NovelToon NovelToon

Adara'S Daily

Perempuan Beruntung

Aku Adara, berusia 28 tahun, dan kata mereka single available. Terjebak bersama mereka disini bukanlah perkara menyenangkan, 15 tahun bersama tidaklah sebentar. Namun untuk meninggalkan mereka bukanlah sebuah pilihan, dan tak pernah terpikirkan untuk melakukan hal itu. Kami telah melalui banyak hal bersama, mulai dari hal menyenangkan, menyebalkan bahkan menyedihkan, seperti hari ini, kami bertemu di acara bahagia Ryan dan Ima.

Ah sebelumnya, biar ku perkenalkan mereka, mulai dari yang paling kanan, Ia bernama Ian, Arian Kurnia, yang juga sepupuku, dan hari ini ku daulat menjadi pasanganku di acara ini, karena pasangan aslinya masih berada di Bekasi sana. Terima kasih kepada Maya karena dengan suka rela menyerahkan kekasihnya untuk bersamaku pagi ini.

Selanjutnya ada Fauzi, paling kalem dan tenang diantara kami (kata orang), ia bersama Wulan, istrinya. Satu hal yang orang-orang tak tahu tentang dia, di depan umum dia terlihat sangat tenang dan santai, bahkan wajahnya pun mendukung opini tersebut, sayangnya dibelakang layar, kelakuan dan wajahnya tak pernah selaras. Bahkan bisa dibilang, diantara kami, dia yang paling bobrok. Namun syukurlah, ia sudah move on setelah bertahun-tahun patah hati tanpa sempat mengungkapkan, dan kami tak pernah tahu siapa gadis tersebut. Beruntung ada Wulan yang dengan sabar mendengar keluh kesah dan kisahnya hingga akhirnya mereka memutuskan menikah tiga tahun yang lalu.

Lalu ada Amri dan Lena, istrinya juga Arfan, keponakan kami bersama. Pecicilannya beruntung tak menurun pada putranya. Amri ini pasangan Ojik dalam hal kebobrokan. Sungguh, bila dua orang ini sudah kompak bicara, di jamin, emosiku akan naik karena kesal, dan tentu itu tujuan mereka. Walau sifat mereka kurang lebih sama menyebalkannya, yang membedakan mereka adalah, Ojik lebih sabar dan tak mudah terpancing emosi, berbeda dengan Amri dengan sumbu pendeknya. Ia yang mudah meledak dan emosi, yang penting marah dulu, tabayyun ntar belakangan.

Lanjut lagi disebelah kananku ada Mas Dwi atau Firdaus atau Daus, satu-satunya dari mereka yang ku panggil dengan sebutan "Mas" karena hanya dia yang memanggilku dengan benar, "Adek" atau terkadang "Aya", nama kecilku. Ia adalah seorang dosen muda di sebuah Fakultas Kehutanan Universitas Swasta kota kami.

Satu orang lagi, Ryan Septian, ia yang saat ini tengah berada di pelaminan dan menjadi sorotan hari ini. Ryan ini dulunya adalah seorang vokalis band lokal, sebelum akhirnya menyerah menjadi musisi karena kesibukannya ketika masih kuliah dan saat ini telah menjadi seorang notaris yang pastinya menyita waktu dan tenaga. Sesekali ia mengajakku jamming atau sekedar menyewa studio untuk satu atau dua jam, tentu dengan empat manusia lainnya.

Sebenarnya mereka ini 2 tahun diatasku, senior di masa SMA. Namun karena seringnya kami bertemu membuat kami seolah tak berjarak dalam hal usia maupun rahasia.

"Ara, lu masih joms?" Amri bertanya padaku, pertanyaan ke lima hari ini, tentunya dari orang yang berbeda.

"Aku tuh single ya, bukan jomlo." Aku menyahutinya sambil setengah mendengkus.

"Bedanya apa? Dari tadi jawabannya itu doang." Fauzi bertanya entah karena penasaran atau memang sengaja memancing keributan.

"Beda dong, kalo single mah karena pilihan, aku milih single karena banyak faktor. Nah kalo jomlo ya nasib, kek Mas Uwik misalnya." Aku menjawab sambil memainkan alis menatap Dwi yang langsung memalingkan tatapan dari kameranya, dan disambut gelak tawa yang mendengar.

"Sembarangan emang si bocah." Mas Dwi hanya menjawab singkat dan kembali sibuk dengan kameranya.

"Ngga gitu juga, Juleha! Si Dwi jomlo juga gara-gara calonnya ga peka. Susah emang," timpal Ojik, dapat ku lihat ia meringis karena kakinya diinjak Mas Dwi.

