NovelToon NovelToon

Madness

Blurb & Disclaimer

Nathanael Axelle adalah kaum Vampir yang telah ada di dunia selama lebih dari 400 tahun yang lalu. Seumur hidupnya, Nathanael hanya ingin mati sampai ia bertemu dengan seorang wanita yang bernama Alina Johan. Sosok Alina yang biasa saja, tidak menutupi kenyataan bahwa wanita itu memiliki aroma tubuh yang dapat membuat Nathanael menjadi gila, hanya dalam hitungan detik!

Akankan Nathanael menerima dan larut dalam pesona Alina, atau justru memilih untuk menghidar dan tetap berada dalam lubang kegelapan yang selama ini melingkupinya?

OST. Muse - Madness

***

DISCLAIMER!

Jika ada kesamaan nama tokoh, karakter atau alur cerita dengan karya lain atau pun kondisi yang sebenarnya, maka itu semua hanya kebetulan dan tidak disengaja.

Author sudah membaca dan menonton ratusan, mungkin ribuan film, drama, novel baik dari karya anak bangsa maupun luar, online maupun offline, sehingga adanya kemiripan dari beberapa referensi yang sudah di baca adalah hal yang sulit untuk dihindari.

Sedapat mungkin Author tidak mengambil bahan atau referensi dari karya seni apapun secara spesifik. Dan karya ini adalah murni dari pemikiran sendiri, dan dalam prosesnya sama sekali tidak ada studi yang secara khusus dilakukan.

Apabila ada yang merasa berkeberatan dengan karya ini, maka harap dapat menyampaikannya dengan baik dan disertai dengan dasar yang kuat, karena Author pun secara terbuka bersedia untuk menerima masukan dan kritik, yang sifatnya membangun.

Adanya kritikan yang bersifat SARA atau pun mem-bash dan menyerang secara langsung atau pun tidak langsung, tidak akan pernah ditanggapi karena tidak akan ada gunanya.

Terima kasih dan selamat membaca.

***

Chapter 1

Tok tok.

Ketukan pelan di pintu, membuat Nate yang sedang melihat laptopnya mengangkat kepala dan langsung bersitatap dengan asisten pribadinya, Marcus.

Marcus memiliki wajah dingin, tanpa ekspresi dengan bibir yang tipis. Pria yang jarang berbicara dan bila tidak perlu, ia hanya akan berdiri di belakang atasannya, mengawasi.

Melihat Marcus masuk ke ruangan, Nate melepaskan kacamata bacanya.

"Marcus." Sapa Nate.

Tanpa banyak bicara, Marcus menyerahkan dokumen yang tadi sedang dipegangnya.

Nate mengenakan kembali kacamatanya, dan secara perlahan membaca dokumen yang ada di tangannya.

Tidak berapa lama kemudian, matanya naik, memandang asistennya dari balik map yang sedang di pegangnya.

"Kamu yakin ini orangnya?"

"Benar Tuan. Saya sudah mengeceknya beberapa kali. Memang dia orangnya."

Menghela nafas, Nate meletakkan map itu di atas meja dan meraih lembaran lain yang ada di dalamnya. Ia mulai tampak mengernyitkan dahinya.

"Kamu yakin Marc? Dia terlihat masih muda sekali."

Mendengar komentar itu, Marcus menyerahkan dokumen lain yang tadinya masih digenggamnya.

Alis Nate naik, tapi pria itu tetap menerimanya.

"Apa ini?" Tanyanya pelan.

"Biodata yang bersangkutan."

Marcus memperhatikan atasannya membuka dokumen tersebut dan perubahan ekspresinya secara perlahan.

"Wow."

Pria di depannya secara perlahan meletakkan dokumen itu di meja, membuka kacamata bacanya dan meletakkannya di atas meja.

"Gadis ini... Maksudku, wanita ini. Benarkah dia orang yang 1 tahun lalu berhasil membongkar kejadian fraud yang sudah kita incar sebelumnya?"

Ekspresi Nate tampak kagum dan tersenyum ketika membaca profile wanita di depannya.

"Benar."

Marcus sedikit terkejut, ketika melihat senyum atasannya perlahan melebar, sampai memperlihatkan deretan giginya yang putih dan rata.

