“Kenapa semuanya menjadi seperti ini? Cepatlah bangun Dios. Maaf… Maaf… Semua ini salahku.” Di ruangan yang gelap itu, seorang pemuda menitihkan air mata dengan penuh penyesalan.
Di sampingnya, berbaring layu seorang pemuda sebayanya, terinfus dalam bingkaian peralatan rumah sakit.
Suasananya senyap. Hanya suara tiktok dari peralatan pembaca detak jantung yang terdengar.
Suara langkah sepatu tiba-tiba memecah kesunyian itu. Seorang gadis yang juga tampak sebaya dengan pemuda itu pun menghampirinya. Gadis itu meletakkan tangannya di bahu pemuda itu sambil menatapnya dengan penuh kekhawatiran.
“Tuan Muda, sudah waktunya Anda pulang. Anda harus menjaga kesehatan Anda." Ucap sang gadis.
Dialah Kaiser Dewantara. Sosok yang dipanggil sebagai tuan muda oleh gadis itu, calon pewaris utama generasi ketiga Dewantara Group.
“Oh, kamu rupanya Agni."
Dialah Agni Permata. Sosok sang gadis yang senantiasa setia mendampingi Kaiser sebagai asistennya yang andal.
"Lihatlah, bagaimana bisa ada sekelompok orang yang bisa dengan teganya menganiaya anak yatim piatu yang baik hati seperti ini. Bahkan sampai nyawanya hampir hilang pun, mereka hanya dihukum tahanan rumah selama 2 tahun. Apakah itu adil? Mengapa hukum begitu beda memperlakukan orang-orang antara yang berkuasa dan yang tidak?”
Dan dialah Dios. Sosok pemuda yang sedang terbaring layu di rumah sakit tersebut setelah mengalami peristiwa pembulian pahit oleh sekelompok anak-anak royal 2 tahun lalu semasa SMP-nya perihal penilaian mereka yang merasa Dios yang berasal dari kasta rendah, tak pantas untuk satu sekolah dengan mereka.
“Tuan Muda, walaupun dengan kekuasaan keluarga Anda, masih sulit untuk menyentuh mereka.”
“Begitukah?”
Sayangnya, walaupun Kaiser juga terlahir dengan kekuasaan layaknya anak-anak royal yang telah membuli Dios tersebut, intrik politik dan pandangan publik membatasi geraknya dalam melindungi sahabat baiknya itu.
“Sayapun juga sebenarnya marah, tapi, jika Tuan Muda juga ikut terluka, siapa lagi yang akan merawat kami. Jadi, saya berharap Tuan Muda dapat lebih menjaga kesehatan Anda.”
Tetapi, Kaiser tidaklah sendiri. Ada orang-orang yang senantiasa mendukungnya dalam berjuang menghilangkan ketidakadilan sistem perbedaan kasta yang absurd itu.
Kaiser lantas menatap Agni. Diapun mengusap kepala gadis itu seraya memberikan senyuman ala pangerannya.
“Tenang saja. Semuanya akan baik-baik saja." Lirih Kaiser dengan tatapan yang penuh arti.
"Jadi, bagaimana dengan pergerakan mereka?" Kaiser pun lanjut bertanya kepada asisten setianya itu.
“Itu... Mereka akhirnya dibebaskan dari tahanan rumah. Silva sudah kembali ke Jakarta dan mungkin sebentar lagi Araka akan menyusul.”
“6 dari 7 para pembuli itu rupanya telah tiba di kota ini. Kita harus lebih ekstra hati-hati. Perketat penjagaan rumah sakit. Pastikan mereka maupun orang-orang mereka tidak ada yang mendekati rumah sakit."
“Siap, Tuan Muda.” Agni pun menjawab.
Kaiser lantas menyandarkan dirinya di kursi sembari menekan kedua tangannya dengan belakang kepalanya. Mata birunya kemudian tiba-tiba bersinar cerah. Kaiser berupaya mengendalikan amarahnya.
Di tengah kekalutannya itu, Kaiser pun bergumam,
[Sungguh! Andai bisa, seseorang seperti mereka sebaiknya mati saja!]
***
Di tempat lain, 5 dari 8 pelaku pembulian seorang pemuda bernama Dios berkumpul di sebuah bar mewah.
Aroma bir yang sangat menyengat, asap rokok yang tebal, disertai para pemuda-pemudi yang berpesta pora sambil berjoget-joget dengan suara musik yang keras dapat dirasakan ketika pertama kali memasuki bar itu.
Tapi jauh ke dalam, ada ruang khusus VIP yang satupun suara tidak dapat menembus ke dalamnya. Di situlah para pembuli itu berkumpul.
“Ah, andai Araka dan Dirga juga ikut bergabung dengan kita, pasti suasananya akan lebih menyenangkan. Tapi yang lebih penting daripada itu… Hei, apakah itu baik-baik saja? Kamu secara publik dihukum tahanan rumah, tapi selama ini kamu malah meninggalkan rumah dan berkeliaran bebas di luar negeri.”