"Ya mending Daus kemana manalah Ra, kemarin sempat ada calon walaupun akhirnya ditinggal nikah duluan." Lemes tenan emang lidah tak bertulang milik Amri.

"Gibah teross, ini ya kalo udah ngumpul begini mulut sama lidah lemes banget macam Mak Odah kalo lagi laporan hasil investigasi satu kampung." Lena yang kali ini menimpali, aku hanya tertawa, Mas Dwi? Hanya mengendikkan bahu tak berkomentar, pun Amri yang kena semprot istrinya.

"Masih belum seberapa Mba Len, mereka ini kalo udah ketemu banyak kata mutiara nan sakti, jagain Arfan aja," celetuk Wulan cengengesan.

"Nggak kok, kalo ada Arfan ga bakal keluar itu kalimat. Paling cuma Nyai Linggi aja buat manggil si Ara," jawab Amri.

"Si Banteng, sembarangan bener ngerubah nama," sahutku sambil melotot, ia hanya menjulurkan lidah. Lena yang melihat langsung menepuk gemas lengan suaminya.

Sementara mereka berdebat, tiba-tiba Ian menepuk pelan pundakku. "Ra, mau dikenalin gak sama temenku?" Ian berbisik yang kujawab dengan bisikan tak kalah pelan.

"Jangan yang aneh-aneh lagi ah, dari kemarin dikenalin sama orang aneh terus sih. Udah kali ke sepuluh loh ya sejak aku balik ke Indonesia."

"Kalo yang ini ga aneh, ku jamin 100% kamu bakal suka. Kamu kenal kok siapa dia."

"Iya? Emang siapa? Duh pada semangat banget nyariin calon suami," rutukku pelan yang ternyata di dengar Mas Dwi.

"Kenapa dek? Mau dikenalin siapa lagi sama Ian?"

"Kok tau, Mas?"

"Cuma sepupumu itu doang yang bahasannya ga jauh dari perjodohan kamu. Kamu masih di Seoul aja dia udah bikin list siapa yang bakal dikenalin ke kamu."

"Ahahaha... Iyakah? Berdua sama Ryan tuh, cuma bedanya kalo Ryan keukeuh nyomblangin aku sama Mas Uwik dari dulu," jawabku sambil tertawa, Mas Dwi hanya menggelengkan kepala dan ikut tertawa.

"Emang kamu ga tertarik gitu buat naik status dari temen jadi demen?" ucapnya sambil memainkan alis.

"Kagak! Kalian semua sama aja sih, bikin pusing semua," jawabku, Mas Dwi tertawa sambil terus mengutak atik kamera, dalam setiap acara, dia memang di daulat menjadi fotografer dadakan.

"Dek, ngadep sini dululah, ada kamera disini." Aku reflek tersenyum manis menghadap kamera.

Bukan hal aneh jika fotoku memenuhi galeri dan memori kameranya. Aku dan Mas Dwi dulunya memang kerap bersama untuk melepas penat dengan camping dan outbound yang tentunya tak hanya berdua. Saat ini kegiatan barunya semenjak menjadi dosen adalah keluar masuk hutan untuk hunting foto atau mencari spesies tanaman untuk bahan ajarnya, dan tentu saja sejak kepulanganku lima bulan lalu, aku kembali menemaninya. Dan hanya tersisa kami berdua yang masih belum menemukan pasangan serta memiliki kelonggaran waktu paling banyak. Itulah mengapa Ryan sangat getol menjadi bapak comblang untuk kami berdua.

Namun entah, belum terpikir untuk merubah status sahabat yang belasan tahun kami jalani ini.

Banyak hal yang membuatku enggan untuk sekedar memikirkan dan membayangkan perjodohan ini menjadi nyata. Salah satunya ya karena terbiasa satu sama lain. Aku masih nyaman dengan hubungan kami saat ini, tanpa ada ketakutan akan kekecewaan.

"Ra, kamu inget Andi?" Tiba-tiba Ian datang bersama seorang laki-laki yang tak asing.

"Kak Andi? Wahh udah lama banget ya, terakhir ketemu di kampus waktu aku masih maba."

"Hallo Dara, nice to meet you." Andi menjabat tanganku sembari tersenyum, ah senyum yang membawaku kembali ke belasan tahun lalu, tepatnya 12 tahun silam.

Saat aku masih menjadi siswa baru di SMA, saat masa adaptasiku berlangsung, aku pertama kali bertemu dengannya. Ia dengan senyum manisnya bersedia ku repoti untuk mencari kelasku yang saat itu entah berada dimana. Ah, ternyata senyumnya masih semanis dahulu. Andai dulu hatinya semanis senyumnya, mungkin ada hati yang utuh terjaga.