"Aku sama sekali tidak menyangka kalau dialah yang kemarin berhasil membanting Lionel di parkiran. Sungguh wanita yang luar biasa."

Nate tiba-tiba tertawa keras. Rasanya sudah lama sekali ia tidak menemukan hal yang menghibur seperti ini, sepanjang hidupnya yang cukup lama.

Puas tertawa, pria itu berusaha mengendalikan dirinya dan memandang Marcus kembali.

"Apa pembelaan Lionel?"

"Katanya dia hanya menjalankan tugas."

Mendengarnya, Nate mendengus sinis. Ia menempelkan punggungnya pada kursi kerjanya.

"Menjalankan tugas? Kejadiannya di parkiran, Marc. Menurutmu?"

"Menurut saya, itu alasan Lionel saja. Saat itu, jam kerjanya sudah habis."

Nate hanya menganggukkan kepalanya sekali. Ia kembali menunduk, melihat lagi dokumen yang menarik minatnya.

"Tapi?"

"Tapi masalahnya, kejadian itu disaksikan oleh teman-teman Lionel."

"Dan?"

"Dan mereka bersedia bersaksi."

Nate mendongak, menatap tajam Marcus. Menunggu kelanjutannya.

"Bersaksi untuk membela temannya." Tutup Marcus tegas.

Atasannya menghela nafas dan bersandar ke kursi kerjanya. Tiba-tiba pria itu terlihat lelah.

"Masalah ini sebenarnya bisa kamu selesaikan sendiri, Marc. Terus kenapa aku harus tahu?"

Nate memijat kepalanya yang tiba-tiba sakit dengan sedikit kencang. Sudah waktunya ia 'makan' kembali. Badannya sudah mulai terasa lemas dan cepat lelah akhir-akhir ini, karena ia menundanya terlalu lama.

"Tuan, Anda tidak apa-apa?"

Marcus cukup khawatir dengan atasannya, mengingat tabiat pria itu yang sering menunda-nunda kebutuhannya sendiri.

Setelah sakitnya sedikit mereda, Nate menghela nafasnya panjang dan berbicara kembali sambil tetap memijit keningnya.

"Jadi?"

Ia masih menuntut jawaban dari asistennya.

Marcus sedikit ragu dalam menjawab, tapi akhirnya pria itu berkata, "Ada yang sedikit aneh dengan wanita itu."

Dari balik tangan yang masih memegang keningnya, Nate menatap Marcus.

"Aneh?"

Marcus mengerjapkan matanya. Tampak sedikit bingung memilih kata-katanya.

"Saya pernah bertemu dengannya. Tanpa sengaja. Di lift."

Kembali menyenderkan tubuhnya di kursi, Nate menunggu Marcus melanjutkan ceritanya.

"Saat itu, saya mencium aroma V. Meski tidak terlalu kuat."

Nate bangkit perlahan dari duduknya. Ia harus minum sesuatu. Kondisi lapar seperti ini membuatnya cenderung mudah haus.

"Tuan butuh minum?"

Pria itu mengibaskan tangan pada asistennya.

"Tidak apa Marc. Biar aku ambil sendiri."

Nate meracik teh hijau di meja pantry pribadinya. Ia membutuhkan teh hijau untuk meredakan rasa asam di mulutnya saat lapar.

Pria itu tidak pernah mempercayai orang lain membuat teh hijau untuknya, karena tidak ada yang cocok dengan seleranya.

Setelah memastikan racikannya cocok dengan yang diinginkannya, Nate beralih duduk di sofa.

"Duduklah Marc."

Pria besar itu pun duduk di seberang atasannya, memperhatikannya. Dalam hati, ia kembali mengagumi pria yang sedang berada di depannya.

Nate memiliki tinggi tubuh dan postur yang hampir sama dengan dirinya. Sekilas, mereka akan terlihat seperti orang yang sama. Tapi pembawaan pria di seberangnya ini terlihat elegan dan ningrat, menunjukkan dari mana ia berasal.

Marcus sudah cukup lama mengikuti Nate. Banyak hal-hal baik yang bisa ia pelajari dari atasannya ini dan coba ia terapkan dalam kehidupannya sendiri.

Dalam hatinya, pria itu bersumpah untuk tetap setia pada atasannya sampai ia mati nanti.