Kata seorang gadis dengan perawakan kurus dengan topi modis merahnya yang nyentrik dan pakaiannya yang ala milenial di antara mereka.
“Apa yang mesti aku takutkan ketika semua media di bawah kontrol perusahaan ibumu. Bukan begitu, Rihana?”
Jawab seorang gadis lainnya di antara mereka dengan postur tubuh tinggi dan proporsi ideal layaknya seorang model.
“Exactly! Kalau begitu, Silva, bisakah kamu meminta ayah dan ibumu untuk mendonasikan dana lebih banyak lagi ke perusahaan kami? Dengan begitu, semuanya akan berjalan lebih lancar. Kamu tahu kan, masih ada satu perusahaan penyiaran TV yang belum di bawah kendali grup.”
Gadis berpostur kurus yang dipanggil Rihana itu pun segera mengungkapkan keinginannya.
“Ah, perusahaan milik keluarga orang itu ya.”
Ucap gadis berperawakan model yang dipanggil Silva seraya menopangkan dagu. Matanya lantas lebih menyipit menjadi tatapan sinis yang tampak seperti ular yang memikirkan bagaimana menelan mangsanya bulat-bulat.
“Permisi, ini minumannya.” Seorang pelayan pria pun menghampiri mereka.
Tampak pelayan itu hanya mengenakan boxer yang sangat pendek sehingga proporsi badannya yang ideal dengan six pack dapat terlihat dengan jelas. Pelayan pria itu seraya meletakkan minuman sejenis alkohol pesanan mereka di meja tersebut.
“Ah, Mas, badanmu bagus juga.” Ucap Silva seraya meraba-raba badan pelayan itu dengan ujung jari telunjuknya.
Pelayan itu tampak tidak nyaman. Melihat itu, Rihana malah hanya nyengir sementara tiga pemuda yang bersama mereka tampak jijik dengan kelakuan gadis itu.
“Hei Silva, sebaiknya kamu hentikan. Lihat tuh muka Tirta sudah seperti tomat masak mau pecah. Hahahaha!” Kata seorang pemuda yang mengenakan cincin nyentrik disertai tawa terbahak-bahak.
Mendengar ejekan itu, Silva akhirnya menyuruh pemuda itu pergi dengan cemberut. Dia kemudian menatap pemuda yang dipanggil Tirta itu.
"Kamu cemburu?" Tanya Silva kepada Tirta.
"Tidak kok. Aleka sendiri yang mengambil kesimpulan seenaknya." Jawab Tirta dengan muka yang memerah seraya memalingkan pandangannya seakan tak berani menatap Silva.
"Oh." Silva menatap Tirta cukup lama seakan mencoba untuk membaca ekspresinya.
Namun, alih-alih tatapan seorang kekasih yang ditunjukkannya, Silva tampaknya lebih menatap Tirta bagaikan budaknya.
Tirta pun memberanikan diri menatap Silva kemudian mencoba berujar,
"Sil..."
“Jadi, bagaimana kamu akan bergerak? Sekarang sudah 2 tahun sejak kejadian itu. Awak media sudah diam dan orang-orang sudah mulai melupakan kejadian itu pastinya.”
Belum sempat Tirta mengungkapkan apa yang ingin dikatakannya, seorang pemuda yang lain segera memotongnya dengan suatu pertanyaan sambil menatap lurus ke mata Silva.
Karena momen yang terlewatkan, tampak Tirta yang tadi hendak mengatakan sesuatu, akhirnya dibatalkannya. Tampak sudut mulut pemuda yang memotong pembicaraan Tirta itu berkedut puas. Rupanya, dia sengaja tak membiarkan Tirta berkomentar.
Belum sempat Silva menjawab, Rihana segera memotongnya, “Kita tidak bisa bertindak gegabah soalnya orang itu dilindungi oleh Tuan Muda dari Dewantara Grup.”
Pemuda itu lantas tersenyum sinis dan memalingkan arah pandangannya ke Rihana. “Kamu berkata seperti itu, tapi kamu pasti sudah punya langkah tersendiri. Begitulah orang licik sepertimu bertindak.”
“Enak saja mengataiku licik. Tapi yah, kamu tidak salah juga, Riandra. Sebenarnya aku menemukan fakta yang menarik. Kita tunggu saja beritanya keluar besok. Ini tidak hanya akan menjatuhkan nama Kaiser, tetapi juga akan membuat netizen jadi benci pada Dios."
Senyum Rihana lantas bertambah lebar yang sebenarnya sangat serasi dengan bibir seksinya itu. Dia tersenyum sembari menatap intens ke arah pemuda yang bertanya padanya yang dipanggilnya Riandra itu.
Diapun melanjutkan,
"Dan netizen yang dulunya menghujat kita karena membullynya akan berbalik 180 derajat justru akan memuji kita karena menghajar penjahat seperti dia. Wah, aku jadi tidak sabar ingin melihat wajah menderita dari Tuan Muda Kaiser. Aku ingin melihat wajah tampannya yang seksi itu diselimuti aura keputusasaan. Nyam! Pasti nikmat sekali.”
