NovelToon NovelToon

Terpaksa Berbagi Ranjang

Berawal Dari Sebuah Mimpi

**Daini Hanindiya Putri Sadikin**

Aku karyawan baru di sebuah perusahaan peroperti di Jakarta. Aku baru bekerja selama lima bulan. Jabatanku adalah salah satu staf di bagian divisi mutu.

Oiya, aku tidak biasa mengikuti acara makan malam perusahaan. Kalaupun divisiku diundang, aku selalu menolak. Aku lebih suka pulang ke kostan, maskeran dan tidur. Karena sering mangkir, akupun ditegur manajer. Selain kurang suka kumpul-kumpul, aku sebenarnya merasa tak nyaman dengan tatapan mayoritas rekan kerjaku. Mungkin karena penampilanku yang sedikit berbeda.

Tapi saat wawancara dan dinyatakan diterima di perusahaan ini, tidak ada satupun peraturan yang melarangku memakai rok panjang, baju longgar, ataupun gamis. Hanya tertera, gunakan pakaian kantor yang sopan, bersih dan nyaman.

Apa penampilanku terlihat mencolok? Ya sudahlah, tidak perlu dipikirkan. Toh bagian kepegawaian atau manajerkupun tak pernah mengomentari busanaku. Atasanku tidak pernah menegurku. Lagipula, sebagai wanita muslimah, aku memang diwajibkan menutup aurat.

"Malam ini pokoknya lu harus ikut ya," kata teman kantorku, namanya Kak Listi. Dia satu divisi denganku.

"Ya, Kak," jawabku sambil merapikan berkas.

"Bajunya ganti, jangan yang kegedean Dai. Jilbabnya juga ganti dong, modis dikit napa, bisa 'kan?" tambah Kak Listi.

"Bajuku tidak kegedean, Kak. Aku memang nyaman memakai busana longgar. Kata abah, pakaian yang bagus untuk wanita muslimah itu yang menutup aurat dan tidak memperlihatkan lekuk tubuh. Jilbabku juga sama Kak, aku tidak melihat modisnya, yang aku lihat itu fungsinya. Apakah sudah sesuai sesuai syariat apa belum?" jelasku.

"Ya ya ya, susah deh kalau ngomong sama bu ustadzah. Ya udah, gua pulang duluan ya, Dai. Jangan lupa jam 8 malam lu harus ada di hotel. Mau gua jemput gak?" tawarnya.

"Gak perlu, Kak. Aku mau naik busway. Lagian dari kostsanku ke hotelnya lumayan dekat, kok," tolakku.

"Ya deh, bye Daini. Hahaha," katanya sambil melambaikan tangan. Aku hanya tersenyum dan membalas lambaian tangannya.

"Tapi lu sebenarnya cantik tahu, Dai," teriak Kak Listi.

"Terima kasih," jawabku.

...🍒🍒🍒...

Jaka (Bartender)

Malam ini, aku dan timku sangat sibuk, keringat mulai bercucuran di belakang punggungku. Ya, malam ini sedang berlangsung acara makan malam besar-besaran sebuah perusahaan properti ternama. Hahaha, sebenarnya aku juga kredit rumah di perusahaan ini. Aku kredit tipe yang paling murah. Letaknya ada di kota hujan, Bogor.

"Kak, boleh aku meminta segelas air putih?"

Seseorang menepuk bahuku. Aku menoleh, dia seorang wanita berkacamata, kuyakin dia adalah salah satu karyawan yang tengah mengikuti acara ini.

"Boleh," jawabku. Segera mengambilkan air putih untuknya.

"Terima, kasih."

"Sama-sama."

Wanita itu pergi sambil tersenyum, dia ramah dan lumayan cantik.

"Wah, gelas jus jeruk itu telihat berbeda," aku memuji sebuah gelas yang berisi jus jeruk. Terlihat mencolok, disajikan di champagne glass dengan corak yang sangat indah."

"Jangan ada yang menyentuh ya, ini minuman spesial untuk Direktur. Dipesan khusus oleh seseorang." Temanku lantas membawa minuman tersebut ke dalam ballroom.

...🍒🍒🍒...

Daini Hanindiya Putri Sadikin

Sungguh, aku hanya meminum air putih yang terhidang di hadapanku. Aku tidak mau mengambil risiko dengan meminum yang aneh-aneh. Aku bahkan tidak berani meminum jus. Tapi ... setelah meminum segelas air putih yang terhidang di mejaku, entah kenapa aku justru merasa mual dan pusing.