Aku melirik Mas Dwi, ia balik menatapku, seakan bertanya 'Kamu baik-baik aja?'. Aku mengendikkan bahu. Sampai Ojik memanggilnya.

"Bentar, dek. Si Bagong manggilin tuh, kamu ga apa Mas tinggal bentar sama dia?"

"Ga apa kok, Mas. Lagian udah lama juga sih. Gih kesana dulu." Aku mendorong tubuhnya agar segera pindah ke samping Ojik.

"Haih, bentaran doang, Dwi. Ga bakal ilang ini si Adara, ga mungkin di gondol si Andi, mantan doang mah kalah sama masa depan," sambar Fauzi, aku melotot dan bersiap memuntahkan lahar, andai tak di tarik Ian.

"Berantem mulu, ya Salaam. Ini lagi di tempet rame, tahan bentar sih, ntar berantemnya di lapangan depan aja, tenang."

Aku tak membalas, lebih memilih fokus pada acara ini. Mengabaikan rasa tak biasa pada lelaki yang duduk di samping kiriku ini. Dulu ia pernah menjadi yang utama, namun ternyata aku bukan yang utama, dan tak pernah menjadi utama. Pernah menjadi penyemangat, namun ternyata penyebab patah. Beruntung, aku bukan tipe orang yang katanya bucin. Sakit hati pasti ada, tapi aku tak terlalu memikirkan.

Aku saat ini sudah merasa lebih baik, ingin menata hidup yang sempat berantakan. Ingin memulai semua dengan damai, tanpa dendam. Riswandi, satu nama yang bahkan hampir terlupa, jika saja Ian tak membawanya ke hadapanku. Andai dulu ia tak seperti itu, mungkinkah akan ada yang berbeda saat ini? Andai aku tak sempat jatuh, akankah Mas Dwi yang akan menjadi suami dari perempuan itu? Ah, menyebut namanya saja aku malas. Aku tak mau berandai lagi, bergidik jika mengingat wajah dan nama perempuan yang pernah singgah di keseharian kami dulu. Dia yang mempunyai wajah manis, namun ternyata hanya kamuflase dari buruknya sifat seorang Nimas Syakila.

Dapat ku lihat Ryan melotot dari panggung pelaminan, demi melihat wajah menyebalkan Andi. Ku harap dia tak mengacaukan acara ya sendiri. Bisa diamuk Tante Nia aku nanti kalau tahu anaknya ngamuk karena masa laluku. Ku beri isyarat baik-baik saja padanya, perlahan ia terlihat mulai bisa mengendurkan amarahnya. Aku tertawa pelan, ternyata sikap posesif mereka masih tetap ada, walau kini aku bukan satu-satunya perempuan di antara mereka. Dan aku bersyukur, istri dan kekasih para sahabatku ini bisa menerimaku, tanpa ada drama cemburu. Aku memang beruntung memiliki mereka semua, dan tentu, aku menyayangi mereka.

Katanya Sih, Sahabat

"Duh, ini kelasnya dimana sih, Byan sama Wulan pake ngilang segala." aku membatin. Pasalnya aku kehilangan jejak teman-teman sekelasku siang ini, sistem kelas di sekolah kami menggunakan moving class, per mata pelajaran akan berganti kelas, dan apesnya, aku masih belum menghapal denah sekolahku yang ruang kelasnya banyak ini.

Sebelumnya aku dari ruang guru, menghadap wali kelasku untuk menyerahkan copy sertifikat penghargaan olimpiade masa SMP ku, sekembalinya, aku tak menemukan teman sekelasku. Penghuninya berganti, dari badge seragamnya, aku lihat ternyata mereka adalah kakak kelasku, tepatnya kelas XI IA 3.

Melihatku kebingungan, salah seorangnya menghampiriku, "nyari siapa, dek?" Ia bertanya seraya tersenyum ramah.

Manis batinku, aku menjawab, "saya nyari temen sekelas kak, tadinya ruangan ini kelas saya, tapi ternyata sudah pindah."

"Sekarang jadwal dan ruang berapa? Bawa jadwal?" Ia masih bertanya.

"Sejarah kak, ruang M4. Tapi saya belum tau ruang M4 sebelah mana, kakak tau dimana?" Aku melirik name tag nya, Riswandi Andriawan.

"Aah, M4 ya, ada dibelakang dek, deket parkiran belakang. Bentar saya antar sekalian nyari pensil di kopsis dek. Gung, gue ke kopsis bentar yak, nyari pensil buat kesenian ini, punya gue ketinggalan," pamitnya pada teman sebangkunya.

