Seorang Wanita berusia 25 an sedang duduk disamping ibunya, ia menaruh sepiring bubur yang sudah di masaknya lumayan lama,
" Makan sendiri atau Kinan suapi bu?" tanyanya pada ibunya, yang entah kenapa ngotot sekali memaksanya pulang, padahal meskipun sakit biasanya ibu paling tidak suka ia sering sering ijin kerja dan pulang.
" Ibu bisa makan sendiri.." jawab ibunya mengambil piring itu dan mulai memakan bubur buatan anaknya.
Kinanti, nama perempuan berusia 25 tahun itu, ia tetap duduk tenang disamping ibunya sembari terus membaca beberapa lembar kertas yang di bagikan kepala sekolah tadi pagi, sebelum dirinya meminta ijin selama 3 hari.
Beberapa lama kemudian, setelah ibunya selesai makan, ibunya mulai membuka pembicaraan yang sebenarnya selama ini sangat di hindarinya.
" Dia teman baik Almarhum Aji nduk.." ujar perempuan berusia 55 tahun itu pada putrinya yang sedang sibuk membaca.
" Lalu kenapa ibu memilihnya, dan kenapa aku harus menikah dengannya?" tanya Kinanti dengan wajah bimbang bercampur bingung.
" Tidak ada yang memaksamu menikah dengannya, ibu hanya memberimu pilihan yang baik.." jawab ibunya sabar.
" bukan pilihan yang baik.. tapi ini balas budi kan bu? karena ia yang membiayai kuliahku sampai lulus?!" nada Kinan sedikit tak terima, kenapa ia harus menikah dengan orang yang sama sekali tak di kenalnya, apalagi harus menikah dengan dasar balas budi, kinanti merasa itu aneh sekali.
" Dia tidak meminta balasan nak, dia membiayai mu di karenakan rasa bersalahnya pada Aji.."
" jadi dia kan yang membalas budi pada mas Aji, dia boleh merasa bertanggung jawab padaku karena meninggalnya mas Aji, tapi dia tidak perlu menikahi ku bu.." tukas kinanti, ia sedikit keras kepala dalam hal ini, itu karena ia mempunyai kenangan yang buruk perkara hubungan antara laki laki dan perempuan.
" Dia tidak memaksamu menikahinya nduk.. dia hanya bilang, siap menjagamu seterusnya sebagai pengganti Aji.."
" lalu dari mana ide pernikahan ini??!" Kinan menatap ibunya serius.
" Ibu nak.. ibu yang menyarankan.." jawab ibunya dengan pandangan sayu namun penuh harap.
" Ya ampun bu..? apakah ibu sudah seputus asa itu denganku? sehingga ibu menawarkan aku pada laki laki?!"
Ibunya tak menjawab, ia hanya tertunduk.
" Aku sudah bilang bu, aku belum ingin menikah.. aku ingin mandiri dan bisa menghidupi ibu dengan baik.." ujar Kinan sedikit ngotot, ia memang tak ada niatan menikah, dulu pernah punya..
namun rencana indah itu kandas begitu saja karena pengkhianatan.
" Ibu tidak selamanya hidup untuk menjagamu nduk..
bagaimana kalau ibu meninggal sebelum kau menikah? sebelum ada yang menjagamu..
ibu tidak akan tenang nduk.. tidak akan tenang.." nada bicara ibunya yang lemah lembut itu serasa menyayat hati Kinanti,
Kinanti tidak bisa menyalahkan ibunya yang mempunyai ketakutan seperti itu, karena semenjak kakaknya Aji meninggal, ibu menjadi sakit sakitan.
Dan Kinanti pun tau bahwa ada seseorang yang selama ini membantu keluarganya, namun ia sama sekali tidak tau dari siapa bantuan itu, dan sekarang barulah ibunya itu jujur bahwa semua bantuan selama ini berasal dari teman kakaknya.
" Kinan tau ibu gelisah dengan itu.. Kinan tau, tapi.. menikah itu bukan hal yang sepele ibu..
apalagi harus hidup dengan laki laki yang asing, Aku tidak mengenal sosoknya sama sekali bu.." jawab Kinanti sembari menyentuh punggung tangan ibunya.
Andai saja Bapaknya tidak meninggal setelah mas Aji meninggal, mungkin hidup mereka tidak akan sesulit ini..
ia juga bisa bekerja tanpa khawatir akan ibunya karena ada bapak yang menemani..pikir Kinanti.
" Kau bisa mengenalnya perlahan.." ujar ibunya kemudian,
" kalau nanti memang kau tidak sreg, atau tidak nyaman.. kau bisa memperlakukannya seperti mas mu sendiri.." imbuh ibunya.
Kinanti menggeleng pelan, di usianya yang sudah 25 tahun ini, mana bisa dia menganggap orang asing sebagai saudara dengan begitu mudahnya.
" Jadi ibu menyuruhku pulang untuk memperkenalkan ku padanya? ibu berpura pura sakit?" tanya Kinanti dengan sorot mata selidik,
" Tidak nak.. ibu memang kurang sehat.."
" lalu laki laki itu?"
