Gadis manis berlesung pipit itu tampak menyipitkan matanya. Sejenak mengingat sesuatu. Ah, hari ini adalah reuni sekolahnya. Dia lulus tahun ini dan dia sudah mendapat undangan reuni itu. Reuni untuk lintas alumni.
"Hoaaammm ... aku masih sangat mengantuk, rasanya malas sekali kalo harus jalan kaki tiga kilometer. Apalagi sekarang sedang libur lebaran, pasti banyak laki laki yang asyik di pertigaan jalan depan sana yang pasti akan sibuk menggodanya. Aish menyebalkan sekali. Harusnya aku mau diajak mas Fakhri ke asramanya," gumamnya pelan. Setelah merenggangkan otot tubuhnya, gadis itu pun bangkit pelan-pelan.
Dengan malas gadis manis itu merapikan tempat tidurnya, mengendap-endap keluar kamar seperti seorang pencuri. Mengintip sedikit dari balik kain korden sebagai pembatas pintu kamarnya. Tak ada suara sang ibu di dapur. Itu artinya dia tidak akan di sabet pake sapu lagi, karena ketahuan bangun kesiangan. Ibunya memang sangat keras mendidiknya. Meskipun dia adalah seorang anak gadis.
Dengan berjingkat gadis itu keluar kamar, mengambil handuk usang yang teronggok di kursi kayu. Mengambil ember dan lari secepat kilat ke arah kamar mandi di belakang rumah. Selesai mandi dan berdandan, si gadis manis mencari cari ibunya untuk berpamitan.
"Bu, saya pergi dulu ya! Ada reuni di sekolah sekalian halal bi halal," teriaknya kencang. Hal itu dia lakukan karena sang ibu tidak kelihatan di mana-mana. Jadi dia berpikir bahwa ibunya mungkin sudah berada di ladang belakang rumah.
"Iya Delia, hati hati," pesan ibunya yang tiba-tiba sudah ada di belakangnya. Delia adalah nama gadis manis itu. Delia berbalik dan segera mencium tangan sang ibu meskipun kaget setengah mati. Setelah mengucap salam Delia segera pergi karena dia masih harus menempuh perjalanan dengan jalan kaki selama setengah jam.
Delia, adalah gadis manis berlesung pipit anaknya pak Budi Darma. Anak ke dua dari dua bersaudara. Delia baru lulus Akademi Menengah Atas. Wajahnya oval, bibirnya tipis, dan suka sekali tersenyum. Dia sangat ramah pada orang orang di sekitarnya. Sehingga di daerah tempat tinggalnya, Delia begitu terkenal akan keramahannya. Bahkan dengan orang yang belum dia kenal pun dia akan menyapa terlebih dulu. Terlahir dari keluarga sederhana membuatnya tidak pernah memandang remeh orang lain.
Delia dididik menjadi anak yang punya sopan santun terhadap orang tua. Tak dapat dipungkiri Delia punya daya tarik tersendiri. Wajahnya yang manis membuat banyak kaum adam yang kepincut tapi Delia selalu cuek. Banyak teman temannya yang sering mencoba menjodohkannya dengan Amar sang ketua osis, tapi Delia seakan tak pernah tertarik dengan percintaan. Selain itu Delia anak yang pintar sejak sekolah dasar, dia sekolah dengan beasiswa.
Gadis itu berjalan dengan hati riang, sesekali senandung lirih keluar dari bibir tipisnya. Menandakan bahwa hatinya sedang begitu ringan menghadapi dunia.
"Aduh ... maaf Tuan, kalau jalan pakai mata dan lihat ke depan dong!" Teriak Delia.
Delia mendelik kesal pada laki laki yang menabraknya. Ditatapnya muka dingin laki laki itu, berharap keluar ucapan maaf karena telah membuat tas Delia terjatuh dan berantakan.Meskipun dia tidak membawa begitu banyak barang, tetap saja tasnya isi tasnya berhamburan karena dia lupa menutup resletingnya. Terpaksa dia harus berjongkok dan merapikannya kembali.
"Reyn ... kamu bawa uang cash? Kasih ke gadis itu untuk ganti rugi !"
Terdengar suara dingin dan datar di telinga Delia. Tentu saja Delia tidak suka dengan ucapan pria sombong itu.
"Iya Tuan, ini saya bawa."
Delia melotot tidak terima, mungkin kalau orang lain akan langsung senang melihat laki laki kaya yang mau memberi uang ganti rugi hanya karena tak sengaja menabrak. Tapi tidak dengan Delia, hatinya terluka dan merasa terhina.
"Maaf Tuan, saya pikir tidak perlu. Saya tidak butuh uang anda, permisi !"