Setelah mendapat jawaban berupa anggukan dari temannya, Kakak kelas yang ku daulat baik hati itu mulai melangkah, aku mengikutinya dalam diam sembari merutuki Byan dan Wulan yang meninggalkanku dan hanya membawa ranselku.

"Namanya siapa dek? Saya Riswandi, panggil Andi aja." Ia mencairkan kebisuan antara kami.

"Saya Dara kak, maaf ya kak, ngerepotin. Padahal loh Kak Andi bisa ngasi arah aja, ga perlu sampe nganter ke kelas," jawabku.

"Hahaha, ngga apa apa dek, baru juga 3 hari jadi siswa disini, ya wajar kalo masih bingung ruangannya dimana. Ini sekalian ke koperasi, hari ini tema tugas kesenian kayanya arsir, ngelanjut materi minggu kemarin, dan memang pensil saya ketinggalan. Nah, ruangan ke dua dari kiri itu ruang M4 ya, see you next time, Dara." Andi pergi setelah menunjukkan dimana ruang kelasku siang ini, tak lupa ia memberikan senyum manisnya, lesung pipinya menambah kesan manis lelaki berwajah oval itu.

Aku masuk kelas mencari Wulan yang menjadi teman sebangkuku tiga tahun lalu hingga hari ini.

"Heh, ngapa kalian pada ninggalin aku sih," semprotku pada dua anak manusia dihadapanku.

"Ya kan kamu lagi di ruang guru, mau nunggu dikelas tadi keburu yang punya kelas dateng, yaudah ransel kamu doang yang kita bawa." Byan membela diri.

"Oiya Ra, tadi ada kakel yang nyariin kamu, kelas sebelah, cowok, cakep pula. Dari badge-nya sih jelas XII deh. Kenalin dong, Ra, ternyata kamu punya stok lelaki idaman," ucap Wulan.

"Siapa pula? Tinggi apa pendek? Normal apa gila? Tenang, stokku aman terkendali, cuma ya maaf kalo mereka rada nyebelin."

"Yakali gila bisa keterima sekolah dimari, emang ada aja kelakuan ini manusia satu. Ga tau namanya, doi tinggi, pake kacamata, rambutnya kaya iklan shampoo lifebuoy," jelas Wulan yang kusambut tawa, terbayang iklan shampoo lifebuoy, dimana model iklannya berambut tebal lurus dan mempunyai poni.

"Hahaha, itu Mas Dwi, pasti sama Ryan, tinggi , besar, berisi kan? Tingginya sepundak Mas Dwi? Mereka berdua emang gak terpisahkan kalo udah di sekolah."

"Eh, malah ngatain senior si kambing." Byan menimpuk lenganku tanpa ampun. Mereka berdua ini teman SMP ku yang kebetulan sekelas denganku di X.1.

"Eh tapi yang satunya kaya ga asing ya By, kaya familiar gitu. Apa emang muka di pasaran ya?!" Wulan mulai mengeluarkan wajah seriusnya, dan itu menyebalkan.

"Mana kutahu." Byan mengendikkan bahu tanda tak tahu, atau bahkan tak peduli?

"Iya, dia Ryan Septian. Vokalis band Rookie yang emang sering muncul di tiap event, doi yang dulu bikin lu patah hati Lan, dulu lu pernah ngefans banget, tapi gara-gara doi ada pacar lu malah berenti ngefans, aahahaha ...." Aku tertawa meledek Wulan yang melongo tak percaya.

Ryan Septian, namanya tidak asing bagi penikmat musik indie daerahku, suaranya mengudara di stasiun radio lokal dan baru-baru ini mulai tampil di event daerah kami. Sebelumnya tak banyak yang tahu wajahnya, hanya suarannya yang dikenal banyak orang. Tak banyak yang menyangka bahwa ia adalah siswa SMA. Ryan memang sekelas dengan Firdaus, jadi bisa dipastikan mereka akan selalu bersama. Aku akan mencari mereka nanti saja, karena Bu Ketut sudah berdiri manis didepan kelasku untuk segera memulai pelajaran.

...°°°°°•••••°°°°°...

Kembali ke masa sekarang, disini aku kembali bertemu Andi, masih dengan suasana ramai pesta resepsi Ryan dan Ima, entah mengapa kumpulan manusia rese tadi tiba-tiba menyingkir dan menyisakan aku dan Andi, kecanggungan mulai mengintai. Aku memang tidak nyaman ketika berdua dengan orang yang belum ku kenal baik apalagi orang yang ku tahu tak memberikan kenyamanan. Ian memang bikin jengkel, ia memang getol mengatur pertemuan untukku dan kenalannya, tapi selama ini ia akan ikut menemaniku, tak pernah membiarkanku sendiri.

