"MAMA!!"
Suara Isak tangis di sebuah rumah duka seketika berhenti, perhatian orang-orang yang ada di sana kini teralihkan pada sosok gadis dalam balutan dress hitamnya yang baru saja tiba di sana.
"Untuk apa kau kembali kemari? Bukankah ayahmu sendiri yang sudah mengusir-mu?! Keluarlah, karena kedatanganmu di sini tak pernah di harapkan sama sekali!!"
Gadis itu menatap wanita yang berdiri didepannya dengan tatapan menantang. "Apa yang terjadi pada ibuku? Kenapa dia bisa meninggal?" Tanya si gadis meminta penjelasan.
"Kau amnesia ya? Bukankah kau tau sendiri jika ibumu itu sudah lama sakit-sakitan, dan memang dalam keadaan sekarat?"
"Minggir, aku ingin melihat ibuku untuk yang terakhir kalinya!!" Gadis itu mendorong wanita di depannya. Dia menerobos masuk untuk melihat sang ibu untuk yang terakhir kalinya.
Kedua matanya membelalak, dan air matanya tumpah semakin deras mana kala dia melihat ada noda darah pada peti mati ibunya di bagian kepala. Dan membuat keyakinannya semakin besar, jika ibunya bukan tewas karena sakit, melainkan karena di bunuh.
"Menyingkir kau dari sana, kau tidak diijinkan untuk mendekatinya, dasar anak pembaca sial!!"
Tiba-tiba seorang pria menarik si gadis menjauh dari peti mati ibunya lalu mendorongnya keluar, hingga tersungkur di lantai, kedua lututnya terluka dan berdarah karena bergesekan dengan lantai yang keras.
"Pergi, dan jangan pernah menampakkan batang hidungmu lagi di sini, kau..bukan lagi bagian dari keluarga ini!! Dan mulai malam ini, aku memutuskan hubungan ayah dan anak denganmu!!"
Langit malam tiba-tiba menumpahkan tangisnya. Membasahi sekujur tubuh sosok jelita yang kini tampak rapuh tak berdaya. Alam seolah ikut merasakan kepedihan hatinya, turut larut dalam kesedihan yang dirasakannya.
Dengan hati hancur. Gadis itu berjalan tertatih-tatih meninggalkan rumah duka. Niat awalnya untuk membawa jasad ibunya pergi dari sana berakhir sia-sia. Kedatangannya di tolak, bahkan oleh ayahnya sendiri.
Di tengah gejolak hatinya yang hebat. Gadis cantik bernama Hanna itu memutuskan untuk mendatangi sebuah club' malam. Karena hanya di sana dia bisa menemukan ketenangan. Hanna berencana menghabiskan malamnya di sana untuk minum sampai mabuk.
Bruggg...
Hanna menjatuhkan tubuhnya pada aspal yang dingin dan keras. Kedua lututnya terasa lemas seperti kehilangan sel-selnya. Gadis cantik itu menarik kedua kakinya dan membenamkan wajahnya diantara kedua lututnya.
Perih pada hatinya seperti ditaburi garam. Hanya sang ibu satu-satunya yang Hanna miliki, namun secepat angin Tuhan memanggilnya pergi. Bukan kematiannya yang Hanna sesali, namun dibalik kematiannya-lah yang tidak bisa dia terima.
Hanna berani bersumpah, jika sang ibu bukan meninggal karena penyakitnya. Melainkan karena di bunuh oleh istri muda ayahnya dan putri sambungnya.
"Tidak ada gunanya kau terus menangis meratapi kepergian ibumu!!" Sontak Hanna mengangkat kepalanya dan mendapati seorang pemuda berdiri di depannya dengan sebuah payung.
"Rey Xiao?!" Gumamnya tak yakin. Pandangan Hanna sedikit mengabur karena matanya tertutup cairan bening yang menggenang."Kau kah itu?" Sekali lagi dia memastikan.