Delia segera bangkit dan berlalu sambil menggerutu. Apa susahnya meminta maaf wong dia yang salah. Emang uang bisa mengganti rasa kesal ku apa? bathin Delia kesal.
Muka Delia tampak tertekuk. Dia benar-benar apes pagi ini karena bertemu dengan oang yang sangat menyebalkan. Ah ... sudahlah mungkin aku juga tidak akan pernah bertemu dia lagi. Dari pakaiannya sudah kelihatan dia orang kaya, pasti bukan orang sini. Hatinya kembali berbicara sendiri seiring dengan otaknya yang tiba-tiba mengingat tentang sosok yang baru saja menabraknya.
Delia kembali tersenyum dan melanjutkan langkah menuju sekolahnya. Dalam hatinya Delia sangat senang akan bertemu sahabat sahabatnya, juga laki laki spesial yang selama ini diam-diam dia kagumi.
Tak terasa Delia sudah memasuki gerbang sekolahnya, dilihatnya para sahabatnya Ema,Cecil,dan Septa sedang bercanda.
"Hai ... Delia sini cepetan!"
Suara cempreng milik Ema terdengar begitu keras padahal tanpa di panggil pun Delia pasti akan menghampiri mereka.
"Kenapa dengan mukamu Del? yang biasanya ramah kini membakar hati?"
Cecil malah sibuk main plesetan lagunya Ebiet.
"Aku tidak apa -apa, hanya lelah," sahut Delia. Ya, jarak yang lumayan jauh membuatnya merasa lelah. Ketika Delia baru mau duduk, Ema dan teman-teman lainnya menatap keluar pagar sekolah dan menunjuk keluar dengan heboh. Delia tidak ambil pusing, gadis itu memilih duduk dan mengistirahatkan kakinya yang pegal.
"Ada apa sih? Baru juga duduk, kalian dah mau pergi saja," sungut Delia ketika para sahabatnya malah bangkit dan mau meninggalkannya sendiri.
"Lihat tuh Del, anak pemilik yayasan sekolah kita. Aduh, ganteng banget dia ya. Mau dong aku kerja di rumah dia walau jadi art juga, asal tiap hari aku bisa memandang wajahnya yang ganteng," seru Cecil.
Delia tidak menjawab ucapan lebay sahabatnya tersebut. Dia sama sekali tidak tertarik dengan orang baru karena di hatinya sudah penuh dengan nama seseorang. Hanya orang tersebut yang mampu membuat dadanya berdebar debar, membuat pipinya memerah dan malu.
"Selamat pagi pak. Ada yang dapat saya bantu?"
Septa sang gadis kutu buku itu menyapa anak pemilik yayasan yang tiba tiba menghampiri mereka. Delia masih tidak peduli dengan apa yang terjadi, dia sibuk mengotak-atik ponselnya. Selain karena dia lelah, dia juga sedang sibuk mencari pekerjaan lewat internet.
Laki-laki itu berdehem.
"Siapa di sini yang bernama Delia?"
Delia mendongak menatap laki-laki itu. Laki-laki itu yang tadi berjalan bersama orang yang menabraknya. Sungguh sial nasibnya, karena pagi-pagi sudah bertemu dengan orang yang sangat menyebalkan ini lagi.
Sementara Ema dan dua sahabatnya tampak senang sekali karena dihampiri dua laki-laki yang sangat keren itu. Namun, mereka tercengang karena laki-laki keren itu menyebut nama Delia. Ema menatap penuh tanya ke arah Delia, tetapi gadis itu sama sekali tidak menanggapinya.
"Ada kepentingan apa mencari saya? Kita tidak ada urusan apapun, saya juga tidak tau kalian itu siapa."
Delia bertanya dengan ketus. Bukan karena dia tidak menghormati lelaki itu, tetapi Delia berpikir bahwa dirinya tidak seharusnya menghormati orang yang sama sekali tidak menghargainya.
Jawaban ketus Delia ternyata mengusik pria sang penabrak. Pria yang menabraknya itu dengan penuh percaya diri melepas kaca mata hitamnya.
"Tuan muda saya mau bertemu dengan anda nona," jawabnya lelaki yang bertanya tadi. Seingat Delia namanya adalah Reyn.
"Saya tak ada waktu," jawab Delia singkat. Delia tidak mengenal mereka, jadi wajar saja dia menolak karena merasa dirinya terancam.
Entah apa yang dipikirkan dua pria yang berada di hadapannya itu. Kenapa mereka mengejarnya sampai di sekolah hanya karena insiden tadi pagi.
"Reyn, aku tunggu di mobil!" Pria yang tadi melepas kaca matanya kembali berjalan menuju mobil Ferrari yang terparkir di halaman sekolah.