Ucap Rihana sambil mejilat bibir bagian atasnya seakan-akan sedang menikmati hidangan yang sangat nikmat.
Riandra yang mendengar itu hanya tersenyum seakan tidak sabar menikmati kejutan itu.
Ekspresi yang hampir sama ditunjukkan oleh semua orang yang ada di ruangan itu, terkecuali Tirta yang hanya tertunduk seakan takut. Kedua tangannya yang gemetaran menggegam erat celananya.
Demikianlah rencana jahat tersebut dibeberkan di dalam suatu ruangan yang berisikan mereka berlima. Tidak, tepatnya delapan orang, seorang pelayan pria, seorang pelayan wanita, dan seorang kakek tua yang menjadi penyeduh alkohol.
***
Keesokan harinya, muncullah berita yang dinantikan.
Kala itu, Kaiser yang hendak meninggalkan rumah untuk berangkat ke sekolah dicegat oleh kakeknya.
“Cucuku sayang, hari ini kamu tidak usah sekolah ya, main saja sama kakek. Kakek kesepian di rumah. Hiks…Hiks…” Dengan tingkah imut, Sang Kakek merajuk kepada cucunya.
“Tidak usah khawatir Kek, saya baik-baik saja.”
“Jadi kamu sudah tahu ya.” Ekspresi Sang Kakek tiba-tiba berubah sendu.
“Ya, tampaknya mereka mulai bergerak.”
“Biarkan Kakek melindungi cucuku tersayang ini. Muah…Muah…” Balas Sang Kakek yang kembali dengan ekspresi cerianya yang khas seraya ingin memeluk dan mencium cucunya.
Dengan sigap Kaiser menahan kakeknya sebelum memeluknya. “Hentikan, Kek! Saya sudah besar lagipula saya ini laki-laki.”
“Hiks…Hiks… Cucu kakek tidak imut lagi.” Sang Kakek mengucapkannya sambil bertingkah lucu menirukan gadis-gadis idol Jepang yang sedang populer.
“Ya, ampun, Kek! Sampai kapanpun Kakek adalah kakek tersayang Kaiser. Kebanggaan Kaiser.” Walaupun dengan nada ketus, tetapi dapat terasa kelembutan di ucapan Kaiser yang tulus terhadap kakeknya.
Di akhir kalimatnya, Kaiser melontarkan senyum ala pangerannya yang membuat siapapun yang melihatnya akan terhipnotis akan keindahannya, entah itu wanita ataupun pria.
“Tapi yah, berkat Kakek, berita ini segera direda sebelum beredar lebih luas.”
“Tapi walau bagaimanapun, beritanya telah sempat muncul di Berita Subuh. Kakek takut di sekolah kamu akan dirundung. Hari ini kamu tidak usah ke sekolah ya sampai masalah ini mereda.” Ucap Sang Kakek dengan nada khawatir.
Kaiser mengambil salah satu cetakan koran yang batal terbit yang tergeletak di meja kemudian membacanya. “Seorang pewaris generasi ketiga Grup Dewantara yang berhasil selamat dari kasus penculikan di TK Bela Negara bersama dua rekan kelasnya berinisial A.P. dan D. setelah merebut pistol penculik dan menembakkannya ke dada penculik…”
“Kakek tidak usah khawatir. Teman-teman di sekolahku orangnya baik-baik semua. Pertemanan kami lebih kuat dari yang Kakek kira. Justru dengan tertawa dan tetap seperti biasa, akan menjadi pukulan yang lebih menyakitkan bagi mereka, siapapun yang merencanakan ini.” Ucap Kaiser seraya tersenyum cerah.
Kala itu, Kaiser turun dari mobilnya dengan didampingi oleh asisten setianya Agni di belakangnya. Mereka berjalan menuju gerbang sekolah mereka.
Tampak raut khawatir di wajah Agni, kalau-kalau ada perlakuan tidak mengenakkan yang akan mereka terima dari warga sekolah perihal pemberitaan miring mengenai mereka berdua.
Ya, dua orang yang secara tidak sengaja terjebak dalam musibah penculikan Kaiser, selain Dios, dialah asisten Kaiser saat ini, Agni Permata.
Namun, sangat berbeda seperti apa yang dikhawatirkan oleh Agni, tidak ada satupun kata tidak mengenakkan yang terlontar keluar, baik yang frontal, maupun yang samar-samar di belakang.
Semua siswa hanya terdiam memandangi mereka dengan ekspresi simpatik di wajah mereka. Tak tampak satupun pandangan merendahkan apalagi benci di antara mereka.
Suasana pun pecah ketika salah seorang siswa berlari menghampiri Kaiser. Dia adalah Andika, teman sebangku Kaiser saat ini di SMA.
“Hei Kaiser, tadi subuh ada berita tentang kamu di TV. Apakah kamu baik-baik saja?”
Di luar dugaan Agni, daripada pertanyaan konfirmasi, yang keluar di mulut Andika, justru rasa simpatik yang ditujukannya dengan menanyakan kabarnya.
