NovelToon NovelToon

Pernikahan Yang Tidak Direncanakan

Kembali Ke Indonesia

Suara dering ponsel menggema di dalam taksi, seseorang yang sedang mengemudi tidak lain adalah supir taksi sesekali melirik kaca spion menatap seseorang yang sedang duduk di belakang. Seseorang lelaki muda tampan memakai kemeja flanel berwarna navy tanpa dikancing serta dipadukan kaos berwarna hitam di dalamnya dengan celana jeans berwarna senada dengan kamera DSLR merek ternama selalu melingkar di lehernya menjadi ciri khasnya yang baru saja dijemputnya dari bandara. Lelaki bertubuh tinggi semampai dengan berat 70 kg dan tinggi 175 cm, berkulit putih dengan wajah oval serta model rambut comma begitu santai tampa menghiraukan suara ponsel yang terus berdering sedari tadi. Sudah lima kali suara ponselnya berbunyi namun dirinya mengabaikan dan memilih untuk tidur dengan tenang bersandar sambil memainkan kameranya. Namun sayang sepertinya suara dering ponsel lelaki sangat mengganggu supir taksi yang sedang menyetir.

"Maaf, Mas. Ponselnya sedari tadi berbunyi," tegur supir taksi memberitahu dengan nada sedikit ragu dan ketakutan.

Bagaimana tidak merasa takut sedari tadi lelaki dengan wajah datar dan dingin terlihat diam saja tanpa banyak bicara dengan wajah yang serius hanya tatapan mata yang tajam seakan menjadi pengganti ucapannya. Deg, mendengar apa yang dibicarakan oleh supir taksi itu membuat lelaki yang sedari tadi sedang fokus melihat kamera DSLR merek ternama di tangannya kini melirik menatap kaca spion depan. Tatapannya tajam dan terkesan sini, sepertinya supir taksi salah bicara dan pastinya dirinya akan kena amarah penumpang itu.

"Bapak fokus menyetir saja jangan hiraukan dering ponselku," tandasnya sambil terus memegang kamera DSLR itu tanpa dilepas.

Tepat apa yang dipikirkan oleh supir taksi jika dirinya akan mendapatkan ucapan yang tidak enak didengar dari penumpangnya dan lelaki setengah baya itu tidak bisa berbuat apa-apa.

"Tapi dering ponsel Anda mengganggu konsentrasi, Mas," balasnya lagi tidak mau kalah dengan pandangan sesekali melirik ke arah lelaki itu.

Tanpa banyak bicara degan cepat lelaki itu menyimpan kamera DSLR di atas pangkuannya dan mengambil ponsel mahal miliknya yang berada di saku celana sebelah kanannya. Saat dirinya hendak mematikan ponselnya kembali ada panggilan dan kini adalah panggilan yang tidak bisa diabaikan. Panggilan dari sang mama. Sesaat lelaki bermata indah menatap sebentar layar ponselnya seraya memejamkan matanya sejenak sambil menarik napas panjang. Sikap tenang ditunjukan saat mengangkat telepon dengan suara yang datar dan lembut.

"Halo, Ma," sapa lelaki itu sambil mengangkat telepon dengan nada lembut.

"BARA! Dimana kamu?" terdengar suara yang sedikit meninggi dan ketus di ujung telepon sana siapa lagi jika itu bukan Gladis Dwi Hadinata.

Suara Gladis menggema di telinga dengan cepat lelaki tampan menjauhkan ponsel miliknya dari telinga sebelah kirinya karena suara sang mama membuat telinganya sedikit sakit.

"Di jalan, Ma," jawab lelaki yang bernama Bara kembali mendekatkan ponsel di telinganya saat tidak mendengar suara teriakan lagi dari ujung telepon sana.

"Pak Dirga menyusul kamu di bandara tapi kamu nggak ada," ucap Gladis masih dengan nada sinis dan kesalnya karena Bara pulang lebih dulu tanpa menunggu Pak Dirga supir pribadi keluarga Hadinata.

"Mama tahu aku menunggu dua jam di sana. Memangnya aku nggak kesal," tandas Bara mencoba membela diri.

Ya, memang benar Bara sudah menunggunya hampir dua jam di bandaranya tapi belum juga ada yang menjemput sesuai janjinya. Sampai Bara membeli tiga cup kopi namun belum juga ada yang datang menjemputnya.

"Sekarang kamu di mana? Cepat datang ke rumah sakit yang sudah Mama kirim lewat pesan dan temui Papa." perintah mamanya mencoba menghindar dari apa yang baru saja Bara ucapkan.

"Aku dijalan, Ma. Jalan arah pulang."

"Kamu cepat ke rumah sakit! Jangan langsung pulang!"

"Ma. Aku lelah baru turun dari pesawat dan aku ingin istirahat. Ke rumah sakit bisa nanti malam, kan?" tanya Bara tidak mau kalah.

"Nggak bisa! Sekarang kamu cepat ke rumah sakit!" kata terakhir mamanya sambil mematikan saluran telepon secara sepihak.

