Mario berjalan tegap memasuki Mansion mengabaikan para penjaga yang menunduk hormat menyambut kedatangannya. Pria itu baru saja kembali dari kegiatan joging yang rutin Ia lakukan setiap hari. Ia duduk di meja makan. Tanpa menunggu instruksi, para pelayan langsung menyajikan hidangan untuk Tuan mereka.
"Panggilkan Joy." Perintahnya sambil memakan sarapan di depannya.
"Baik Tuan."
Sosok pria berperawakan tinggi besar menghampiri Tuannya.
"Bagaimana? Kau dapat apa yang aku inginkan."
"Tentu Tuan."
"Berikan laporannya. Sebelum itu bacakan juga untukku."
"Baik Tuan." Pria itu mulai membuka amplop coklat hasil investigasinya beberapa hari ini.
"Nona Valerie Xavia Thompson anak...."
"Tunggu, dia cucu perempuan satu satunya keluarga Thompson?" Tanya Mario sedikit terkejut karna gadis yang Ia incar dari keluarga yang luar biasa kaya.
"Iya Tuan."
"Lanjutkan."
"Anak satu satunya dari pasangan Vino Thompson dan Vania Thompson. Mereka pindah kemari sekitar seminggu yang lalu. Nona telah lulus di usia 16 tahun di Amerika tempatnya tinggal dulu. Sekarang disini Nona mengelola restourant dan cafe yang Ia rintis sendiri bebas dari campur tangan orang tuanya."
"Mandiri." Kata Mario sambil menganggukkan kepalanya.
"Nona sangat di jaga dan dimanja mengingat Ia adalah anak satu satunya dan cucu perempuan satu satunya keluarga Thompson." lanjutnya lagi.
"Atur strategi agar aku bisa berteman dengan Papa nya."
"Baik Tuan." Katanya langsung melaksanakan perintah.
Mami Valerie membuka kamar anak gadisnya perlahan. Ia menyibakkan gorden untuk membangunkan Val yang masih tidur nyenyak dengan selimut yang membungkus tubuhnya.
"Bangun sayang. Kamu kok tidur lagi. Tadi jam 4 kan sudah bangun." Wanita beranak satu itu mengecup pipi Val dengan gemas.
"Val masih ngantuk Mami. Val tadi bukan bangun. Val memang belum tidur." Rengeknya tak mau beranjak.
"Kamu kok begadang lagi Val. Nanti semua PS kamu Mami sita."
"Jangan Mi."
"Kalau begitu sarapan dulu sayang. Papi sudah menunggu di bawah."
"Iya Mi. Nanti Val menyusul." Katanya sambil mengacungkan jempol dengan malas.
Val menghampiri kedua orangnya di ruang makan.
"Pagi Papi. Mami."
"Pagi sayang." Pria itu mencium gemas pipi anaknya.
"Kamu belum mandi ya?"
"Belum Pi. Tapi Val sudah cuci muka dan gosok gigi."
"Kamu nggak ke cafe?"
"Nanti Mi. Setelah mandi Val kesana."
"Hati hati ya. Nanti minta pak supir antar. Mami juga mau ke butik."
"Iya Mi."
"Kamu mau sarapan pakai apa?"
"Yang itu apa Mi?"
"Nasi kuning? Kamu mau?"
"Val mau coba."
Mami Val langsung mengambilkan untuk anaknya.
"Gimana?"
"Enak." Jawabnya sambil makan dengan lahap.
Val sudah sampai di cafe sedaritadi. Ia membantu untuk menyajikan minuman di depan.
"Nona." Salah satu pegawainya menghampirinya dengan tergopoh gopoh.
"Iya."
"Nona kita dapat pesanan. Satu box tiramisu cake, satu box brownies, satu box redvelvet dan minumnya latte."
"Iya siapkan saja. Kan persediaan masih ada."
"Tapi Nona. Harus Nona sendiri yang buat hari ini dan Nona harus mengantarnya di alamat ini." Katanya sambil memberi secarik kertas.
"Baiklah. Karna pembeli adalah prioritas utama. Aku akan buat lagi sendiri dan aku antar sendiri."
"Tapi Nona. Nanti Mami Nona...." khawatir nanti Mami Val akan marah ketika anaknya terlalu capek.
"Gapapa Mbak. Aku ke dapur dulu ya."
"Iya Nona."