Setelah meletakkan cangkirnya di meja, Nate bertanya pelan, "Kamu yakin Marc? Mungkin ia baru bertemu dengan seorang kaum V di luar sana."

"Saya tidak yakin Tuan."

"Apa yang membuatmu tidak yakin?"

Atasannya adalah pria yang sangat sabar. Ia akan berusaha menggali sedetail mungkin suatu informasi dan tidak terburu-buru dalam mengambil keputusan. Membuatnya dapat menjadi sosok pimpinan yang disegani dalam jangka waktu yang sangat lama.

"Karena saya dapat mencium aroma V dari tubuhnya langsung, dan bukan dari barang yang dikenakannya."

Alis Nate mulai berkerut. Ia percaya pada penjelasan asistennya yang sudah lama mengikutinya ini. Tidak mungkin Marcus dapat salah mengenali.

"Menarik."

Pria itu mengelus dagunya yang bersih tercukur dengan pelan. Berfikir.

"Bagaimana dengan bau tubuhnya sendiri?"

"Baunya normal. Seperti wanita pada umumnya. Tidak ada yang aneh."

Sambil tetap memegang dagunya, Nate memandang asistennya tajam.

"Justru disitulah anehnya, Marc."

Marcus sedikit kaget dengan perkataan atasannya. Dia melakukan kesalahan.

"Maksud Anda..."

"Tidak ada kaum V yang memiliki bau tubuh normal Marc. Mereka hanya memiliki 1 bau. Tidak ada yang lainnya."

Pria di depannya baru menyadari hal yang dikatakan atasannya. Ia tertegun.

"Anda benar."

"Aku tertarik padanya. Atur janji temu dengannya."

Terkejut, Marcus memandang atasannya. Selama ini, Nate hampir tidak pernah mau bertemu secara langsung dengan orang lain terkecuali para petinggi perusahaan dalam meeting penting, dan ini dilakukan secara virtual. Ia selalu mengandalkan asistennya atau orang lain yang dapat mewakili dirinya untuk hal-hal yang lain.

Tidak pernah ada satu pun karyawannya dalam setiap cabang yang ada di seluruh dunia pernah mengetahui sosok N. Axelle yang sebenarnya. Tidak ada yang pernah tahu apakah pemilik perusahaan mereka adalah pria atau wanita, tua atau muda dan sudah berapa generasi perusahaan ini dijalankan.

Permintaan Nate untuk bertemu dengan seseorang yang sama sekali asing, membuat Marcus bertanya-tanya maksud atasannya.

"Apa yang harus saya katakan padanya? Wanita itu bukan orang bodoh."

Sedikit berfikir, Nate akhirnya memutuskan.

"Katakan saja, pihak IR mau bertemu dengannya."

Pria itu menyeringai. "Aku ingin tahu seberapa besar keberaniannya."

Chapter 2

Beberapa hari kemudian, Nate telah berdiri di luar salah satu ruangan private meeting yang ada di lantainya.

Dari balik kaca yang buram, ia dapat melihat sosok seorang wanita yang sedang duduk membelakanginya.

Wanita itu menguncir rambut ikalnya yang berwarna coklat kemerahan, yang untaiannya menyentuh tengah punggungnya. Rambut yang cukup panjang.

Nate mengetuk pintu dengan pelan, dan membukanya perlahan.

Medengar suara ketukan di belakangnya, wanita itu berbalik dan langsung berdiri tegak.

Sedikit terpana, pria itu memperhatikan sosok di depannya. Benar seperti kata Marcus, ia dapat mencium aroma V yang cukup kuat dari wanita di depannya ini. Siapa dia?

Berusaha mengendalikan reaksi tubuhnya yang entah kenapa mulai terasa liar. Pria itu menyapa ramah.

"Selamat siang. Anda dengan Alina Johan?"

Lin mengangguk kaku. "Benar. Saya sendiri."

"Kenalkan, nama saya Nathanael. Anda dapat memanggil saya Nate." Nate mengulurkan tangannya.

Tepat ketika Lin menggenggam tangan Nate dengan erat, aliran listrik yang kuat tampak menyerang pria itu. Membuat tubuhnya sedikit bergetar.

"Anda tidak apa-apa?"