" Dia selalu kesini di awal bulan, kalau tidak nanti besok dia pasti kesini menjenguk ibu.. jadi kau kembali ke tempat kerjamu lusa saja.."
" Wah.. begitu rapinya ibu menyusun pertemuan kami.." nada Kinanti tidak berminat.
Ibunya hanya tersenyum sambil membelai rambut Kinanti, ia tak ingin beradu argumen lagi dengan Kinanti, yang penting keduanya bertemu saja dulu pikir ibunya.
Kinanti sibuk menyapu halaman rumahnya yang di penuhi daun mangga yang sudah rontok dan kering.
Biasanya ibunya selalu rajin dan tidak pernah membiarkan halamannya ini kotor.
" Ibu benar benar sakit.." keluhnya pelan sembari terus menyapu halaman dengan sapu lidi.
" Kinan?!" seseorang memanggil namanya dan mendekat,
" Yusuf..!" Kinanti menepuk lengan sepupunya itu,
" Kapan pulang?" tanya si Yusuf, usianya sepantaran dengan Kinanti.
" Semalam.." jawab kinanti datar,
" mbok ya pindah kerja Nan.. nungguin ibumu dirumah.." Yusuf duduk di kursi yang berjajar di teras.
" Kau tau.. aku ingin ikut pengangkatan pegawai negri.. kalau aku pindah pindah sekolah ya sama saja bohong Suf.."
" Tapi ibumu kasian sendirian.."
Kinanti terdiam,
" pulang pergi saja.. toh hanya sejam setengah perjalanan.." saran Yusuf,
" iya Suf.. ku usahakan, kalau di hitung hitung ya 3 jam pulang pergi Suf, payah di jalan..
coba ibu mau ku ajak ngontrak disana.." keluh Kinanti.
" Kau yang mengalah, jangan malah bulek yang kau boyong kesana..
sudah pasti bulek tidak mau, disini banyak kenangan mas Aji dan pak lek.." nada bicara Yusuf berubah sedih, namun kemudia dia teringat sesuatu.
" Eh iyoo.. Nan, kamu tau teman kita SD dulu?" ujar Yusuf tiba tiba,
" Haikal.." imbuh Yusuf,
" Haikal banyak, yang mana..?" tanya balik Kinanti sembari menyapu halaman.
" Yang gemuk.. eh, jangan salah.. sekarang ganteng, tinggi gagah.. dia jadi abdi negara Nan?!"
" Oh ya.. bagus lah.." jawab Kinanti datar, matanya fokus pada sampah daun yang berserakan.
" Baguslah.. dia menanyakanmu.. minta nomor telfonmu..?"
Kinanti sontak menoleh pada Yusuf,
" terus kau kasih?" kinanti menatap Yusuf tajam.
" Tidaklah.. takut kau marah, ku bilang kau gonta ganti nomor.. dan aku tidak punya nomormu yang baru.." jawab Yusuf tenang.
" Baguslah.." jawab Kinanti tersenyum lalu mengarahkan pandangannya kembali ke sapunya dan sampah sampah yang masih berserakan.
" Tapi Nan.. umurmu sudah cukup menikah.. kenapa kau tidak menikah saja..
Haikal juga lumayan buat di jadikan suami, sejak SD dia suka padamu.." ujar Yusuf,
" Kau saja duluan, nanti baru aku.."
" ngarang! aku ini laki laki.. aku menikah usia 30 tahun pun tak masalah..?!"
" jadi aku masalah?"
" iya! karena kau sengaja menolak setiap laki laki yang mendekatimu?!" Yusuf mengomel, andai saja dia bukan saudara dan hubungannya tidak dekat dengan Kinanti, mungkin Kinanti akan mengusirnya.
" Kau cerewet sekali seperti ibu ibu di RT sebelah Suf.." gerutu Kinanti.
" Aku cerewet karena aku perduli.. kau saudaraku Nan, kita tumbuh bersama, sudah seperti saudara kembar! bahkan almarhum pak lek selalu memberikanku mainan yang sama denganmu, dia memperlakukan aku layaknya anak perempuannya juga, yah.. untung saja dia tidak memberiku bonekamu.. dan memakaikan rok padaku.." jelas Yusuf sambil mengingat ngingat yang lalu.
Kinanti tersenyum,
" Kau sendiri.. tidak ada perempuan yang kau suka?" tanya Kinanti menatap Yusuf dengan pandangan mengejek.
" Kau bertanya atau meledek sih Nan?! mana ada aku waktu pacaran? aku harus membantu mengurus pabrik Ayahku.. ?!" jawab Yusuf sedikit sewot.
" Misal kau jadi aku.. apa kau mau kalau di jodohkan?" tanya Kinanti setelah selesai menyelesaikan kegiatan sapu menyapunya.
ia duduk tak jauh dari Yusuf.
" Ya di lihat dulu.. calonnya seperti apa?" jawab Yusuf pelan,
" Jadi kau mau? kau mau begitu saja menikah dengan orang yang tidak kau kenal?" tanya Kinanti tak percaya.
