NovelToon NovelToon

Mengejar Cinta, Istri Kecilku..

Perkenalan

Ciiiiiiiiiiiiittttttt!!!

Braaaakkkkk!!!!!

Mobil Pajero sport terguling di tengah aspal jalan. Semua orang berkerumun untuk menolong seorang lelaki berjas hitam yang bersimbah darah.

Nafasnya tersengal-sengal dengan mata sayu menatap sekitar. Dari balik kerumunan, samar dia melihat wajah seorang wanita yang di kenalnya tersenyum penuh kemenangan.

Sementara di tempat lain, Bella bersama kedua temannya tengah makan besar di restoran bintang lima. Teman-temannya begitu antusias dan merasa tidak sabar dengan sajian yang sudah mereka pesan.

"Dapat berapa sih Bell? Cerita donk.." Desak Erin bersemangat. Tanpa mereka sadari seorang lelaki menguping pembicaraan mereka.

"Satu milyar." Bisik Bella.

"Satu milyar!!!" Sari dan Erin saling melihat dan melantangkan suara mereka sehingga ketiganya menjadi sorotan.

"Kurang keras." Gerutu Bella mengerucutkan bibirnya.

"Hehehe maaf. Lalu apa rencanamu?"

"Untuk kuliah. Apalagi."

"Terus kenapa mengajak kita ke sini."

"Aku dapat free dari Kak Bas buat jajan." Anak laki-laki yang berdiri tidak jauh dari mereka tersenyum licik. Dia memperhatikan Bella yang tidak seberapa cantik namun jiwa penipunya bergemuruh.

Aku harus mendapatkan alamat rumah dan sekolahnya. Sepertinya dia masih SMA hehe. Satu milyar? Bisa untuk menutup hutang usahaku yang bangkrut...

Lelaki itu bernama Stefan. Dia berumur 19 tahun dan mencoba peruntungan dengan menjalankan usaha tapi karena tidak adanya perhitungan membuat usahanya bangkrut. Stefan memilih beranjak pergi dan menunggu Bella di luar. Dia ingin membatalkan pertemuannya hari ini dengan seorang rentenir. Stefan bersembunyi di area parkiran yang gelap untuk menghindari si rentenir yang sudah tiba.

Sementara di meja Bella, ketika gadis itu saling melihat saat sajian mewah tersaji di hadapannya. Mereka tentu merasa aneh dengan makanan yang memang tidak pernah mereka konsumsi sebelumnya. Karena ketiganya hanya dari keluarga menengah ke bawah. Uang yang di dapatkan Bella adalah uang penjualan tanah yang memang sudah menjadi haknya dengan Kakaknya. Sebelum meninggal, mendiang Mamanya menyuruhnya segera menjual tanah itu agar saudaranya tidak lagi bisa merebutnya. Mama Bella takut, jika tanah yang seharusnya menjadi haknya, harus jatuh ke tangan saudaranya yang memiliki sifat serakah.

"Well. Berapa harganya tadi." Ucap Sari berbisik.

"155.." Jawab Erin pelan. Ketiganya kembali saling memandang dan tertawa cekikikan.

"Konyol sekali. Mana kenyang."

"Bukankah lebih baik makan nasi goreng atau bakso." Bella mulai menyendok makanannya lalu mengerutkan keningnya." Buruk sekali!!" Umpatnya pelan.

"Tahu nih Erin. Ini bukan kelas kita. Tadi 150 ribu bisa makan bakso sampai kenyang." Gerutu Sari menimpali.

"Aku hanya penasaran bagaimana makanan di restoran bintang lima. Astaga... Aku tidak sanggup memakannya. Kalian ingat? Bukankah ini mirip permainan masak-masakan yang sering kita buat dulu." Bella menahan tawa begitupun Sari.

"Habiskan, lalu kita pulang. Kak Bas akan marah jika aku terlalu malam pulang."

Ketiganya terpaksa menghabiskan sajian di hadapan mereka meski rasanya tidak cocok untuk lidah mereka.

************

Di sebuah rumah sakit, Daniel berbaring dengan sekujur tubuh penuh perban. Dokter menyatakan jika kaki kanannya patah bahkan benturan keras di kepalanya membuatnya amnesia.

Seorang lelaki separuh baya, hanya mampu menatap lekat tanpa ada tangis. Dia mendekati tempat tidur ketika Daniel terlihat membuka matanya.

"Mana Marco Yah." Tanyanya lirih.

"Kamu mengingat Ayah?" Pak Salim cukup kaget sebab dokter sudah menyatakan jika Daniel Amnesia.

"Bagaimana mungkin aku melupakan Ayahku sendiri."

"Dokter berkata jika kamu amnesia."

"Itu hanya tebakan. Bisakah Ayah membantuku."

"Tentu saja Nak. Apa itu?" Daniel memberikan isyarat Pak Salim untuk mendekat. Pak Salim mengangguk setelah mendengar permintaan dari anaknya." Apa yang terjadi?" Imbuh Pak Salim ingin tahu.

"Aku akan bercerita nanti saat di rumah." Daniel tidak ingin banyak bicara.

"Lalu perusahaannya?"

"Biar saja mereka ambil. Aku yakin mereka tidak akan mampu mengelola dengan baik. Aku masih memiliki simpanan uang untuk hidup, jadi bawa aku pergi dari sini. Aku muak melihat mereka." Jawab Daniel pelan. Dia takut Marco yang merupakan kaki tangannya mendengar obrolannya.

"Baik Nak. Kita pulang.."

"Tidak Yah." Sahut Daniel cepat.

"Lalu bagaimana?"

