Wahai hati... Bersabarlah saat di uji.. Kita tak'kan berlari lagi untuk saat ini. Karena berlari bukan menyelesaikan, tapi hanya menunda sesaat sebelum akhirnya menghadapi
*
Waktu terus bergulir, dadaku menggerung dengan detakan tak berirama. Masih saja seperti ini terus!
Derap sepatu membahana di sepanjang koridor, sama seperti derap lain yang turut serta denganku. Bahkan aku bisa melihat wajah pucat tanpa darah miliknya yang menggiringi langkahku.
Nafasku sudah kasar-kasar tak karuan. Wajah pucatnya sudah memudar sejak mendengar penjelasan wanita yang kuperkira tak terlalu tua dariku, ini. Dia bahkan seolah baru menyadari keberadaanku setelah nafasnya terdengar lega.
Netra kami bersitatap, senyumnya lantas terbit saat mendekatiku.
"Semua aman terkendali. Aku hampir mau mati." katanya.
Perasaanku membuncah makin tak terkendali. Kedua tangannya hinggap di bahuku, memberi keyakinan kalau semua baik-baik saja. Seolah rantai besi yang di lilit kencang di lehernya terlepas.
Aku mengangguk samar menanggapi. Aku benar-benar lupa caranya bernafas saat tubuhku tetiba sudah dalam rengkuh hangat miliknya. YA TUHAN!
"Bayinya cewek, udah di ruang bayi. Kakakmu masih tidur dalam pengaruh bius, bentar lagi siuman. Bahagia banget rasanya, Prill!"
Hatiku mendadak kembali miris. Aku bahagia atas hadirnya anggota baru di keluarga ini dan lancarnya persalinan kakak perempuanku satu-satunya. Tapi kebahagiaan yang kurasa saling tumpang tindih dengan duka lara yang tak mampu ku ungkap hanya sekedar kata-kata.
*
Seharusnya aku turut bahagia melihat keluarga kecil kakakku. Iya. Aku memang bahagia. Tapi aku juga memendam duka dan luka tak kasat mata. Berdarah yang berceceran di mana-mana. Seolah mengejek dan mentertawakanku. Seolah kepergianku kemarin adalah hal terbodoh yang pernah aku lakukan.
Kakak melambai-lambai kearahku menggunakan tangan mungil bayi cantiknya. Di sampingnya sang suami turut senyum seolah bahagia menyambut kedatanganku.
"Tante Prilly, selamat datang di rumah Princess Maila!," Kania antusias menyambutku.
Ku ambil Maila dari gendongan Kania setelah sebelumnya menyerahkan koporku pada Arman.
"Lucu banget sih ponakan tante" kucium pipi Maila yang mulai gembil membuatku gemas sekali. Ia hanya mengoceh dan menggeliat dalam dekapanku.
"Kamu udah makan, Prill?"
"Belum. Nanti aja, masih kangen si gembil," jawabku sambil tak henti mengunyel wajah Maila.
"Cari aja nanti ke dapur, kita udah pada makan. Oh ya, kamu istirahat aja dulu. Besok baru main sama Maila. Kasian tante datang dari jauh."
"Bentaran dulu, Ka!" Aku membawa Maila duduk di sofa ruang keluarga. Membuat Kania geleng kepala karena aku belum mau menyerahkan anaknya. Aku memang rindu dengan si kecil ini, saat kutinggal kemarin dia masih bayi merah. Sekarang tubuh kecilnya mulai berisi dan montok. Pantas saja Kania merelakan waktunya di rumah bersama si kecil, tidak bisa lama-lama kalau meninggalkan anaknya ini bekerja.
Arman muncul mengambil alih anaknya, sedangkan Kania sudah ke kamar.
"Istirahat dulu, Prill. Maila juga mau ditidurin Mamanya."
Aku mengangguk. Mengecup sekali lagi pipi Maila yang sudah beralih dalam gendongan Arman. "Koporku udah di kamar, kan, Mas?"
"Udah. Aku bawa Maila ke kamar dulu ya, Prill. Dadah tante..!!"
"Dadah Princess!!"
Sungguh hari yang indah. Bahagia sekali Kania dengan keluarga kecilnya ini. Nafasku terasa kasar terhembus memandangi punggung kokoh Arman yang mulai menghilang dari pandanganku.