Bara hanya bisa menahan rasa kesalnya dengan apa yang baru saja terjadi. Ingin sekali ia membanting ponsel miliknya, kenapa sampai saat ini mamanya tidak pernah mengerti apa yang Bara mau. Sampai kapan sang mama harus bersikap seperti itu kepada Bara.

"Pak. Cari rumah makan terdekat." perintah lelaki berkulit putih itu sambil menggenggam dengan kencang ponsel yang sedari tadi ada di tangannya.

"Baik, Mas."

Bara Sadewa Airlangga Putranto lelaki berusia 23 tahun adalah mahasiswa semester akhir S2 jurusan fakultas kedokteran di salah satu Universitas Belanda. Lelaki kelahiran Jakarta 23 tahun lalu adalah putra bungsu dari pasangan David Airlangga Putranto dan Gladis Dwi Hadinata. Bara mempunyai Kakak yang bernama Badai, usia mereka berdua hanya terpaut 2 tahun saja. Siapa yang tak kenal keluarga Airlangga Putranto dan Dwi Hadinata? Pengusaha sukses di Indonesia ini yang mempunyai saham dimana-mana, perusahaan yang bergerak bidang elektronik dan terkenal bukan hanya di dalam negri saja namun sudah terkena sampai keluar negri. Bara yang terpaksa kembali ke Indonesia untuk melihat papanya yang sedang dirawat karena kecelakaan beberapa minggu lalu, dan Bara terpaksa meninggalkan kuliahnya sebentar untuk melihat papa tercintanya yang sudah terpisah beberapa tahun. Lelaki dengan tinggi 175 cm itu adalah sosok lelaki sedikit pendiam, tidak banyak bicara, sedikit cuek, kaku, peka, dan introvert. Bara mempunyai sifat hampir mirip seperti Gladis begitu lembut dan perhatian dan ia mempunyai hobi memotret alam sekitar. Kebanyakan yang menjadi favorit Bara dalam kameranya adalah anak kecil karena dirinya sangat menyukai anak-anak. Lelaki itu sudah lama menemui hobinya hanya untuk menghilangkan rasa jenuh dan kesepiannya. Terlahir dari anak bungsu pasangan keluarga nomor satu di Indonesia tidak membuatnya sombong dan angkuh, justru Bara sangat berbeda dengan sosok papanya yaitu David. Sejak masih muda David yang tempramen, angkuh, sombong sangat berbeda dengan putranya kini. Bara memilih kuliah di luar negri karena mengikuti jalur prestasi, Bara tidak mau berpangku tangan dari hasil uang keluarganya karena ingin menunjukkan kemampuan dan otaknya. Akhirnya hasil kerja kerasnya selama ini berbuah manis saat mendapatkan beasiswa yang diinginkannya di Universitas terbaik di Belanda. Sosoknya yang senang menyendiri dan mandiri membuat dirinya memilih untuk pergi dari rumahnya. Berbeda dengan sang kakak yang sekarang menjadi CEO muda di perusahaan menggantikan kakeknya yang kini dipegang.

15 menit kemudian taksi milik Bara berhenti disebuah rumah makan, rumah makan Padang. Sudah lama sekali Bara ingin makan masakan Padang walaupun di sana juga ada namun rasanya bisa dibilang berbeda baginya. Setelah memberikan uang kepada sopir taksi itu Bara melangkahkan kakinya masuk ke dalam rumah makan dan mencari tempat duduk yang nyaman baginya. Bara bisa mencium bau masakan yang sangat digemarinya begitu menusuk ke dalam lubang hidung dan berhasil menggugah selera makannya. Lalu memesan makanan kesukaannya dengan lahap dan menikmati itu semua sampai ponselnya berbunyi berkali-kali tidak dihiraukannya. Bara pikir dengan pergi jauh ke negri orang kedua orang tuanya tidak akan mengganggu kehidupannya lagi, namun nyatanya setiap hari masih saja mamanya Gladis menelepon dirinya untuk menyuruh Bara pulang menyelesaikan kuliahnya di Indonesia karena sangat merindukan dirinya. Bara sangat merindukan suasana di Indonesia tidak pernah dilupakan sedetikpun, namun karena cita-citanya Bara harus meninggalkan tempat yang paling dirindukan selama ini selain mamanya.

Rasa kesal masih dirasakan walaupun sudah makan begitu banyak menu di rumah makan itu, sampai akhirnya Bara memutuskan untuk memainkan kamera DSLR miliknya itu. Lelaki itu mencoba memotret keadaan sekelilingnya karena ada beberapa anak kecil yang sangat menarik perhatiannya, dengan kamera DSLR menjelajahi setiap sudut rumah makan sampai akhirnya bola mata Bara terpaku dengan sebuah objek yang sangat menarik perhatiannya. Bagaikan sebuah magnet yang begitu kuat menariknya sehingga ingin terus menatapnya lebih lama. Sesosok gadis cantik dengan rambut panjang sebahu, berwajah oval dan mata oriental berwarna coklat berhasil menarik perhatian lelaki dengan sikap sedikit dingin dan cuek itu. Bara terus menatapnya dengan lekat dan kamera miliknya berhasil menangkap gambar gadis cantik berbaju warna peach yang sedang duduk tidak jauh beberapa meja dari tempatnya. Sungguh gadis cantik itu menarik perhatiannya. Bara mengulangi memotret gadis cantik yang sedang menikmati menu rumah makan ini bersama dengan temannya berkali-kali membuat Bara tidak bisa berkedip dan memalingkan pandangannya dari gadis itu. Sampai akhirnya teman gadis yang sedang Bara foto menyadari jika Bara sedari tadi memotret teman baiknya secara diam-diam.

