NovelToon NovelToon

Nafsu Sang Duda

Chapter 01

"Sampai kapan kau menyendiri seperti ini, Wira?" Asti bertanya untuk kesekian kalinya pada Wira.

"Apa mamah tidak bosan bertanya seperti itu?" Wira menatap mata dengan kerutan di sekelilingnya.

"Kau sudah lama menduda Wira, apa lagi yang kau tunggu sekarang? apa perlu mamah mencarikan mu calon istri?"

"Mah, Wira mohon...!" mata elang itu lekat menatap mata penuh harap di hadapannya.

"Dania sudah meninggal sejak empat tahun yang lalu, semua ini bukan kehendak mu Wira. Ini semua takdir!"

"Mah, Wira tidak bisa melupakan Dania. Sudahlah mah, Wira masih nyaman dengan kesendirian ini,"

Asti menghela nafas pasrah, rasanya sudah bosan berbicara hal seperti ini pada Wira.

"Mamah istirahat saja, Wira mau pergi," ucap pria itu sambil berlalu pergi.

"Mau kemana Wira?" tanya Asti.

"Kemana aja mah, Wira bosan di rumah!" jawab pria itu setengah berteriak.

Wira melajukan mobilnya tanpa arah, akhir pekan yang seharusnya di nikmati Wira dengan beristirahat di rumah namun nyatanya membuat Wira merasa jenuh. Pertanyaan demi pertanyaan yang acap kali di lontaran sang mamah lah yang membuat Wira merasa bosan.

Karena melamun sambil mengemudi, tanpa sengaja mobil Wira menabrak seorang yang sedang mengendarai sepeda motor. Wira yang terkejut langsung keluar dari mobilnya dan menolong seorang perempuan muda yang sedang merintih kesakitan.

"Bagaimana ini mas, tanggungjawab dong. Bawa ke rumah sakit sana!" ucap salah seorang pejalan kaki.

"B-baik mas, bantu saya membawanya ke mobil!" ujar Wira.

"Motor ku,....!" perempuan itu masih memikirkan nasib motornya.

"Aku akan menggantinya nanti," kata Wira.

Di dalam mobil, perempuan itu terus merintih kesakitan. Tangan dan kakinya mengalami luka yang cukup lebar. Hanya merintih, perempuan ini tidak menyumpahi Wira yang sudah bersalah menabraknya tadi.

Setibanya di rumah sakit, perempuan tersebut langsung mendapatkan penanganan dari Dokter. Semua luka-lukanya sudah di obati, pemeriksaan anggota tubuh bagian dalam juga sudah di lakukan dan hasilnya perempuan tersebut hanya mengalami luka luar saja.

"Makanya mas, lain kali hati-hati bawa mobilnya!" ucap perempuan itu.

"Aku minta maaf, aku benar-benar tidak sengaja," Wira merasa bersalah.

"Kalau begini jadinya, aku gak bisa kerja. Mau makan apa adik ku di rumah?" keluh perempuan tersebut yang tiba-tiba merasa bersedih.

"Aku akan tanggung jawab. Masalah motor mu juga aku akan tanggung jawab!"

"Bukan masalah motor mas, aku memiliki seorang adik yang harus aku beri makan dan obat setiap hari. Kalau seperti ini kan, aku gak bisa kerja!" celoteh perempuan yang terlihat lebih mudah tujuh tahun dari Wira.

"Siapa nama mu?" tanya Wira.

"Mawar mas!" jawab singkat Mawar.

"Oh, nama ku Wira. Sekali lagi aku minta maaf, aku akan bertanggung jawab hingga kau sembuh!"

"Kalau mau tanggung jawab, tanggung juga makan dan biaya obat adik ku. Gara-gara ulah mas, aku bakal gak bisa kerja lama. Mau mengharapkan siapa? orangtua aja gak punya!" Mawar terus menggerutu, bukan memikirkan nasib dirinya, Mawar hanya memikirkan nasib adiknya yang sedang sakit di kontrakan.

Sejenak Wira tertegun, setengah tidak percaya dengan ucapan yang baru saja di sampaikan Mawar.

"Kalau begitu, mari ku antar pulang!" ujar Wira yang tiba-tiba penasaran dengan ucapan Mawar.

Mawar berjalan tertatih, wanita muda ini nampak kuat dengan fisiknya. Merasa tidak tega, Wira langsung Menggendong Mawar menuju mobilnya.