Delia melihat teman-temannya meminta penjelasan ada apa sebenarnya. Teman-temannya hanya mengangkat bahu. Artinya mereka juga tidak tahu. Mau tidak mau Delia harus mencari tahu sendiri. Gadis itu menghela nafas sebentar, kemudian menatap laki-laki bernama Reyn itu.
"Maaf Tuan, ada apa anda mencari saya? Kita berdua tidak saling kenal sebelumnya."
"Nona Delia harus ikut kami sebentar. Ini menyangkut paman Nona yang ada di kota Dhaka," jawab pria itu setelah menyuruh Ema dan teman-teman Delia untuk menyingkir.
"Ada apa dengan pamanku tuan?"
Kali ini suara Delia lebih lunak. Pamannya memang bekerja di Dhaka. Itulah yang membuatnya bersikap lebih ramah. Delia yakin ada sesuatu yang menimpa pamannya tersebut.
"Sebaiknya nona ikut dengan kami, agar Nona tau yang sebenarnya."
Delia tampak berfikir, menimbang-nimbang baik dan buruknya jika dia percaya dan ikut begitu saja dengan dua orang asing itu.
"Mana buktinya, Tuan?"
Reyn mengerti dan mengagumi sikap Delia yang berhati-hati. Lelaki itu segera mengambil ponsel di saku kemejanya. Tak berapa lama, Reyn mengulurkan ponselnya menghadap ke arah Delia. Keduanya memang sudah berpindah ke tempat yang lebih sepi. Jadi reyn lebih bebas berbicara dengan Delia.
Delia melihat rekaman video yang ternyata adalah pamannya sedang disekap. Delia sedikit ragu, tetapi Reyn menjelaskan bahwa dia tidak akan menyakiti Delia. Reyn juga berharap Delia bisa membebaskan pamannya tersebut, karena dia disuruh menjemput Delia oleh pamannya.
"Ok, kita pergi sekarang!" ucap Delia. Gadis itu yakin pamannya sedang membutuhkannya. Delia juga yakin pamannya tidak akan memberikan identitas dirinya ke sembarang orang. Itu artinya sang paman percaya pada Reyn.
Reyn takjub dengan sikap gadis SMA yang baru lulus itu. Gadis itu terlihat biasa saja, tetapi ternyata dia bisa mengambil keputusan dengan tepat. Namun sebelum Delia pergi, dia menemui para sahabatnya terlebih dahulu.
"Kalau ada yang mencari ku, bilang saja aku pergi ke rumah paman," kata Delia pada para sahabatnya.
"Oke, hati hati ya," jawab Ema.
Para sahabatnya itu saling berpandangan. Mereka tentu saja kaget dan heran, karena selama ini Delia tidak pernah bercerita bahwa dia dekat dengan anak pemilik yayasan dimana sekolah mereka bernaung. Meskipun heran, tapi mereka memilih tidak bertanya apapun pada Delia.
Setelah berpamitan dengan para sahabatnya, Delia berjalan dengan tenang ke arah mobil yang akan membawanya. Benar-benar gadis polos yang gampang dibodohi. Batin pria yang berada di dalam mobil. Pria itu melihat gadis yang tadi ditabraknya sedang berjalan menuju ke arahnya bersama Reyn.
Sebuah senyum sinis tersungging, sebelum akhirnya bibirnya kembali mengatup rapat saat Delia sudah masuk ke dalam mobil.
Delia duduk di samping pria yang tadi menabraknya. Perasaanya sungguh tidak menentu saat ini karena memikirkan keselamatan sang paman. Dia tidak peduli dengan orang yang duduk di sebelahnya. Meskipun pria itu gantengnya di atas rata-rata.
"Akhirnya kamu mau juga ikut secara suka rela bersama kami. Aku pikir akan sulit untuk membawamu menemuinya. Semoga saja kamu tidak bernasib sama dengan pamanmu, karena kamu adalah jaminannya."
Ucapan pria di sebelahnya jelas membuat Delia bertanya-tanya tentang apa yang sebenarnya terjadi.
Delia sebenarnya tidak terlalu tahu dengan tujuan laki-laki itu membawanya pergi. Apalagi ini ada kaitannya dengan sang paman. Mulut Delia sungguh sangat gatal saat ini. Dia ingin bertanya dan tahu semuanya. Tapi semenjak masuk ke dalam mobil mulutnya seperti diberi perekat. Sungguh sangat sulit untuk di buka.
Pria yang ada di sebelahnya sepertinya juga tidak berusaha untuk menjelaskan. Jadi Delia memilih untuk mengikuti kemauan dua pria tampan itu. Diam adalah cara terbaik untuk meredam gejolak di dalam hatinya.