Val harus bekerja ekstra agar pesanannya cepat selesai. Ia sampai menggunakan tiga oven sekaligus. Selesai dengan acara memanggang cake. Val menghiasnya dengan cantik dan mengemas ke dalam kotak yang menarik. Semuanya telah siap.
Val membersihkan diri untuk bersiap mengantar pesanan.
Sosok gadis cantik turun dari mobil memasuki gedung MA group. Banyak mata memandangnya takjub sementara Val hanya tersenyum ramah.
"Permisi Mbak. Saya dari Unico cafe ingin mengantar pesanan atas nama Bapak Mario."
"Oh dengan Nona Valerie benar?"
"Iya Mbak."
"Mari saya antar ke ruangannya."
"Eh enggak Mbak, saya mau nitip aja."
"Tidak bisa Nona. Tadi Tuan Mario sudah berpesan jika Nona datang harus mengantarkan sendiri kepada beliau."
"Oh baiklah."
Valerie mengikuti langkah wanita bername tag Nita itu.
"Silahkan Nona. Tuan sudah menunggu di dalam."
"Mbak bisa temani saya masuk? masa saya sendiri ke dalam."
"Tidak apa Nona. Ini perintah Tuan. Beliau juga tidak mengizinkan wanita masuk ke ruangannya. Dan Anda adalah orang pertama?"
"Galak ya."
Nita hanya tersenyum. "Saya permisi Nona."
"Terimakasih Mbak Nita."
"Sama sama Nona." Katanya senang melihat si bos tertarik dengan gadis yang benar.
Sedaritadi Mario memperhatikan gadisnya dari CCTV. Ia tersenyum mendengar percakapan Val yang begitu polos dengan resepsionis di kantornya.
Pintu ruangan Mario terbuka lebar. Valerie langsung masuk ke dalam. Ia memperhatikan ruangan yang didominasi warna abu abu dan silver itu sebentar. Sosok pria memperhatikannya sedaritadi dan Val menyadari itu.
"Permisi Tuan Saya dari Unico cafe ingin mengantarkan pesanan."
"Mendekat lah. Taro di meja."
Valerie menaruhnya di meja kaca.
Pria duduk di sofa.
"Untuk pembayarannya sudah lunas. Terimakasih atas pesanannya. Saya permisi."
Mario tidak menjawab hanya tersenyum mencurigakan.
"Tuan. Kenapa pintunya di kunci." Protesnya.
"Temani saya makan."
"Maaf Tuan. Pekerjaan saya masih banyak."
"Jika begitu. Beri nomor ponselmu dan kamu boleh pergi."
"Maaf Tuan. Saya tidak hafal. Saya juga tidak bawa ponsel."
"Kamu jangan bercanda." Kata Mario tidak percaya.
"Astaga. Saya tidak bohong. Saya memang tidak hafal. Ponsel saya juga tertinggal."
"Kalau begitu duduk. Temani saya makan."
"Tapi Tuan."
"Katanya pelanggan prioritas utama."
"Baiklah."
Mario mulai memakan cake nya. Ia begitu ketagihan Karna rasanya pas tidak eneg dan tidak terlalu manis. Pria itu tersenyum melihat wajah cemberut Valerie.
"Kamu yang buat sendiri kan?"
"Iya tuan."
"Enak. Kamu cantik, baik, pinter, jago masak. Jadilah istri saya."
"Hah?" tanya Valerie terkejut dengan ucapan tiba tiba pria itu.
Valerie bersikeras membawa belanjaan ke dalam rumah mengikuti Maminya.
"Biar Bibi saja Non." Kata wanita paruh baya itu berjalan cepat mengimbangi Val.
"Aku saja Bi."
"Biarkan saja Bi. Dia memang begitu." Kata Mami Valerie kasihan melihat pelayannya yang tampak merasa bersalah.
Percakapan ketiganya terdengar di ruang tengah tempat kedua pria tengah mengobrol akrab.
Mario tersenyum melihat kedatangan gadis pujaannya.
"Kalian sudah pulang. Kok lama banget."
"Sudah Pi. Val itu yang buat Mami lama pulangnya."
"Kok bisa."
"Dia minta makan sate tadi."
"Oh. Perkenalkan Ini Mario teman Papi. Mario ini anak dan Istri saya."
"Halo Nyonya. Saya Mario."
"Vania. Panggil saja Kak. Saya kan istrinya teman kamu." Sambil menyalami Mario.
"Baik kak. Dan Ini..."