Pria muda yang di panggilnya Rey Xiao itu menyampirkan sebuah mantel hangat pada tubuh rapuh gadis itu. Tanpa peduli tubuhnya akan basah kuyub, Rey mengangkat tubuh Hanna dan membawanya meninggalkan taman kota.
Hanna terus memperhatikan wajah dingin nan tampan itu. Tidak ada emosi sama sekali, wajahnya stoic dan sorot matanya dingin.
Bertahun-tahun mengenal Rey, tapi tak sekalipun Hanna melihat pemuda ini tersenyum apalagi tertawa. Dan jika boleh jujur, Rey adalah pria paling dingin yang pernah Hanna kenal dan temui di dalam hidupnya.
"Bagaimana kau bisa tau jika aku ada di sini?" Tanya Hanna memecah keheningan.
"Itu tidak penting, dan kapan kau akan berhenti bertingkah bodoh dan tak berotak seperti ini?!"
Sakit!!! Kata-kata Rey seraya menusuk ke dalam jantungnya. Jika saja ini pertama kalinya. Pasti Hanna akan sakit hati padanya, tapi dia sudah mengenal pemuda ini dengan sangat baik. Memang beginilah Rey, dingin, irit bicara dan bermulut tajam.
"CK, dasar patung es, tidak bisa apa sekali saja bicara dengan nada manis dan hangat. Mulutmu terlalu tajam, Tuan Muda!!"
"Berisik!!"
Hanna menghela napas. Sepertinya dia harus memiliki banyak stok sabar untuk menghadapi pemuda dingin dan tak berhati seperti Rey. Tak jarang dia membuat Hanna kesal dan naik darah.
Dan mungkin hanya Hanna satu-satunya gadis yang tahan dengan sikap Rey yang seperti kutub Utara.
"Turunkan aku, Rey." Pinta Hanna.
"Kenapa, supaya bisa melarikan lagi dariku?" Ucap Rey menyela kalimat Hanna.
"Aku tidak melarikan diri darimu!! Hanya saja keadaan yang membuatku tak memungkinkan untuk selalu bersamamu. Lagipula bukankah masih banyak ****** di luaran saja yang bisa kau sewa sebagai pemuas nafsumu?!"
"Itu berbeda, Sayang. Mereka hanya wanita bayaran, sementara kau adalah partner ranjang ku!!"
"Sama saja, toh sama-sama bisa kau tunggangi di atas ranjang!!"
"Kau semakin pandai bicara setelah tiga tahun kabur dariku, Nona Muda!!"
Rey membaringkan tubuh Hanna di jok belakang mobilnya. Wanita itu menyambut baik ciuman Rey dengan mengalungkan kedua tangannya pada leher pemuda itu.
Pemuda itu semakin memperdalam ciumannya dengan mel*mat dan memagut bibir atas bawah Hanna bergantian. Jari-jari Rey kemudian membuka resleting para dress yang membalut tubuhnya, lalu menanggalkannya. Menyisahkan sepasang pakaian d*lam hitam berenda.
"Dingin," rengek Hanna setelah Rey mengakhiri ciumannya.
Rey mengambil sebuah paper bag yang dia simpan di jok depan samping kemudi lalu memberikannya pada Hanna. "Aku sudah menyiapkan gaun untukmu, setelah ini temani aku menghadiri acara peringatan kematian keluargaku."
Hanna mengambil paper bag tersebut dari tangan Rey lalu memakainya. Sebuah dress hitam yang panjangnya hingga menyentuh mata kakinya setengah lengan membalut tubuh rampingnya. Bukan hanya dress, namun juga sepatu dan juga aksesorisnya.
Setelah berpakaian lengkap, Hanna kemudian pindah di samping kanan Rey. Malam ini pemuda itu mengemudi sendiri dan tidak di temani oleh asisten yang biasa menemaninya.
Hanna menatap Rey yang mengemudi tenang disampingnya. Ekspresinya tenang, dan tidak menunjukan ekspresi apapun. Meskipun hampir 5 tahun mengenal Rey, namun tak banyak yang Hanna tau tentang pemuda itu.