Setelah berjalan sekitar tiga jam lamanya mobil itu berhenti. Reyn turun terlebih dahulu dan membukakan pintu untuk pria yang berada di sebelah Delia. Sementara Delia memilih segera membuka pintu. Tidak sabar rasanya untuk mengetahui apa yang mereka sembunyikan.
What???
Delia benar-benar tidak percaya dengan apa yang dia lihat. Tempat apa ini? batinnya. Sejauh mata memandang sekelilingnya hanya hutan. Tidak ada satupun rumah yang ada di sana, hanya ada satu pondok kecil yang terlihat menyeramkan. Delia merutuk dalam hati karena tadi selama dalam perjalanan dia sempat tertidur dan tidak bisa menghafalkan jalan menuju ke tengah hutan ini.
"Mari Nona, Tuan Muda sudah menunggu anda."
Enggan menjawab basa-basi dari Reyn, Delia melangkahkan kakinya mengikuti Reyn yang sudah terlebih dulu berbalik badan. Mereka menuju ke pondok kecil itu. Sejenak Delia ragu melanjutkan langkahnya. Pikirannya penuh dengan bayang-bayang film action yang sering dia lihat, atau film horor yang wanitanya diculik, diperkosa dan disiksa kemudian jadi hantu.
Ah tidak, tidak ! Delia menggeleng-gelengkan kepalanya. Membuang jauh-jauh pikiran buruknya tentang kemungkinan yang bisa saja terjadi di tempat sepi ini. Delia menatap sekelilingnya dan memindai dengan mata kecilnya. Berharap ada sesuatu yang bisa dia jadikan senjata jika saja kemungkinan terburuk tadi terjadi terhadapnya. Namun, dia kembali teringat bahwa sang paman tidak akan sembarangan memberikan identitas dirinya.
"Jangan berpikiran buruk. Kami membawamu ke sini untuk menjenguk pamanmu. Kami juga bukan orang yang terbiasa menyiksa para wanita, kecuali wanita itu berbuat di luar batas."
Seolah tahu dengan isi pikiran Delia, Reyn sedikit menjelaskan tentang dirinya dan sang Tuan. Tuan yang Delia sendiri belum mengetahui siapa namanya.
"Aku percaya. Kalian bisa memperlakukan aku dengan buruk sejak tadi jika memang kalian punya niat jahat terhadapku."
Keduanya kini telah memasuki pondok kecil itu. Terlihat pria dingin itu menyimpan kedua tangannya di saku celana dan berdiri membelakangi mereka.
"Duduklah !"
Ini pertama kalinya Delia mendengar Tuan yang menabraknya bicara secara langsung dengannya. Tanpa menjawab Delia duduk di kursi yg ada di sudut ruangan. Itu adalah satu-satunya kursi yang ada di ruangan kecil nan pengap itu.
"Dimana pamanku? Cepat katakan!"
Delia sudah tidak sabar ketika dia duduk an tak segera mendapati pamannya di ruangan tersebut.
"Hahahahahahaha ... Kau sangat-sangat menyayangi pamanmu ya, gadis bodoh! Apakah kamu tidak tau apa yang telah pamanmu itu lakukan?"
"Kamu membawaku ke sini untuk bertemu pamanku,wajar aku menanyakan keberadaan dirinya. Sebelumnya kita tidak saling kenal, jadi aku tidak mempunyai urusan apapun dengan dirimu!" Balas Delia kesal. Gadis itu mulai merasa bahwa dirinya sedang dipermainkan.
"Tenanglah, gadis bodoh ! Aku tidak akan menyakiti pamanmu asal kamu berjanji tidak melarikan diri. Tidak seperti pamanmu yang selalu melarikan diri dari tanggung jawabnya," ucap pria itu. Kini pria itu telah berbalik ke arahnya. Sorot mata tajam itu seperti laser yang siap menumpas apa saja yang ada di hadapannya.
Delia tertegun, apa yang pria itu bilang tadi? Lari dari tanggung jawab? Benarkah pamannya seperti itu? Bukankah selama ini pamannya hidup berkecukupan di kota Dhaka. Pamannya juga yang membantunya mengirim ongkos jajan saat sekolah. Lalu tanggung jawab apa yang diabaikan oleh paman tercintanya itu? Delia tentu saja bertanya-tanya dalam benaknya.
Delia sudah hampir setengah tahun tidak bertemu pamannya. Terakhir bertemu pamannya baik-baik saja. Bahkan masih memberinya uang saat Delia kebingungan mencari pekerjaan paruh waktu saat itu karena ada uang sekolah yang belum terbayarkan. Delia sengaja tidak meminta pada pamannya karena merasa sudah terlalu sering merepotkan.