" Sekarang pacaran juga percuma Nan, buang waktu.. belum penjajakan, pacaran, lalu belum tentu cocok..
perjodohan bagiku tidak masalah, asal jelas bibit bebet dan bobotnya..
aku suka perempuan yang lembut dan berpendidikan.."
" Mandiri?"
" tidak, aku tidak perlu perempuan mandiri..
semakin dia mandiri semakin aku merasa tak di perlukan, aku ingin menjadi suami yang berguna setiap harinya untuk istriku.."
" wahh.. " Kinanti nyengir,
" Wah apa? iya toh.. laki laki maunya dianggap penting, kalau istri apa apa bisa sendiri bagiku itu kurang bagus.."
" Kau kolot Suf.."
" bukan kolot.. tapi ini memang tipeku.."
" jadi kau suka yang manis dan penurut?"
" aku suka yang selalu membutuhkanku setiap saat, terlalu penurut juga tidak bagus..
takutnya kalau aku berbuat salahpun akan di biarkan, ku kira yang dewasa dan bijaksana.."
Kinanti menggeleng pelan,
" luar biasa.. hatimu lembut sekali saudaraku.. nanti kalau ku temukan perempuan seperti itu aku akan membawanya kepadamu.." ejek Kinanti.
" Ku jewer telingamu nanti kalau terus saja mengejekku?!" Yusuf gemas.
" Kau sendiri.. apa tipemu masih seperti mantanmu yang bajingan itu?" tanya Yusuf hati hati,
Kinanti terdiam sejenak,
" Aku sudah tidak punya tipe.." ujar Kinanti dengan pandangan kurang berminat.
" Kau berpendidikan dan cantik.. jangan sia sia kan dirimu hanya karena masa lalu yang buruk..
temukan seseorang yang lebih menghargaimu.." nasehat Yusuf.
" Yah.. ku kira itu akan berjalan seiring waktu.."
" apa itu?"
" menemukan laki laki yang baik.. itupun kalau masih tersisa laki laki yang baik di dunia ini.." Kinanti tertawa masam,
" maksudmu masih tersisa?"
" tentu saja kau termasuk laki laki baik Suf, tenanglah.." Kinanti tertawa renyah sekarang.
Yusuf selalu bisa menghiburnya.
" Ayo kita beli es buah Nan, di pojok gang.." ajak Yusuf seperti bosan,
" boleh, pamit ke ibu sek.."
" biar aku yang pamit, sekalian mampir ke pabrik sebentar, ngecek.." Yusuf bangkit dan berjalan ke arah pintu masuk.
Seorang laki laki bertubuh tinggi menggetuk pintu,
" Masuk nak.." si pemilik rumah membuka pintu dan menyambutnya dengan senyum ramah seperti biasanya.
" Sehat bu?" laki laki berusia 29 tahun itu masuk.
seperti biasa, dengan oleh oleh kecil di tangannya.
" ibu cuma kecapek an nak.. tidak ada yang serius.., dan ibu kan sering bilang.. tidak usah membawa apapun..
bantuanmu sudah cukup nak.." ujar si ibu melihat ada amplop berwarna putih panjang yang si selipkan diantara buah buahan yang di bawa laki laki itu.
" Kalau ibu menolak saya akan pulang dengan perasaan sedih.." ujar laki laki itu memaksa secara halus.
" Tapi Kinanti sudah lulus kuliah, sudah punya gaji sendiri.. tidak perlu di bantu terus seperti ini.." si ibu merasa terbebani.
" Anggap saja ini uang jajan yang di berikan kakak terhadap adiknya bu.. meski dia sudah bekerja, sy tetap akan memberinya..
saya yakin, jika Aji masih ada dia akan seperti itu pada adiknya.." ucap laki laki itu dengan nada sedikit berbeda setelah menyebut nama Aji.
Si ibu terdiam sejenak, ia berfikir lama..
" Nak.." panggil si ibu hati hati,
" nggih bu..?" jawabannya tak kalah hati hati dan halus.
" Bagaimana dengan usulan ibu..?"
" usulan yang mana itu bu?"
Si ibu menghela nafas,
" tentang Kinanti.."
" oh.. iya bu.." laki laki itu mengatur nafasnya,
" bagaimana nak.. usianya sudah 25, kalau tidak di paksa ibu yakin dia akan membujang seumur hidupnya.."
laki laki itu diam sejenak, ia terlihat sedikit bimbang.
" Saya harus bagaimana bu?, takutnya ada yang dia cintai di luar sana.." jawab laki laki itu dengan wajah yang terlihat sudah tenang.
" Mas Damar bagaimana?" tanya si ibu penasaran.
" Saya manut ibu saja.." jawab laki laki itu kalem,
" lho kok manut ibu?"
" ibu kan sudah saya anggap ibu saya sendiri.."
si ibu terdiam, hatinya trenyuh..
anak ini, benar benar membuat ku tidak bisa berkata kata.. keluh ibu dalam hati.
" Apa mas Damar bisa bersabar kelak terhadap Kinan? sikapnya keras kepala.. " kata ibu kemudian.
Damar tersenyum,
" seperti Aji, keras kepala.. namun hatinya tulus.. apa dia seperti itu bu?" tanya Damar,
si ibu tersenyum sembari mengangguk.