Lin bertanya ketika merasakan tubuh pria di depannya bergetar. Ia sedikit khawatir.

Apa ini?

Pikiran Nate sedikit kacau. Baru sekarang ia merasakan peristiwa seperti ini, selama rentang masa hidupnya yang sangat panjang.

Dengan perlahan, pria itu melepaskan genggaman tangannya. Ia berusaha sekuat tenaga mengendalikan naluri liar dalam tubuhnya yang mulai meronta-ronta. Ada apa dengan dirinya?

"Tidak apa. Silahkan duduk kembali."

Tidak sengaja, Lin mengibaskan rambut panjangnya, menyentuh pipi Nate. Dan kibasan angin yang pelan itu membuat Nate dapat mencium aroma tubuh Lin yang sebenarnya.

Saat itulah, Nate merasa pertahanan dirinya roboh. Ia mulai merasakan giginya memanjang dan matanya menghitam. Bukan untuk 'memakan' wanita ini, tapi untuk menidurinya. Ia merasakan hasrat yang tidak terkontrol pada wanita yang baru ditemuinya ini.

Ya Tuhan.

Lin yang sedang duduk membelakangi, tidak menyadari tatapan lapar pria di belakangnya.

Tanpa diinginkannya, tangan Nate bergerak mengelus leher Lin dan mulai masuk ke dalam kerah kemejanya, menangkup area dadanya.

Lin membeku dalam duduknya. Kekagetannya terhadap peristiwa yang tidak terduga ini, membuat tubuhnya lumpuh sementara.

Tersadar ketika pria kurang ajar itu mulai mengelus dan meremas bagian tubuhnya, membuat Lin segera memegang pergelangan tangan Nate dan bersiap membantingnya ala judo.

"Kurang ajar!"

Sekuat tenaga, wanita itu berusaha membanting badan besar Nate ke lantai.

Nate yang tersadar dari kegilaannya, langsung memposisikan tubuhnya yang membuat ia tidak menghantam lantai tapi langsung dapat bergerak di udara dan mendarat dengan aman.

Setelah itu, Nate langsung mundur dan menabrak dinding kaca di belakangnya. Ia perlu menghindar dari wanita ini. Dia berbahaya.

"Saya akan melaporkan Anda!"

LIn berteriak marah. Kenapa para pria suka sekali melecehkannya hanya karena dia seorang wanita. Kemarin Lionel, dan sekarang pria yang sama sekali tidak dikenalnya. Apa yang salah dengan dirinya?

Nate yang di depannya sama sekali belum bisa berkata-kata. Ia masih membutuhkan waktu untuk mengembalikan kontrol dirinya yang masih porak poranda karena wanita ini.

Melihat pria di depannya hanya diam. Lin justru malah mendekatinya, mengancam.

"Anda tadi bilang perwakilan dari bagian apa? Saya akan menuntut Anda!"

"Jangan mendekat..."

Mendengar suara yang lemah keluar dari pria di depannya, otomatis membuat Lin berhenti.

Pria di depannya tampak bekeringat, dan Lin dapat melihat warna matanya yang tadinya kelabu muda menjadi menghitam, seperti tertutup pupilnya.

Lelaki di depannya tampak ketakutan melihatnya. Tubuhnya menempel erat dengan dinding di belakangnya. HIdungnya tampak kembang kempis, dan dadanya naik turun, berusaha mengatur nafasnya.

Ada apa dengan pria ini?

Pria itu bergeser, semakin menjauhi Lin dengan kedua lengan menempel ke dinding. Saat ini, Lin merasa bahwa orang yang telah menjadi korban adalah pria itu dan bukan dirinya.

"Lebih baik kamu keluar sekarang."

Akhirnya pria itu berkata pelan. Mencoba mengarahkan Lin yang posisinya memang lebih dekat dengan pintu keluar.

"Apa! Saya belum selesai dengan Anda! Anda dari-"

"Apakah kamu mau saya serang lagi?"

Pria itu memandang Lin dengan tajam di matanya. Menantangnya.

Padangan Lin tampak tidak percaya mendengar perkataan pria di depannya ini. Benar-benar orang brengsek!

Sambil menggertakan gigi, wanita itu melangkahkan kaki menuju pintu.