"Flo. Lelaki yang ada di sana sedari tadi sibuk memotret kamu," ucap Adinda sedikit berbisik kepada Flower sambil matanya melirik Bara yang masih sibuk mengambil foto Flower.

Flower menoleh dan memang benar apa yang diucapkan oleh Adinda jika Bara sedang sibuk mengambil potret dirinya tanpa seizin Flower.

"Jangan-jangan dia orang jahat lagi." tebak Adinda lagi dengan nada kaget menatap Flower yang duduk di samping Adinda.

Flower begitu kaget mendengar apa yang Adinda ucapkan, dengan cepat Flower menatap Bara yang masih asik mengambil gambar Flower. Tanpa berpikir panjang gadis cantik dengan tinggi 167 cm menghampiri Bara dengan wajah yang tidak bersahabat. Bara begitu kaget ketika Flower tiba-tiba menghampirinya.

"Permisi. Apa kamu sedari tadi mengambil fotoku secara diam-diam?" tanya Flower dengan nada tegas menatap Bara saat ia sudah berada di dekat lelaki itu.

Deg, sungguh Bara sangat terpukau akan kehadiran Flower yang berdiri di depannya. Ternyata jika dilihat dari dekat gadis itu semakin cantik saja.

"Nggak. Siapa bilang?" tampik Bara sambil menurunkan kamera DSLR yang sedari tadi berada didekat matanya.

Namun Flower tidak percaya dengan apa yang diucapkan oleh Bara. Flower melihat dengan jelas jika sedari tadi Bara sangat sibuk memotret dirinya. Wajah Bara terlihat sedikit gugup dan kaku sembari menggenggam erat kameranya berharap jika Flower tidak tahu bahwa di dalam kameranya ada beberapa potret dirinya. Tanpa banyak bicara gadis itu mengambil kamera yang sedang Bara pegang secara paksa. Bara kaget bukan main saat Flower berhasil merebut kameranya dari tangan Bara. Lalu Flower mengecek isi kamera secara seksama dan benar saja jika di dalam sana ada beberapa potret dirinya yang diambil oleh Bara tadi, lelaki berkulit putih itu hanya terdiam pasrah.

"Ini apa buktinya? Kamu orang jahat atau psikopat?" tanya Flower dengan nada tegas sambil menunjukkan foto yang ada di dalam kamera DSLR nya.

Bara terdiam akan apa pertanyaan Flower, tidak mungkin Bara bilang jika dirinya menyukai dirinya karena terkesan gombal.

"Bukan apa-apa nanti aku hapus, kembalikan kameranya kepadaku," pinta Bara sambil mengulurkan tangan sebelah kanannya meminta kamera itu kembali.

"Nggak bisa karena aku nggak percaya sama kamu," kata Flower sambil memasukan kamera Bara ke dalam tasnya.

Mimik wajah Bara begitu kaget ketika Flower memasukan kamera miliknya ke dalam tas gadis itu.

"Eh, kameranya!"

"Kamera kamu aku sita," ancam Flower sambil melotot menatap Bara.

"Mana bisa. Kembalikan kameranya!" pinta Bara sambil mengulurkan tangannya.

"Nggak bisa!"

Saat mereka berdua sedang terlibat perdebatan kecil tiba-tiba saja Flower merasakan mual, ingin rasanya Flower cepat pergi ke toilet. Gadis itu pergi tanpa persetujuan Bara ke toilet, dan Bara panik melihat Flower yang pergi begitu saja dengan langkah cepat Bara mengikuti Flower dari belakang menuju toilet. Namun sayang langkah Bara terhenti di depan pintu toilet wanita dengan rasa sedikit kesal, dirinya tidak bisa mengikuti Flower sampai dalam sana karena itu adalah toilet wanita.

Pertemuan Yang Tidak Disangka

Sudah hampir 15 menit Bara menunggu gadis berkulit putih di depan toilet perempuan, sesekali Bara melirik arloji pemberian mamanya saat berulang tahun ke 17 tahun yang ada di tangan sebelah kirinya sambil menyandarkan tubuhnya ke tembok dengan wajah yang terlihat begitu sangat tegang dan khawatir. Sebenarnya yang dikhawatirkan Bara tidak lain adalah kamera kesayangannya, matanya terus mengawasi setiap orang yang keluar masuk ke toilet perempuan namun sedari tadi tidak melihat gadis cantik bermata oriental keluar dari dalam sana. Kemana dia?