"Duh mas, lain kali kalau mau gendong ya izin dulu!" tegur Mawar merasa tidak enak hati.

"Eh iya. Maaf ya...!" ucap Wira menjadi salah tingkah.

Mawar memberitahu alamat tempat tinggalnya, Wira langsung menggas mobilnya mengikuti petunjuk dari Mawar.

"Mas berhenti di warteg depan ya...!" pinta Mawar membuat kening Wira berkerut.

"Mau ngapain?" tanya pria ini dengan bodohnya.

"Mau konser mas...ya mau beli makananlah!" ketus Mawar yang kesal.

Wira bergeleng kelapa, pria ini langsung memarkir mobilnya di depan warteg.

"Biar aku saja!" ujar Wira menahan Mawar agar tidak turun dari mobil.

"Bayarin ya mas!" seru Mawar tanpa malunya.

Wira hanya mengangguk, pria tersebut keluar untuk membeli makanan dan tak berapa lama kembali ke mobil.

"Ini makanannya!" kata Wira sambil menyerahkan bungkusan plastik.

"Ini gratis kan mas? termasuk tanggung jawabkan mas?" tanya Mawar lagi.

"Iya, makanan ini gratis!" jawab Wira.

"Terimakasih mas!" ucap Mawar.

Mereka kembali melanjutkan perjalanan, selang beberapa menit mobil Wira berhenti di kawasan gang sempit.

"Udah mas, sampai sini aja. Kontrakan ku ada di dalam, masih harus jalan kaki lagi," ujar Mawar.

"Berapa jauh?" tanya Wira.

"Sekitar lima puluh meter," jawab Mawar.

"Ya udah, ayo aku tuntun!"

Mawar berusaha menolak, namun Wira terus memaksa. Pada akhirnya Mawar mengalah juga. Sebenarnya, Wira hanya ingin membuktikan ucapan Mawar ketika di rumah sakit tadi. Bukannya apa, terkadang di saat keadaan seperti ini ada saja oknum yang ingin memanfaatkan keadaan.

"Yang kontrakan mu?" tanya Wira lagi.

"Yang ini mas,...!" jawab Mawar lalu membuka pintu kontrakannya.

Mata Wira langsung menyipit, tidak percaya jika perempuan muda seperti Mawar hidup di kontrakan yang kumuh dan sempit seperti ini. Sesekali Wira dapat mencium bau obat yang sedikit menyengat.

"Kakak,....!" lirih seorang gadis berusia delapan belasan tahun yang hanya bisa terbaring di atas kasur lantai.

"An, ini kakak bawakan makanan!" ujar Mawar lalu dengan langkah tertatih Mawar menyiapkan makanan yang di beli Wira tadi untuk adiknya.

"Kakak kenapa luka-luka seperti ini? apa yang sudah terjadi?" tanya Andini terkejut melihat keadaan kakaknya.

Mawar memaksakan senyumnya, meski rasa nyeri sangat menggerayangi tubuhnya sekarang.

"Kakak baik-baik saja. Ayo cepat makan, jangan pedulikan kakak!" ucap Mawar sambil menyuapi adiknya makan.

Mawar melupakan Wira yang sejak tadi hanya berdiri di depan pintu. Wira dapat melihat dengan jelas keadaan kakak beradik yang sangat memprihatinkan ini karena kontrakan mereka tidak memiliki kamar.

"Siapa orang itu kak?" tanya Andini menunjuk arah pintu.

"Hah, astaga. Maaf mas Wira, aku melupakan mu. Mas boleh balik kok, terimakasih sudah mengantar ku ke rumah sakit dan pulang."

Wira hanya mengangguk, lelaki ini bingung sendiri ingin berbuat apa. Melihat perempuan yang baru saja di tabrakannya tadi Wira merasa ada yang aneh dalam dirinya.

"Aku ini bagaimana? kenapa aku meninggalkan dia tadi? dan adiknya, sakit apa adiknya itu?"

Di otak Wira sekarang hanya di penuhi dengan berbagai pertanyaan tentang Mawar dan adiknya.

"Ah, sial!" umpat Wira, "benar-benar sial aku hari ini. Jika mamah tahu, matilah aku!"

Di rumah, Wira merahasiakan kejadian hari ini yang sudah di alaminya tadi. Selesai makan malam, pria ini nampak gelisah, tiba-tiba saja Wira teringat akan Mawar.