"Oh. Valerie Om. Panggil saja Val." Jawabnya sambil mencium tangan Mario. Jujur, pria itu sedikit terkejut dengan sikap Valerie seperti orang yang baru pertamakali bertemu dengannya. Padahal mereka sudah beberapakali bertemu. Mario berfikir gadis itu hanya akting saja. Namun, Ia teringat oleh laporan jika Val akan cepat lupa dengan sesuatu yang dianggapnya tidak penting. 'Berarti Aku.....' Batin Mario mendefinisikan dirinya sendiri.
Setelah kepergian Ibu dan anak itu keduanya melanjutkan obrolannya. Padahal baru beberapa hari kenal. Namun Mario sudah berhasil akrab dengan Papi Val.
"Pelayan disini banyak juga ya kak."
"Iya. Tapi tugas mereka hanya bersih bersih, merawat tanaman dan menjaga anakku. Untuk kegiatan memasak di handle sendiri oleh Istri dan Val."
"Anak Kakak cantik dan pintar. Sopan lagi."
"Iya. Kami sangat menjaganya. Dia harta kami yang paling berharga."
"Kenapa Kakak tiba tiba pindah kesini? Bukannya bisnis disana banyak."
"Disana sudah di handle orang kepercayaan. Kami pindah kesini adalah demi keamanannya Val."
"Maksud Kakak?"
"Val beberapa kali mengalami penculikan. Bahkan pengawal kami tidak bisa mengatasinya."
"Karena masalah bisnis?"
"Bukan. Ini masalah hati. Banyak yang ingin menjadikannya Istri. Paras cantik kadang juga tidak menguntungkan." Katanya sambil tersenyum.
"Kalau disini bagaimana? Apa lebih aman?"
"Ya. Namun Aku tetap mempekerjakan orang untuk menjaga Val. Agar dia aman."
"Anak memang segalanya Kak." Kata Mario dan Papi Val hanya mengangguk setuju.
Mereka duduk bertiga di ruang makan menunggu gadis yang belum juga datang.
"Kamu lama Sayang. Kasihan Omnya nunggu."
"Maaf Om. Val masih sholat." Kata Val duduk di samping Maminya.
"Tidak apa." Jawabnya sambil tersenyum. Mario berfikir sejenak. 'Val sholat dan mengerti agama. Sedangkan aku' batinnya membandingkan dengan diri sendiri. Pria itu terakhir sholat saat SMP. Bahkan Ia lupa gerakan dan bacaannya.
"Mario. Kamu melamun. Ayo dimakan."
"Iya Kak."
Mario tak berhenti memperhatikan Val yang makan dengan lahap.
"Masakan kakak dan Val enak."
"Kok kamu tau kita yang masak."
"Kak Vino yang cerita."
"Oh."
"Mario. Boleh aku tanya sesuatu. Tapi maaf ini sedikit pribadi."
"Boleh. Tanya saja kak."
"Kenapa kamu belum menikah?"
"Belum ada yang cocok. Aku juga tidak bisa terlalu dekat dengan wanita. Aku trauma dulu Mama meninggalkan aku dan Papa. Wanita itu berselingkuh dengan pria lain di rumah kami. Papa serangan jantung dan meninggal."
"Sabar ya. Berapa usiamu waktu itu?"
"Baru Lima tahun. Kemudian aku dirawat pengasuh sampai dia meninggalkan aku di umur 17. Disitu aku mulai mandiri dan belajar tentang bisnis untuk meneruskan usaha Papa."
"Kamu pekerja keras."
"Om."
"Ya." Jawab Mario sangat senang karena Val memanggilnya.
"Apa Mama Om pernah mencari Om?"
"Dia sudah meninggal sekitar dua bulan lalu."
"Maaf Om. Turut berduka."
"Tidak apa."
Mario berdecak kesal. Ia berhasil mendapatkan nomor Valerie saat meminjam ponsel Papi gadis itu dengan alasan untuk menelfon seseorang karena Ponsel nya sedang mati. namun saat menghubungi gadis itu nomornya malah diblokir. Ia mencoba dengan nomor yang berbeda namun hasilnya tetap sama. Diblokir juga.
"Val Sayang. Kau membuatku gila." Sambil merebahkan tubuhnya di ranjang.
Mario bangkit dari ranjangnya untuk mengambil laptop. Ia berhasil menyelipkan satu kamera kecil dan alat penyadap di kamar gadis itu lewat tukang bersih bersih yang Ia sewa.
Ia sangat merindu hanya beberapa jam lalu mereka berpisah.