" kalau Kinanti setau ibu tidak pernah ada hubungan dengan siapapun setelah putus dari pacarnya beberapa tahun yang lalu..
yang mendekati ya banyak, tapi anak itu seperti patung.. dingin, acuh, ketus..
ibu sampai takut ada yang tersinggung atas kelakuannya.."
Damar tersenyum ringan mendengar itu.
" kalau nak Damar? apa sudah ada tambatan hati? kalau memang ada lupakan saja usulan ibu.." si ibu khawatir.
Damar lagi lagi tersenyum,
" saya malah lebih parah bu.. tidak ada perempuan yang pernah cocok dengan saya..
kakak sepupu dan adik saya sering mengenalkan perempuan, tapi mereka menyerah sebelum berperang.."
" kenapa begitu nak?"
" tenang saja bu.. mereka menyerah karena saya terlalu sibuk bekerja, bukan karena perlakuan saya atau hal lainnya..
rata rata perempuan itu menuduh saya tidak menyukai perempuan karena saya kurang perduli dan perhatian.."
si ibu terdiam,
" lha terus kalau sama sama begitu bagaimana nanti nak??" si ibu khawatir.
" Coba tanya dulu sama Kinanti nya.. apa mau punya suami yang sibuk kerja seperti saya?,
saya bisa menjamin hal lainnya.. kecuali perhatian bu..
waktu saya habis untuk urusan kerja.." ujar Damar membuat ibu terlihat lesu.
" Saya tidak masalah bu, jika memang Kinanti mau menikah..
itu akan membantu saya meredam tekanan di keluarga saya juga..
selain itu, saya bisa benar benar memenuhi janji saya untuk menjaga keluarganya pada Aji..
ibu tenang saja, sy tidak akan menyia nyiakan dia..
tapi.. jika Kinanti ternyata ada kekasih.. saya tidak ragu untuk membiayai pernikahannya dengan kekasihnya.."
lagi lagi ibu terhenyak dengan kalimat kalimat Damar.
" Ya sudah bu.. sudah mulai malam, saya pulang dulu.." pamit Damar tiba tiba,
" lho? belum ketemu Kinanti nya?" cegah ibu,
" lain kali bu.."
" lain kali kapan.. lusa dia sudah kembali bekerja.."
Damar diam sejenak,
" memangnya dia kemana bu?" tanyanya kemudian.
" Tadi pergi dengan Yusuf, tidak tau kemana.. biar saya telfon sebentar..?"
si ibu bangkit mengambil HP.
" Tidak usah bu, toh saya sudah pernah lihat kinan dulu.."
" itukan dulu.. jaman belum lulus kuliah..
lagi pula kinan nya belum tau mas Damar sama sekali.."
" dia pernah bertemu saya beberapa kali bu, hanya saja dia tidak menyadari saya siapa.." Damar tiba tiba teringat wajah Kinanti remaja yang di penuhi air mata.
Beberapa tahun lalu, di pemakaman Aji.
Saat itu hatinya seperti di tusuk tusuk, suara ratapan Kinanti atas kepergian kakaknya begitu menyayat hatinya, membuatnya tak pernah tidur dengan nyenyak semenjak itu.
" Kalau memang ibu begitu menginginkan saya bertemu dengan Kinanti..
biar besok saya kesini lagi.." ujar Damar mengalah.
Kinanti sedang sibuk merapikan kamarnya sembari beberapa kali melihat jam,
" kenapa melongok jam terus?" tanya ibunya,
" takut kemalaman bu, kan Kinan naik bus balik ke kost nya.." jawab Kinanti sembari merapikan beberapa hal lagi,
" ibu yang sabar ya.. Kinan pulang seminggu sekali kok untuk ke depannya.."
" kenapa jadi seminggu sekali, memangnya kau sudah tidak menerima les di akhir pekan?"
" tidak bu, Kinan mengubah jadwal lesnya.. biar sabtu minggu bisa pulang.." jawab Kinanti melempar senyum lebar pada ibunya.
" Owalah.. ya wes, yang penting jaga kesehatanmu.. oh ya, biar mas Damar yang mengantarmu.. sebentar lagi dia sampai.."
Kinanti mematung sejenak, mencerna kalimat terakhir yang di katakan ibunya tadi,
" siapa yang mau mengantarku bu?" tanya Kinanti, ia takut salah dengar.
" Damar.. kemarin dia kesini, tapi kau tidak pulang pulang..
mumpung dia kesini sekalian saja mengantarmu kembali ke kost.." jawab ibunya,
" ibu..?!" Kinanti keberatan, wajahnya masam seketika
" Kau bukan anak kecil, jangan merajuk begitu.. bukannya kau sudah bicara dengan ibu sebelumnya, kalau saling mengenal lah terlebih dahulu..
kalau memang tidak cocok ya tidak usah, toh dia sudah menganggapmu adik..
jangan lupa, dia juga nitip uang jajanmu pada ibu kemarin.." ibunya menaruh amplop yang kemarin di serahkan damar pada ibu Kinanti.