"Beli sebuah rumah di pinggiran kota. Aku ingin menenangkan perasaan dan menyembuhkan lukaku ini." Pinta Daniel menahan rasa sakit badan dan hatinya akibat penghianatan kaki tangannya.

"Baik. Secepatnya Ayah akan cari."

"Hmm.." Patah pada kaki Daniel rasanya tidak berarti. Luka di hatinya lebih parah daripada itu sehingga dia memutuskan untuk pergi menghilang dan membiarkan perusahaan yang sudah di rintis sejak awal di lepaskan begitu saja.

Haiiii reader tercinta🥰🥰

Mimin punya cerita baru buat Dani, ingat Dani kan🤭

Cerita satunya masih tetap lanjut meski mungkin updatenya gantian😁😁

Anggap saja ini lanjutan dari cerita Cinta sang penguasa...

Happy reading..

Semoga suka🥰🥰🥰

Bagian 1

Seperti pagi pagi sebelumnya, Bella kesiangan bangun. Dan yang menyebalkan adalah, Bastian meninggalkannya tanpa membangunkannya.

Dengan gerakan cepat Bella bangun dari tempat tidur dan masuk Toilet lalu membasuh mukanya. Tidak ada waktu untuk mandi, sehingga Bella langsung keluar dari toilet untuk mengganti baju tidurnya dengan seragam.

"Kak Bas jahat sekali! Awas saja jika pulang." Umpatnya menyambar tas dan mengalungkannya di pundak.

Tap... Tap... Tap...

Bella menuruni anak tangga mengingat kamarnya yang berada di lantai dua. Rumah sederhana yang di tempati adalah peninggalan kedua orang tuanya. Bella hanya tinggal berdua bersama Bastian yang terkenal super jahil. Bella kerapkali di jahili seperti sekarang. Jika Bella berprotes, Bastian pasti berkata jika dia ingin melatih Bella agar tidak manja.

Latihan itu membawa perubahan besar pada diri Bella. Sifatnya yang dulunya sangat manja, kini berubah mandiri. Apalagi kini sabuk hitam sudah Bella sandang, jadi Bella sudah mampu menjaga dirinya sendiri.

Saat keluar rumah, Bella sempat melihat ke arah rumah yang terletak tepat di sebelahnya. Rumah itu dulunya di tempati oleh sebuah keluarga kecil yang kabarnya pindah keluar kota.

Sudah hampir 7 tahun rumah itu di biarkan kosong karena harga yang terlalu tinggi di tawarkan. Namun pagi ini, Bella melihat dua orang lelaki separuh baya, sedang membersihkan rumah yang memiliki pekarangan luas.

Syukurlah sudah terjual.. Jadi kamar korden bisa ku buka nanti hehe...

Kamar Bella yang tepat menghadap ke rumah itu membuatnya sedikit takut, sehingga korden jendela tidak pernah di buka apalagi saat malam. Bella takut jika ada penampakan atau semacamnya. Apalagi setelah Sari dan Erin menginap, mereka selalu saja menakut-nakuti Bella dan mengaitkan rumah tua itu dengan hal mistis.

Bella tersenyum sejenak, sebelum akhirnya membuka pagar, kemudian menutup pintu pagar lagi dan mulai berlari menuju jalan utama untuk menunggu Angkot. Tanpa dia sadari, Stefan membuntutinya dengan mobil mewah sewaannya.

**********

"Jadi, Bapak ingin membawa Tuan ke kampung halaman?" Tanya Marko memasang wajah palsu. Di hatinya bahkan begitu bahagia mendengar keputusan yang di dengar dari Pak Salim.

"Iya. Tidak apa Kan? Dan lagi, Daniel tidak bisa mengingat apa-apa jadi untuk sementara perusahaan kamu kelola saja." Jawab Pak Salim tersenyum hangat. Dia terpaksa berbohong demi untuk menyelamatkan nyawa putra semata wayangnya. Kecelakaan kemarin sudah membuktikan jika Marko menginginkan Daniel mati.

"Lalu surat kuasanya?" Tanya Marco. Dia tahu tanpa surat kuasa dia tidak akan bisa memimpin perusahaan Daniel.

"Siapkan saja. Nanti Bapak tanda tangani."

"Sudah saya siapkan Pak." Marko mengeluarkan satu lembar kertas yang berisi surat pengalihan hak milik bermaterai.

Astaga Tuhan... Untung anakku bisa selamat dari kecelakaan itu.. Batin Pak Salim membubuhkan tanda tangan sesuai arahan Marko. Daniel sendiri hanya terdiam dan melihat kenyataan pahit tersebut. Dia tidak menyangka jika hati Marko begitu busuk hingga tega mengkhianatinya.

Hahahaha... Perusahaan itu jadi milikku sekarang. Orang tua ini bodoh sekali. Dia tanda tangan tanpa membaca jadi, aku bisa memiliki perusahaan itu tanpa perlawanan..

"Baik Pak. Apa perlu saya siapkan kendaraan?"

"Tidak perlu. Bapak sudah ada supir pribadi yang menjemput."

"Hm begitu... Saya permisi jika begitu. Banyak sesuatu yang harus saya urus." Dengan senyum mengembang, Marko memasukan surat ke dalam tas miliknya.

"Iya silahkan." Marko mengangguk sebentar sebagai salam perpisahan untuk Daniel, kemudian berjalan pergi keluar ruangan.

Dengan langkah pelan, Pak Salim mendekati ranjang dan duduk di samping Daniel." Untung saja kamu selamat Nak. Perusahaan itu tidak berarti apapun daripada nyawamu yang harus melayang." Tutur Pak Salim lirih.

"Hm Yah. Aku juga berfikir seperti itu. Ayah tidak keberatan merawatku nanti?" Jawab Daniel lemah.