Delia memperhatikan seluruh ruangan. Gadis itu segera menguasai keadaan. Dia memang sangat cerdas jadi bisa dengan cepat menyimpulkan tentang sesuatu.
Ada cambuk tergantung di sudut ruangan, ada satu buah piring, gelas diatas meja kecil, juga ada sedikit bekas darah mengering di lantai tanah.
Aku harus berhati hati, ini tidak seperti yang aku pikirkan. Batin Delia. Dirinya mencoba mengusir ketegangan dengan menghela nafas pelan. Delia mencoba sedikit menggali informasi. Dengan cepat wajahnya sudah tersenyum manis dan menatap laki-laki yang menabraknya.
"Sebenarnya aku tidak begitu peduli dengan pamanku. Yang aku pikirkan sekarang adalah kalian ini siapa? Aku tidak mengenal kalian. Kalian membawaku untuk bertemu pamanku. Aku pikir tadi pamanku berada di Rumah sakit karena kecelakaan, ternyata aku malah di bawa ke sini tanpa penjelasan. Aku penasaran dengan tujuan kalian membawaku ke sini," ucap Delia.
Reyn berdehem. Menatap pria yang disebutnya Tuan seperti memohon ijin untuk menjawab pertanyaan Delia. Sementara pria itu tampak sedikit kaget. Gadis ini benar benar luar biasa. Dia sangat cepat merubah wajahnya yang semula ketakutan sekarang sudah ceria seperti biasa. Bahkan berani mempertanyakan tentang siapa dirinya.
"Yang ada di depan anda adalah Tuan Amro Salazar, Nona."
Delia mengerjapkan matanya. Tuan Amro Salazar adalah putra dari Roberto Salazar. Delia tentu tahu tentang pengusaha terkenal tersebut. Pengusaha yang sering mondar mandir terlihat di media karena kesuksesan dan sikap tegasnya yang menjadi contoh bagi kawula muda.
Ah itu tidak mungkin. Untuk apa putra sultan repot-repot menemui ku. Batin Delia.
Delia menatap pria yang menabraknya tadi pagi. Namun, dirinya sama sekali tidak melihat kemiripan pria itu dengan Roberto Salazar.
"Jangan membodohi ku! Kalian jangan mengaku sebagai keluarga Salazar. Dia sama sekali tidak mirip ayahnya Roberto Salazar !" ucap Delia. Delia sama sekali tidak percaya dengan penuturan pria bernama Reyn tadi.
Ucapan Delia tentu saja membuat Tuan Amro terkejut. Dari banyaknya gadis yang sangat ingin menjadi pasangannya. Bahkan rela menggoda dengan tubuhnya, sungguh berbeda sekali dengan gadis kecil ini. Dia tidak antusias sama sekali dengan keluarga Salazar. Tak peduli sama sekali. Bahkan menuduhnya telah berbohong.
Delia berdiri mendekati Tuan Amro. Mengitari tubuh tegap pria itu dengan tatapan mengejek.
"Kamu tidak ada mirip-miripnya dengan Roberto Salazar. Aku tidak percaya ada pria yang sangat percaya diri mengaku sebagai anaknya," cibir Delia.
"Maaf Nona, kami tidak berbohong. Kalau tidak percaya silahkan cek di internet. Banyak sekali berita tentang kesuksesan beliau."
Delia tampak masa bodoh dengan penjelasan Reyn. Kesabarannya semakin terkikis dengan penjelasan Reyn yang menurutnya hanya bualan semata. Kini mata gadis itu menyorot tajam ke arah Tuan Amro. Delia mengepalkan tangannya.
Tuan Amro tentu saja kaget ketika Delia berani menatap wajahnya dari dekat disertai dengan senyum penuh ejekan.
"Wah, bahagianya aku bisa bertemu dengan Tuan Amro yang terhormat. Bisa kita foto bersama? Aku akan sangat senang sekali kalau anda mau berfoto denganku," ucap Delia dengan sinis.
Delia merentangkan tangannya dan memeluk tubuh kekar Tuan Amro. Sungguh semua di luar perkiraan. Bahkan Reyn sampe dibuat melongo menyaksikan keberanian Delia. Pria itu tidak menyangka dengan keberanian Delia.
"Kamu pikir aku akan mengabulkan permintaanmu gadis kecil?"
Delia merenggut kesal ketika mendengar pertanyaan dari pria yang baru saja dipeluknya itu. Sebenarnya dia juga tidak berniat memeluk pria itu, hanya saja dia terpaksa melakukannya untuk memeriksa pria tersebut.