Mario tersenyum mengamati Val yang sedang makan eskrim dengan lucu. Gadis itu duduk mendengar Maminya yang mengomel karena Val makan mie instan hari ini.
"Mami peringatkan sama kamu sayang. Kalo kamu makan mie lagi Mama pastikan kamu nggak keluar rumah."
"Yah Mami. Cafe Val bagaimana?"
"Tidak tau."
"Val janji nggak makan mie lagi."
"Mami pegang janji kamu Val. Awas saja jika berbohong."
"Tidak Mi."
"Yasudah. Tidur."
"Eskrim Val belum habis Mami."
"Habiskan. Setelah itu tidur."
"Iya Mami."
"Selamat malam Sayang." Vania mengecup kening dan pipi anaknya.
"Malam Mami."
Mario masih mengamati. Ia mencoba menelfon lagi dengan nomor yang berbeda dan melihat reaksi gadis itu sebenarnya.
Val melihat ponselnya berdering hanya acuh tak peduli dan masih melanjutkan kegiatannya. "Akhirnya kamu mau angkat juga." Batin Mario melihat gadisnya meraih ponsel setelah percobaan yang ke 10.
"Apa...?" Kata Mario terkejut karena nomornya di blokir lagi untuk yang kesekian kalinya.
"Sulit sekali." Teriaknya frustasi.
"Tapi aku tidak akan menyerah untuk mendapatkanmu. Kau Milikku." Katanya mengepalkan tangan dengan pancaran mata penuh ambisi.
Untuk yang keduakalinya Mario berkunjung lagi ke mansion keluarga Thompson. Pria itu sudah memiliki janji dengan Papi Val untuk bermain golf bersama. Keluarga Thompson memiliki lapangan golf pribadi di belakang. Oleh karena itu mereka akan bermain disana.
Pagi hari.
Gerbang mansion Thompson terbuka lebar. Sebuah mobil mewah masuk dan berhenti di halaman yang luas. Sosok pria dewasa turun dari mobil memperhatikan sosok gadis cantik yang tengah berbaur dengan pekerja di taman.
"Mario. Kau sudah datang."
"Sudah kak. Baru saja."
"Anak itu." Gumam Papi Val melihat tingkah anak gadisnya yang membuat para pekerja kerepotan. Valerie mencoba beberapa kegiatan seperti menggunting tanaman, menyiram tanaman dan lain sebagainya. Papi Val sangat paham jika mereka khawatir terjadi sesuatu dengan Putri keluarga Thompson itu.
"Sayang, Papi suruh kamu sarapan." Teriaknya namun tidak dihiraukan.
"Val." Teriaknya lagi memanggil nama jika sudah kesal dengan anaknya. Daritadi seharusnya mereka sudah sarapan. Namun karena Val yang pergi entah kemana acara sarapan pun tertunda.
"Valerie Thompson. Papi tutup cafe kamu jika tidak menurut." Papi Val langsung mengajak Mario masuk setelah mengatakan ancamannya.
Empat orang sedang sarapan bersama. Val yang tadinya tidak ingin sarapan terpaksa harus bergabung mendengar ancaman dari Papinya.
"Papi. Habis ini Val mau sepedahan boleh?"
"Kemana? Kamu suka ngawur kalo naik sepeda."
"Sekitar sini aja. Nggak jauh jauh."
"Boleh. Hati hati."
"Iya Mami."
"Kamu bisa naik sepeda Val?"
"Bisa Om. Tapi tidak terlalu bisa juga. Maksudnya bisa tapi tidak lancar." Mario hanya tersenyum mendengar penjelasan gadis itu yang berbelit.
"Bilang aja nggak lancar gitu."
"Iya itu maksudnya."
"Sayang. Temani Mami arisan ya."
"Nggak mau ah Mi. Teman Mami menyebalkan semua." Katanya sambil cemberut.
"Menyebalkan gimana?"
"Val suka dikenalin sama anak anaknya teman Mami Pi."
"Bagus. Nggak usah ikut Val. Papi juga risih kalo jadi kamu."
"Iya Pi."
"Cafe bagaimana Val?"
"Alhamdulillah lancar. Om mampir deh. Aku traktir."
"Ok. Om mampir kapan kapan. Kamu masak sendiri?"
"Iya. Tapi kalo Val lagi luang."
"Oh." Mario mengangguk paham.
Mario dan Papi Val sedang bermain golf di belakang. Val sedang bersepeda di sekitaran kompleks sementara Maminya berangkat untuk arisan.