Yang Hanna tau, Rey adalah pemuda sebatang kara. Dia kehilangan seluruh keluarganya saat berusia 15 tahun. Tapi Hanna tidak tau apa yang membuat kedua orang tuanya dan kakak perempuannya meninggal.
Hanna tidak ingin melewati batasan dengan bertanya yang menyangkut area pribadi pemuda bermarga Xiao tersebut.
"Kenapa kau terus menatapku?" Tanya Rey mengakhiri keheningan.
Hanna menoleh, membuat iris matanya bersirobok dengan pemuda itu. "Tidak ada," jawabnya singkat. Lalu pandangan Hanna bergulir keluar jendela.
Rey terus memperhatikan wajah cantik wanita itu dari sisi. Wajah Hanna dan mendiang ibunya bak pinang di belah dua. Hanna mengingatkan Rey pada mendiang ibunya saat dia masih muda. Sedangkan dirinya, adalah ayahnya versi muda.
Selanjutnya kebersamaan mereka di warnai keheningan. Tak sepatah kata pun keluar dari bibir Rey maupun Hanna. Semua sibuk dengan kegiatan masing-masing.
-
Bersambung.
Rey menghentikan mobilnya di area Sungai Han. Pemuda itu keluar dari mobilnya diikuti Hanna yang kemudian berdiri disampingnya. Selama beberapa saat, kebersamaan mereka hanya di isi keheningan. Tak sepatah kata pun keluar dari bibir Hanna maupun Rey.
Wanita itu menggulirkan pandangannya pada sosok tampan disampingnya. Ekspresinya datar dan tak ada emosi sama sekali. Hanna mencoba membaca apa yang tengah Rey pikirkan saat ini. Tapi tidak bisa, pikiran pemuda itu memang sangat sulit terbaca.
"Kenapa kau pergi begitu saja tanpa mengatakan apapun padaku?!" Setelah cukup lama diam, akhirnya sebuah pertanyaan terlontar dari bibir Rey.
"Keadaan," jawab Hanna singkat.
"Kenapa kau tidak memberitahuku jika kau ada masalah? Bukankah aku sudah pernah memberitahumu untuk datang padaku jika kau dalam kesulitan."
"Tapi masalah yang aku hadapi tidaklah sesederhana itu, Rey. Karena masalah itu menyangkut keluargaku." Jawab Hanna.
"Jadi selama ini kau tidak pergi keluar negeri dan masih ada di kota ini?" Hanna mengangguk. "Apa alasanmu tidak meminta bantuan dariku saat kau berada dalam kesulitan?"
"Karena aku tidak ingin merepotkan mu." Hanna menatap langsung ke dalam sepasang manik hitam milik Rey.
Rey kembali menatap Hanna, tatapannya lebih serius dari sebelumnya. "Kembalilah menjadi partner ranjang ku, aku akan memberikan banyak keuntungan untukmu." Pinta Rey tanpa mengakhiri kontak matanya.
"Bagaimana jika aku menolak?!"
"Itu artinya kau memilih mati!!"
"Hahaha.." tiba-tiba Hanna tertawa. "Tidak berubah sama sekali. Tetap semenyeramkan dulu!!"
Hanna merubah posisinya. Ia dan Rey saling berhadapan. Wanita itu mengangkat kedua tangannya dan mengalungkan kedua lengannya pada leher pemuda itu. "Aku setuju, asalkan kau menyetujui syarat dariku. Bantu aku membalas dendam pada keluarga Kim."
Rey menangkap wajah Hanna lalu mencium singkat bibir merah tipisnya. "Bukan perkara yang sulit. Jika hanya itu syaratnya, maka aku akan membantumu," kembali Rey mencium bibir Hanna. Kali ini lebih lama dari ciuman mereka sebelumnya.
"Bisakah kau lepaskan aku sekarang? Aku masih harus mencari tempat untuk tinggal. Aku sudah tidak memiliki tempat tinggal lagi, mereka mengusirku dari rumahku sendiri."