Aku ikut beranjak.
Kamar yang di sediakan Kania untukku cukup luas. Ada lemari tiga pintu, di sampingnya ada sebuah meja rias. Tempat tidur ukuran nomer dua. Ada nakas di samping tempat tidur yang di atasnya di letakkan lampu tidur. Setelah mencuci muka, aku langsung merebahkan diri di atas kasur empuk bersprei biru polos ini. Kupejamkan mata dan melepas beban sejenak.
*
Setelah mandi aku langsung mencari makanan di dapur. Kania sudah tidur dengan Maila, sedangkan Arman ada di ruang kerjanya. Sebab kutahu saat melewati ruang kerjanya yang terletak dekat ruang keluarga, pintu tempat itu terbuka. Memberiku pemandangan Arman yang tengah berkutat dengan kerjaan dan kaca mata bacanya yang bertengger manis di hidungnya.
Setelah mencuci peralatan bekas makanku, aku mencari teh untuk kuseduh.
Suara langkah kaki terdengar mendekat diiringi munculnya sosok Arman. "Udah makan, Prill?," ia bertanya sembari mengambil gelas, lalu mengisi air dari dispenser dan menengguknya hingga tandas. Kelihatan sekali Arman kehausan dan kecapekan. Mungkin Kania lupa menyiapkan minuman untuk suaminya.
"Udah. Mas?" sebenarnya pertanyaan ini tak lebih untuk sekadar basa-basi, mengingat semua yang terjadi di antara kami.
"Tadi udah. Tapi lapar lagi kayaknya."
Aku tahu. Arman punya penyakit asam lambung. Dia harus makan saat ulu hatinya mulai pedih, tidak perlu banyak yang penting ia makan nasi. Makanannyapun tak sembarangan, apalagi makanan zaman sekarang banyak yang memicu kambuh asam lambungnya. Dulu aku sudah seperti alarm makan untuk Arman, aku akan menelponnya hampir lima kali sehari untuk mengingatkan jadwal makannya itu. Di tambah lagi dia yang sibuk bekerja terkadang melalaikan mengisi perutnya, kalau sudah begitu ia akan ku omeli panjang sekali.
Aku mendesah. Memandang wajahnya yang ikut memandangku juga. "Mau aku ambilkan makanan?"
Ia hanya tersenyum dengan gelengan pelan. Aku tertawa miris dalam hati. Mana mungkin aku melupakan batasan di antara kami sekarang ini. Mungkin memang hal biasa menyiapkan saudara ipar kita makanan, apalagi istrinya sedang kelelahan mengurus anak mereka. Tapi yang terjadi di antara kami membuat terciptanya sebuah batas yang tak bisa di langgar sesuka hati. Harus tau porsi secukupnya bersikap dan berinteraksi.
"Aku bikin telur dadar aja, Prill." jawabannya penuh keluasan. Kalau aku tak perlu repot memikirkan perutnya lagi. Kutelan saliva susah payah.
"Aku lanjut tidur lagi." kataku terburu-buru menghindari. Teh yang kubuat aku bawa ke dalam kamar.
Jam sudah hampir tengah malam, Arman bekerja selarut itu hingga kelaparan walaupun ia dan Kania sudah makan malam. Sedangkan aku memang tertidur tadi sore. Bangun saja sudah jam tujuh dan langsung mandi. Makanya saat aku ke dapur Kania sudah tidur. Mungkin dia juga tidak tega membangunkan untuk makan malam bersama, karena aku pulas sekali.
Aku mencoba memejamkan mata, mengenyahkan bayangan wajah lelah Arman yang kini berseliweran di benakku. Bagaimana tidak kepikiran kalau Arman harus menyiapkan makanannya sendirian. Dulu aku selalu membombardir Asha adiknya untuk menyiapkan makanan. Karena Arman itu lupa dunia kalau sudah menghadapi kerjaan, kalau udah perutnya terasa pedih barulah dia ingat kalau dia adalah manusia yang bisa mati juga.
"Prill, kamu nggak usah neror Asha terus buat nyiapin Mas makan dan ngingatin. Dia juga punya suami yang harus di urus. Kalau kamu khawatir Mas nggak makan, nanti Mas pasang alarm sepuluh kali sehari di hape." katanya suatu ketika karena kasihan dengan Asha yang tengah malam-pun harus melayaninya makan.