Kami hanya ngobrol ringan, ia bertanya dan aku menjawab tanpa bertanya balik, jadi pembicaraan ini terkesan hanya satu arah.

"Kabar kamu baik, Ar?" Tanyanya memulai.

"Baik, kak, seperti yang terlihat," jawabku tersenyum, mencoba ramah.

"Ternyata kalian bisa sahabatan sampai sekarang ya, udah lama loh dari kita tamat SMA."

"Alhamdulillah, saya beruntung di kelilingi orang-orang baik seperti mereka dan keluarganya. Mereka yang melindungi saya dari orang yang punya niat jahat. Apalagi zaman sekarang susah bedain mana kawan mana lawan." Ia terlihat salah tingkah, ada apa? Tersindirkah?

"Saya minta maaf," ia berucap lirih sembari menunduk.

"Untuk?"

"Untuk kesalahan saya dimasa lalu, dulu saya mengedepankan ego, sampai menentang nurani saya."

"Itu definisi bucin sesungguhnya," sindirku.

"Iya, karena itu, maaf. Karena kebucinan saya itu bikin kamu hampir celaka. Beruntung kamu tahu sebelum semua penyesalan saya jadi sia-sia."

"Ha ha ha ... sudahlah, saya udah lupa kok, bahkan nama kamu aja udah hampir saya lupain sampe tadi Ian dateng bawa kamu. Sudahlah, itu biar jadi masa lalu, biarin itu ada dibelakang, lupain aja."

"Terima kasih, Ar. Saya ikut Bang Ian karena pengen minta maaf langsung, dan sekaligus pengen nebus kesalahan saya waktu itu."

"Dengan?"

"Memperbaiki semua yang perlu diperbaiki, memulai semuanya dari awal, seperti seharusnya. Bisakah?"

"Hahaha ... serius? Lagi ngelawak ya, Kak?"

"Saya serius, ayo mulai dari awal!"

"Gini ya, saya emang bilang lupain, tapi apa dengan kata lupain itu kamu bisa bersikap semaumu? Dengar ya, Riswandi Andriawan, kalo saya mau, sekarangpun saya bisa nyeret kamu ke sel, saksi mata saat itu masih ada dan sehat, barang bukti mungkin tidak ada karena masih rencana, Kamu lihat lelaki berkemeja navy? Amrillah, dia kasat reskrim di polres kita, jadi sebelum dua orang saksi itu denger kamu ngomong kaya tadi, mending kamu telan sendiri rasa bersalah dan egoismu itu!" tekanku padanya.

Ia diam, pun denganku. Betapa menyebalkan manusia satu ini, ga tahu diri banget. Dia yang mempermainkan, bahkan mencoba mencelakaiku, malah dengan santainya bilang ingin memulai dari awal? Gila!

Tampaknya Mas Dwi menyadari awkward moment ini, ia melepaskan rangkulan Fauzi dan menghampiriku. Hfftt aku selamat batinku.

Namun datangnya Mas Uwik kurasa tak membantu banyak, karena memang kami bertiga tak seharusnya berada di posisi duduk dan ngobrol santai. Masalah yang berawal dari hubungan rumit kami di masa lalu. Beruntung Ryan masuk stage pengisi acara dan mengambil gitarnya, sepertinya ia pun menyadari kecanggungan kami bertiga.

"Panggilan kepada Adara, waktu dan tempat dipersilahkan." Aku sesegera mungkin naik ke panggung dan meraih gitar yang di sodorkan.

"Thanks," bisikku

"Welcome," balasnya. "Lagu apa nih?"

"Yeu, ku kira sudah terpikirkan, yaudah, Aloha aja," putusku.

"All I ever want is your love .... Lagunya buat Mbak ipar yang di pelaminan sana, dari Mas Ryan, yang akhirnya berani melangkah setelah enam tahun digantungin." aku meringis ketika Ryan dengan senang hati menginjak kakiku. Sementara di depan sana, tamu undangan tertawa, apa salahku? Mereka pacaran sudah enam tahun.

"Ga pake lama, eh kamu balik ke pelaminan sono, temenin istri, ntar di gondol garangan! Aduh!" Ryan kali ini menyentil keningku.

"Mantennya ngamuk, yaudah, let's sing, Aloha."

Aku memainkan gitar setelah Ryan kembali ke panggung pelaminan, dan mulai bermain dengan nada.

...°°°°°•••••°°°°°...