Seraya siswa-siswa di sekeliling mereka saat itu ikut berkerumun di sekeliling Kaiser dan menyemangati Kaiser.
“Dasar tuh wartawan, apa masuk akal jika seorang anak berusia 4 – 5 tahun bisa menggunakan pistol yang berat. Nggak punya otak.” Celoteh Ratih, satu dari kerumunan siswa yang mengelilingi Kaiser.
Kaiser hanya tersenyum menanggapinya. Raut matanya tampak dipenuhi dengan kesedihan yang menambah simpati para kerumunan padanya dan semakin kuat dalam berupaya menyemangati tuan muda itu.
Suasana sekolah benar-benar di luar dugaan Agni sampai-sampai Agni bertanya-tanya inikah karisma seorang pangeran. Sejak awal, apa yang dikhawatirkan Agni jika mereka mencoba mencari kebenaran pada Kaiser yang akan membuka luka lamanya adalah suatu kekhawatiran yang sia-sia.
Suasana mengharu-biru yang terjadi di gerbang sekolah di mana Kaiser menjadi pusatnya tampak layaknya seorang pangeran yang dikelilingi oleh pengikut-pengikut setianya yang fanatik, melebihi fanatiknya seorang fans pada idolanya.
Suasana harmonis tersebut berlanjut sampai salah seorang penjaga gerbang membubarkannya karena menghalangi jalan.
Jam-jam berikutnya pun selama di sekolah, dengan senjata senyum ala pangerannya, Kaiser mampu meluluhkan hati para siswa sehingga berita miring di media menjadi tidak punya arti di hati para siswa.
Sayangnya, hal ini tidak berlaku di luar sekolah.
Walaupun media televisi berhasil dibungkam karena hanya menyajikan berita berdasarkan spekulasi dan bukannya fakta, tidak demikian di internet. Berbagai forum dan situs internet merajalela seakan semuanya ingin melahap Kaiser.
Tetapi berkat perlindungan keluarga serta dukungan teman-teman sekolah Kaiser, tidak hanya yang saat ini di SMA, tetapi juga termasuk teman SMP dan SD yang masih kontak dengannya, opini publik tidak berkembang ke arah yang lebih buruk.
Namun, beberapa netizen tampak masih ada yang menjelek-jelekkan Kaiser.
***
Di suatu ruangan, duduk dua orang pemuda berdampingan di sofa. Seorang di antaranya berperawakan besar dan kekar dengan cincin-cincin nyentrik di jari-jemarinya. Yang satunya berperawakan lebih kecil dan kurus.
Pemuda yang berperawakan lebih kecil berkata, “Aleka, tidakkah ini kesempatan yang baik di saat perhatian Kaiser teralihkan, untuk memberi pesta sambutan kepada mainan kita setelah sekian lama?”
Sambil mengusap-usap cincin-cincin di jari-jemarinya, pemuda yang berperawakan lebih besar berkata,
“Idemu brilian juga, Riandra. Maka mari kita kirim beberapa orang-orangku untuk melaksanakan pesta penyambutan.”
Dialah Aleka Gebriansyah Putrawardhani, pewaris tunggal perusahaan sekuriti paling ternama di Jakarta, Sungsin Security Cabang Indonesia. Sebuah perusahaan yang kini telah menjalankan bisnisnya dengan aset terpisah, namun tetap berada di bawah kontrak kerjasama pelatihan dengan perusahaan bekas induknya di Korsel.
***
Pukul 9 malam, sesuai rutinitas Kaiser yang mengunjungi Dios tiap 3 kali sepekan, hari ini Kaiser mengunjugi Dios ke rumah sakit. Setelah mobil Kaiser diparkirkan di parkiran rumah sakit, Kaiser pun bersama asistennya, Agni, keluar dari mobilnya dan bergegas menuju ke lantai paling atas rumah sakit di mana Dios dirawat.
Namun, sebelum sampai di pintu rumah sakit, Kaiser dicegat oleh seorang wanita muda. Wanita itu tampak di usia di mana dia akan menjadi mahasiswa tahun ketiga di universitasnya jika dia kuliah.
“Dek Kaiser, bisa minta waktunya sebentar.”
Wanita itu mengenakan kemeja maroon dan celana jeans. Tampak alat perekam di tangan kanannya. Di saku kemeja bagian kiri atasnya tampak berjejer dengan rapi tiga buah pulpen. Wanita itu juga menyandang tas kecil yang berisikan jurnal ukuran mini. Sangat jelas dia seorang wartawan yang ingin mengorek informasi yang ramai dibicarakan di internet itu.
Dalam hati, Kaiser kesal sampai-sampai di mana dia mau mengumpat, tetapi itu ditahannya. Senyum ala pangerannya pun dilontarkan. Kaiser seraya berkata,
“Maaf Mbak, jika ingin wawancara, tampaknya saya tidak bisa memberikan keterangan apa-apa.”
Dalam waktu 10 detik wanita itu terpana oleh senyum Kaiser dan terdiam, namun segera kesadarannya terpulihkan dan dengan cepat menyusul Kaiser yang sudah jauh di depan dan membuka pintu lift.