"Apa dia sudah makan? ah, pasti belum. Kaki tangannya terluka pasti saja dia tidak bisa berjalan jauh!"

Bergegas Wira mengambil jaket dan kunci mobilnya kemudian pergi ke kontrakan Mawar. Tidak lupa Wira membeli makanan dan beberapa camilan untuk Mawar.

Chapter 02

"Tentang tanggung jawab, aku hanya bercanda mas. Kenapa di anggap serius?" Mawar merasa tidak enak hati.

"Aku yang salah, sudah seharusnya aku bertanggung jawab,"

"Em mas, lain kali kalau datang kesini ajak istri atau teman ya!" kata Mawar membuat Wira bingung.

"Kenapa?" tanya Wira singkat.

"Ya gak enak aja mas, nanti di pandang orang ada apa-apa lagi. Maklum lah mas, mulut orang!"

"Aku duda, jadi aku bebas ingin bertemu dan ketemu siapa pun,"ucap Wira berkata jujur.

"Oh, ya udah kalau begitu. Terimakasih sudah membawakan ku makanan, mas Wira boleh pulang. Aku baik-baik saja!" kata Mawar namun Wira malah menanggapinya berbeda.

"Kau mengusir ku?" tanya Wira lagi membuat Mawar takut.

"Eh, tidak mas. Bukan itu yang Mawar maksud. Mawar harus istirahat, tubuh Mawar rasanya remuk," jelas Mawar.

Wira tertegun, melihat keadaan kontrakan yang di tempati Mawar, Wira tidak bisa membayangkan jika tempat ini layak untuk di jadikan tempat beristirahat.

"Kenapa kau tidak mencari kontrakan yang lebih layak?" tiba-tiba Wira bertanya ke hal yang membuat hati Mawar tergores.

"Sebenarnya kami punya rumah, tapi rumah itu terpaksa aku jual." Mawar berterus terang.

"Kenapa?" Wira semakin penasaran dengan kehidupan Mawar.

"Ayah sakit, Andini juga sakit. Jadi, demi pengobatan mereka aku terpaksa menjual rumah," jawab Mawar dengan sorot mata sendu. Di bawah remang-remang lampu pijar, Wira masih bisa melihat dengan jelas jika Mawar menyimpan banyak beban dalam kehidupannya.

"Kalau boleh tahu, adik mu sakit apa?"

"Saat Andini kecil, dia terkena demam yang sangat tinggi hingga membuat semua otot dan perkembangannya melambat. Ya begitu lah, sambil kerja aku harus merawat Andini apa lagi keadaannya sekarang semakin memburuk,"

Mawar melengos, lelah rasanya bertahun-tahun berjuang melawan kehidupan. Mawar juga tidak tamat sekolah, sejak ayah meninggal Mawar harus berhenti sekolah dan menjadi tulang punggung keluarga untuk dirinya dan Andini.

"Kalau begitu, istirahat lah. Besok pagi aku kesini lagi, kau harus kembali cek up,"

Tubuh tinggi berdiri, hampir saja kepala Wira mengenai atap teras yang tidak terlalu tinggi.

"Sekali lagi terimakasih mas," ucap Mawar dengan senyum tipisnya.

Wira pulang, pria ini langsung menghempaskan tubuhnya di atas tempat tidur yang sangat empuk itu. Sekali lagi, Wira tidak bisa melupakan bayangan wajah Mawar.

Mawar tidak begitu buruk, dia memiliki wajah yang sangat cantik dan natural tanpa polesan make up. Wira suka melihat wajah imut Mawar.

Tidak mengantuk, Wira membuka jendela kamarnya, membiarkan angin malam menyapa wajah kesepiannya. Mata elangnya lekat memandang langit bertabur bintang, ada kesedihan yang datang tiba-tiba menyapa Wira.

"Dania, apa kabar mu sayang? apa kau dan anak kita bahagia di atas sana? sehingga kau lupa mengajak ku!"

Wira memejamkan matanya, menyesap hangatnya kerinduan yang tak kelabu. Hati Wira mati, terkubur bersama jasad anak dan istrinya.

Dania meninggal pada saat ingin melahirkan anak pertama mereka. Andai saja malam itu Wira lebih cepat sedikit dalam mengemudi, tidak mungkin Dania pergi secepatnya ini.