Sore harinya, di kediaman Ryan dan Ima. "Tadi Andi ya Ra?" Ryan bertanya padaku yang tengah membantu Ima melepas aksesoris yang melekat di badannya. MUA mereka hari ini adalah sepupuku dari pihak mama, dan bisa dibilang aku ini asistennya, dulu. Dan sekarang, aku disini karena ditugaskan Ryan membantu istrinya. Hmmm.

"Iya Yan, hasil si Ian lagi," jawabku sambil tertawa.

"Ck, udah sih, sama Dwi aja."

"Hahahaa, kamu belum nyerah jodohin daku sama Mas Uwik?"

"Belom, pokoknya aku pantau sampe berhasil!"

"Ya kalo emang jodoh ga bakal kemana, Yan. Jodoh, hidup, mati kita tuh udah ada yang atur, kita mah cuma ngejalanin skenario Sang Maha aja."

"Iya, tapi kan harus usaha juga, Ra. Emang masih ada rasa sama Andi?" tanya Ryan yang membuatku tertusuk jarum pentul karena terkejut.

"Heh, apa-apaan, kok jadi kesana?" Aku merengut.

"Nah, kalo udah ga ada rasa tinggal sama Firdaus Dwi aja, udah sama-sama tahu juga ini. Lagian si Andi juga bukan anak baik-baik. Tampang doang alim kelakuan anj*m." Aku hanya tertawa melihat Ima mencubit bibir Ryan, salah sendiri, lidah kok ya licin bener. Belum tahu aja, tadi Andi ngomong apa, bisa-bisa repetannya ga habis tujuh hari tujuh malam.

Setelah selesai dengan aksesoris Ima, aku pulang. Ryan memang tak menyukai Andi, sejak tahu ia tak sebaik tampilan luarnya. Ada rahasia antara kami bertiga yang tak diketahui empat orang lainnya, aku yang meminta Ryan menyimpan rapat semuanya, bahkan dari Ian, yang pada akhirnya membawa Andi kembali. Ah, jika ingat kelakuannya dulu, memang bikin emosi jiwa.

Andi dan Nimas, dua orang menyebalkan yang pernah hadir di circle kami. Nimas adalah kekasih Mas Dwi saat itu, dan Andi adalah orang yang spesial bagiku. Namun ternyata ada udang di balik bakwan, mereka bersekongkol untuk menyakitiku. Mereka menjadikanku bahan taruhan, dan kejamnya lagi, mereka merencanakan untuk mencelakaiku dengan memotong kabel rem motorku, beruntung aku, Mas Dwi dan Ryan mendengar obrolan mereka secara tidak sengaja. Alasannya? Cemburu. Nimas cemburu karena Mas Dwi lebih sering bersamaku daripada dia. Nimas dan Andi bertaruh laptop, yang pada masa itu adalah benda yang memiliki prestise.

Kedua lelakiku tentu meradang, aku hanya tertawa.

"Kalian lucu, kenapa harus dengan cara begini? Kalian bisa ngomong baik-baik, saya orangnya ga ngeyel kok. Kalo cuma buat jauhin Mas Dwi, gampanglah, saya masih punya banyak teman. Tapi kalo gini caranya, bukan saya yang jauh, tapi kamu yang bakal jauh dari dia. Lagian, ide dari mana sih? Kalian tahu? Kalian hampir bikin satu nyawa melayang, tindakan pidana," ucapku dengan santai.

"Apa yang salah? Aku hanya mempertahankan milikku," balas Nimas sinis.

"Otakmu ketinggalan di gorong-gorong depan, Mbak! Milikmu? Firdaus Dwi Rahadian ini masih milik orang tuanya, dan sampai kapanpun dia tetap milik orang tuanya. Lagian jadi cewek kok rendahan banget, ga ada harga dirinya. Noh, Mas, calon istri kamu, seleramu kok gini amat."

"Dan Kamu, Kak! Makasi loh udah baik sama saya, saya lho beneran sayang, tapi malah di jadiin taruhan, mana seharga laptop pula. Kamu butuh laptop? Besok saya beliin, tenang aja, tapi setelah itu, jangan pernah berani tunjukin muka kamu di depan saya! Berani kamu macam-macam, saya ga segan buat seret kamu ke kantor polisi! Mas, noh cewek lo, urusin!"

"Ogah, istri gue juga bukan, baru pacar udah sok berkuasa, dah lah tinggalin aja. Maaf ya, Ay, gara-gara aku, kamu hampir dalam masalah besar." Mas Dwi memelukku, pun dengan Ryan yang sejak tadi diam, namun aku menggenggam tangannya yang dalam mode siap menghantam.