"Untuk satu bulan ke depan, Ayah akan merawatmu. Perkebunan sudah ada yang mengurus. Setelah kamu sedikit pulih, Ayah akan cari perawat, Ayah tidak bisa membiarkan perkebunan di urus orang lain. " Daniel mengangguk-angguk, dia tahu jika Ayahnya sangat menyukai perkerjaannya merawat perkebunan kelapa sawit miliknya. Kebun itu sudah turun temurun di berikan sehingga Daniel bisa mengerti tentang keputusan Ayahnya tadi.

*************

Sepulang sekolah, saat Bella tengah membereskan bukunya. Sebuah surat terjatuh dari buku fisika yang akan di masukkan. Dia mengambil surat tersebut dan membacanya.

"Apa Kenan tidak juga mengerti jika aku tidak menyukai anak ingusan dan lemah seperti dia!!" Umpatnya meremas surat tersebut dan membuangnya sembarangan. Bella bergegas mengalungkan tasnya lalu berjalan keluar untuk menemui Erin dan Sari yang berbeda jurusan dengannya.

Tiba-tiba saja, Kenan muncul dan meraih pergelangan tangan Bella lembut sehingga langkahnya menjadi terhenti.

"Apa!!" Tanyanya kasar.

"Sudah baca suratku?"

"Aku tidak menyukai laki-laki loyo seperti dirimu dan lagi!! Aku masih bersekolah jadi buang perasaan sialmu itu!!" Bella menekan kata-katanya, dia tidak ingin membuat Kenan malu dengan penolakan yang di lontarkan entah berapa kali.

"Aku tidak lemah. Ini lingkungan sekolah jadi untuk apa aku menunjukkan kekuatanku." Bella menarik tangannya kasar, lalu mendorong pundak kanan Kenan sedikit, hingga Kenan terdorong ke belakang dan terduduk di tanah.

"Itu buktinya!" Bella tersenyum tipis dan pergi meninggalkan Kenan yang malah tersenyum mendapatkan perlakuan itu.

"Sial.. Seksi sekali..." Gumamnya semakin menggilai Bella. Dia memang sudah mengalami penolakan entah berapa kali. Nomernya sering di blokir oleh Bella, dan jika Bella tidak mengganti kontaknya, mungkin hingga sekarang Kenan masih saja mengganggunya.

Bella langsung menerobos masuk ketika melihat Erin terlibat pertikaian mulut dengan dua orang siswi. Sari hanya terduduk melihat, tanpa berkomentar, apalagi membela Erin yang tengah terpojok.

Pembullyan kerap kali terjadi di lingkungan sekolah elit seperti sekarang. Untung saja, Erin dan Sari adalah teman masa kecil Bella, sehingga sudah bisa di pastikan jika Bella akan membela kedua temannya yang memang terlihat culun.

"Hei... Kau menunjuk temanku." Bella meraih kerah belakang Fransisca dan Elena, lalu berjalan di antara keduanya, dan berdiri di samping Erin yang tengah tertunduk.

"Aku tidak ada urusan denganmu Bell." Kecantikan Bella membuat dia mendapatkan nilai khusus di mata para siswa lainnya. Meski Bella juga dari kalangan menengah bawah, namun Bella cukup populer karena kecantikan yang di milikinya.

Tak!!!!

Bella menampis kasar tangan Fransisca yang akan menyentuh Erin.

"Dia temanku. Ada masalah apa hingga harus memojokkannya seperti ini."

"Dia melirik ke arah Samuel! Kau tahu kan jika dia pacarku!!" Teriak Fransisca geram. Suasana kelas yang sepi membuat suara Fransisca menggema di seluruh ruangan.

"Melirik saja?" Tanya Bella mengulang.

"Aku tidak sengaja melihatnya Bell." Sahut Erin pelan.

"Kau meliriknya sialan!!!" Fransisca akan menjambak rambut panjang Erin namun Bella lebih dulu mendorong tubuh Fransisca hingga membentur bangku. Elena tidak tinggal diam, dia ingin membalas perbuatan Bella dan berakhir terduduk di lantai." Kau akan menyesal Bella!!" Teriak Fransisca semakin geram.

"Aku tunggu ancaman penyesalan itu. Kita pergi." Bella menarik lembut lengan Erin dan berjalan keluar bersama Sari." Sudah ku bilang jangan meliriknya." Gerutu Bella melepaskan pegangan tangannya.

"Aku tidak sengaja Bell. Aku berniat melihat Sari."

"Tapi Fransisca keterlaluan. Masa melirik saja tidak boleh, itupun tidak sengaja." Sahut Sari.

"Itulah gilanya cinta. Lalu, kenapa kalian tidak menghubungiku tadi pagi? Hampir saja aku terlambat." Eluh Bella.

"Aku sudah ke rumahmu tapi Kak Bas bilang kamu sudah berangkat."

"Kakakku benar-benar kejam!!! Awas saja nanti!!" Sari dan Erin tertawa cekikikan. Bastian memang sering mengerjai Bella seperti itu, sehingga umpatan yang di dengar keduanya sudah sering di dengar.

"Tapi Kak Bas tampan Bell hehe. Aku tidak masalah punya Kakak jahil, asal tampan."

"Itu karena kau tidak tahu rasanya seperti apa!"

"Ingin tahu juga rasanya seperti apa. Lalu kita jadi ke Mall?"

"Hm iya. Aku kan sudah janji, tapi hanya satu stell baju ya.."

"Aduh Bella, itu sudah lebih dari cukup." Ketiganya duduk di halte untuk menunggu angkot.

"Rumah samping sepertinya ada yang menempati." Erin dan Sari langsung menoleh ke Bella.