Di dalam toilet sana Flower begitu terlihat pucat karena sedari tadi menahan mual yang akhirnya harus mengeluarkan cairan dari mulutnya berkali-kali. Tubuhnya mulai terasa lemas dan tenggorokannya terasa sakit. Flower menatap cermin terlihat matanya begitu sayu dan wajahnya tidak fresh seperti biasanya. Sudah beberapa minggu ini dia merasakan seperti ini, mual secara tiba-tiba dan pusing luar biasa dengan cepat Flower merapihkan riasan make up tipisnya agar tidak terlihat begitu pucat. Ups, Flo biasa dia dipanggil teringat akan sesuatu yaitu kamera yang diambil olehnya milik lelaki berwajah tampan yang bernama Bara. Penasaran akan isi foto di kamera membuat Flower kembali mengambil kamera DSLR milik Bara yang ada di dalam tasnya, lalu mengecek kembali betapa terkejutnya ketika saat melihat ada banyak foto dirinya yang diambil oleh Bara saat dirinya sedang berada di meja makan. Untuk apa foto sebanyak ini yang diambil oleh lelaki penyuka rendang itu? Begitulah yang Flower tanyakan. Gadis itu yakin jika lelaki yang ditemui saat ini bukanlah lelaki baik-baik, wajah Flower terlihat sangat kesal tanpa berpikir panjang Flower memasukan kembali kamera ke dalam tasnya dan keluar dari toilet perempuan. Betapa terkejutnya Flower saat baru keluar dari toilet melihat Bara sedang menunggunya. Bara ikut terkejut saat melihat kehadiran Flower yang muncul keluar dari dalam toilet. Untuk pertama kalinya mereka saling menatap bertemu pandang satu sama lain untuk sesaat, entah kenapa jantung Bara berdegup begitu cepat saat menatap kedua bola mata Flower. Sungguh Bara terkesima dibuatnya dengan wajah cantik Flower berhasil membuat sesuatu getaran di hatinya. Lumayan lama mereka saling menatap sampai akhirnya Flower menyadarkannya.

"Kamu! Sedang apa di sini?" tanya Flower terkejut saat mengetahui kehadiran Bara di sana.

"Menunggu kamu. Aku mau mengambil kamera milikku yang kamu ambil tadi," jelas Bara saat ia tersadar dan dengan cepat mencoba tenang di depan Flower.

Gadis itu mempunyai ide menarik untuk mengerjai lelaki yang sudah mengambil fotonya secara diam-diam. Mungkin ini terlihat sangat jahat dan juga pelajaran untuknya, namun Flower merasa jika Bara adalah lelaki jahat yang sering mengincar para gadis sepertinya yang akan dimanfaatkan untuk materi semata.

"Kamera kamu aku tinggalkan di dalam sana," jawab Flower sambil menunjuk ke arah toilet dengan wajahnya.

Mimik wajah Bara begitu kaget mendengarnya, mana bisa gadis itu meninggalkan kamera mahalnya di dalam sana. Hatinya mulai merasakan kesal kepada Flower kenapa saat baru sampai di Indonesia ada kejadian seperti ini yang membuat moodnya rusak seketika. Dan itu karena seorang perempuan.

"Apa! Kamu meninggalkan kamera milikku di dalam sana?" tanya Bara kaget dengan nada sedikit meninggi sambil jari tangan kanannya menunjuk ke arah toilet.

Tanpa rasa bersalah gadis cantik itu mengangguk menatap Bara. Flower sangat senang melihat ekspresi wajah kesal Bara dan sepertinya gadis itu berhasil mengerjai Bara.

"Iya," angguk Flower.

"Kamu, ya...!" sungut Bara seraya mencoba menahan emosinya di hadapan gadis yang bernama Flower itu.

"Ambil kembali kamera milikku!" perintah Bara dengan nada tegas.

"Nggak mau!" jawab Flower tidak kalah tegas.

Bara mengerutkan kening menatap Flower dengan kaget, ternyata gadis cantik itu senang sekali membuat dirinya kesal.

"Kamu butuh kameranya, kan? Ambil saja sendiri ke dalam karena aku sibuk," kata terkahir Flower sambil pergi meninggalkan Bara sendirian.

Melihat kepergian Flower yang tiba-tiba tanpa pamit membuat Bara semakin kesal saja, ingin rasanya Bara menarik lengannya lalu membawa gadis itu ke dalam toilet untuk mengambil kameranya yang ditinggalkan. Namun sayang gadis berwajah oval sudah pergi meninggalkannya dengan santai meninggalkannya tanpa rasa bersalah dan berdosa. Melihat kepergian Flower yang semakin jauh dari pandangannya Bara hanya berusaha untuk tenang dan mencari akal bagaimana caranya agar bisa masuk ke sana mendapatkan kembali kameranya.

"What! Kamu mengerjai dia?" teriak Adinda kaget saat Flower menceritakan kejadian tadi antara dirinya dengan Bara di dalam mobil.

Adinda adalah sahabat baik Flower sejak SMA sampai saat ini, persahabatan mereka sudah seperti saudara sendiri. Dan hanya Adinda yang tahu keadaan Flower saat ini, hanya Adinda yang tahu bagaimana keadaan hubungannya bersama dengan Badai.