"Bukan salahmu, Mas. Dia aja yang ga tahu diri. Makanya lain kali, kalo kalian punya pacar, jangan deket-deket aku! Aku punya banyak temen kok," ucapku pada keduanya yang mengapitku. Kami meninggalkan dua orang yang tengah saling menyalahkan.

"Nggak, aku ga mau pacaran lagi, kamu aja udah cukup," jawab Mas Dwi mengeratkan rangkulannya.

"Aku ga akan pacaran, sebelum mastiin cewekku ngenalin kamu luar dalem, sebelum dia ilangin rasa cemburu buat kamu, aku bakal pastiin dia terima kamu sebagai sahabatku sampe akhir waktu nanti," sambung Ryan.

"Manis banget sih, kalian. Makin sayang deh," balasku sambil tertawa. Dan ya, mereka membuktikan ucapan mereka sampai detik ini. Maka, apalagi yang aku cari? Mereka adalah duniaku.

Limas

Pagi tenang di akhir pekan itu adalah sesuatu yang sungguh tak mungkin. Buktinya, sepagi ini ponselku terus berbunyi oleh notifikasi percakapan grup. Aku melihat jam dinding, ini masih jam 5 pagi, apa yang mereka ributkan?

Amri

Ian mesti belum bangun, nih. Kalo masih di kosan ga bakal telat bangun. Si Ara bakal bawa pentungan buat bangunin.

Ian

Nggak ya, Nyet! Apaan, gue udah bangun dari tadik! Subuhan sono!

Ryan S.

Berisik bat, bab*k! Masih subuh udah berisik bae!

Amri

Eh, manten. Masih pagi udah nongol aja, rajin kali. Mantaplah, dah bisa hap hap.

Nyet, mandi gih! Iler lu keliatan ampe sini @Ian.

Fauzi Ojik

Ada apa ada apa? Tawuran kok ga ngajak!

Uh, mantaplah, Em, nagih yak? 😁

Ryan S.

Jangan bahas di sini, ntar ada yang pengen, kasian, mana jauh. 😮‍💨

^^^Adara^^^

^^^^^^Masih gue pantauuuu! ^^^^^^

^^^Inget woy, masih ada anak dibawah umur di marih!^^^

Amri

Panggilan aja, Nyai. Nyai Linggi.

Di bawah umur apaan?! Di bawah umur kok tua.

Fauzi Ojik

Ra, balik bobo, gih! Masih pagi loh ini.

Ian

Jangan lupa pake selimut, Ra! Perlu pake dot juga?

Ryan S.

Ian pagi-pagi udah rusuh😂 Tabokin Ra!

^^^Adara^^^

^^^Heh bagong! Sini sungkem dulu sama Ara! Masih pagi pada ngajak berantem.^^^

Amri

Gue ga ikutan ya!

Ryan S.

Gue apalagi. Dah, pokoknya si @Ian yang salah.

Fauzi Ojik

Gue juga ga ikutan ya.

Ryan S.

Apaan, lu duluan, Jik!

Amri

Tau nih si Jik Ojik!

Btw, si Uus ke mana, yak?

Firdaus Dwi

Apa?

Kangen lu?!

Amri

Eh, Pak Dosen udah bangun.

Hai Pak, lagi ngapain?

Ryan S.

Hassek, si Em nanya-nanya gini, feeling gue udah ga enak nih.

Fauzi Ojik

Roman-roman sih, kayanya minta diajak liburan, tuh.

^^^Adara^^^

^^^Sedep emang Bang Emr kita nih.^^^

^^^Mas Wik ....^^^

Firdaus Dwi

Iya, dek? Gimana?

Amri

Yhaaaaaa, ga dijawab.

Giliran Ara yang manggil, langsung dijawab. Sedih akutuh, aku ga bisa diginiin, Mas!

Ian

Jijik bet, bgst!

Kasian deh, lu kek selotip bening ya, Em, ga keliatan ujung pangkalnya🤣

Amri

Syalan! 😂

Ryan S.

Pas dibutuhin suka ngilang sih, kek selotip.

Fauzi Ojik.

Ato kadang, selotipnya ada, tapi ujungnya ga keliatan. Kan jadi keburu emosi, selotip ga guna emang.

Ryan S.

Selotip mah gitu, nempelnya pas ada sesuatu.

Amri

Ini mesti banget gue jadi selotip? Cedih kali akutuh!

Ian

Udah, lu diem dulu! Jan ngerengek, malu sama kumis!

Ryan S.

Bangke🤣

^^^Adara^^^

^^^Mas Wik, liburan, yuk!^^^

Amri

Yuk!

Ryan S.