"Saya tidak akan melupakan ini!"

Setelah itu, Lin langsung keluar dan membanting pintu di belakangnya dengan keras.

Memastikan bahwa Lin sudah masuk ke dalam lift, tubuh Nate akhirnya merosot ke lantai.

Ia berusaha mengembalikan kontrol dirinya yang tadi terbang entah kemana. Wanita itu dengan mudah membuatnya menjadi gila hanya dalam hitungan detik.

Selama hidupnya, peristiwa ini sama sekali belum pernah terjadi. Semenjak menjadi dirinya yang sekarang, ia tidak pernah merasakan ketertarikan pada siapa pun. Semenjak isterinya tewas, tidak sekali pun ia melirik dan menyentuh wanita lain. Sampai saat ini.

Sementara itu di dalam lift, Lin mencatat wajah pria yang telah melecehkannya tadi.

Tinggi pria itu jauh di atas rata-rata, badannya besar tapi proposional membuatnya terlihat langsing dengan jasnya. Pakaiannya pun tampak mahal dan berkelas.

Pria berambut hitam itu memiliki struktur wajah yang kuat, seperti bangsawan. Warna matanya kelabu muda, membuat pupil dan garis bola matanya yang hitam terceta jelas.

Secara umum, gambarannya tidak menandakan sebagai pelaku kejahatan seksual. Karena pria itu seharusnya dapat dengan mudah mendapatkan wanita mana pun.

Lin mencoba mengingat-ingat, apakah ia pernah bertemu dengan pria bertampang seperti itu sebelumnya. Pria dengan penampilan seperti itu seharusnya mudah diingat, dan banyak orang yang akan membicarakannya.

Ia akan menanyakannya pada temannya di bagian HC nanti. Seharusnya dengan sedikit rayuan donut dan kopi, temannya pasti mau membantunya mencari karyawan dengan nama Nathanael. Tunggu saja kamu nanti, brengsek!

Kembali ke ruangan kantornya, Nate berniat mengambil masa hibernasinya sekarang. Sepertinya karena lapar, ia tidak bisa mengontrol dirinya dengan baik.

Ia segera menghubungi Marcus melalui intercom di mejanya.

"Marcus, tolong ke ruanganku sekarang."

Nate mulai membereskan laptop di mejanya. Lebih baik ia segera pulang dan beristirahat. Sudah beberapa bulan ini ia menahan rasa laparnya, yang membuatnya melakukan kegilaan seperti tadi.

Terdengar ketukan pelan di pintu dan Marcus, asistennya pun masuk.

"Marc, kamu sudah memesankan 'makanan' untukku?"

"Sudah Tuan. Semuanya sudah ada di rumah, seperti biasanya."

Ragu-ragu, Marcus berkata, "Tuan, apa tidak sebaiknya Anda menyimpan lebih banyak-"

"Aku tidak mau menyimpan 'makanan' lebih banyak di rumah Marc. Kamu tahu sendiri, kalau bisa, aku bahkan tidak akan pernah mau memakannya."

Menghela nafas, asistennya mengangguk. "Saya mengerti."

Nate berdiri dari duduknya dan bersiap untuk keluar ruangan ketika tiba-tiba ia berbalik.

"Ada yang mau aku tanyakan Marc."

"Apa itu Tuan?"

"Mengenai gadis yang tadi. Alina Johan."

Marcus menunggu pertanyaan dari atasannya. Sejujurnya, ia juga penasaran dengan hasil pertemuan mereka berdua.

"Kamu bilang pernah 1 lift dengannya?"

"Benar Tuan."

"Saat itu, apa yang kamu rasakan?"

Alis Marcus berkerut dalam. Ia tidak mengerti pertanyaan atasannya.

"Maaf. Tapi saya kurang mengerti maksud Anda."

"Maksudku, apakah kamu merasakan sesuatu? Seperti ketika kamu bertemu wanita V?"

Asistennya menggeleng pelan.

"Tidak Tuan. Seperti yang saya bilang sebelumnya, saya hanya dapat mencium aroma V samar dari dirinya dan sisanya, adalah bau tubuhnya sendiri."

Berusaha menekan keterkejutannya, Nate kembali bertanya untuk mengkonfirmasi.