"Iya," jawab Flower duduk di samping Adinda yang sedang menyetir.

"Parah. Terus kameranya mana?" tanya Adinda yang sesekali menoleh ke arah Flower yang duduk di sampingnya.

Tanpa banyak bicara Flower mengambil sesuatu dari tasnya, Adinda begitu sangat penasaran akan apa yang ada di dalam tas Flower. Ternyata itu adalah kamera Bara yang Flower simpan di dalam tasnya. Flower berbohong kepada Bara jika kamera miliknya ditinggalkan di dalam toilet namun nyatanya kamera milik Bara ada di dalam tas Flower. Sahabat baiknya kaget bukan main jika Flower sudah benar-benar mengerjai Bara sampai sejauh itu.

"Bagaimana ceritanya kamu mau kembalikan kamera itu sama dia?"

"Nggak tahu. Biarkan saja, Aku yakin kalau dia bukan orang baik-baik," tandasnya yakin sambil kembali memasukan kamera itu ke dalam tasnya.

Adinda hanya menggelengkan kepalanya sambil melihat ke depan jalan ambil terus menyetir, sepertinya Flower tidak main-main dengan ucapannya kini. Tiba-tiba gadis cantik yang biasa dipanggil Flo itu kembali merasakan mual, wajahnya kembali terlihat pucat dan itu membuat Adinda sedikit khawatir.

"Ueek." Flower merasakan mual sambil menutup mulutnya dengan sebelah tangannya.

"Flo. Kamu kenapa? Kamu mau muntah lagi?" tanya Adinda panik melihat Flower yang sedang menahan rasa mual.

"Kepalaku pusing banget," keluh Flower sambil memegang keningnya dan menyandarkan tubuhnya.

"Kapan kamu mau periksa ke dokter kandungan?"

Wajah cantiknya berubah sendu, Flower tidak tahu akan rencananya untuk menemui dokter kandungan memeriksakan usia kehamilannya. Bukan saat yang tepat sekarang namun itu semua tidak bisa ditunda lagi.

"Aku nggak tahu," jawabnya singkat terdengar pesimis.

"Kamu harus cepat periksa dan jangan sampai ditunda lagi karena bayi yang ada di dalam kandungan mu harus diperiksa."

"Aku menunggu Badai untuk mengantarku," jelas Flower dengan rasa sedikit sedih karena sampai saat ini Badai belum juga meluangkan waktunya untuk Flower.

Badai sangat sibuk dengan pekerjaannya sampai lupa jika Flower tengah mengandung anaknya

Flower Rengganis Sanjaya gadis cantik kelahiran Jakarta 22 taun lalu adalah putri pasangan pengusaha properti sukses di Indonesia yaitu Budiyono Sanjaya dan Anggi Ratna Sanjaya. Gadis bermata oriental berkulit putih adalah seorang sekretaris Badai. Sebenarnya Flower adalah mahasiswa lulusan S2 ekonomi tapi tidak menyukai jurusannya itu, karena kedua orang tuanya yang memaksa Flower untuk kuliah mengambil jurusan ekonomi. Sebenarnya Flower ingin menjadi seorang pengacara dan kuliah mengambil jurusan hukum namun sayang ia harus mengubur impiannya itu selama-lamanya. Keadaan berlimpah harta tidak membuat Flower manja berpangku tangan kepada kedua orang tuanya. Flower ingin membuktikan jika tanpa kedua orang tuanya gadis itu mampu untuk mencari uang sendiri dan akhirnya Flower melamar pekerjaan di kantor milik Badai saat itu dirinya mulai bekerja dan tidak disangka jika Badai menyukai Flower lalu mereka memutuskan untuk berpacaran sudah sampai satu tahun.

Saking kesalnya Bara menyuruh pelayan rumah makan untuk mencari kamera DSRL yang tadi Flower tinggalkan di kamar mandi, namun sayang setelah dicari oleh pelayan rumah makan itu tidak ada di dalam sana.

"Maaf, Mas. Kameranya nggak ada," jelas pelayan rumah sakit itu yang baru saja mencari kamera Bara di toilet perempuan.

Rasa marah kembali muncul di hati Bara, bagaimana bisa pelayan itu bilang tidak ada justru jelas-jelas tadi gadis itu bilang jika meninggalkan kameranya di dalam sana.

"What! Are you kidding me!" teriak Bara kaget menatap pelayan perempuan itu.

Mata perempuan itu terbelalak kaget tidak mengerti akan apa yang diucapkan oleh Bara. Bara mengerti jika pelayan itu tidak mengerti akan apa yang baru saja diucapkannya.

"Kamu lagi nggak bercanda, kan?" tanya Bara lagi menggunakan bahasa Indonesia.

"Nggak, Mas. Kalau Anda nggak percaya silahkan periksa sendiri ke dalam sana," jawab pelayan perempuan itu memberi saran dengan ketakutan melihat Bara yang mulai tersulut emosi.