" Aku bukan anak kecil yang harus dia beri uang jajan bu?! lebih baik ibu simpan.. atau pakai untuk kebutuhan sehari hari..
uang kirimanku atau kiriman laki laki itu, terserah ibu mau pakai yang mana, tentunya uangnya lebih banyak.." wajah Kinanti benar benar masam.
" apa ibu benar benar ingin aku bertemu laki laki itu?" tanyanya kemudian dengan wajah yang lebih baik.
Ia tak mau menyakiti hati ibunya, bagaimanapun juga ibunya ingin yang terbaik untuknya meski caranya agak sulit di terima oleh Kinanti.
" Ibu ingin kau mengenalnya nduk.. berjanjilah untuk berteman meski kau tidak akan menjadikannya suamimu..
setidaknya, berilah dia kesan baik.. tunjukkan rasa terimakasih mu karena dia sudah menjadikanmu sarjana.." ujar ibunya sembari mengelus punggung anaknya.
" Usianya sudah hampir menjelang 30 tahun.. dia sosok yang dewasa,
mungkin, kalau tidak bisa menjadi suami.. dia bisa menjadi teman bicara yang baik nduk.. " ibunya tersenyum.
" Ya wes.. siap siaplah dulu.. nanti ibu panggil kalau Damarnya sudah datang.." ibu bangkit, kemudian berjalan keluar kamar, meninggalkan Kinanti dengan perasaan yang bimbang,
ya masa baru kenal sudah diantar.. pikir Kinanti dalam hati.
Tapi di bilang tidak kenal.. dia yang membiayai aku kuliah.. pikirnya lagi bingung.
Dan benar saja 30 menit kemudian ada suara mobil berhenti di depan rumah Kinanti.
" Maaf bu, saya kena macet.. ada kecelakaan dijalan.." Suara Damar terdengar oleh Kinanti dari luar.
" Ndak apa apa nak.. sebentar ibu panggil Kinan nya, sekalian tak bikinkan teh hangat dulu.."
" ah.. ndak udah buat teh bu, saya kebetulan sudah minum tadi.. biar Kinanti nya saya antar langsung saja..
takutnya dia terburu buru.." ujar Damar sambil duduk.
Ia menghela nafas, terlihat wajahnya sedikit lelah karena macet.
Beberapa menit kemudian si ibu keluar, di susul Kinanti di belakangnya.
" Nah.. Nan, ini mas Damar.. dan mas Damar, ini Kinanti.." ibunya memperkenalkan dan berusaha membuka percakapan diantara keduanya.
" Damar.." suara Damar tenang sembari mengulurkan tangannya, ia hanya menatap Kinanti sekilas.
" Kinanti.." keduanya berjabat tangan, Kinanti menatap laki laki itu sejenak, wajahnya sama sama kaku tanpa senyum dan keramahan.
Ibu hanya bisa menggeleng gelengkan kepala melihat itu, bisa bisanya dua duanya bersikap dingin seperti itu.. keluh ibunya dalam hati.
" Keburu malam, ayo kita berangkat.." Damar membuka suara.
" Iya," jawab Kinanti pendek lalu berjalan masuk ke dalam mengambil tas nya.
Ditengah perjalanan keduanya sama sama diam, itu membuat suasana di dalam mobil sunyi dan kikuk.
" Kita makan dulu ya?" Damar akan membelokkan mobilnya ke satu tempat makan.
" Tidak usah mas, aku tadi sudah makan bersama ibu" jawab Kinanti cepat.
" Tapi aku belum makan sejak siang, tidak ada salahnya juga kau makan lagi" suara Damar, sepertinya ia tak begitu memperdulikan pendapat Kinanti, ia tetap membelokkan mobilnya ke tempat makan.
Kinanti turun dari mobil, susah payah mengendalikan kejengkelannya atas sikap laki laki yang se enak nya saja itu.
" Ayo makan.." ujar Damar ketika makanan yang di pesan sudah datang.
menunya sedikit menggugah selera, bebek goreng dengan oseng kangkung dan sambal mentah, tak lama datang lagi gurami asam manis dan cumi pedas.
" Rumah makan ini Ramai juga ya menunya lumayan.. aku baru kali ini mampir kesini.." basa basi Damar, namun Kinanti tak menjawabnya.
Damar yang tau Kinanti kesal tersenyum tipis,
" kesal boleh.. tapi tetap harus makan.. iya kan dek.." suara Damar tenang,
" Jangan panggil aku dek" Kinanti tidak senang.
" Lalu?" Damar mengerutkan dahinya,
" namaku saja langsung, tidak pakai dek" jawab Kinanti cepat, ia terlihat ketus.
Hal itu membuat Damar lagi lagi tersenyum dalam hati,
" galaknya.. seperti petasan.." gumam Damar, Kinanti yang mendengarnya seperti tak terima,
" Mas bilang apa?"
tanyanya penuh penekanan.
" Kau galak, seperti petasan.. apa murid muridmu tidak takut kau seperti ini?" tanya Damar sembari tersenyum.