"Rumah angker itu?"

"Itu tidak angker. Tidak ada hal seperti itu." Jawab Bella menyangkal. Meski dia tidak takut dengan apapun, tapi untuk hal mistis, cukup membuatnya bergidik ngeri.

"Bangunan yang tidak di tempati selama bertahun-tahun, sudah pasti akan ada penghuninya Bell."

"Iya Bell. Apalagi rumah tua seperti itu." Bella mengusap tengkuknya kasar.

"Ganti topik ish!!"

"Tapi syukurlah, sudah ada yang menempati."

"Hmm.."

Ketiganya masuk ke dalam angkot lalu, sepuluh menit kemudian, mereka sudah tiba di Mall. Ketiganya masuk dengan senyum merekah. Tanpa mereka sadari, Stefan membututi ketiganya sejak tadi.

Setelah memilih baju sesuai selera, Bella mengantri untuk membayar. Seorang lelaki yang merupakan orang suruhan Stefan, sengaja berpura-pura akan mengambil dompet yang berada di tas sekolah Bella dan tentu saja, Stefan berpura-pura jadi pahlawan seolah sedang menggagalkan percobaan pencurian itu.

"Hati-hati jika di tempat umum.." Ucap Stefan lembut. Bella mendongak dan langsung tersihir dengan paras tampan Stefan yang terlihat sangat dewasa.

Astaga pengeranku...

"Hei kenapa?" Imbuh Stefan langsung membuat Bella tersadar. Sikap polosnya membuat Stefan semakin yakin jika dia bisa menipu Bella dengan sangat mudah.

"Iya Kak."

"Coba periksa. Mungkin ada yang hilang."

"Hm iya." Bella memeriksa dompet yang masih ada di tasnya." Tidak ada Kak." Imbuh Bella gugup. Baginya, Stefan adalah lelaki idaman. Bella menyukai tipe dewasa, karena menurutnya. Lelaki dewasa sudah pasti kuat dan mampu mengayomi. Tidak seperti teman-temannya yang tidak membuatnya berselera.

"Lain kali hati-hati." Seharusnya Bella mencurigai sesuatu, darimana si pencopet tahu jika di dompetnya terdapat ATM? Bukankah dia hanya pelajar? Tapi, ketampanan Stefan membutakan hatinya dan logikanya.

"Terimakasih banyak Kak."

"Sama-sama.." Meski masih SMA, dia sangat cantik... Stefan mengakui jika gadis belia yang berdiri di hadapannya sangatlah cantik.

"Sebentar Kak. Tunggu sini dulu." Bella membayar belanjaan, dan dengan jelly Stefan menghafal Pin ATM yang di tekan Bella.

Aku kasihan sebenarnya tapi, aku membutuhkan uang itu jadi.. Maaf...

Setelah selesai membayar, Bella memasukkan lagi dompetnya.

"Mari makan bersama Kak. Anggap sebagai ucapan terimakasih." Bella bukan ingin merayu meski Stefan terlihat menarik. Tapi dia benar-benar ingin berterimakasih, karena Stefan sudah menyelamatkan ATM yang begitu berharga baginya.

"Kamu masih sekolah. Nanti uang jajan mu habis." Tolak Stefan basa-basi.

"Aku ada kok Kak." Bella melambai ke arah Sari dan Erin." Aku juga kebetulan belum makan siang. Em mereka temanku." Stefan mengulurkan tangan seraya tersenyum manis.

"Stefan..." Buruk sekali temannya!! Aku harus mencuci tanganku setelah ini.

"Erin Kak."

"Sari."

"Dan kamu?" Stefan mengulurkan tangannya ke arah Bella.

"Bella Kak hehe.." Stefan menjabat tangan Bella hangat, membuat jantung Bella berdetak tidak beraturan." Kakak pilih tempatnya." Imbuh Bella menarik tangannya lembut.

"Aku terserah budgetnya saja."

"Kakak suka apa?"

"Suka kamu." Wajah Bella memerah sementara Erin dan Sari tertawa.

"Serius Kak."

"Hehehe.. Maaf.. Bagaimana jika ke sana." Stefan menunjuk sebuah resto yang tidak jauh dari tempatnya sekarang.

"Oke kita ke sana." Bella meraih jemari Sari dan berjalan duluan di ikuti oleh Erin sementara Stefan di belakang.

"Dingin sekali tanganmu Bell." Bisik Sari pelan.

"Tampan sekali Kakak itu." Jawab Bella lirih.

"Iya tampan. Bagaimana ceritanya?"

"Nanti ku ceritakan." Bella memberikan isyarat kedua temannya untuk tidak banyak bicara.

Keempatnya duduk di sebuah meja. Dengan perasaan sedikit canggung, Bella berusaha bersikap biasa saja meski rasanya memang ada getaran aneh pada hatinya.

"Kalian pulang sekolah atau bolos?" Goda Stefan mencoba akrab.

"Pulang Kak." Jawab Bella cepat." Kita itu siswi teladan. Mana mungkin membolos." Imbuhnya menjelaskan.

"Iya. Kita tidak akan membolos jika bukan karena terpaksa." Sahut Erin menimpali.

"Masa SMA memang menyenangkan. Apalagi saat berpacaran dengan belajar." Bella, Erin dan Sari langsung berhenti mengunyah.

"Belajar saja Kak... Tidak ada pacaran."

"Itu menyenangkan Bell." Senyum maut Stefan membuat ketiga gadis yang ada di hadapannya menelan salivanya kasar.

"Itu memuakkan. Melihat pacar sendiri berada satu sekolah, apalagi satu kelas. Buruk sekali. Itu menjijikkan." Stefan tersenyum, dia kembali mendapatkan informasi soal selera lelaki yang di sukai Bella seperti apa, meskipun hanya sebuah tebakan.