Setelah mendapatkan izin untuk masuk ke dalam tanpa membuang waktu lelaki berkulit putih bersih itu segera masuk dan mencari keberadaan kameranya. Kebetulan di dalam sana sedang sepi, Bara membuka satu persatu pintu kamar mandi dan mengeceknya namun sayang sudah 4 pintu yang ia buka tidak ada tanda-tanda keberadaan kameranya.

Rasa kesal dan amarahnya semakin memuncak ternyata Flower sudah mengerjainya, ingin rasanya Bara memukul pintu kamar mandi namun bukanlah sikap asli Bara. Karena Bara cenderung lebih kalem dan sedikit tida banyak bicara. Bagaimana jadinya tanpa kameranya saat ini? Kamera yang sudah menemaninya selama 4 tahun ini telah hilang, kamera pemberian Topan saat dirinya lulus SMA kini sudah hilang diambil oleh Flower.

"Awas nanti kalau sampai kita bertemu lagi, aku akan beri kamu pelajaran," gumam Bara berjanji bicara sendiri dalam hati dengan rasa menyelimutinya.

Tidak ada pilihan lain saat ini Bara harus segera pulang untuk menenangkan emosinya karena Flower. Walaupun sedari tadi mamanya terus menelepon Bara dari rumah sakit, percuma Bara pergi ke rumah sakit karena perasaannya saat ini sedang tidak baik-baik saja dan itu karena Flower.

"Aku akan menemukanmu, jika sampai terjadi sesuatu dengan kamera itu. Aku akan buat perhitungan denganmu."

Kekecewaan Flower

Wajah tampannya sedari ditekuk dan begitu terlihat sangat kesal, ternyata perempuan itu telah mengerjainya apalagi sekarang kamera kesayangan Bara ada bersamanya.

"Awas kalau bertemu lagi akan aku buat perhitungan," gumam Bara bersumpah di dalam hati sambil mengepalkan kedua tangannya karena kesal.

15 menit kemudian Bara sampai di rumah keluarga Gustiawan Saputra yaitu kakeknya, memang sekarang keluarga Ando dan David tinggal bersama di sana karena Gustiawan sekarang hanya seorang diri. Ditinggal oleh istri tercinta Teresa empat tahun lalu membuat Gustiawan terpukul. Ando dan David yang awalnya mempunyai rumah masing-masing memutuskan untuk kembali tinggal bersama papanya karena pasca kehilangan Teresa, saat itu Gustiawan papanya sedikit depresi, Devi anak bungsu harus ikut Juna tinggal di Singapura.

Diseretnya koper hitam miliknya tanpa banyak bicara Bara melewati pintu yang sudah dibuka oleh salah satu pembantu tanpa satu patah kata yang keluar dari mulutnya. Rumah ini akhirnya kembali lagi setelah sekian lama pergi dari sini dan terakhir kali Bara kesini adalah satu tahun setengah lalu. Ditatapnya setiap sudut ruangan dengan seksama dan pikirannya mulai melayang mengingat akan peristiwa dirinya saat masih kecil dulu. Senyum ringan terlukis saat memory itu berhasil menghipnotisnya, Bara sangat rindu sekali akan masa-masa itu. Menjadi anak kedua dari pasangan David Airlangga Putranto dan Gladis Dwi Hadinata adalah keberuntungan baginya, tidak pernah ada kata kekurangan dalam hidupnya namun tidak membuatnya manja. Namun papanya ingin sekali dirinya menjadi seorang pengusaha seperti dirinya dan kakaknya Badai, tapi saat Bara melihat Teresa sering sakit-sakitan membuat dirinya ingin menyembuhkan dirinya dan berjanji ingin menjadi dokter. Tekadnya semakin bulat saat Teresa meninggal dunia, Bara paling sedih harus kehilangannya karena hanya Bara yang paling dekat dengan Alm Teresa. Pilihan Bara menjadi seorang dokter saat itu ditentang keras oleh David. Tidak jarang merek berdua sering berdebat bahkan David sepat mengusir Bara dari rumah dan tidak membiayai sekolahnya. Lagi-lagi karena Ando, saat itu berhasil membujuk David untuk mengajak Bara pulang namun sayang pendirian Bara tetap sama ingin menjadi seorang dokter. Merasa kecewa akhirnya David memutuskan untuk tidak membiayai sepeserpun jika putra bungsunya memilih menjadi dokter, tanpa rasa takut lelaki penyuka cup cake memilih untuk mengikuti beasiswa dan hasilnya begitu sangat mengagumkan. Bara lulus dan diterima dengan nilai sempurna di Universitas Belanda tanpa bantuan papanya. Hanya Ando yang selalu membantunya saat dirinya mengalami kesusahan karena sejak kecil Bara selalu memanggil Ando dengan sebutan Ayah. Lelaki yang sangat disayangi setelah papa, dan kakeknya. Lamunannya terpecah saat seseorang mengagetkannya yaitu Nania yang baru saja keluar dari dalam yang hendak berangkat ke rumah sakit untuk menemui Gladis yang sudah berada lebih dulu di sana.

"Bara," panggil suara itu begitu ramah dengan nada yang begitu lembut terdengar di telinga.