Memegang gelar seorang duda muda tanpa anak, banyak wanita yang tergila-gila dan berusaha memikat hati Wira. Namun, lelaki ini tidak pernah sekalipun menanggapi wanita yang berusaha menggodanya. Empat tahun lamanya, Wira tidak pernah lagi merasakan hangatnya belaian seorang wanita, ranjangnya juga dingin, Wira belum berniat untuk mencari pengganti Dania.

Malam telah berganti pagi, Wira pergi pagi sekali bahkan melewatkan sarapan bersama sang mamah. Rumah ini sepi, Wira adalah satu-satunya anak yang di miliki Asti. Papahnya sudah meninggal delapan tahun yang lalu.

Wira mengetuk pintu, cukup lama Mawar keluar, membuat Wira merasakan gelisah di hatinya. Namun, baru akan mengetuk lagi, tiba-tiba saja pintu terbuka.

"Eh mas Wira, maaf mas. Aku harus memandikan adik ku terlebih dahulu," ucap Mawar merasa tidak enak hati karena sudah membuat Wira menunggu lama.

Wira memandang Mawar dari atas sampai kebawah. Rambutnya berantakan, namun tidak mengurangi kecantikan Mawar. Pakaian yang di kenakan Mawar juga sangat sederhana, Wira paham akan itu.

"Kau menggendong adik mu dengan keadaan mu yang seperti ini?" tanya Wira sambil menujuk perban yang sudah tidak beraturan di tangan dan kaki Mawar.

"Lalu aku harus apa mas?" tanya Mawar dengan nada sedih. Matanya berkaca-kaca, merasakan perihnya luka terkena air.

"Apa kau dan adik mu sudah sarapan?" tanya pria itu kembali.

Mawar sebenarnya malu, tapi mau bagaimana lagi memang keadaannya seperti ini.

"Belum mas!" lirih Mawar.

"Aku membawakan sarapan untuk kalian. Makanlah, setelah itu mandi kita akan pergi ke rumah sakit!"

"Terimakasih mas," ucap Mawar dengan seulas senyumnya.

"Aku akan menunggu di sini," kata Wira langsung duduk di kursi plastik di samping pintu.

Beberapa orang tetangga Mawar merasa penasaran dengan Wira, namun mereka tidak pernah peduli pada orang lain. Wira juga acuh, lelaki ini tidak berniat menyapa orang-orang yang menatapnya dengan penasaran.

Setengah jam kemudian, Mawar sudah rapi dan bersiap pergi.

"Adik mu bagaimana?" tanya Wira lagi.

"Dia sudah biasa di tinggal mas," jawab Mawar membuat hati Wira tiba-tiba terasa sesak dengan keadaan kakak beradik ini.

"Oh, ya sudah. Ayo pergi,...!" ajak Wira.

Di perjalan menuju rumah sakit, Mawar hanya diam saja. Mungkin Mawar sedang merasakan nyerinya luka yang ada di tangan dan kakinya.

"Oh ya, motor mu sudah selesai di perbaiki. Nanti akan ada orang yang mengantarnya," ujar Wira membuka obrolan.

"Sebenarnya itu bukan motor ku mas, itu motor teman ku. Terimakasih sudah memperbaikinya," ucap Mawar sekali lagi membuat Wira tertegun. Apa pun yang di berikan Wira pada Mawar, perempuan ini selalu mengucapkan kata terimakasih.

"Kau kerja apa?" tanya Wira sedikit penasaran.

"Aku bekerja di cafe mas, ya lumayan lah buat makan dan bayar kontrakan," jawab Mawar.

"Oh, gak apa-apa. Yang penting halal!"

"Mas Wira sepertinya anak orang kaya dan berpendidikan tinggi deh. Aku jadi malu," Mawar memaksa senyumnya.

Wira hanya tertawa kecil, bingung juga mau menanggapinya.

"Beda sama aku, sekolah SMA gak lulus!" ucap Mawar kembali merasa sedih.

Wira melirik Mawar, setiap kali Wira melihat wajah Mawar ada rasa kasihan yang tiba-tiba menjalar dalam hatinya.

"Udah, gak usah berkecil hati. Setiap orang memiliki jalan kehidupan dan ujiannya masing-masing."

"Tapi ujian ku terlalu berat mas!" lirih Mawar membuat Wira terdiam.

Setibanya di rumah sakit, luka Mawar kembali di bersihkan dan di ganti perban. Wira hanya bisa memandang Mawar dengan hati yang penuh gejolak tak bisa di jelaskan padahal mereka baru saja bertemu kemarin itu pun karena sebuah kecelakaan.