"Aku juga tidak tertarik lagi untuk berfoto. Kamu laki-laki tidak jelas. Membawa seorang gadis sepertiku ke pondok kumuh tanpa tujuan yang jelas. Apa seperti ini kehidupan orang-orang kaya? Hanya bisa menculik orang miskin dan berbuat sesuka hati."
Delia menggumam tapi sangat keras. Reyn mencoba mengingatkan Delia. Memberinya kode untuk tidak main-main dengan Tuan Amro Salazar. Mungkin sekarang Delia berpikir bahwa Amro itu biasa saja. Padahal pria itu adalah pria dingin yang tak tersentuh.
"Jaga sikap anda Nona ! Jika bukan atas perintah Tuan Salazar saya bahkan bisa membawa anda ke kandang Leon. Saya harap Nona menjaga kesopanan Nona di depan Tuan Muda Salazar. Delia semakin mendelik kesal ke arah Reyn. Gadis itu berjalan ke arah pintu pondok untuk keluar.
"Aku ingin pulang, sungguh aku tidak ada kaitan apapun dengan pamanku. Aku tidak tahu apa-apa. Jadi tolong biarkan aku pulang," rengek Delia. Dia merasa kesal karena sampai detik ini tidak mendapati sang paman di tempat itu.
"Berhenti atau aku akan membawamu pergi ke tempat yang sangat jauh dan kamu tidak akan bertemu dengan ibumu lagi!"
Suara dingin itu mengancam. Delia berbalik. Matanya berkaca kaca. Sungguh dia sangat bingung dengan situasi sekarang ini. Dia benar benar tidak bisa berfikir untuk apa dia di sini. Pamannya, Tuan Amro, keluarga Salazar.
Ahhhhhhh ... sungguh menyebalkan jerit Delia dalam hati. Delia kembali duduk dan diam. Dia menatap dua orang menyebalkan itu.
Terdengar pintu pondok terbuka. Tampak seorang pria paruh baya tangannya di borgol, sementara wajahnya babak belur. Cara berjalannya pincang. Sungguh miris sekali keadaan tubuhnya yang penuh dengan luka.
Delia membeku tak percaya, berkaca kaca dan cairan bening itu sudah berhasil keluar dari sudut matanya. Dia terdiam menetralkan detak jantungnya yang tidak karuan.
"Pa - pa - man, apa yang terjadi paman?Kenapa paman sampai begini?" tanya Delia dengan isak lirihnya. Delia sudah tidak bisa menahan tangisnya lagi. Dia tidak sanggup melihat semua luka di tubuh pamannya. Sejenak dirinya tidak percaya bahwa itu pamannya. Segera Delia berbalik ketika menyadari sesuatu. Matanya memancarkan kilatan kebencian yang begitu besar pada dua orang yang bersedekap dengan tenang di belakangnya.
"Apa yang kalian lakukan pada pamanku, Tuan Amro yang terhormat? Bukankah keluarga anda sangat kaya kenapa suka menindas orang miskin seperti kami?" tanya Delia lantang.
Amro Salazar yang mendapatkan pertanyaan itu pun tersenyum sinis. Mengangkat dagunya dengan jumawa. Sementara Delia semakin tidak suka dengan sikap Amro yang arogan. Meskipun dia orang kaya tidak seharusnya dia bersikap seperti itu bukan?
"Aku akan menjelaskannya kepadamu."
Delia tidak lagi memperdulikan kedua orang asing tersebut. Tidak peduli seberapa ingin Amro menjelaskannya pada Delia, tapi gadis itu malah memilih menghampiri pamannya. Meneliti setiap luka di wajah sang paman, sesekali wajahnya meringis seakan ikut merasakan sakitnya.
"Ada apa sebenarnya paman?"
Delia bertanya dengan hati-hati. Delia cukup tau dengan situasi yang sangat tidak menguntungkan untuk dirinya dan sang paman. Dia tak ingin gegabah mengambil tindakan yang akan memperkeruh suasana. Karena baginya sedikit saja dia salah melangkah, semua akan semakin runyam.
Tak ada jawaban dari sang paman. Hanya ada lenguhan kecil. Lirikan mata sang paman yang mengarah kepada Tuan Amro cukup menjadi jawaban keingintahuan Delia.
Delia berbalik, duduk di kursi yang tadi ditempatinya. Gadis itu terlihat sudah bisa menguasai keadaan. Dia bertanya dengan nada tenang pada Amro Salazar.
"Beri saya satu alasan kenapa Tuan Amro melakukan itu pada paman saya!" titah Delia.
Nadanya terdengar dingin dan datar. Sorot mata lembut Delia berubah menjadi tajam menyelidik. Tuan Amro bisa mengetahui bahwa ada kemarahan terpendam yang sedang ditahan oleh gadis di depannya itu.