Deg, Bara tersadar dan langsung menatap ke arah suara itu. Bara melihat wanita setengah baya masih terlihat sedikit muda berdiri tidak jauh di hadapannya. Senyum wanita itu begitu bahagia saat melihatnya.

"Bunda," balas Bara bahagia sambil tersenyum kecil.

"Kamu baru datang? Apa kabarnya?" tanya Nania sambil menghampiri Bara dan langsung memeluknya dengan erat.

Lelaki berambut model comma membalas pelukan Nania yang dipanggil sejak dulu dengan sebutan Bunda.

"Baik, Bun. Bunda apa kabar?" Bara balik bertanya sambil melepaskan pelukannya.

"Baik. Ya ampun, kamu semakin tampan saja," puji Nania sambil matanya menjelajah wajah Bara dan tubuhnya yang tinggi tegap sedikit kurus.

Pujian Nania berhasil membuat wajah Bara begitu memerah karena malu dan Bara sesekali menundukkan kepalanya sambil tersenyum ringan karena merasa malu akan pujian Nania.

"Bunda bisa saja," kata Bara merasa segan.

"Kamu baru datang? Bunda pikir kamu langsung ke rumah sakit."

"Iya, Bun. Aku lelah jadi memutuskan untuk pulang dulu dan nanti malam aku ke rumah sakit." keluh Bara dan Nania hanya menatapnya dengan tatapan sendu.

Perjalanan yang begitu sangat panjang membuat Bara harus kehilangan sedikit staminanya, tidur di dalam pesawat terasa tidak nyaman baginya.

"Bunda mau ke rumah sakit sekarang, nanti Bunda sampaikan."

"Iya, Bun. Terimakasih."

"Kamu istirahat karena di rumah nggak ada orang. Ayahmu sedang bertugas dan Badai masih di kantor dan Topan masih kuliah."

Topan adalah anak pertama pasangan Ando dan Nania. Topan adalah teman yang paling dekat dengan Bara sejak kecil, selain menjadi saudara dan juga menjadi sahabat baik Bara karena Bara tidak pernah akur dengan Badai.

Topan juga mengikuti jejak papanya menjadi seorang dokter namun kuliah di Indonesia berbeda dengan Bara.

"Iya, Bun. Aku istirahat dulu," pamit Bara sambil melangkahkan kakinya meninggalkan Nania menuju kamarnya dulu.

Tidak ada yang berubah di rumah ini hanya saja warna catnya yang diganti dan warna gordennya sedikit terlihat begitu ceria. Langkah kaki Bara menaiki anak tangga dan melewati beberapa kamar menuju kamarnya yang berada paling ujung lantai 2. Bukan Bara namanya jika ingin menempati kamar paling ujung yang jarang terlewati oleh siapapun juga, karena Bara ingin menyendiri tanpa diganggu. Dibukanya pintu kamar bercat putih dengan perlahan dan pintu itu terbuka sedikit demi sedikit, pertama kali yang Bara lihat adalah sebuah tempat tidur miliknya yang terbalut seprai berwarna biru dengan gambar tim bola favoritnya. Sepertinya mamanya selalu mengganti dan membersihkan kamar miliknya setiap hari karena terlihat begitu sangat rapih dan wangi. Matanya mulai berkaca-kaca saat masuk ke dalam dan matanya terus memperhatikan isinya, masih sama seperti terakhir kali ditinggalkan tidak ada yang berubah sedikitpun tata letak ruangan ini. Bara merasa bersalah karena telah meninggalkan kedua orang tuanya demi cita-cita yang sangat diimpikan.

Di tempat lain Badai terlihat begitu sangat bingung saat Flower datang ke kantornya, mereka sedang membahas sesuatu yang sangat serius. Wajah Flower terus menatap Badai yang sedang duduk melamun di mejanya sambil menutup mata seakan ia mencari sebuah ide untuk memecahkan masalahnya.

"Aku belum sempat memberitahu Mama karena mereka sedang sibuk mengurus Papa yang masuk rumah sakit," jelas Badai dengan nada terdengar kebingungan.

Flower tidak kalah bingung saat tahu jika dirinya tengah hamil 8 minggu, semenjak mengetahui dirinya hamil saat itu juga Flower tidak bisa tidur nyenyak dan sering stress. Flower tidak menyangka jika dirinya hamil buah cintanya dengan Badai di luar pernikahan. Bagaimana jika keluarganya tahu pasti mereka akan marah besar karena ini adalah aib bagi kedua keluarga itu.

"Lalu sampai kapan kamu akan memberitahu mereka? Apa kamu akan memberitahu mereka saat kehamilan ini semakin membesar?" tanya Flower terlihat ketakutan.

"Aku akan segera memberitahu Papa."

"Kita harus cepat menikah untuk menyembunyikan aib ini semua."

"Apa. Menikah!" teriak Badai kaget bukan main.

Bagai petir siang bolong lelaki dengan tinggi 175 cm mendengarnya. Menikah? Itu bukan ide bagus karena dirinya belum siap untuk menjalani hubungan seperti itu, namun karena situasi seperti ini membuat dirinya terpaksa harus menikah juga dengan Flower. Kekasih yang sedang mengandung anaknya kini.