“10 menit saja dek, tidak, 5 menit saja.” Ucap wanita itu seraya bergegas ikut memasuki lift sambil menatap Kaiser.
Pandangan sayu yang siapapun wanita melihatnya akan terpancarkan aura keibuannya dikeluarkan oleh Kaiser. Wanita itu pun merasa bersalah seraya meminta maaf. Kaiser pun tersenyum dan seketika kesedihan di hati wanita itu terobati.
Dengan lembut Kaiser pun berkata, “Seandainya saya bisa membantu, saya ingin membantu. Hanya saja, itu ingatan ketika saya berumur belum genap 5 tahun. Sebenarnya, selain rasa trauma yang berat karena diculik, saya hampir tidak ingat apa-apa.”
“Maaf Dek.”
“Tidak apa-apa kok Mbak, Mbak juga pasti melakukan ini demi karir pekerjaan Mbak. Hanya saja, mengingat kejadian itu saja, membuat saya bergetar, saya…”
Wanita itu terdiam dan bingung bagaimana menenangkan Kaiser yang tampak menderita. Dia kemudian menatap ke arah Agni. Agni memberikan isyarat semuanya baik-baik saja dan biar dia yang tangani. Wanita itupun mundur dan Agni mendekat kemudian mendekap bahu Kaiser.
Tanpa terasa, Kaiser dan Agni telah tiba di lantai delapan di mana Dios dirawat. Kaiser dan Agni keluar dari lift dan memberi salam kepada sang wartawan sebelum pergi meninggalkan tempat untuk ke ruangan di mana Dios dirawat. Sang wartawan menatap dengan tatapan penuh simpati ke arah mereka berdua sampai pintu lift tertutup dan wajah mereka tak lagi saling berhadapan.
***
Tengah malam sekitar pukul setengah satu. Suasana rumah sakit tampak sepi. Kaiser dan Agni telah lama meninggalkan rumah sakit. Hanya ada beberapa dokter jaga dan perawat jaga malam dan beberapa pasien rawat inap. Di salah satu ruang VIP rumah sakit, tampak seorang pemuda yang sangat kurus sampai menyayat hati melihatnya terbaring lemah di tempat tidur rumah sakit. Terdapat 2 penjaga berjaga di depan pintu kamar di mana pemuda itu dirawat dan 2 penjaga berjaga di dalam.
“Duar… Duar… Bruuuk!”
Tiba-tiba segerombolan orang berpakaian serba hitam memasuki rumah sakit kemudian menghancurkan fasilitas rumah sakit mulai dari pintu masuk terus ke lantai atas. Sekuriti rumah sakit yang kebetulan shift malam saat itu tidak dapat membendung serangan rumah sakit yang terjadi begitu tiba-tiba.
“Flash.” Listrik pun dipadamkan.
“Aaaah!” Orang-orang pun mendadak histeris akibat kegelapan di dalam suasana mencekam yang ditimbulkan oleh penjahat-penjahat itu.
Untunglah ada sumber listrik darurat sehingga peralatan-peralatan vital rumah sakit terutama yang berfungsi untuk mendukung hidup pasien yang kritis masih berjalan.
“Jangan ada yang bergerak, atau kami tembak!” Salah seorang penjahat berkata seraya menembakkan pistolnya ke atas.
Semua orang pun menjadi ketakutan. Ada yang duduk membungkuk, ada yang tiarap, bahkan ada yang mencoba menyembunyikan kepala mereka di balik meja layaknya burung unta yang jelas takkan dapat menyembunyikan dirinya dari para penjahat. Namun, satu yang pasti. Mereka semua gemetaran. Takut bahwa ada peluru nyasar di kepala mereka.
Salah seorang petugas rumah sakit pun mencoba untuk menghubungi polisi. “Tiiit…tiiiit…tiiiit.”
Rupanya, penjahat juga telah memasang alat pengganggu sinyal di sana sehingga pihak rumah sakit pun tidak bisa meminta bantuan dari luar.
Apa yang membuat suasana lebih mencekam adalah ketika seorang office boy di rumah sakit itu hendak kabur dan meninggalkan rumah sakit malah ditembak sehingga mati di tempat.
Suasana yang mencekam di rumah sakit pun berlanjut. Sampai pada akhirnya, penjahat-penjahat itu sampai di ruangan yang paling atas, lantai delapan. Berbeda dengan lantai di bawahnya, lantai delapan hanya bisa diakses dengan kartu VIP sehingga mereka harus naik tangga secara langsung dari lantai tujuh. Namun, ada pintu pengaman dengan keamanan yang sangat kuat yang terletak di ujung tangga dari lantai tujuh ke lantai delapan. Memakan waktu yang cukup lama bagi para penjahat untuk membobol pintu itu.
Sembari menunggu rekannya membobol pintu keamanan, salah seorang dari mereka pun membuka percakapan.
“Menurutmu, berita apa yang akan muncul besok pagi?”