"Tinggalkan di Villa milikku. Kau bisa tinggal di sana selama yang kau inginkan. Tentu tidak malam ini, karena malam ini kau harus menemaniku sampai pagi, Sayang. Anggap saja itu sebagai imbalan untukku karena sudah membantumu."
"Bukan hal yang sulit, dan aku akan melakukannya dengan senang hati."
"Kau memang yang terbaik, Baby."
-
Tubuh wanita itu tersentak-senrak ketika pria di atasnya menusukkan sosis beruratnya lebih dalam, hingga menyentuh bibir rah*mnya.
Beberapa tanda merah tampak menghiasi kulit putihnya. Mulai dari leher sampai perutnya. Hasil lukisan yang diciptakan oleh si pria melalui bibir sialan sexy-nya.
"Rey... Uhhh, lebih dalam lagi." Rancau si wanita di tengah kenikmatan yang Rey berikan.
Rey hanya menyeringai dingin. Dia paling menyukai jika partnernya ini sudah mulai mend*sah dan mengeluarkan erangan liarnya. Karena menurut pria itu, hal tersebut sangatlah sexy.
"Hanna, terus sebut namaku, Sayang." Pinta Rey tanpa menghentikan olah raganya.
"Rey... Oh, Rey... Aaaahhh, Rey.. lebih dalam lagi, lebih dalam lagi.."
"Ini sudah dalam, Sayang. Sangat dalam malah. Apa masih tidak begitu terasa, hm?" Ucap Rey sambil memandangi wajah Hanna.
"Milikku terlalu basah, Rey. Sehingga aku tidak bisa terlalu merasakan milikmu." Jawabnya.
"Milikmu keluar terlalu banyak, Baby. Itulah kenapa kau sangat basah." Ucapnya.
"Aaahhh...!! Rey!!'
"Kita keluarkan sama-sama, Sayang. Milikku sudah hampir keluar." Hanna mengangguk.
Mereka berdua pun mengeluarkan miliknya bersama-sama. Rey menyembunyikan wajahnya dipertopangan leher Hanna ketika mengeluarkan miliknya. Itu adalah ronde ketiga mereka malam ini.
"Aaahh." Hanna meringis ketika Rey menarik sosis beruratnya yang masih bersarang di dalam Miss-nya. "Uhh, sakit Rey."
"Hanya sesaat saja, Sayang. Tidurlah kembali, aku mandi dulu." Rey mencium singkat bibir Hanna dan meninggalkannya begitu saja.
Sambil menahan rasa sakit pada bagian Miss-nya. Hanna memunguti semua kain miliknya yang berserakan di lantai lalu memakainya. Wanita itu memutuskan untuk langsung tidur karena terlalu lelah.
-
Hujan yang sempat mengguyur kota sudah lama reda, tapi ruangan kamar ini masih terasa dingin meskipun pendingin ruangan tidak dinyalakan. Rey masih terdiam memandang keluar jendela, sibuk dengan pikirannya.
Ia masih terjaga meskipun jam dinding sudah menunjuk pukul 01.00 dini hari. Rey tak hanya sendiri, disampingnya sosok jelita tengah terlelap dalam tidurnya. Wanita itu terlihat lelah setelah pergulatan panas mereka beberapa saat yang lalu.
Rey beranjak dari duduknya lalu berjalan ke arah jendela dan memandang keluar. Memandang butir–butir hujan yang membasahi kaca jendela kamarnya.
Tidak ada yang istimewa dalam hidupnya. Rey telah kehilangan segalanya di usianya yang baru menginjak angka 15 tahun. Kedua orang tuanya dan kakak perempuannya meninggal secara tragis dalam sebuah kecelakaan pesawat.
Mungkin saja jika hari itu dia jadi ikut pergi bersama mereka, mungkin saat ini dirinya hanya tinggal nama. Tapi sepertinya Tuhan masih sangat menyayanginya.