Aku hanya merengut menanggapinya. Pura-pura merajuk dan tak berbicara sama sekali.
"Ya ampun tukang ngambekan banget! Mas udah kayak iklan panci di tv nih ngomong sendirian gak berhenti dari tadi." dia menjawil hidungku dan mulai menggelitiki pinggangku. Aku langsung terpingkal dan berusaha melepas kungkungannya.
"Mas udahhh!! Geli.. Ihh..."
"Makanya jangan suka ngambek." Dia ikut tertawa.
"Aku ngelakuin itu juga demi kepentingan Mas, kesehatan Mas juga. Apa guna kerja dan banyak uang kalau nanti Mas cepat mati." kataku lagi ditengah usaha melepaskan diri.
"Kamu nyumpahin Mas mati, ya? Niat sekali mau cari cowok baru." dia berhenti menggelitiki. Aku langsung tertawa karena dirinya yang merajuk.
"Makanya kalau gak mau aku sama cowok lain karena Mas tinggal mati, nurut donk. Jaga kesehatan!"
"Iya bos. Laksanakan!" ia bergaya ala-ala hormat. Aku terkikik dan mencium pipinya gemas.
Sekarang semuanya berbanding terbalik.
Ya Tuhan...
Seseorang berhak menentukan rasa yang ia miliki di mana akan berlabuh. Tapi seseorang tidak bisa memaksakan untuk mengklaim bahwa yang di cinta harus pula menjadi milik kita. Dulu aku berpikir bahwa cinta tanpa bersatu adalah hal konyol. Mana ada orang bahagia sedangkan yang di cinta tak jadi milik kita. Namun ketika hal itu ku alami sendiri, aku tidak bisa untuk tidak bahagia.
Mustahil aku harus menyumpah serapah di saat orang yang kucinta berbahagia dengan kakakku sendiri. Sebesar apapun cintaku tetap akan kalah, tak akan ku berjuang, biar kusimpan sampai di gerus waktu. Sesakit apapun perasaanku, aku tak boleh egois. Ada tawa Kania dan Maila yang membuatku harus berhenti mencipta sakit-sakit di hati.
Seminggu mungkin masih terlalu sesak tiap hari di suguhkan pemandangan hilir mudik keluarga kecil Kania. Kania yang repot kesana kemari membereskan peralatan tulis menulisnya, menyiapkan sarapan, menyiapkan pakaian dan tas kerja Arman. Karena Kania tidak menggajih pembantu rumah tangga, jadi pekerjaan hampir dia yang handle. Walaupun Kania tidak terlalu pandai di dapur. Kania cukup menggaji seorang baby sitter yang datang di jam tujuh pagi dan pulang ketika Kania sudah kembali dari mengajar. Menurutku itu cukup menunjukkan bahwa Kania dan Arman benar-benar orang yang berumah tangga.
Seminggu tak cukup, seterusnya aku pasti mampu melewati hari berikutnya. Arman bukan lagi kekasihku, tapi dia suami kakakku. Haram bagiku mengharap apalagi sampai berandai yang bukan-bukan.
"Prill, aku duluan ya. Ada yang mau di urus." Kania mengapit tas mengajarnya sambil mencomot sepotong roti. Lantas mencium tangan Arman yang baru tiba di meja makan.
"Prill bantuin Arman masangin dasi ya, Aku beneran buru-buru. Mas, sama Prilly ya. Dah sayang....!"
Belum sempat aku bersuara, Kania sudah berlalu seperti orang di kejar setan. Aku melirik Arman yang menyampirkan dasi yang belum di kenakan di bahu kirinya.
"Mas--"
"Gapapa Prill. Nanti buka tutorial di youtube. Udah biasa kok."
Ucapan Arman benar-benar membuatku termangu. Aku tersenyum getir. Lintasan kala Arman harus menelponku pagi-pagi karena tak pernah bisa memasang dasi. Kalau sudah begitu aku harus jadi orang yang siap siaga. Terdengar remeh, tapi Arman memang menggantungkan urusan dasi dan makan padaku. Karena aku memaksa.