"Kamu saja yang aneh Bell." Bella menoleh cepat.

"Aneh apa?"

"Para siswa di sekolah kita banyak yang tampan tapi kau saja yang tidak bisa melihatnya. Kamu terlalu sibuk memikirkan lelaki dewasa hehe." Stefan mengangguk-angguk mendengarkan ucapan yang di lontarkan Erin.

"Mana bisa tampan jika masih memakai seragam SMA." Celetuk Bella kesal.

"Lalu kau ingin mereka memakai apa? Kan memang masih sekolah."

"Aku tidak berselera dan aku tidak mau pacaran."

"Boleh minta kontak milikmu." Stefan menyodorkan ponsel mahalnya sehingga membuat ketiganya melongok.

Yang ada di fikiran Bella, Erin dan Sari mengenai sosok Stefan adalah, orang kaya, CEO atau Bos besar dan semacamnya. Padahal kenyataannya, Stefan hanya anak ingusan yang gagal dalam membangun usaha. Dia terpaksa menipu agar keinginannya menjadi pengusaha bisa tercapai dengan cara membodohi para gadis yang mau di bodohi.

"Untuk apa Kak?" Tanya Bella tidak langsung mengambil ponsel Stefan.

"Untuk telefon, berkirim kabar dan lainnya. Bukankah banyak yang bisa di lakukan?" Bella masih ragu sebab Stefan orang asing untuknya. Namun Erin langsung mengambil ponsel Stefan dan mengetikkan nomer Bella.

"Ini nomernya Kak." Bella melirik malas meski dia tidak bisa berprotes.

"Terimakasih."

"Sama-sama Kak."

"Kau lancang Rin."

"Apa salahnya berteman."

"Hm.. Banyak teman semakin bagus." Sahut Stefan kembali memakan sajian di hadapannya.

Mimpi apa aku hingga bisa bertemu lelaki setampan ini, dan dia meminta kontrakku? Astaga... Apa dia akan menelfon ku nanti..

Bella belum menyadari jika tujuan Stefan mendekatinya hanya karena uang yang ada di ATMnya. Bahkan sepulang dari bertemu Bella, mobil Stefan melaju ke sebuah apartemen untuk menemui Sella pacarnya.

"Maaf lama." Rajuk Stefan melihat raut wajah Sella yang cemberut.

"Kemana saja sih?"

"Aku tadi ada urusan. Jika urusannya lancar, kita beli tas yang kamu minta kemarin." Senyum Sella mengembang mendengar itu.

"Benarkan sayang?" Tangannya meraih lengan Stefan dan melingkarkannya.

"Iya tentu saja. Jadi? Sudah tidak marah?"

"Iya ayo kita jalan."

"Aku tidak memiliki uang." Jawab Stefan beralasan. Tujuan mendekati Sella juga sama. Dia ingin mengeruk harta Sella yang memiliki perkerjaan sekertaris di sebuah perusahaan ternama.

"Aku ada. Uangku adalah uangmu." Stefan tersenyum menang, dia merasa bangga bisa memanfaatkan ketampanannya dengan sangat baik.

Setelah semua bisa ku dapatkan, aku akan pergi dari kota ini...

~Riane

Bagian 2

Stefanny yang merupakan kekasih Daniel, menyambut kedatangan Marko dengan mesrah. Keduanya berciuman sebelum akhirnya masuk ke dalam Apartemen mewah pemberian Daniel.

"Bagaimana? Berhasil?" Tanya Fanny merasa tidak sabar. Dia rela mengkhianati Daniel hanya untuk bersama Marko. Menurutnya, Marko terlihat lebih menarik daripada Daniel, karena sikap acuh Daniel yang membuatnya muak.

Daniel tidak berniat bersikap acuh pada Fanny, namun rasanya perasaan untuk Fanny tidak sebesar itu. Daniel hanya melakukan apa yang di rasakan, dia tidak berselera dengan Fanny meskipun dia sudah berusaha untuk bisa menerima Fanny di hatinya.

Dorongan dari Pak Salim yang menginginkan dia menikah di umurnya yang ke 28, membuat Daniel berusaha membuka hati untuk Fanny yang awalnya terlihat begitu baik dan lugu. Tapi, seiring berjalannya waktu. Perasaan Daniel semakin mengambang, dan semua itu terbukti saat Daniel tidak sengaja memergoki Fanny dan Marko tengah bermesraan di Apartemen.

"Tentu saja. Ini gampang sekali." Marko mengeluarkan surat pengalihan hak milik sehingga membuat Fanny kegirangan.

"Astaga... Aku tidak percaya bisa segampang ini."

"Hm aku juga. Jika Daniel tidak Amnesia, mungkin ini tidak akan mudah kita lakukan." Marko merangkul kedua pundak Fanny erat.

"Jika dia sembuh bagaimana?"

"Tidak akan sembuh. Kata dokter, benturan di kepalanya begitu parah." Fanny semakin bahagia mendengar itu. Dia tidak perlu membunuh, dan bisa mendapatkan kekayaan Daniel, juga memiliki Marko dalam satu waktu.

Sementara di rumah sakit, terlihat Dokter sedang memeriksa keadaan Daniel sementara Pak Salim berdiri di sampingnya.

"Sore ini sudah boleh pulang Tuan." Tutur Dokter menjelaskan. Dia menurunkan stetoskopnya dari telinga

"Bisa kita bicara sebentar Dok." Pinta Daniel berusaha duduk meski kakinya masih terasa nyeri.

"Suster, tolong keluar." Sang suster tersenyum sejenak, kemudian berjalan keluar.