"Jadi maksudmu, kamu tidak merasakan ingin menidurinya atau melakukan hal-hal semacam itu padanya?"

"Sama sekali tidak."

Terdiam, Nate berusaha menelaah situasi ini. Berarti pengaruh wanita itu hanya berlaku padanya saja. Ia semakin penasaran dengan sosok Alina Johan.

"Marc, tolong selidiki lebih dalam tentang wanita itu."

Nate menepuk bahu asistennya pelan.

"Lakukan tanpa diketahui orang lain. Aku akan cuti 1 minggu ini seperti biasa."

Marcus mengangguk dengan permintaan dari atasannya. "Baik Tuan."

Setelah itu, mereka berdua naik ke lantai paling atas menuju landasan helipad di gedung itu. Marcus memandang kepergian atasannya dan berfikir. Sebenarnya apa yang terjadi tadi?

Sementara itu di salah satu ruangan kepala bagian HC, Lin sedang merayu temannya bernama Lucy untuk mau membantunya.

"Ayolah Luce, tolong aku. Ini sudah aku bawakan donut dan kopi kesukaanmu."

Lin memperlihatkan bungkusan upeti pada temannya, sambil menyengir lebar.

"Lin, aku bukannya tidak mau membantumu. Tapi aku sedang sibuk memeriksa rekapan untuk penilaian karyawan akhir tahun ini. Kamu lihat sendiri kan?"

Lin memandang meja kerja temannya yang penuh dengan berkas. Ia merasa bersalah.

Ia pun akhirnya meletakkan bungkusan itu di sudut meja lain, agar tidak mengganggu pekerjaan temannya.

"Ya, kamu benar. Maafkan aku."

Dengan lesu, ia pun berbalik, berniat keluar dari ruangan temannya.

"Tunggu Lin."

Berbalik, Lin memandang temannya dengan pandangan bertanya.

Menghela nafas, Lucy menyenderkan kepalanya di kursi kerjanya.

"Ambil kursi yang disana. Duduklah di sampingku."

Lin mengerjapkan matanya, hatinya gembira. "Kamu yakin?"

Lucy mendelik pada temannya. "Kamu bilang orangnya ganteng kan?"

Dahi Lin berkerut dalam. "Aku tidak pernah mengatakan dia ganteng Luce-"

"Tapi tadi kamu mengatakan kalau wajahnya terlihat aristokrat dan badannya tinggi."

"Memang benar."

"Berarti ganteng kan?"

Tidak ingin mendebat temannya, Lin hanya bisa menyetujuinya. Sejujurnya, Lin mengakui kalau pria itu memang cukup ganteng untuk menjadi bintang film.

"Ya, gantenglah."

"Oke. Ayo kita cari tahu siapa dia."

Bersemangat keduanya mencari seluruh karyawan pria bernama Nathanael di seluruh perusahaan. Mereka bahkan mencari di keseluruhan cabang yang ada di dunia dan hasilnya nihil. Beberapa pria yang bernama sama, tidak memiliki ciri fisik seperti yang dicari Lin.

"Kamu yakin namanya Nathanael, Lin?"

"Aku yakin Luce. Dia bahkan meminta aku memanggilnya dengan sebutan Nate."

"Apa nama belakangnya?"

Saat itu, Lin baru menyadari kalau pria itu tidak pernah menyebutkan nama belakangnya.

"Dia tidak menyebutkannya."

Menghembuskan nafas keras, Lucy menghempaskan badannya ke punggung kursi.

"Akan sulit mencarinya Lin. Bahkan dari database yang ada, nama yang keluar pun sedikit."

Lin mengepalkan tangannya. Ia mulai merasa sangat marah pada pria asing itu.

"O ya, seingatku katanya dia perwakilan dari IR."

"IR? Industrial Relations?" Alis Lucy berkerut.

"Ya."

Lucy kembali melakukan pencariannya dan hasilnya pun sama.

"Kamu lihat sendiri Lin, tidak ada yang namanya Nathanael bagian IR, di mana pun."

Lucy memandang Lin dengan intens. "Kalian bertemu dimana?"

"Di lantai 60. Di salah satu ruangan private meeting di sana."

"Lantai 60?" Alis Lucy terangkat.

"Kenapa?"