Rey mendesah pelan. Ia masih bisa mengingat dengan sangat baik. Saat malam dimana Hanna tiba-tiba berjalan pergi tanpa menoleh lagi. Itu adalah pertemuan mereka yang terakhir kalinya. Hanna meninggal selama 3 tahun dari hidupnya.
Dan sejak malam itu, Hanna tidak pernah datang ke club lagi apalagi menemuinya, dan Rey berusaha bersikap seolah tidak pernah terjadi apapun. Namun sulit, kepergian wanita itu membawa pengaruh besar dalam hidup Rey.
Tapi, hampir setiap malam ia tersiksa. Seakan-akan dia masih bisa mendengar suaranya yang menggoda.
Terasa menakutkan, namun ada hal aneh yang membuat Rey selalu ingin mengajaknya berbicara dengan suara–suara itu, menyentuhkan jemarinya ke wajah suara–suara itu, merasakannya dengan nafsu yang terus tumbuh dan memagutnya sesekali, lalu diakhiri dengan rintih yang tertahan.
"Rey,"
Pemuda itu menoleh setelah mendengar suara bak lonceng yang masuk dan berkaur di dalam telinganya. Sosok Hanna menghampirinya, wanita itu terlihat sexy dengan balutan kemeja putih milik Rey.
Rey menyambut Hanna dengan sebuah ciuman panjang yang terasa begitu memabukkan. Tidak hanya sekedar mel*mat saja, namun lidah mereka juga bergulat panas dan liar. Tapi sayangnya ciuman mereka hanya berlangsung beberapa detik saja.
"Kenapa bangun? Dan kenapa kau memakai kemejaku?" Tanya Rey lalu menempatkan Hanna dipangkuannya.
"Kenapa? Apakah tidak boleh? Aku akan melepaskannya sekarang juga."
"Tidak perlu. Lagipula kapan aku mengatakan tidak boleh? Milikku adalah milikmu, begitupula sebaliknya."
"Aku perlu uang untuk membeli pakaian. Mereka tidak hanya mengusirku, tapi juga membakar semua barang-barang milikku. Pakaian, sepatu, tas, make up dan data-data penting termasuk kartu tanda penduduk ku."
"Itu bukan masalah yang besar. Serahkan semuanya padaku." Ucap Rey, sekali lagi dia mencium bibir Hanna. "Ini sudah lewat tengah malam. Ayo kita tidur." Hanna mengangguk.
"Baiklah."
-
Bersambung.
Halo riders, kali ini Author datang bawa penjelasan.
Mungkin diantara kalian banyak yang bertanya-tanya kemana Aster, Nathan dan Laurent? Kenapa orang tua Rey sudah meninggal, padahal ini sekuel dari "Hot Daddy"
Bukannya Author Lusica jahat ya, karena membunuh 2 karakter penting dalam cerita sebelumnya. Tapi di new ini, Author mau fokus sama kisah Rey dan Hanna. Dimana yang awalnya mereka hanya saling memanfaatkan satu sama lain, hingga akhirnya tumbuhlah cinta di hati mereka.
Hanna yang ditelantarkan oleh ayah kandungnya sendiri, dan Rey yang terluka karena kehilangan orang-orang tercintanya. Di sinilah Hanna berperan penting dalam merubah pribadi Rey yang dingin menjadi hangat penyayang.
Pasti ada yang bertanya-tanya, kenapa muka Hanna bisa mirip Aster semasa muda, dan Rey yang jadi foto copy Nathan versi muda. Supaya Author-nya lebih mudah dapat feel dan ceritanya bisa terus berjalan sampai ending.
Buat pecinta Nathan dan Aster, diharapkan tidak kecewa karena mereka dimatikan disekuelnya.
Doain saja Author-nya berubah pikiran dan menghidupkan kembali karakter Nathan-Aster dipertengah cerita.
Ikuti terus ceritanya karena di Novel ini banyak adegan panasnya. Sekali lagi Author minta maaf dan mohon pengertiannya. 🙏🙏
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!