"Saya tidak bisa melunasi pembayaran untuk sekarang karena Ayah saya tidak tahu menahu soal Bank. Ponsel saya juga sudah hancur di inside kecelakaan itu." Dokter tersenyum seraya mengangguk.

"Biaya rumah sakit sudah selesai Tuan."

"Maksud saya untuk membantu pemalsuan hasil pemeriksaan." Daniel meminta Dokter untuk memalsukan semua hasil pemeriksaan. Kakinya memang terluka, tapi tidak patah. Kepalanya mengalami benturan keras namun untuk Amnesia, itu hanya pemalsuan pemeriksaan yang sengaja di manipulasi.

"Astaga Tuan, itu tidak perlu. Saya ikhlas membantu. Tuan sudah banyak berjasa bagi rumah sakit ini. Jadi, anggap itu sebagai balasan kebaikan Tuan." Dokter merasa iba, mendengar kenyataan jika Marko berusaha menguasai harta Daniel yang di kenalnya sebagai orang yang sangat baik.

"Terimakasih Dok." Sahut Pak Salim tersenyum.

"Sudah seharusnya sebuah kebaikan mendapatkan balasan Pak.

"Saya tidak mengharapkan itu Dok." Dulu, perusahaan Daniel pernah memberikan bantuan dana yang begitu besar, hingga rumah sakit bisa melengkapi alat-alatnya, dan akhirnya menjadi rumah sakit terbaik di kota itu.

"Sudahlah.. Tunggu mobil Ambulance, biar nanti mereka mengantarkan Tuan ke tempat tujuan."

"Sekali lagi, terimakasih Dok."

"Sama-sama, semoga lekas sembuh Tuan." Dokter itu mengangguk sebentar kemudian melangkah pergi.

"Apa rumahnya sudah siap Yah?" Tanya Daniel seraya menurunkan kakinya, wajahnya menyeringai, menahan nyeri di kaki kanannya.

"Sudah, tapi rumahnya sedikit tua. Ayah asal ambil karena terlalu mendadak."

"Hm tidak apa Yah."

"Jika masih sakit, sebaiknya kamu beristirahat dulu." Daniel tersenyum, membuat Ayahnya hanya mampu terdiam lemah. Selama di rumah sakit, Daniel tidak bisa beristirahat dengan tenang. Itu membuat wajah Pak Salim bersedih seperti sekarang.

Pak Salim tahu bagaimana kegigihan Daniel hingga sanggup mendirikan perusahan. Dari seorang staf biasa, hingga di angkat menjadi manager lalu direktur. Dia membangun usahanya dengan uangnya sendiri bahkan tidak pernah sekalipun membebani Pak Salim. Daniel malah memilih berhutang, agar keinginannya bisa tercapai dan setelah memiliki perusahaan yang sudah berkembang pesat. Semuanya harus hancur karena pengkhianatan.

"Aku membutuhkan seseorang yang bisa ku percaya Yah."

"Jangan fikirkan soal perkerjaan dulu Nak. Uang perkebunan kelapa sawit terkumpul banyak di Bank. Kemarin Lucas melapor bahwa penjualan tahun ini sangat bagus." Ujar Pak Salim yang memang hanya orang kuno. Daniel sengaja mencarikan orang kepercayaan seperti Lucas untuk mengelola keuangan hasil perkebunan kelapa sawit.

Daniel tersenyum, Pak Salim mengira jika Daniel setuju jika kebutuhan untuk hidupnya ke depan di ambil dari hasil perkebunan sawit tersebut.

"Lucas? Aku baru mengingatnya. Bisakah Ayah suruh dia ke sini?" Pinta Daniel. Dia tersenyum karena mengingat Lucas yang lebih dulu ikut dengannya daripada Marko. Daniel sengaja menyuruh Lucas melayani Pak Salim karena Daniel yakin jika Lucas adalah orang yang sangat bertanggung jawab.

"Untuk apa Nak?"

"Aku ingin memulai semuanya dari Nol."

"Kamu bahkan masih terluka."

"Otakku masih berfungsi dengan baik Yah. Aku hanya butuh seseorang yang bisa menjadi kaki tanganku untuk membangun kembali sebuah perusahaan." Pak Salim menarik nafas panjang. Dia tahu jika ucapannya tidak akan mampu menghentikan Daniel yang notabenenya seorang lelaki perkerja keras.

"Maafkan Ayah..." Tiba-tiba saja Pak Salim merasa bersalah ketika dia menyadari soal keinginannya terakhir kali.

"Maaf untuk apa Yah."

"Ayah hanya tidak ingin kamu kesepian dan memiliki keluarga. Seharusnya kamu tidak sembarangan dalam mencari pasangan hingga membuatmu celaka seperti sekarang." Daniel memang sempat mengenalkan Fanny pada Pak Salim dan mengutarakan niatnya untuk menikah. Namun, setelah tahu kenyataan jika Fanny berselingkuh dengan Marko membuat Pak Salim mengutuk dirinya sendiri.

"Ini bukan salah Ayah. Aku hanya terobsesi pada seseorang yang memiliki kesempurnaan hidup." Daniel tersenyum mengingat seorang teman, sahabat dan saudara yang menjadi panutannya, meski kini dia tidak lagi berada di Indonesia. Aku ingin bisa mencintai seorang wanita seperti dia...

"Siapa maksudmu?" Tanya Pak Salim merasa penasaran.