Yuk 2

Fauzi Ojik

Yuk 3

Ian

Yuklah 4

Firdaus Dwi

Mau liburan ke mana, Ay?

Fauzi Ojik

Hasekkk, holide kita

Aih, manis cekali, Ay katanya, Ayang?

Sepertinya, kapal Pak Ian akan segera berlayar.

^^^Adara^^^

^^^Lu kenapa, Jik? Sehat?^^^

^^^Mau liburan kemana bapak Fauzi?^^^

Fauzi Ojik

Ke mana aja, asal ada kamu😘

^^^Adara^^^

^^^I don't have a reaction image to fully summarize my disgust, but, Astaghfirullah, dude!^^^

Amri

Aduh, mleyot adek, Bang!

Ryan S.

Untung dah laku lu, Jik!

Ian

Wkwkwk, bangke si Ojik

Untung bininya sealiran sama si Ara, ga kebayang berantem gara-gara jarinya gatel🤣

Ryan S.

Us, marahin Us!

Beuh, si Ara sampe istighfar.

Fauzi Ojik

Paan sih kalian, nganan mulu deh!

Lu jangan panggil pak dos dong, ah. Takut distrap gue.

^^^Adara^^^

^^^Mas Uwiiiikk, Ojik nakal nih!^^^

Ryan s.

Mampus, udah dilaporin!

Amri

Kaboorrrr

Ian

Nah kan, ngadu ke pawangnya.

Tapi si Firdaus Dwi Rahadian lagi sibuk keknya, tumben ga respon panggilan si Ara.

Firdaus Dwi

Apa, Nyet! Gue lagi sibuk buat bikin Ara bahagia.

Ini kan jawaban yang kalian mau?!

Ryan S.

Haseekk, kapalku berlayar.

Fauzi Ojik

Gaasss! Gas teroosss!

Awas blong.

Amri

Hilih, omdo lu komodo!

Kalo berani, lamar dong!

Ian

Gue kebayang muka lu Em, pas lagi ngomong gini ke si Dwi. Bibir lu merong merong pasti, sama kek pp lu🤣

^^^Adara^^^

^^^Sirik mulu si centong nasi!^^^

^^^Thanks Mas Uwiknya Ara ... Menglope dah dd tuh 💕^^^

Firdaus Dwi

Sama-sama, Ay. Lopenya tak simpen, yak!

Amri

Privat chat sih, ga usah pacaran di marih.

Gue bacanya jadi geli sampe merinding!

Firdaus Dwi

Sirik bae lu tutup teplon!

Lu yang mancing, lu yang panas.

Ian

Dasar jomlowan dan jomlowati!

Ga punya pacar, cabat cendilipun di gaskeun!

Ryan S.

Ya gapapalah, yang penting kapel weh.

Fauzi Ojik

Lopenya jangan cuma disimpen atuh! Di pelihara gak?

Amri

Naik tahap kek, ntar ditikung Byan, tau rasa!

^^^Adara^^^

^^^Byan kenapa?^^^

Firdaus Dwi

Byan kenapa?

Ryan S.

Aih, kompakan.

Amri

Liat mereka kompak tuh aih, anjim banget.

Sesuasu!

^^^Adara^^^

^^^PUCEK YOU EMR!!!!^^^

^^^Dahlah, gue out yak, mo jalan dulu. Sepet mata sepet hati liat chat kalian!^^^

Fauzi Ojik

Lu jangan jadiin bini gue obat nyamuk sih, Ra!

Mending lu jalan bedua aja sama Byan.

Siapa tau naik kasta jadi ibu persit.

Amri

Hah? Adara mau ketemu Byan?

Mampos si Uus, ga takut kena tikung lu?

^^^Adara^^^

^^^Apaan sih lu, Em? Salah makan apa gimana?^^^

^^^Saudara Ojik tak tercinta, yang mau ikut tuh bini lu ya! Gue ama Byan mo nyari cincin, dia juga pengen katanya, yaudin, sekalian aja.^^^

Amri

Nah kan, udah sampe tahap nyari cincin. Mampos lo Us, kena tikung beneran kan, lu?!

Firdaus Dwi

Berisik bener ini panci presto satu. Dahlah, gue mau ada seminar ini.

Selamat senang-senang, Aya🫶

...Adara left ...

Sungguh indah pagiku, belum apa-apa, sudah ternoda oleh obrolan tak berfaedah para makhluk dari dunia antah berantah. Lebih baik ku tinggalkan saja dulu mereka. Aku sudah selasai bersiap dan tinggal menunggu dijemput Wulan. Kami memang berencana keluar berempat hari ini.

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!