"Kamu memang tidak tahu Lin? Lantai itu khusus untuk direksi. Tidak ada yang pernah diijinkan untuk meeting di sana kecuali direksi."

Lin mengerutkan keningnya. "Ya, aku memang pernah dengar. Tapi tadinya kupikir-"

"Kalau dia sampai bisa masuk ke sana, berarti dia orang penting Lin."

Temannya memandang Lin intens.

"Sebenarnya apa yang terjadi?"

Wanita itu menggigiti bibirnya, sebelum menjawab dengan rasa marah tertahan.

"Dia melecehkanku."

"Lagi?" Lucy cukup terkejut. Ada apa dengan temannya dan pelecehan?

"Ini sudah kedua kalinya dalam bulan yang sama, Lin. Dan untuk yang pertama, buktinya sebenarnya sudah ada, hanya saksimu tidak kuat."

Lucy memandang temannya dengan kasihan.

"Bagaimana dengan yang ini?"

Wanita di depannya menggeleng pelan.

"Terjadi tiba-tiba. Aku juga tidak menyangka. Kami baru saling berkenalan dan mendadak, pria kurang ajar itu memegang dadaku."

"Tunggu. Maksudmu dia tidak terlihat merayumu atau semacamnya, seperti Lionel dulu?"

"Tidak. Dia sangat sopan. Sama sekali tidak ada tanda-tanda kalau dia akan menyerangku."

"Lalu?"

"Aku membantingnya."

Mau tidak mau, Lucy tertawa meski ia tahu cerita temannya tidak lucu sama sekali.

"Maaf. Tapi berarti, kamu sudah membuat dia babak belur kan?"

Lin mengepalkan tangannya dan menggeleng.

"Tidak. Entah bagaimana dia bisa menghindar, dan membuatnya tidak terbanting di lantai."

"Wow."

"Kenapa?"

"Baru kali ini ada orang yang berhasil menghindarimu Lin. Aku harus kagum pada pria itu."

Sejenak Lin tampak berfikir. Benar juga. Selama ia bekerja di perusahaan, sudah beberapa kali ia diminta menjadi pelatih judo, terutama bagi para wanita untuk melindungi diri. Dan saat sparring, tidak pernah sekalipun ada seseorang, pria atau wanita, yang bisa mengalahkan atau menghindari serangannya.

"Sepertinya akan sia-sia mencarinya Lin."

"Kenapa kamu bilang begitu Luce?"

"Yah. Pertama, kamu tidak tahu nama lengkapnya. Kedua, kamu bahkan tidak tahu dia dari bagian apa."

Menyadari hal itu, membuat badan Lin melemas.

"Tapi yang membuatku khawatir adalah, adanya kemungkinan dia orang penting Lin. Jadi mungkin akan sulit bagimu mempermasalahkan hal ini nanti."

Mata Lin mulai berkaca-kaca. Ia benar-benar sangat marah pada pria itu sekarang. Setidaknya dengan Lionel, ia sudah mendapat kepuasan dengan menghajarnya sampai babak belur.

Kasihan melihat temannya, Lucy coba memberikan alternatif lain.

"Bagaimana kalau kamu coba menghadap Pak Marcus?"

"Pak Marcus? Maksudnya asisten Presdir perusahaan?"

"Ya. Meski orangnya terlihat dingin, tapi ia cukup memperhatikan hal-hal seperti ini."

Lucy mulai mengembalikan tampilan layarannya ke semula, sebelum Lin datang.

"Dulu pernah ada keluarga karyawan yang memerlukan biaya banyak untuk operasi jantung, dan ketika ia menghadap Pak Marcus, beliau langsung menolongnya tanpa banyak bertanya."

Ia menoleh pada Lin. "Siapa tahu ia bisa membantumu Lin."

Medengar masukan itu, Lin pun memutuskan akan coba menemui Pak Marcus.

"Baiklah. Sepertinya aku akan coba untuk berbicara padanya."

"Sebaiknya kamu membuat janji temu dulu melalui sekretarisnya."

Gembira, Lin memeluk temannya. "Terima kasih Luce. Kamu mau membantuku."

Tersenyum, Lucy pun balas memeluknya.

"Sama-sama. Sekarang keluarlah. Kamu sudah banyak membuang waktuku hari ini."

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!