"Apa pamanmu tidak mau mengakui kecurangannya? dasar pecundang!"
Delia berusaha menyembunyikan rasa keterkejutannya. Sungguh dia tidak tau kalau Tuan Amro bisa terlihat sangat marah. Tetapi di sini dia juga tidak akan ikut menyalahkan sang paman, sebelum benar-benar mengerti duduk permasalahan yang terjadi.
"Saya tidak butuh cerita paman saya, yang saya butuhkan adalah jawaban tepat anda tentang permasalahan ini," ucap Delia tenang.
"Akan aku ceritakan, asal kamu mau bekerja sama denganku. Tidak melarikan diri dari tanggung jawab yang nanti kamu terima."
Delia menelan ludahnya. Tentu saja dia merasa bingung dengan apa yang sebenarnya terjadi. Hubungan Tuan Amro dengan pamannya, kondisi pamannya, juga ancaman dari Tuan Amro. Kalau dia pergi maka dia tidak akan bertemu lagi dengan ibunya. Sungguh Delia sangat bingung menentukan sikapnya saat ini. Namun, dia harus segera membuat keputusan.
"Baiklah, saya terima syaratnya," jawab Delia tegas.
Tidak ada lagi kesan bahwa dirinya adalah anak SMA yang masih imut-imut. Dia sudah merubah ekspresinya yang ceria dan lucu, berganti menjadi serius.
Menyadari keseriusan Delia, Tuan Amro menyuruh Reyn untuk menceritakan kejadian yang sebenarnya.
#flashback on
Mario adalah orang kepercayaan keluarga Salazar. Sejak umur dua puluh delapan tahun, Mario sudah mengikuti keluarga Salazar menjadi Asisten Nyonya Dainy Salazar. Keluarga Salazar memberikan fasilitas yang banyak untuk Mario. Dari mobil, rumah, gaji besar belum lagi bonus yang sangat besar, apabila pekerjaannya membuat puas sang nyonya besar di keluarga Salazar itu.
Tak pernah ada yang tahu tentang kehidupan pribadi Mario. Bahkan Nyonya Dainy pun tidak tahu meskipun setiap hari bersamanya. Setelah Mario menikah pada usia 34 tahun, semua yang Sera sembunyikan rapat-rapat akhirnya terbongkar. Mario menikah dengan Seranita, wanita berparas cantik yang ternyata adalah seorang janda. Seranita sendiri adalah Ibu dari mantan tunangan Amro Salazar yang bernama Risna.
Seranita berniat untuk balas dendam pada keluarga Salazar. Hal itu dilakukannya demi sang anak yang dipermalukan di depan umum. Anaknya diblacklist dari semua perusahaan. Tak ada yang tahu fakta tentang Seranita termasuk Mario sendiri. Mario baru mengetahui Seranita ibu dari Risna setelah melihat foto di dompet istrinya.
"Sera, apa-apaan ini? Kenapa ada foto Risna di sini? Kamu tahu kalau keluarga Salazar sangat membenci Risna wanita tidak tahu diri itu!" tanya Mario pada sang istri.
Sera terdiam, mencoba meloloskan diri dari situasi yang mencekiknya karena Mario pasti akan sangat penasaran dan mencari tahu sendiri. Percuma saja merayu Mario karena Mario pasti tidak akan tinggal diam, kalau mengetahui bahwa Risna adalah anak kandungnya.
"Kamu salah faham sayang, itu bukan foto Risna,mungkin hanya mirip saja," elak Seranita.
"Aku tahu kamu berbohong Sera, tatap aku!" sentak Mario. Perdebatan sengit pun terjadi malam itu. Sera tidak mau mengaku,
sementara Mario yakin seratus persen bahwa itu foto Risna.
Brak !!
Mario membanting pintu rumahnya dengan sangat keras.
"Aku akan mencari tahu sendiri Sera. Ingat jika kamu berbohong kepadaku, maka kamu akan tahu seperti apa hukuman yang akan kamu terima."
Sera bergidik ngeri. Dia pura pura menangis. Tapi Mario sudah tidak peduli dan langsung tancap gas dengan mobilnya. Pikirannya hanya satu, apa hubungan Sera dengan Risna. Risna adalah wanita ular yang sudah membuat keluarga Salazar dihantam badai.
Perusahaan yang hampir kolaps, fisik dan mental Nyonya Dainy yang terganggu. Amro Salazar yang berubah menjadi monster kejam menyeramkan, juga Robert Salazar yang langsung jatuh terkena serangan jantung. Sungguh sial, kenapa Sera menyimpan fotonya dengan Risna. Mario mengumpat dalam hati sepanjang jalan.