“Kerugian milyaran rupiah Dewantara Group, banyak pasien yang meninggal karena pemadaman listrik di RS Dewantara, manejemen Dewantara Group yang buruk.” Jawab penjahat lain terhadap pertanyaan rekan penjahatnya itu.
Kedua penjahat itu kemudian saling tatap lantas tertawa terbahak-bahak.
“Habis ini kita mau ke mana?” Tanya penjahat itu lagi kepada rekannya.
“Ya ke mana lagi, ke markaslah, ke Sungsin Security Center Building untuk berpesta dari uang bonus dari Bos. Hahahahaha!”
Kedua penjahat mengobrol begitu ceria diikuti di belakangnya ada sekitar enam orang rekannya sementara dua rekan lainnya masih sibuk membobol pintu keamanannya. Namun, tanpa diduga, sebelum para penjahat berhasil membobol pintu keamanan, telepon masuk dari bos mereka.
“Apa yang kalian lakukan, monyet-monyet busuk. Cepat mundur!”
Mendengar perubahan perintah mendadak itu, para penjahat pun kebingungan. Namun, begitu suara sirene polisi mulai samar-samar terdengar dari luar, itu sudah terlambat.
Mereka berupaya mati-matian untuk segera meninggalkan lokasi. Namun, sayangnya telah siaga kerumunan polisi di sekitar pintu keluar rumah sakit sehingga tidak terhindarkan bahwa sebagian dari penjahat tersebut tertangkap.
Kembali ke 3 jam sebelum kejadian penyerangan Rumah Sakit Dewantara Group. Aliska, wartawan yang hendak memperoleh berita dari Kaiser akhirnya berniat pulang setelah gagal memperoleh berita apapun dari Kaiser.
Pintu lift terbuka. Dengan mata hampa, Aliska meninggalkan pintu lift. Aliska terus berjalan ke depan tanpa memperhatikan ada seorang office boy yang berada di depannya. Mereka pun saling bertabrakan.
Berkat air galon yang berat yang menimpa kaki Aliska, Aliska akhirnya terluka sehingga kesakitan untuk berjalan. Office boy merasa bersalah akan kejadian tersebut. Dia pun membawa Aliska ke ruangan Office Boy untuk memberikan pertolongan pertama pada kaki Aliska yang terkilir karena tertimpa air galon tadi.
“Aduh!"
"Wah, maaf Mbak karena sudah ceroboh menabrak Mbak sehingga terluka.” Ucap Office Boy dengan panik.
“Tidak apa-apa, saya juga salah karena tidak memperhatikan jalan dengan baik.” Aliska hanya menjawab lemah sambil tersenyum kepada Office Boy itu.
Melihat senyumnya, Office Boy merasa sedikit lega.
Aliska yang kakinya terkilir menunggu untuk baikan dengan beristirahat di ruang Office Boy sambil bercengkerama dengan Office Boy tersebut. Karena kelelahan, tanpa sadar Aliska akhirnya memejamkan matanya dan tertidur.
Namun, di tengah sunyi senyap malam, tiba-tiba suara gaduh berupa barang pecah disertai letusan pistol terdengar dari luar. Mendengar keributan itu, Aliska terbangun.
Di dalam ruangan itu , Office Boy yang masih setia menemani Aliska yang tertidur sambil duduk menyantap kopi susu juga ikut kaget. Aliska pun segera memperbaiki dirinya yang masih agak mengantuk dan segera menyesuaikan diri dengan suasana tegang di luar.
Aliska segera menyelinap berdiri dari tempat tidur ke dekat pintu. Office boy mengikutinya di belakang.
“Jangan ada yang bergerak, atau kami tembak.” Kata seorang penjahat yang mengenakan pakaian hitam dengan topeng hitam yang menutupi seluruh muka kecuali bagian matanya di antara mereka.
Aliska membuka sedikit celah pintu untuk mengintip keluar. Alangkah kagetnya ketika dia melihat bahwa rumah sakit telah diserang oleh segerombolan penjahat.
“Ada apa Mbak?” Tanya Office Boy khawatir.
“Ssst. Jangan berisik, nanti kita ketahuan ada di dalam.” Jawab Aliska tegas seraya menempelkan jari telunjuknya secara vertikal ke bibirnya tepat di bagian tengah.
Office Boy yang kemudian ikut mengintip keluar seketika panik. Dia pun menutup mulutnya dengan salah satu tangannya untuk mencegah suara keluar dari tenggorokannya.
Tak lama kemudian, lampu rumah sakit ikut padam. Tiga puluh menit pun berlalu dan entah bagaimana Aliska dan Office Boy berhasil bersembunyi di dalam ruangan tanpa ketahuan oleh para penjahat.
Untunglah ruangan Office Boy terletak jauh tersembunyi di sudut belakang dari aula lantai pertama dekat pintu rumah sakit yang membuat penjahat-penjahat tersebut lengah untuk memeriksa ke dalam ruangan tersebut.