" Aku hanya galak pada orang tertentu saja.." jawab Kinan,
" tertentu? kenapa begitu..?" Damar yang sudah mencuci tangannya itu tidak jadi mengambil nasi, ia sedikit tertarik dengan wanita di hadapannya ini.
Entah kenapa Damar merasakan kebencian di matanya, juga sikapnya, padahal hari ini baru saja mereka bertemu.
" jadi aku termasuk orang tertentu itu? baiklah.. katakan sebab kau galak kepadaku.. padahal ini pertemuan pertama kita.." tanya Damar setelah melihat Kinanti lama terdiam.
" aku tidak galak.. bicaraku memang seperti ini.." jawab Kinanti tiba tiba tenang, entah kenapa kalimat kalimat ibunya tiba tiba saja terngiang, bahwa dirinya harus berusaha menjalin hubungan baik meskipun hatinya tidak suka.
Damar terdiam, ia menatap wanita di hadapannya dengan hati hati.
Untuk ukuran 25 tahun, ia terlihat lebih muda, itu mungkin karena tubuhnya yang ramping.
Dagunya juga terbelah, manis sekali mirip dengan dagu Aji.
Damar menghela nafas panjang.
" Dengarkan aku Kinanti.. aku tidak berniat menyakitimu, aku hanya ingin melindungi kalian.. kau dan ibumu tanpa pamrih..
jadi hentikan kewaspadaanmu yang keterlaluan itu padaku, menyakitimu sama dengan menghancurkan diriku sendiri.. pahamilah itu.. dan pikirkan baik baik.." Suara Damar tenang namun penuh penekanan.
Sementara Kinanti seperti tersadar, tidak seharusnya ia berkata kata kurang sopan seperti itu.
entah kenapa rasa marah dalam hatinya meluap begitu saja tanpa bisa ia kendalikan.
Kinanti memasuki kantor, langkanya berubah pelan ketika tau ada guru senior yang sedang terlelap.
Nampaknya mereka lelah setelah mengajar dan ingin sedikit rebahan, tapi ternyata malah keterusan tidur.
" Jangan berisik bu, pak Hartono sedang mimpi indah.." suara seorang guru laki laki yang duduk tepat di samping meja pak Hartono.
" Wah.. bisa dosa besar saya kalau sampai pak Har bangun.." balasku pada pak Tyo, guru olahraga.
" pak Har sedang mimpi makan makan di lesehan sepertinya.." imbuh pak tyo sambil cekikikan,
" huss..! kalian ini mentang mentang muda, kuwalat nanti.. pak Har itu yang paling tua disini..?!" peringat guru kelas 6 pada kami, namanya bu Ninik usia beliau sekitar 45 tahun, sedangkan pak Har sudah 50 tahun atau lebih mungkin, yang jelas beliau mendekati masa pensiun.
" Ampun bu Nik.. pak Tyo itu lho yang duluan.." ucap Kinanti sembari meringis bersalah.
" Kan saya benar bu Nik, pak Har sedang mimpi indah.. kasian kalau di ganggu.." jawab pak Tyo yang usianya hampir sama dengan Kinanti, ia seorang bujang yang tak kunjung menikah juga, sehingga Kinanti sering di jodoh jodohkan dengan pak Tyo.
" bangunkan pak Har, sudah jamnya pulang ini kasian.. nanti beliau malah kesorean.." perintah bu Nik pada pak Tyo.
Kinanti berjalan kaki keluar dari gerbang sekolah,
" Mau bareng saya bu?" tanya Tyo dari arah belakang, dia menghentikan motornya.
" Orang kost saya dekat pak Tyo.. jalan kaki saja.." tolak Kinanti.
" Mbok ya sekali kali mau bareng saya bu.. biar hati saya ini lega.." gumam Tyo,
" pak Tyo ngidam mbonceng saya?" Kinanti tertawa renyah,
" Ya wes.. monggo.." Kinanti mundur dan duduk menyamping di jok belakang motor matic berwarna hitam itu.
" Nah.. akhirnya.. pegangan nggeh bu.."
" eh.. tidak lucu kalau di lihat murid kita pak, pake pegangan segala..?"
" Anggap saja saya ini ojek bu.." ujar Tyo lalu menjalankan motornya dengan hati hati sampai depan rumah kost Kinanti.
" Makasih lho pak.." ujar Kinanti setelah turun,
" alhamdulillah selamat sampai tujuan, saya ndak disuruh mampir ini?" tanya pak Tyo penuh harap.
" Aduh pak.. bercandanya jangan terlalu ah, sudah.. bapak pulang saja, banyak yang melihat.." ucap Kinanti sembari mengusir pak Tyo secara halus.
" Owalah.. ya sudah, kalau begitu saya pulang, sampai jumpa besok di sekolah.." pamit pak Tyo sembari tersenyum dan langsung pergi tanpa menunggu jawaban dari Kinanti.
" Wah.. diantar pak Tyo?" teman satu kostnya keluar, namanya dini.
" Iseng saja.. selalu nawarin tak tolak, lama lama juga kasian.." jawab Kinanti sembari melepas sepatunya.
" Awas.. tresno jalaran soko kulino Nan, lama lama jatuh cinta sama pak Tyo kamu.."