****!! umpat Mario.
Mario sudah pernah berjanji untuk setia pada keluarga Salazar, tetapi sekarang istrinya bahkan berhubungan dengan penghianat keluarga Salazar.
Sungguh suatu kesialan dalam hidup Mario.
Selama dua tahun sejak kejadian itu, Mario tetap menjadi asisten Nyonya Dainy, walaupun dia sudah tahu siapa Sera tapi Mario memilih bungkam.
Hubungannya dengan Sera pun menjadi dingin. Mario sibuk dengan pekerjaannya sedangkan Sera memilih menjadi koki di salah satu restoran langganan Salazar.
Hingga suatu pagi Robert Salazar ditemukan tak bernyawa di kamar tidurnya. Setelah dilakukan pemeriksaan Robert tewas di racun. Menurut hasil otopsi, Tuan Robert meninggal karena diracun. Dan orang yang terakhir mengantarkan makanan ke kamarnya adalah Sera.
Sera melarikan diri, dan Mario dihukum oleh Amro Salazar.
flashback off
Delia mematung tak percaya. Menatap pamannya dan Reyn yang menjelaskan secara detail. Meskipun tidak percaya, tetapi pamannya Mario tetaplah bersalah. Tentu saja karena Mario menyembunyikan fakta yang sesungguhnya tentang Sera.
Hanya sekejap Delia menampakan wajah kagetnya, setelahnya dia mengulas senyum tipis menatap tajam pada Amro.
"Kenapa anda tidak membunuh pamanku, Tuan Amro?"
Hening. Tak ada yang menjawab. Sungguh pertanyaan yang sangat berani dari Delia.
Reyn melotot tak percaya. Gadis ini benar benar cari mati saja. Amro pun dibuat terheran heran, tapi sejurus kemudian dia menjawab dengan sangat dingin dan langsung menusuk dalam hati Delia.
"Pamanmu menawarkan kesepakatan, dan kamu adalah jaminannya. Menurutku itu lebih bagus daripada langsung membunuhnya.
Dan jika pamanmu tidak bisa menyelesaikan tanggung jawabnya, maka kematian adalah hal yang pantas untuk kalian berdua."
Delia terpaku. Dia tidak tahu harus bagaimana lagi untuk tersenyum dan bernegosiasi di sini. Mario telah membawa dirinya ke dalam lingkaran permainan nyawa. Salah sedikit saja nyawanya akan melayang dan Delia yakin keluarga Salazar tidak akan melepaskannya ataupun sang paman.
"Beri saya waktu berbicara dengan paman saya," pinta Delia.
Amro mengangguk dan memberi kode pada Reyn untuk membawa Mario mendekat.
Delia tidak menangis meskipun dirinya ingin sekali menangis.Setelah ini hidupnya tidak mungkin tenang karena berhubungan dengan keluarga Salazar. Delia juga tidak ingin membuat keluarganya dalam bahaya. Delia cukup tau seberapa berpengaruhnya keluarga Salazar.
"Paman,apa yang kau inginkan sebenarnya?"
Pamannya diam tak menjawab. Hanya menatap sendu ke arah Delia. Delia paham akan maksud pamannya yang ingin berbicara berdua.
"Kami butuh waktu berdua saja."
Tuan Amro menatap Reyn dan memberinya isyarat untuk keluar. Tuan Amro dan Reyn kemudian keluar dari pondok.
"Ada apa sebenarnya paman?" tanya Delia sepeninggal dua orang tersebut.
"Paman butuh bantuanmu,Delia. Hanya kamu harapan paman satu satunya."
"Apa yang bisa aku lakukan paman?"
"Ikutlah dengan Tuan Amro dan Reyn. Tinggallah di mansion Salazar. Paman aku memancing Sera agar keluar dari persembunyiannya."
"Apa itu akan berhasil paman?" Delia meragukan rencana Mario.
"Percaya pada paman. Paman akan menjemputmu kalau semua sudah selesai."
Delia mengangguk.
"Aku percaya padamu paman."
"Maafkan paman karena kamu harus ikut menanggung apa yang tidak seharusnya kamu tanggung."
"Jangan sungkan Paman, aku akan berusaha menyelesaikan semuanya," sahut Delia penuh keyakinan.
"Kita akan buat mereka menyadari, siapa yang mereka remehkan ini. Aku percaya paman tidak bersalah dalam hal ini," lanjut gadis itu.
"Terima kasih, Del. Kamu harapan paman satu-satunya untuk menyelidiki kasus kematian Tuan Robert. Buktikan bahwa paman memang tidak bersalah," kata Mario penuh harap.
"Itu pasti paman."
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!