"Kamu gak perlu belajar pasang dasi, Mas, selama aku masih bernafas di muka bumi ini, aku akan jadi orang yang memasang dasimu. Oh iya, membuat sarapan, makan siang hingga makan malam. Akan selalu jadi alarm Mas Arman yang suka males makan. Biar aku yang berguna sebagai istri nanti, jadi hal sekecil pasang dasipun kamu harus tergantung sama aku." Ucapanku dulu benar-benar membuatku makin meringis. Tak mengerti kenapa aku harus mengambil peran cukup, dalam hidup Arman. Seharusnya aku tidak perlu membuat Arman ketergantungan di layani. Kania yang kukenal bukanlah orang yang rajin memasak, juga pengetahuannya di dapur tak lebih dari tumis menumis dan menggoreng.
Berbeda denganku yang sudah terbiasa mengurus pekerjaan rumah. Waktu Kania sibuk kuliah, aku malah sibuk mengurusi Bapak yang sakit-sakitan. Aku harus putus sekolah karena tersandung biaya pendidikan, karena tabungan bapak hanya cukup membiaya Kania yang sudah terlanjur melanjutkan kuliah. Saat itu aku mengalah, salah satu dari kami harus bisa jadi orang. Lagipula ku pikir untuk masalah kesuksesan tidak harus di ukur dari pendidikan. Mungkin rezekiku ada di mana-mana asalkan aku mau berusaha.
Pagi yang kami lalui penuh dengan kediaman di meja makan. Sarapan berlalu terasa hambar lagi-lagi.
Ah... Hati... Jangan plin-plan.
**
Pagi di hari jumat Kania sibuk mempersiapkan perbekalan. Rencananya kami mau menghadiri pernikahan sepupunya Arman. Aku juga pernah di kenalkan oleh Arman pada sepupunya itu. Orangnya ramah, menurutku type lelaki yang menghargai sekali akan kaum wanita. Dari caranya bertutur hingga perilaku di mataku terlihat manis. Arman bahkan pada perkenalan itu menyenggolku dan memberi peringatan supaya aku tidak pindah hati pada sepupunya itu. Karena ucapan Arman, aku dan sepupunya sampai tertawa geli. Tapi jodoh siapa yang tahu kan?. Ternyata bukan aku yang tergoda, malah Arman yang kukenal tidak akan menghianatiku, berubah haluan setelah pertemuan-pertemuan ketika Kania kembali dari menyelesaikan kuliahnya.
"Maila biar sama aku di belakang, Ka."
"Oke." Kania menyerahkan Maila yang menguap kecil terlihat mengantuk. Aku membawa Maila langsung masuk mobil. Kania mengangkut tas, sedangkan arman melipat kereta dorong Maila.
"O...cantiknya tante... Maimai sayang... Duh...kok gemesin sih." Maila selalu menggemaskan, bahkan ketika mau tidur saja ia masih menggeliat lucu. Wajahnya lebih mirip sang Ayah, mata, alis dan bibir. Sedangkan Kania cuma kebagian kulit putih dan hidung bangirnya saja. Pasti mereka merasa luar biasa karena memiliki malaikat kecil ini. Perpaduan dua orang berkarisma dengan pecicilan. Kania memang sering kekanakan, di bandingkan dengan aku, banyak yang mengira kalau Kania adikku. Karena sifat cerewet dan manjanya.
"Prill, kalo kamu penat, Maila sama aku aja." Kania yang baru masuk ke mobil di jok depan menoleh ke arahku. Arman masuk kemudian setelah memasukan semua barang-barang yang di perlukan.
Mobil keluar dari pekarangan, meninggalkan rumah mungil milik Kania dan suami.
Aku memandang Maila yang mulai tertidur, meringkuk manis dalam pangkuanku. "Biar aku aja, Ka. Nggak apa-apa kok."
"Okay."
Setengah jam mobil terasa sunyi. Aku juga tidak tau harus memulai percakapan yang bagaimana. Kania juga terlihat asik mendengarkan musik dari radio. Penyiar radio kesayangan Kania tengah berkoar-koar membacakan puisi kiriman pendengarnya, serta memutar lagu dan membaca beberapa cerita cinta yang membuat Kania senyum-senyum. Ah.. kakakku memang seperti itu.
"Mas, gimana masalah kemaren? Udah selesai?." Kania membuka percakapan setelah acara radio kesayangannya berakhir.