Chapter 03

Satu minggu berlalu, keadaan Mawar sudah jauh lebih baik. Namun tidak dengan keadaan Andini yang semakin memburuk. Selama satu minggu ini juga Wira tiba-tiba menghilang tanpa kabar.

Tidak masalah bagi Mawar, Wira sudah mau bertanggungjawab saja sudah sangat bersyukur. Bekas luka mungkin masih ada, Mawar juga masih bisa menutupinya dengan menggunakan pakaian yang berlengan panjang.

"An, kakak akan berangkat kerja loh!" kata Mawar yang sebenarnya tidak tega mau meninggalkan adiknya seorang diri.

"Kak, jangan pergi kerja ya. Temani Andini, kali ini saja!" lirih gadis itu dengan sorot mata kosong.

"Kalau kakak gak kerja, kita mau mau makan apa?"

Mawar melengos sedih, hatinya benar-benar koyak mendengar permintaan sang adik yang tak mampu di kabulkan ini.

"Hari ini aja kak, Andini mohon," gadis lemah tak berdaya itu mengulurkan tangannya pelan. Berharap bisa menahan langkah kakaknya.

Mawar menghela nafas pelan, memandang sejenak binar mata adiknya yang hampir menangis.

"Ya sudah, hari ini kakak gak masuk kerja loh. Tapi, besok kakak harus kerja ya?"

Andini tersenyum, manis sekali meskipun tulang wajahnya nampak terlihat.

"Terimakasih kak," ucap gadis itu.

Mawar duduk di samping adiknya, mengusap rambut tipis sang adik dengan penuh kasih sayang.

"Cukup hari ini Andini merepotkan kakak, besok gak lagi. Andini janji kak!" ucap gadis itu seketika membuat hati Mawar sedih.

"Kau ini bicara apa? selama ini adakah kakak mengeluh tentang sakit mu?"

"Andini tidak tega jika harus melihat kakak kerja keras seperti ini, Andini sudah lelah kak!"

"Kakak masih kuat, jangan bicara lagi. Istirahat!"

"Kak, lihatlah....!" sorot mata Andini menatap ke atas.

"Ada apa And,?" tanya Mawar bingung.

"Andini melihat ibu dan ayah. Mereka ingin menjemput Andini," ucap gadis itu membuat hati Mawar langsung berdebar sangat kencang.

"An, kau ini bicara apa?"

Mawar melambaikan tangannya di depan wajah adiknya.

"Kak, Andini lelah. Andini ingin tidur," suara Andini semakin pelan terdengar.

"Tidurlah, kakak janji akan menjaga mu," ucap Mawar sambil membenar selimut adiknya.

"Kenapa udara pagi ini begitu dingin kak?"

"Kau kedinginan kah?"

"Andini kedinginan kak, bisa peluk Andini?"

Mawar berbaring di samping adiknya, memeluk gadis itu hingga terlelap. Sungguh, jika boleh berkata jujur, Mawar sudah sangat lelah dengan keadaan seperti ini.

Melihat Andini yang sudah terlelap, Mawar langsung mengubah posisinya menjadi duduk. Di tatapnya wajah sang adik, Mawar langsung mengerutkan kening dalam.

"Wajah mu sangat pucat namun bercahaya sayang. Tidurlah adik ku," ucap Mawar lalu hendak mengusap wajah adiknya.

Deg,....

Mawar terkejut, wajah Andini sangat dingin. Jantungnya kembali berdebar kencang. Mawar menyentuh tangan adiknya, sungguh dingin dan kaku.

"Andini,...An,...bangun...!" Mawar mencoba membangunkan adiknya.

Semakin panik, Mawar mencoba merasakan hembusan nafas Andini dengan jari yang di tempelkan ke hidung Andini.

"An,...Andini,...bangun. Katanya kau hanya tidur, kenapa malah meninggalkan kakak?"

Mawar memeluk tubuh adiknya yang sudah dingin dan kaku.

"Bangun Andini,...jangan membuat kakak sedih. Katanya hanya ingin beristirahat, kenapa malah beristirahat selamanya? ayah, ibu,...ini tidak adil untuk ku. Kenapa kalian hanya menjemput Andini, kenapa aku kalian tinggal?"

Isak tangis terdengar menyayat hati, Mawar terus memeluk adiknya yang sudah tak bernyawa itu. Ini kah maksud dari Andini yang tidak mengizinkan kakaknya untuk pergi bekerja?