Matahari sudah cukup tinggi. Papi Val mengajak Mario untuk duduk di teras belakang yang menghadap langsung ke kolam renang.
Keduanya saling mengobrol sambil menikmati minuman.
"Val sholatnya rajin ya."
"Iya. Kami sengaja mengajarinya sholat dan menyewa guru mengaji agar agama tetap melekat dengan hidupnya. Maklum, kami tinggal di negara yang mayoritasnya non muslim. Jadi urusan agama kita tanamkan kepada Val sejak dini."
"Bagus itu kak. Sekarang jarang sekali remaja yang memelihara sholatnya dengan baik. Seperti Aku. Terakhir aku sholat waktu SMP dan di umurku sekarang yang sudah kepala tiga aku belum sholat lagi. Bahkan lupa."
"Memang urusan dunia membuat kita lupa. Oh iya. Tipe perempuan seperti apa yang kamu cari. Siapa tau aku bisa bantu." Kata Papi Val sambil bercanda.
"Ah kakak. Sebenarnya tidak ada spesifikasi khusus. Kalau aku nyaman ya kita lanjut."
"Oh. Begitu."
"Tuan." Seorang laki laki tergopoh gopoh menghampiri keduanya.
"Ada apa?"
"Nona masuk rumah sakit. Kaki Nona patah karena jatuh dari sepeda."
"Baiklah saya kesana sekarang."
"Aku ikut kak." Mario ikut panik.
"Ayo."
"Mi. Gimana keadaan Val?"
Mami memeluk suaminya sambil menangis.
"Masih ditangani dokter."
"Mami tenang ya." Pria itu menepuk punggung istrinya.
Dokter telah memperbolehkan mereka menjenguk Val setelah menunggu sekian lama. Mereka langsung masuk ke dalam untuk melihat kondisi gadis itu. Val duduk dengan infus dan kaki yang sudah di gips.
"Mami habis nangis."
"Astaga anak ini. Mami khawatir sama kamu tau." Mami memeluk putrinya.
"Om Mario disini juga."
"Iya. Bagaimana keadaan kamu Val?"
"Baik Om. Papi ayo kita pulang."
"Kamu baru aja masuk rumah sakit minta pulang."
"Ayolah Pi. Val bosan. Tanya dokter deh."
"Iya. Iya. Papi tanyakan." Vino menuruti keinginan anak satu satunya.
Akhirnya Valerie sampai di rumah. Ia langsung beristirahat di kamarnya.
"Mario. Kamu makan siang dulu. Kakak mau antar makan siang di kamar Val."
"Boleh aku yang antar kak? Sekalian aku juga ingin mengobrol dengannya."
"Boleh." Katanya mengizinkan karena melihat Mario orang yang baik.
Mario memasuki kamar Val. Gadis itu masih menggunakan mukenanya. Sepertinya selesai sholat dengan posisi duduk di sofa karena tidak bisa berdiri.
"Om."
"Om antar makan siang untuk kamu Val."
"La Mami mana?"
"Sedang makan di bawah dengan Papi kamu. Kamu makan ya."
"Iya." Val melepas mukenanya agar tidak kotor.
Keduanya makan bersama. Mario sebenarnya sangat ingin menyuapi Val. Namun, Ia takut Val akan menjauh karena sikapnya yang agresif.
"Om."
"Ya."
"Aku boleh tanya umur Om?"
"Umur Om 36."
"Oh."
"Kelihatan tua ya?"
"Enggak kok."
"Val."
"Ya Om."
"Kalo kamu luang. Ajari Om sholat dan mengaji bisa?"
"Bisa Om."
"Kamu nggak sibuk di cafe?"
"Sibuk sih. Tapi masa ada orang mau belajar Val tolak. Tapi maaf ya Om. Val juga belum sebagus ustadzah di luar sana."
"Ga papa. Makasih ya."
"Sama sama. Oh iya Om. Mami tadi nggak nitip dessert?"
"Nggak ada dessert." Mami dan Papi datang menghampiri keduanya.
"Val mau eskrim Mi."
"Enggak."
"Ayolah Mi."
"Kasih aja Mi. Cuman eskrim juga."
"Papi kok gitu. Tiap hari bahkan kadang sehari tiga kali dia makan eskrim. Ga baik tau."
"Ayolah Mi."
"Iya iya." Kata Mami pasrah menuruti kemauan anak gadisnya.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!