"Alhamdulillah. Kalau yang namanya rezeki nggak akan ke mana. Kemaren ada perusahaan kecil dari Belgia yang menawarkan kain yang di perlukan perusahaan. Orangnya konsisten tidak mudah goyah. Kalau udah ke satu perusahaan, dia nggak akan nawarin ke perusahaan lain lagi walaupun harga yang diberikan agak tinggi dari perusahaan kami." Arman menjawab sambil tetap fokus menyetir. Sedangkan Kania mengangguk-angguk tanda mengerti.
Yang kutahu dulu Arman kerja di perusahaan konveksi terbesar di kota ini bersama empat perusahaan besar lainnya. Namun yang sekarang, mencuri dengar dari percakapan mereka, sepertinya Arman pindah ke cabang perusahaan konveksi yang mengelola Mode. Entahlah, aku juga tidak terlalu paham urusan itu. Dari dulu aku hanya jadi pendengar yang baik, memberi saran ketika Arman bercerita.
Perjalanan panjang kami berakhir ketika mobil Arman memasuki perumahan asri yang agak jauh dari keramaian.
Tante Riska yang kukenali pertama kali ketika keluar dari mobil. Mereka menyambut kedatangan kami. Apalagi tante Riska tampak tak sabaran mengambil Maila dari pelukanku, hingga si mungil menggeliat bangun. Ricuh keluarga besar Arman menyambut kami. Kalau Asha menurut cerita Kania, sedang di luar kota. Mungkin pas acara resepsi dia akan hadir.
"Ini nak Prilly, ya? Mantannya Arman, kan?." Wanita paruh baya berjilbab lebar yang terlihat masih cantik di usianya, langsung membuat keadaan hening. Aku langsung kikuk. Bahkan Kania terlihat menahan nafas di sebelahku.
"Ma.."
Suara teguran seseorang memecah keheningan. "Aduh... Maafin tante ya sayang. Maaf.. tante nggak bermaksud.." Terlihat sekali rasa bersalahnya. Aku hanya mengangguk lantas tersenyum.
"Nggak apa-apa tante. Saya Prilly, tan." Ku ulurkan tanganku menyalami beliau yang di sambut ramah. Kucium tangannya hormat.
"Panggil saja tante Dewi. Mamanya Ali." Aku mengangguk.
"Ya udah. Kita masuk dulu sekarang, pasti tamu kita kecapekan!" Itu suara tadi yang menegur tante Dewi.
Lelaki bertubuh tinggi tegap yang kutahu ialah calon mempelai pria sepupunya Arman. Dia juga yang pernah di kenalkan Arman padaku dulu. Namanya Ali. Ali Sahreza.
Matahari saja tak pernah lelah menerangi dunia, mengapa pula aku harus lelah hanya karena banyak yang menanyaiku ini itu tentang aku dan Arman. Puluhan tanya yang terlontar bagai jarum yang satu persatu menancap di ulu hatiku. Jelas saja banyak yang tidak paham dengan hubungan kami. Karena ada beberapa orang dari keluarga Arman yang pernah mendengar cerita cinta kami terdahulu. Dan tentu saja Ali menjadi penengah di tengah keluarganya yang begitu amat penasaran. Pernah aku cerita kalau Arman dan Kania hanya sekedar menikah tanpa resepsi?. Iya. Jadi Kania tidak terlalu di kenal. Maka aku menjawab seadanya, "Tidak berjodoh".
"Maafin mereka ya, Prill. Kayaknya rasa penasaran mereka sudah membuat kamu tidak nyaman." Ali yang tadi menyelamatkanku dari keluarga besarnya. Jadi aku mengiringi langkah Ali yang menuju ke halaman belakang rumah. Beberapa anak-anak keluarga mereka bermain. Ali menghelaku duduk di sebuah kursi kayu bercat putih yang hanya ada satu-satunya di sini. Tak hanya Ali yang mengalihkan perhatian para keluarga, tapi juga Kania dan si kecil Maila yang seketika menjadi pusat perhatian.
"Iya, Mas. Aku maklum kok. Aku juga kalau jadi anggota keluarganya Mas Arman pasti bakalan bertanya-tanya."