Badai Lakuna Airlangga Putranto lelaki 25 tahun dengan tinggi 175 cm dengan berat 75 kg, berkulit sawo matang, tubuh berisi, mata sedikit bulat, berambut gondrong seleher serta bulu halus yang tumbuh tipis di atas sekitar mulut dan di bawah dagu adalah putra pertama dari David Airlangga Putranto dan Gladis Dwi Hadinata hanya terpaut 2 tahun usianya dari Bara. Anak pertama dari seorang pengusaha sukses mempunyai sifat seperti David yaitu tegas, sinis, tempramen, angkuh, egois, berbanding terbalik dengan Bara. Sejak kecil Badai tidak begitu suka dengan dunia kedokteran sedangkan sang adik begitu sangat ingin menjadi seorang dokter seperti Ando. Badai sangat takut dengan salah satu peralatan medis yaitu jarum suntik, lelaki itu selalu menangis menjerit-jerit jika di sekolahannya ada imunisasi apalagi Badai begitu phobia jika mendengar suara ambulan, baginya sangat menakutkan. Maka dari itu lelaki yang mempunyai alergi telur tidak ingin menjadi dokter. Kematian neneknya Teresa membuat Badai membenci profesi mulia itu karena Ando tidak bisa menyembuhkan Teresa membuat Badai kecewa. Di sisi lain David merasa kehilangan sang ahli waris kedua perusahaannya karena Bara memilih menjadi dokter maka dari itu David menjadikan Badai CEO muda untuk mengelola perusahaan milik kakeknya Gustiawan sementara David sekarang fokus mengelola perusahannya yang telah dibangun sejak Badai kecil.

"Kenapa kamu nggak mau menikahi aku?" tanya Flower kaget saat melihat ekspresi wajah Badai.

"Jujur aku belum siap," jawabnya dengan nada kecewa.

Deg, hati Flower terasa sesak saat mendengar apa yang Badai ucapkan. Gadis berambut sebahu itu merasa kecewa kepada kekasihnya, kenapa bisa berbicara seperti itu padahal apa yang sudah diperbuatnya telah merusak masa depan Flower. Mata gadis itu berkaca-kaca menatap Badai yang duduk tepat di hadapan Flower. Flower sesekali mencoba mengatur napasnya yang begitu cepat dan sesak, sekuat tenaga menahan air mata yang mulai memenuhi pelupuk mata indahnya. Rasa kecewa kini hadir di hati Flower ternyata lelaki yang sangat dicintainya sudah tidak menyayanginya lagi.

"Kamu pikir aku siap, Hah!" bentak Flower sedikit berteriak sambil menetaskan air matanya.

Hati Flower terluka dan membuat dirinya kecewa kepada Badai. Lelaki itu kaget saat melihat kekasihnya terlihat begitu marah dan kecewa kepadanya memang tidak seharusnya berbicara seperti itu karena Flower juga belum siap akan hubungan ini. Air mata terus jatuh menetas begitu deras ke pipi gadis bermata coklat. Flower sangat membenci lelaki yang ada di depan matanya kini.

"Memangnya hanya kamu yang belum siap akan hubungan ini? Aku juga sama!" tambah Flower lagi dengan emosi yang mulai meluap dan Badai hanya terdiam.

"Memangnya hanya masa depan kamu yang hancur? Aku lebih hancur karena aku harus mengandung dan melahirkan anak ini selama 9 sembilan bulan."

Jujur Badai tidak bisa berkata apa-apa saat melihat air mata yang terus jatuh membasahi pipi Flower. Pikirannya bercabang kemana-mana. Bagaimana jika nanti kedua orang tuanya mengusir dirinya dan menghapus namanya dari tahta keluarga Airlangga Putranto? Sungguh itu tidak pernah terlintas oleh lelaki yang selalu mengenakan jas polos saat bekerja. Memang Badai tidak menyukai kemeja berwana cerah, ia sangat senang menggunakan warna hitam, putih, abu, dan navy seperti sudah menjadi ciri khasnya. Selain warna itu tidak menyukainya.

"Aku tahu itu dan bukan kamu saja yang akan kehilangan masa depan, tapi aku juga," jelas Badai mencoba menenangkan Flower yang mulai emosi.

"Lalu kamu nggak mau bertanggung jawab. Hah!"

"Aku pasti bertanggung jawab, beri aku waktu untuk memberitahu ini kepada mereka."

Kini rasa percaya Flower kepada Badai sudah sedikit berkurang, dan merasa kecewa atas ucapan Badai tadi. Tanpa pamit Flower pergi meninggalkan Badai sendirian tanpa sepatah kata. Melihat kepergian Flower, lelaki itu hanya terdiam tidak mencoba mencegah akan kepergiannya. Sepertinya mereka butuh waktu untuk sendiri dan saling menenangkan emosinya. Wajah cantiknya sedari tadi ia sembunyikan dari rambutnya yang sedikit panjang agar tidak menjadi perhatian semua karyawan Badai.

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!