapan anda sendiri" ucap Hasna.

"Maksudnya?" tanya Pak Rusdi dengan wajah herannya.

"Ya"

Hasna menatap Armand.

"Orang yang menipu Anda, sudah sangat tahu kebiasaan, usaha dan rute surat tanah yang biasa anda balik nama. Mereka sangat paham apa yang terlihat dan tak terlihat oleh anda. Sehingga mereka tahu jalan mana yang bisa tak terlihat oleh anda" jelas Hasna.

Armand mengerti dengan ucapan Hasna. Namun Pak Rusdi yang kolot tak paham dengan ucapan Hasna yang menurutnya terlalu rumit.

"Ahh...ngga ngerti. Pokoknya, sudah terbukti sama penyidik dia ngelakuin penipuan. Gua gak mau tahu, tanah itu harus kembali ke tangan gua dan dia dihukum seberat-beratnya" ucap Pak Rusdi.

Hasna menatapnya lagi. Kali ini Hasna menyadari sesuatu. Kelemahan Rusdi yang akan membuatnya justru kehilangan semua tanah yang dipaksa diambilnya.

~Dia masih sama, masih hanya memikirkan keuntungan diri sendiri. Dia bahkan tak tahu siapa yang sebenarnya menipunya~ ucap hati Hasna.

Armand menghela nafas, sejak tadi dia akan mengatakan pelaku yang dilaporkannya adalah anaknya sendiri, Rendy Pratama. Namun dia tak membiarkan semua orang mengatakan hal itu. Hanya istrinya yang tahu dan juga tak bisa mengatakannya. Itu yang jadi alasan mata Bu Wati semakin sendu.

Hasna semakin menahan tawanya untuk menertawakan kemalangan yang ada di hadapan Pak Rusdi. Keegoisan menutup mata dan telinganya. Dia tak mengikuti perkembangan penyelidikan. Setiap ada petugas yang hendak memberi tahu perkembangan kasusnya, hanya istrinya yang diutus untuk mendengarkan.

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!