"Rasanya nggak etis aja karena kamu baru nyampe langsung di recoki. Apalagi Mama. Beliau benar-benar Ibu-ibu kepo. Dulu aku juga pernah cerita kalau kamu pacarnya Arman. Gak tau juga kalau ceritanya kayak gini."
"Jodoh siapa yang tahu. Bahkan orang yang menikah saja bisa berpisah. Alhamdulillah kalau masih sekedar pacaran, kalau sudah jadi suami istri, itu pasti pelik banget. Eh..kok jadi curhat." Aku kikuk sesaat. Ali yang menyadari itu hanya tertawa kecil.
"Bener kok. Nggak ada yang salah sama ucapan kamu. Semua udah ada yang ngatur. Yahh..namanya hati, siapa yang tau."
"Ngomong-ngomong soal pernikahan, bearti besok langsung akad ya?" Aku mengubah topik pembicaraan. Tidak enak juga membahas tentang diriku, Arman dan Kania. Bagaimanapun juga mereka sudah menikah. Kania sudah jadi bagian dari keluarga ini, jadi aku tidak mau Kania nantinya mendengar hal yang tidak enak juga.
"Iya. Besok pagi jam 9 akad. Acaranya di belakang rumah orangtua Sintia aja. Soalnya Sintia mau di taman aja katanya. Hari minggunya baru resepsi di situ juga."
"Mbak Sintia cantik banget pasti ya, Mas?."
"Udah pernah lihat belum?,"
"Belum"
"Mau di lihatin?. Bentar ya." Ali merogoh saku celananya, mengeluarkan ponsel berwarna hitam. Lantas terlihat membuka-buka galeri. Ia menyodorkan ponselnya padaku. Aku terperangah. Benar-benar gambaran seorang Dewi. Berkulit putih, rambut panjang ikal yang di gerai cantik. Foto mereka waktu prawedding di tepi pantai. Baju dress putih berbelahan seksi tanpa lengan, benar-benar membalut tubuh seorang wanita cantik. Ali sendiri memakai kemeja putih berlengan panjang celana pendek. Berlatar matahari terbit.
"Cantik banget.."
Obrolan kami berlanjut membahas konsep pernikahan impiannya Sintia. Ali juga bercerita bagaimana ia bisa jatuh cinta bahkan hingga hari bahagia mereka tiba. Aku tersenyum dan banyak ber'wow' ria karena merasa takjub. Kisah cinta yang manis.
***
Dalam lajunya detak aku bertanya, permaianan apa yang ada di sekitarku. Dalam detak aku menyapa, hai mengapa kisah cinta harus pilu?
Detak berikutnya nafas seolah terhimpit. Oksigen sulit di hirup.
Dia yang terduduk lesu di kursi sana hanya mampu ku tatap nanar. Bahkan suara yang semula senyap kini mulai terdengar ricuh. Suara pecahan kaca yang terbanting, suara tangis hingga suara jeritan. Ribuan kata penenang mulai berseliweran, ribuan kata serapahan mulai mengudara.
Apa yang lebih menyakitkan di hari yang seharusnya menjadi indah kini berubah suram dalam seketika.
Kania mengampiriku. Air mata terlihat di pipinya. "Prill, titip Maila dulu, ya." Aku mengangguk. Mengambil alih Maila yang cantik di balut gaun bayi yang lucu, berbandana bunga pink.
"Aku harus nemenin Mama ngurus tante Dewi. Kasian banget beliau sampai pingsan gitu, Prilly."
"Iya, Ka."
Kania berlalu dari hadapanku. Aku juga beranjak setelah menyeka air mataku menggunakan sebelah tangan, karena ada Maila di tangan kiriku.
Mengelilingi taman, membawa kakiku melangkah menghiburkan diri. Dekorasi apik bertema hijau dan bunga lily. Meja kursi bersampul tersusun cantik. Beberapa tamu undangan yang datang berbisik-bisik. Ada yang malah terang-terangan ikut menyumpahi sang mempelai wanita yang sekarang keberadaannyapun tidak diketahui.
Ah... Hidup siapa yang bisa menebak? Sang pembolak-balik hati benar-benar punya skenario yang membuat siapapun kadang termangu. Memikirkan kejadian seperti saat ini. Bahkan aku yang orang luar saja rasanya tak mampu ketika menyaksikan wajah Ali yang pias ketika di beritahu bahwa Sintia kabur.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!