" Ah.. lambemu Din.."
" Lah iyo, pak Tyo kelihatan sekali menaruh hati padamu.. kau saja, yang tidak peka.. atau memang pura pura nggak peka.." Dini mengikuti langkah Kinanti masuk kedalam kamar kostnya.
" Jangan bahas sesuatu yang tidak pernah ku pikirkan sedikit pun.. aku belum ada niatan menjalin hubungan dengan siapapun.." lanjut Kinanti ketika sudah sampai di dalam kamar kostnya yang berukuran 3x3 itu.
" Sampai kapan?"
" kau sendiri.. belum menikah kok, kenapa ribut sekali dengan hidupku.."
" tapi aku kan sudah bertunangan, 5 bulan lagi calon suamiku pulang tugas kami langsung menikah kok, tunggu undangannya nanti ya!" Dini melotot,
" Iya iya.. tak tunggu.." Kinanti tersenyum, ia mulai mengganti bajunya satu persatu.
Diantara keduanya itu sudah hal lumrah, tidak ada rasa malu lagi.
" Pokoknya di resepsi pernikahanku nanti kau harus bawa pasangan, pak Tyo juga tidak apa apa.. di tidak memalukan klo di gandeng kemana mana Nan..?!"
" mulai lagi.." ujar Kinanti malas,
" atau ku kenalkan pada teman teman calon suamiku ya.. mereka masih banyak yang bujang..!"
" Aku jelek begini, siapa mau denganku.. apalagi teman teman suamimu abdi negara semua.." Kinanti nyengir, itu sesungguhnya hanya alasan saja, intinya dia malas menjalin hubungan.
" Ah, kau ini bisa saja kalau merendahkan dirimu sendiri.. kau ini tidak jelek, kalau kau jelek mana mungkin banyak yang mengharapkan mu yang seperti batu ini!" Dini kesal sekali, namun Kinanti hanya tertawa.
Damar menyelesaikan kelas nya sore ini, Ia berpapasan dengan beberapa mahasiswa.
" Sore pak Damar.." sapa beberapa mahasiswi yang sejak tadi menunggunya lewat.
" Sore," jawab Damar memberi sedikit senyum.
" Aduh, senyumnya bikin rontok! kenapa sih aku dulu tidak masuk sastra indonesia..?!" ucap salah satu mahasiswi yang mengagumi sosok Damar.
" Eh, tidak heran apa, ganteng, tinggi, pinter.. kok belum nikah nikah.. jangan jangan tidak suka yang feminim, tapi yang gagah.." celetuk salah satu mahasiswi,
" Huss! ngadi ngadi!"
" kan sekarang lagi musim..?"
" wah.. kalau itu benaran, bisa patah hati anak anak sastra indonesia yang mengagumi pak Damar.. mana senyumnya manis kayak gula berkilo kilo.. bisa bikin diabetes..!" keluh mahasiswi satunya.
" Jangan menggosip yang tidak jelas, kasian kalau itu tidak benar..!" sahut satu mahasiswa laki laki yang kebetulan mendengar perbincangan itu.
" Ih, apa sih tiba tiba nimbrung!"
" kalian itu, ngomongin orang nggak kira kira.." ujar pemuda jurusan sastra indonesia itu segera berlalu namun tetap meninggalkan pandangan mengawasi.
" Pak Damar, sudah mau pulang?" tanya seorang rekan kerjanya, berjalan ke parkiran menyusul Damar yang sudah naik ke atas motor trailnya.
" Iya bu, kebetulan saya sudah tidak ada kelas.."
jawab Damar santai.
" Saya kebetulan juga mau pulang, apa boleh bareng?"
Damar berfikir sejenak,
" mobil ibu kenapa?" tanyanya kemudian,
" di bengkel pak.. gimana, bisa ya?" tanya teman kerja wanitanya itu penuh harap.
" Bukannya ada pak Andri, beliau juga pulang kok, bukannya tidak mau membantu bu.. tapi sudah mulai mendung.. lebih baik dengan pak Andri saja, beliau bawa mobil.."
Perempuan di hadapan Damar itu diam seketika, wajahnya tiba tiba masam, padahal tadi cerah seperti matahari pagi.
" Ya sudah ya bu.. saya duluan, maaf lhoo.." ujar Damar memakai helm nya, dan tanpa basa basi lagi berlalu pergi mengendarai motornya.
" Ahahaha!!!" terdengar suara gelak tawa dari arah belakang, membuyarkan pandangan perempuan yang fokus menatap punggung Damar menghilang di kejauhan.
" Gagal maning gagal maning.. yang sabar ya bu Tia!" ujar pak Andri sembari masih terus tertawa.
Sekitar 40 menit Damar mengendarai motornya, kecepatannya tentunya lumayan, karena biasanya jarak itu di tempuh selama 1jam.
Ia menjauh dari arah kota menuju kabupaten,
lalu memasuki gapura perkampungan, berkendara lagi sekitar 15 menit.