"Dia sudah pergi dan jika dia masih di sini, mungkin ini semua akan mudah untuk di selesaikan. Jangan merasa bersalah atas itu, karena ini adalah salahku sendiri. Aku ingin sesuatu yang sempurna tapi nyatanya malah menghancurkan semuanya." Daniel menyadari, jika selama ini dia tidak juga mendapatkan wanita yang sempurna sesuai dengan seleranya. Itu sangat sulit dan setelah kejadian ini, dia menyimpulkan jika mungkin istri dari sahabatnya hanya ada satu dari 10 juta wanita di dunia.

"Ayah ingin kamu fokus pada penyembuhan dulu."

"Baik Ayah tapi, aku menginginkan Lucas."

"Iya nanti Ayah hubungi."

Semoga setelah ini, aku bisa kembali bangkit...

************

"Dia menyukaimu Bell." Goda Sari seraya tersenyum.

"Mana mungkin. Kau lihat saja mobilnya mewah sekali, kenapa dia harus menyukai anak ingusan seperti diriku."

"Ya. Itu mencurigakan." Sahut Erin memang merasa ganjil dengan ketertarikan yang di tunjukkan Stefan pada Bella.

"Itu karena Bella cantik Rin. Mencurigakan apa?" Jawab Sari merasa tidak ada yang aneh. Dia mengakui jika Bella memang sangat cantik.

"Meski begitu, kita hanyalah anak ingusan baginya." Stefan memang sengaja berpenampilan dewasa padahal umurnya masih 19 tahun. Dia bahkan masih saja lulus tahun lalu.

"Erin benar. Aku juga merasa begitu." Ketiganya turun di gang yang sama. Bella membayar angkot kemudian ketiganya berjalan beriringan.

"Lalu untuk apa dia meminta kontakmu?"

"Anggap saja iseng. Sudah ah! Jangan berfikiran macam-macam tanpa ada kenyataan." Bella memang berkata demikian meski di dalam hatinya berharap Stefan menghubunginya.

Mereka berhenti tepat di depan rumah Bella, ketiganya tengah memperhatikan mobil taksi yang masuk ke pekarangan rumah tua.

"Lihat kan, sudah terjual." Gumam Bella fokus melihat.

"Iya. Semoga saja orangnya betah." Bella menoleh cepat.

"Apa maksudmu dengan betah."

"Pasti di dalam sana ada penghuni lain Bell." Jawab Sari seraya fokus melihat.

"Berhenti membicarakan hal yang tidak masuk akal."

"Heiiii diamlah sialan!!" Umpat Erin lirih.

Sebuah kursi roda di keluarkan dari dalam taksi, Pak Salim keluar dan membuka pintu mobil. Dengan bantuan supir taksi, Daniel di dudukan ke kursi roda tersebut.

Wajah Daniel yang tertutupi masker, membuat Bella, Erin dan Sari tidak bisa melihat senyuman sapaan yang di tunjukkan Daniel untuk ketiganya. Apalagi melihat Pak Salim yang tua renta, membuat mereka semakin berfikir macam-macam.

"Dia menatap kita." Bisik Erin. Ketiganya mengalihkan pandangannya dan berpura-pura tidak melihat.

"Mengerikan sekali, mirip film horor yang sering ku lihat. Seorang wanita atau lelaki tua dengan anaknya yang cacat dan ternyata mereka adalah pembunuh berdarah dingin." Bella mengerutkan keningnya mendengar itu, bersamaan dengan cerita menegangkan yang di bicarakan Sari, Bastian datang dan membunyikan klakson mobilnya keras.

Tiiiiiiinnnnnnn....

Agggggghhhhhhhhh!!!!

Ketiganya berteriak sementara Bastian keluar dari mobil seraya terkekeh. Itu hiburan paling menyenangkan untuknya setelah kepergian sang Mama dua tahun lalu.

"Kak Bas!!!!" Teriak Bella kesal. Daniel ikut tersenyum tapi Pak Salim lebih dulu membawanya masuk.

"Kenapa tidak bicara di dalam dan menghalangi jalanku seperti ini." Bastian berjalan menghampiri Bella dan merangkulnya.

"Ini sudah mau pulang Kak." Jawab Erin terkesima dengan wajah tampan Bastian. Keduanya memang sudah mengidolakan Bastian sejak lama.

Paras Bastian yang tampan, membuat banyak wanita mengidolakannya meski Bastian sendiri tidak perduli. Janjinya pada Almarhum Mamanya untuk menjaga Bella, membuatnya tidak berselera menjalin hubungan dengan wanita manapun. Bastian bahkan memutuskan kekasihnya dua tahun lalu, karena ingin fokus pada perkerjaan dan Bella, adik satu-satunya.

"Mengobrol dulu, nanti ku belikan es krim." Tawar Bastian tersenyum. Bella mengerucutkan bibirnya karena merasa tidak percaya dengan ucapan Bastian.

"Jangan di dengar, cepat pulang! Nanti Mama kalian marah." Bella melepaskan rangkulan Bastian dan berjalan masuk. Dia masih marah dengan kejadian tadi pagi.

"Marah lagi?" Gumam Bastian terkekeh.

"Kak Bas sih, tadi pagi katanya Bella sudah berangkat, ternyata belum."

"Hehehe maaf. Salah siapa bangun siang." Jawab Bastian tanpa rasa bersalah.

"Baik Kak, kita permisi." Erin dan Sari tersenyum sejenak kemudian melanjutkan langkahnya.

"Iya hati-hati..." Bastian kembali masuk mobil setelah membuka pintu pagar lebar. Dia memasukkannya mobilnya ke dalam garasi kemudian berjalan masuk rumah, tanpa perduli jika rumah sebelah sudah memiliki penghuni baru.

Sementara di kamar, Bella mengunci pintunya. Dia berjalan ke jendela lalu membuka tirai yang sudah lama tertutup. Raut wajahnya terlihat kecewa, ketika kamar yang tepat menghadap ke kamarnya masih tertutup rapat dan masih terlihat mengerikan. Bella menutup tirainya lagi dan mulai memikirkan ucapan Sari.