Di ruangan sepetak ini, tangis Mawar pecah. Membuat para tetangga kontrakan penasaran apa yang sudah terjadi pada kedua kakak beradik itu.

Sepasang suami istri yang tinggal tepat di samping kontrakan Mawar menerobos masuk kedalam.

"Mawar, kenapa kau menangis? ada apa?" tanya bu Wati.

"Andini bu,...Andini meninggalkan ku!" jawab Mawar dalam isaknya.

Bu Wati langsung mengusap dada, menghampiri Mawar untuk memastikan apa yang baru saja di bilang Mawar.

"Bagaimana pak?" tanya bu Wati pada suaminya.

"Yang sabar ya Mawar, adik mu sudah tidak merasakan sakit lagi," pak Rahman menepuk pundak Mawar.

Di temani bu Wati, Mawar mengurus jasad adiknya sedangkan pak Rahman memanggil para tetangga. Hari itu juga, pemakaman Andini di langsungkan.

Sungguh pilu menyayat hati, kini Mawar seorang diri. Tiada keluarga tiada saudara, dirinya sebatang kara. Mawar tidak tahu siapa saudaranya, karena kedua orangtuanya hanya pendatang di kota ini.

"Ikhlas Andini, ya Mawar. Andini sudah tidak sakit lagi, doakan saja yang terbaik untuk adik mu," bu Wati memberikan semangat pada Mawar.

"Terimakasih pak, bu, udah bantu Mawar!" ucap Mawar dengan suara seraknya.

"Ya udah, kalau gitu kami pulang dulu," pamit bu Wati dan suaminya.

Di atas gundukan tanah merah, Mawar duduk bersimpuh lelah. Hanya air mata yang bisa menggambarkan isi hatinya sekarang. Bibir yang sejak tadi bergetar, tak mampu terucap sepatah kata pun. Di bawah awan kelabu, Mawar rapuh.

"Kakak pulang dulu An, tidurlah dengan damai. Sakit mu telah sembuh, doakan kakak dari atas sana semoga kakak kuat melewati hari tanpa mu," ucap Mawar sambil mengusap nisan adiknya.

Tiga hari setelah kepergian Andini, Mawar merasa kesepian dan kosong. Tidak ada lagi yang bisa di ajaknya berkeluh kesah atau sekedar bercanda penghibur lelah.

Mawar belum lagi masuk bekerja, untuk makan sehari-hari dirinya hanya mengandalkan uang sumbangan para tetangga.

Kedatangan pemilik kontrakan sudah bisa di tebak Mawar.

"Maaf Mawar, aku tahu kau sedang berduka. Tapi, kau sudah dua bulan tidak membayar kontrakan. Aku juga butuh uang," ucap sang pemilik kontrakan sambil mengedipkan sebelah matanya hingga membuat Mawar merasa risih.

"Maaf jika saya sudah telat membayar kontrakan pak. Saya janji setelah tujuh hari, saya akan usahakan membayarnya," kata Mawar tidak enak hati.

"Sebenarnya, kau tidak perlu membayar kontrakan ini asal kau mau menjadi istri keempat ku!" ujar pak Agus yang terkenal genit itu.

"Maaf pak Agus, saya tidak mau!" tolak Mawar sangat risih.

"Ya sudah kalau gak mau. Di kasih enak malah nolak. Sekarang juga pergi kamu dari kontrakan ku!" usir pak Agus dengan mata melotot. Hatinya panas, sudah lama lelaki paruh baya ini mengincar Mawar yang terkenal sangat cantik.

Buru-buru Mawar mengemasi semua barang-barangnya. Pak Agus terus mengawasi Mawar sambil mengoceh tidak jelas.

"Aku sumpahkan kau berjodoh dengan duda," ucap pak Agus dengan lantang namun tidak di hiraukan Mawar, "cepat, pergi sana....!"

Pak Agus yang sakit hati mendorong tubuh Mawar, hampir saja Mawar terjatuh namun dirinya masih bisa menyeimbangkan diri.

Mawar tidak punya tujuan, langkah kakinya gontai menuju pemakaman Andini. Untung saja pemakaman Andini masih berada satu tempat dengan pemakaman kedua orangtuanya. Sore ini, Mawar menumpahkan semua keluh kesahnya di atas pusara orang-orang yang di cinta.

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!