" Mas Damar!" panggil seorang gadis berusia 20 tahun dari halaman depan rumah yang cukup luas, ada 4 rumah berjajar dan hanya terpisahkan oleh pagar tanaman, sementara dua rumah lainnya menjadi satu halaman.
4 rumah itu terlihat cukup besar dan mewah di daerah perkampungan itu.
Sementara sekitar 50 meter terdapat gudang gudang besar, itu lebih mirip pabrik karena bangunannya beratap tinggi.
Di salah satu bangunannya terdapat tumpukan kayu kayu besar yang belum di potong, beberapa truk juga terparkir di depan bangunan pabrik itu.
Antara rumah dan pabrik itu di pisahkan oleh tanah yang di tanami padi.
Damar memasukkan motornya ke dalam garasi salah satu rumah itu, bangunannya bercat putih dan memiliki dua pilar yang besar di terasnya.
Berbeda dengan tiga rumah lainnya yang bercat mencolok dan terkesan lebih mewah.
" Mas! aku ada tugas?!" gadis yang memanggil Damar tadi berjalan mendekat.
" Kerjakan sendiri.." jawab Damar melepas helmnya.
" Susah mas?" gadis itu manja,
" siapa suruh masuk sastra inggris.. kalau kau sudah memilih itu harusnya kau bertanggung jawab dengan pilihanmu.." suara Damar datar, ia berjalan ke arah pintu, membukanya dengan kunci.
" Jangan menggangguku, pekerjaanku banyak.." ujar Damar sabar.
" Bantu aku mas, setidaknya berikan aku sedikit petunjuk.." gadis itu tetap mengekor di belakang Damar.
Damar melepas jaketnya sehingga kemeja hitam bergaris navy nya itu terlihat.
" Kau tidak mendengarkan dosen mu bicara? apa kau melamun dan melakukan hal lain saat di kelas?" tanya Damar dengan tatapan serius, ia lelah terus membantu gadis di hadapannya itu.
Damar menghela nafas ringan ketika gadis itu tak kunjung menjawab.
" Mas mau ke pabrik setelah ini, sampai malam,
tugasmu besok saja ku bantu.. besok aku tidak mengajar.." ujar Damar sembari mengambil air putih segelas dan meminumnya.
" Benar ya mas?"
Damar mengangguk,
" dengarkan, mas tidak selalu ada untuk membantumu.. lain kali dengarkan dan belajarlah dengan sungguh sungguh, biaya kuliah itu tidak sedikit.. jangan main main.." nasehat Damar,
" iya mas.. iya.." gadis itu tersenyum cerah dan mengangguk.
" Oh ya, tadi ada kiriman dari mbak Winda.." gadis itu menyerahkan sebuah kotak makan yang di masukkan ke dalam kantong kresek.
" Opo iki?" Damar menerimanya,
" lontong sayur, dari mbah Uti.."
Raut wajah Damar langsung berubah,
" Sudah ada labelnya ini.."
" WENAK!" ujar keduanya bersamaan.
" ya wes, mas Damar maem sek.. aku mau kerumah mbak Winda dulu, dia sedang repot masak untuk ulang tahun bagas.."
" Bagas? kapan? lusa mas.. sekarang kita sibuk kupas kupas bumbu.."
" hemm.. ya sudah.." jawab Damar.
Gadis itu berbalik dan berjalan ke arah pintu keluar, tapi Damar memanggilnya.
" Kaila..!" Damar memberi kode untuk kembali mendekat.
" Apa mas?" jawab Gadis itu buru buru kembali berjalan ke arah Damar.
" Buat jajan.." Damar mengeluarkan selembar uang berwarna merah dari saku celananya.
" hihihi.." wajah gadis itu lebih sumringah di banding tadi.
" Wes, sana.." ujar Damar menyuruh Kaila pergi.
Damar pergi mandi, setelah itu dia memakan lontong sayur yang di bawa Kaila tadi.
Setelah itu ia segera keluar dari rumahnya.
Senja sudah lewat, dan Damar berjalan tenang melewati sawah yang memisahkan rumahnya dan pabrik.
Suasana sudah lenggang, karena banyak pegawai yang pulang, hanya beberapa orang saja yang lembur.
" Pak?" sapa Dimas pada satu satpam yang sedang berjaga di depan pabrik kecil itu.
" Inggih mas.. mau ngecek tho mas?"
" nggih pak.." jawab Damar melempar senyum, ia tidak hanya mengecek, tapi juga ikut bekerja.
Saat yang lain pulang lembur ia juga baru ikut pulang.
Tak jarang Damar juga bekerja sendiri sampai pagi, membantu memotong kayu kayu kecil menggunakan mesin.
Damar termasuk laki laki yang cukup ramah dan sederhana di mata orang orang, tak jarang dia sering memberi bonus, tidak seperti keluarganya yang lain yang sedikit acuh pada masyarakat sekitar.
Setahun ini, pabrik berkembang dengan baik setelah berada di tangan Damar, tidak seperti sebelumnya.
Keluarga Damar memang termasuk keluarga terpandang di kampungnya, tapi ada beberapa sikap Arogan dari keluarga besar Damar yang membuat pandangan masyarakat kurang begitu baik pada keluarganya.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!