"Jika benar psikopat bagaimana? Ahhh... Teman-temanku memang sialan!!! Seharusnya mereka tidak berkata macam-macam. Tapi jika benar begitu? Akan ku habisi mereka dengan tanganku sendiri!! Mereka tidak tahu jika aku sudah memiliki sabuk hitam....."

Tok...Tok...Tok...

Bella menoleh mendengar pintunya di ketuk dengan suara Bastian yang memanggil. Bibirnya mengerucut dan memutuskan untuk duduk dan tidak perduli. Namun, ketukan Bastian tidak akan berhenti jika dia tidak keluar, sehingga dengan raut wajah kesal, Bella membuka pintu tersebut.

"Apa... Berisik!!" Umpat Bella langsung teralihkan melihat sebungkus ayam krispi yang di bawa Bastian.

Kruuuuuukkkkkkkk....

Bunyi suara perut Bella membuat Bastian tersenyum penuh kemenangan karena sudah pasti Bella akan memaafkannya.

"Ya sudah jika kamu baik-baik saja." Bastian akan berbalik badan namun Bella menghalangi langkahnya.

"Begitu saja." Protes Bella menatap fokus ke kotak makanan. Bastian merahasiakan di mana dia membeli ayam krispi favorit Bella. Bella pernah berusaha mencarinya, namun rasa ayam krispi yang di belinya sendiri tidak sama.

"Lalu bagaimana? Kamu marah kan? Ya sudah, lanjutkan saja."

"Terus itu..." Bella menunjuk ayam krispi seraya menelan salivanya kasar. Perutnya meronta dan mendadak lapar lagi.

"Ini?" Bastian mengangkat kotak makan.

"Iya. Buat aku kan Kak?"

"Iya tadinya, tapi sekarang tidak." Bastian melewati Bella sehingga Bella mengekornya.

"Kak, beli di mana itu?"

"Rahasia, istirahat sana, teruskan marahnya." Goda Bastian seolah tidak perduli. Dia duduk di ruang tengah dan membuka kotak tersebut sementara Bella duduk di sampingnya melihat.

"Kak. Untukku ya... Itu enak sekali." Rajuk Bella.

"Katanya marah?"

"Aku tidak berkata marah."

"Temanmu yang bilang."

"Mereka mengada-ada. Ayolah Kak, bagi aku. Jika tidak ingin berbagi, beritahu aku beli di mana?"

"Rahasia." Bastian seolah akan memakan ayam krispi tersebut sehingga Bella mengerucutkan bibirnya seraya berdiri." Mau kemana." Bastian menarik pergelangan tangan Bella dan memaksanya duduk.

"Melanjutkan marahku!!!" Bastian terkekeh sementara Bella menatapnya tajam." Aku lapar dan belum makan! Tega sekali!!" Padahal faktanya, Bella sudah makan bersama teman-temannya tadi.

"Setelah ini, buatkan aku sesuatu untuk ku makan." Penawaran yang bagus sebab Bella langsung mengambil kotak makan tersebut.

"Iya hehe." Tangan sedap almarhum Mamanya, telah di turunkan pada Bella. Padahal Bella hanya melihat resep di internet, tapi masakan yang di buatnya terasa begitu sedap.

Namun sayangnya, Bella tidak pernah mau memakan masakkannya sendiri. Dia bilang sudah bosan mencium aromanya saat membuatnya, sehingga Bastian selalu membelikan masakan di luar agar Bella mau memasak sesuatu untuknya.

"Jangan boros ya, ingat. Simpan uangnya untuk biaya sekolah." Ucap Bastian mengingatkan, padahal biaya sekolah Bella sudah di siapkan olehnya. Bastian hanya ingin berjaga-jaga jika mungkin terjadi sesuatu, sehingga mengajarkan Bella untuk tidak boros agar memiliki simpanan untuk masa depan.

"Hanya membelikan baju untuk Erin dan Sari. Itupun uang dari Kak Bas, aku belum menyentuh yang itu." Jawab Bella seraya mengunyah." Jika sudah melebihi lima juta, aku akan berhenti mentraktir." Bastian tersenyum mendengar itu. Dia mengerti tentang maksud Bella yang ingin berbagi kebahagiaan dengan teman-temannya yang memang tidak dari golongan kaya.

Bastian merogoh celananya dan mengeluarkan dua amplop berwarna coklat.

"Berikan pada mereka masing-masing tiga juta. Bilang saja darimu." Bella menoleh cepat, wajah konyolnya membuat Bastian kembali terkekeh." Tidak mau ya sudah." Bastian akan memasukkan lagi amplop itu namun Bella secepat kilat mengambilnya.

"Mau, maksud Kak Bas di berikan pada Erin dan Sari?" Tanyanya tersenyum girang.

"Iya. Siapa lagi." Bastian meraih tisu dan membersihkan sisa nasi pada sekitar bibir Bella.

"Terimakasih Kak Bas." Bella memeluk Bastian erat." Aku akan memberikannya." Bella akan beranjak namun Bastian mencegah.

"Habiskan dulu lalu mandi dan baru pergi ke rumah mereka."

"Baiklah Kak." Bastian tersenyum dan memandangi Adik semata wayangnya berlama-lama. Dia sangat menyanyanginya lebih dari dirinya sendiri meski, sikap yang di tunjukkan tidak sesuai dengan apa yang di rasakan.

Aku hanya ingin kamu kuat Bella. Sebab, tidak selamanya aku bisa menjagamu...

~Riane

Maaf jika ada typo 🙂🙏

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!