“Aduh, bagaimana ini Mbak? Kalau begini terus, banyak pasien yang hidupnya akan terancam. Dan adikku juga, mungkin akan meninggal. Selama ini dia bisa bertahan hidup berkat bantuan alat dari rumah sakit berkat Tuan Muda. Tapi jika listrik mati dan listrik cadangannya habis, maka alat bantuan pernapasan adikku akan… Adikku akan… Hiks… Hiks…” Ujar Office Boy sambil terduduk kaku. Lututnya didekap erat-erat. Air matanya mengalir membasahi lutut tersebut.
“Di saat seperti ini justru kita harus tenang. Pasti ada jalan keluar.” Ucap Aliska menyemangati Office Boy.
Namun, walaupun Aliska berkata demikian, dalam hatinya sendiri pun sebenarnya juga sangat panik. Bagaimana tidak, sedari tadi dia mencoba untuk menelepon, tetapi tidak bisa karena tidak ada sinyal. Internet pun tidak bisa tersambung karena tidak ada jaringan.
[Tampaknya seluruh gedung rumah sakit telah dipasangi alat pengganggu sinyal. Bagaimana ini? Listrik padam tetapi tampaknya sinyal keadaan darurat tidak terkirim karena alat pengganggu sinyal. Kalau begini terus, butuh waktu lama bagi para petugas pemantau dari luar rumah sakit untuk menyadari keadaan di dalam rumah sakit. Apa yang bisa kulakukan?] Pikir Aliska dalam hati.
Aliska pun mengingat pembicaraan dengan seniornya tadi siang sebelum berangkat ke rumah sakit.
***
“Wah, kenapa tiba-tiba tidak ada sinyal.” Aliska spontan berdiri dan mengangkat tinggi-tinggi hpnya ntuk mencari sinyal.
“Hi..hi..hi..hi..” Aliska pun menoleh kepada seorang seniornya yang tertawa cengingisan dengan gelagat yang aneh.
Dilihatnya seperangkat peralatan aneh sedang dipegang oleh seniornya itu. “Itu kan? Pantas tiba-tiba tidak ada sinyal. Ini perbuatan senior rupanya ya."
“Maaf. Maaf Aliska." Jawab seniornya seraya berusaha untuk menghentikan cengingisannya.
"Tapi bukan untuk menguji alat pengganggu sinyal itu tujuanku yang sebenarnya.” Kata seniornya dengan senyum nakal.
“Sebenarnya waktu meliput berita tentang acara lelang ilegal tertutup di Jerman, saya diam-diam mengikuti acara lelangnya. Dan lihat apa yang saya dapatkan. Perangkat pembatal penganggu sinyal ukuran mini dengan bentuk mirip radio ini yang hanya berdimensi 1 x 2 x 4 cm ini. Begini penggunaannya. Transmitternya akan mampu meredam noise yang ditimbulkan oleh alat penganggu sinyal dengan sonic boom. Bla…bla… Lihat ini, ketika tombolnya ditekan, tada! Sinyal di handphone pun muncul kembali walaupun alat pengganggu sinyal tetap nyala.” Ucap Senior dengan bangga kepada Aliska sambil memperlihatkan handphonenya yang kembali memiliki sinyal.
“Tapi kelemahannya ya, alat ini tidak dapat bertahan lama. Lihat ini, baru 10 detik, sinyalnya hilang lagi." Ucap senior itu lagi seraya kecewa.
"Setelah itu, alat pengganggu sinyal akan stabil lagi dan mampu menghasilkan noise yang akan akan mengganggu sinyal lagi…bla…bla… Juga pada alat penganggu sinyal yang terlalu kuat, alat ini tidak bekerja." Senior itu tsmpak semakin kecewa dalam ekspresinya menjelaskan.
"Tetapi itu khusus di dalam ruangan lho di mana kerapatan massa dinding di ruang tertutup mampu mengamukumulasi sinyal. Bla.., Bla… Tetapi di luar ruangan, sekuat apapun alat pengganggu sinyalnya, itu tidak akan berpengaruh.” Lanjut Sang Senior yang kali ini dengan bangga.
“Senior, saya tidak tertarik.” Aliska dengam cepat memotong penjelasan panjang lebar seniornya sambil menunjukkan ekspresi yang sangat tidak tertarik.
“Jangan gitulah, ini alatnya ada 2. Satunya akan kuberikan kepadamu sebagai hadiah. Ini!” Senior itu kemudian memasukkan peralatan mini aneh itu ke dalam tas Aliska.
“Bukannya ini mahal Senior? Sebaiknya tidak usah.” Ujar Aliska berusaha menolak.
“Kamu anggap apa seniormu ini? Terima saja! Tidak baik lho menolak pemberian orang yang tulus memberikan kita hadiah." Sang Senior dengan tegas menolak tolakan Aliska dengan wajah cemberut.
"Sebenarnya, alat ini berpasangan dan memiliki fungsi khusus lain yakni kita bisa mengirimkan satu sama lain pesan suara singkat antara kedua alat beberapa saat ketika transmitternya mengeluarkan sonic boom. Lumayan membantu kan ketika kamu disekap oleh orang-orang aneh sewaktu meliput berita untuk memberikan SOS kepada seniormu yang dapat diandalkan ini.” Tambah seniornya seraya menunjukkan senyum ramah dan tatapan mata yang lembut.
“Ya..ya..ya.. Seniorku memang hebat.”
[Dasar Senior Panji, kebanyakan nonton anime Detective Con*n] Gerutu Aliska dalam hati sambil menatap dengan pandangan kasihan tetapi diselimuti pandangan rendah kepada seniornya.
***
Aliska yang sementara panik berusaha menenangkan pikirannya. Dia pun merogoh tas kecilnya dan mengeluarkan sebuah kotak kecil mirip radio. Dia tidak pernah menyangka bahwa alat aneh yang dihadiahkan oleh seniornya akan menjadi penyelamat dalam situasi genting di hidupnya.
[Detective Con*n, banzai!] Gumam Aliska. Dia segera merekam suaranya untuk minta tolong kemudian menekan tombol pada alat.
Seketika, muka Aliska berubah kecewa. Rupanya gangguan sinyal terlalu kuat sehingga sonic boom tak mampu menghempaskan sinyal sementara.
“Bagaimana ini?”
Mendengar Aliska bergumam, Office Boy seraya menatap Aliska penasaran. “Ada apa Mbak?”
“Semuanya sudah berakhir. Semula saya pikir alat ini dapat membantu. Untuk mencari pertolongan dari luar, tapi tampaknya gangguan sinyal yang disebabkan oleh penjahat-penjahat itu terlalu kuat. Andai saya bisa keluar rumah sakit sebentar saja, atau paling tidak cukup membuka pintu rumah sakit lalu menekan alat ini. Mengapa semua jendela rumah sakit mesti ditamengi logam baja di malam hari? Kalau terjadi penyerangan seperti ini kan, kita tidak bisa melarikan diri karena hanya ada satu pintu keluar. Hei Kak, apa tidak ada pintu keluar darurat?”
Office boy yang sedari tadi mendengarkan gerutu Aliska termenung penuh arti sebelum lamunannya disadarkan kembali oleh Aliska.
“Seharusnya ada Mbak, tapi itu bisa beroperasi secara otomatis ketika alarm kebakaran menyala.” Jawab Office Boy sambil menatap serius secara bolak-balik ke arah Aliska dan alat yang dipegangnya.
Mendengar jawaban Office Boy, Aliska merasa sangat kecewa. Dia hampir menitikkan air mata karena saking takutnya dia sekarang, namun ditahannya karena dia tahu itu akan percuma. Justru di saat ini, dia harus tetap tenang memikirkan solusi yang paling tepat karena seperti itulah seorang wartawan sejati, bertindak bukan berdasarkan spekulasi, tetapi berdasarkan fakta dan arah terbaik. Seorang wartawan sejati memiliki tanggung jawab mengarahkan publik untuk senantiasa mengambil pilihan yang tepat ke kehidupan yang lebih baik.
[Pintu darurat bekerja secara otomatis yang baru bisa terbuka ketika alarm kebakaran menyala. Listrik cadangan masih berfungsi. Masih ada peluang bahwa pintu darurat otomatis masih berfungsi. Yang harus dilakukannya sekarang adalah memicu pengaktifan alarm kebakaran.] Pikir Aliska dalam hati mencoba untuk membaca situasi.
“Bantu aku.” Pinta Aliska kepada Office Boy.
Office Boy mengambil meja kemudian menumpuk sebuah kursi di atasnya. Aliska memanjat kursi setelah memperoleh korek api yang terletak di sekitar bagian dapur ruang office boy. Aliska segera menyalakan korek api dan mengarahkan api ke detektor kebakaran yang terletak di atap ruangan office boy tersebut.
Namun, belum sempat melaksanakan niatnya, di luar dugaan mereka, seorang penjahat membuka pintu dan memergoki mereka.
“Hai mau apa kalian?” Ujar penjahat itu kepada Aliska dan Office Boy seraya menendang kursi yang dipijak Aliska yang sedang berdiri dengan satu kaki yakni satu kakinya yang tidak terluka.
Aliska terjatuh. Namun, berkat itu, perhatian penjahat itu berhasil teralihkan. Office Boy segera mengambil kesempatan itu untuk mengambil kursi lain dan memukul kepala penjahat itu.
Office Boy segera berlari keluar. Penjahat itu berusaha mengejarnya dengan mengabaikan Aliska yang masih tergeletak di dalam ruangan.
Sebuah tembakan pun dilontarkan oleh penjahat itu, namun Office Boy berhasil melolosinya. Office Boy pun sampai di depan pintu keluar rumah sakit dan berhasil membuka pintu tersebut.
Namun naas, tembakan yang dikeluarkan oleh rekan penjahat lainnya berhasil mengenai organ vital Office Boy. Office Boy pun meregang nyawa. Mayatnya tergeletak pas di luar pintu rumah sakit. Di tangan kanannya, terlihat dia memegang alat aneh yang berhasil ditekannya.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!