Kupikir akan lebih baik kalau aku segera ke kamar saja. Kata pak manajer, divisiku mendapatkan bonus, jadi seluruh staf mutu boleh menginap selama semalam di hotel bintang lima ini. Kapasitasnya satu kamar untuk dua orang. Aku sekamar dengan kak Listi.

Kamarku nomor 38, ya aku masih ingat. Aku segera mencarinya dengan berjalan terhuyung-huyung sambil menelepon kak Listi. Tapi kak Listi tidak mengangkat panggilanku. Maksudku menelepon ya karena kunci kamarnya dipegang kak Listi.

"Kak, angkat dong ...," lirihku.

Mungkin kak Listi sudah ada di kamar. Aku berpikir seperti itu.

"Tidaaak ...."

Kepalaku semakin pusing. Pandanganku mulai kabur, aku mengangkat sedikit rok maxiku agar bisa berjalan lebih cepat dan leluasa. Aku menaiki lift dengan tergesa. Entah di lantai berapa aku berada. Aku lupa, tadi menekan angka berapa ya? Serius, aku mulai linglung. Pokoknya, kamarku ada di nomor 38, itu saja yang aku ingat.

Nomor kamar yang kulewati terlihat berbayang. Anehnya, aku tidak berpapasan dengan siapapun di lantai ini. Kupikir rekan-rekan dari divisi lain masih berada di ballroom. Mungkin, mereka akan mengikuti jalannya acara sampai dengan selesai.

"Nah itu dia."

Aku tersenyum saat melihat kamar nomor 38 berada tepat di hadapanku. Saat akan kuketuk, pintunya malah terbuka. Aku yakin pintunya terbuka ya karena ada kak Listi di dalamnya.

"Kak Listiii," panggilku. Tapi tidak ada yang menyahut.

'Klak.' Samar kudengar pintu kamar tertutup otomatis.

"Aduh ...."

Aku merasa semakin pusing, badanku tiba-tiba panas. Aku membuka jilbabku, lalu menyanggul rambut panjangku untuk mengurangi perasaan gerah ini.

"Aku kenapa?"

Aku menjatuhkan tubuhku ke atas kasur. Perlahan kubuka rok panjang dan baju panjangku. Yang tersisa di tubuhku hanya pakaian dalam yang terhalang oleh singlet dan stret saja. Sungguh, aku merasa aneh dengan tubuhku. Aku tiba-tiba merasa geli dan sedikit gatal.

Ada apa ini? Apa aku alergi?

Aku bingung. Tanganku spontan memasygul rambut. Lalu ... aku juga membelai tubuhku sendiri.

"Aku kenapa? Huuu ...." Airmataku mendadak bederai.

Aku menangis dalam kebingungan dan perasaan aneh ini. Aku menggigit bibirku kuat-kuat. Aku malu pada diriku sendiri. Maaf, aku tiba-tiba menginginkan hal itu. Aku menginginkan sesuatu yang tidak seharusnya. Sesuatu yang hanya boleh dilakukan oleh pasangan suami-istri.

Deg, aku tersadar.

"Apakah aku dijebak? Ti-tidak mungkin ...."

Kenapa?

Apa alasannya?

Siapa yang tega melakukan ini padaku?

Apa aku pernah melakukan kesalahan?

Air minum itu ... ya aku ingat, aku menghabiskan air minum itu tanpa bersisa.

Aku berusaha bangun. Harapku, dengan mengguyur tubuh, efek mabuk dan perasaan gila ini akan ternetralisir. Tapi, baru saja aku duduk, aku sudah terjatuh lagi dengan posisi tertelungkup. Mataku berkunang-kunang.

Aku sepertinya mulai hilang kesadaran. Aku merasa tubuhku melayang-layang. Aku memejamkan mata dan berharap bisa membawa perasaan aneh ini ke alam mimpi dan melupakannya.

.

Rasanya baru sebentar aku memejamkan mata, tapi aku sepertinya mulai bermimpi. Aku melihat bayangan seseorang memasuki kamarku, dia berjalan terhuyung seraya memegang kepalanya.

Apa ini?

Mimpi ini aneh sekali, aku merasa seseorang tiba-tiba membelai wajahku, menciumi leherku, lalu mencium bibirku dengan sangat rakus dan berhasrat.

Tidaaak, rasanya aneh sekali dan ... dan apa ya?

Aku tidak bisa mengungkapnya. Di dunia nyata aku memang belum pernah melakukan adegan ini. Mimpi ini terlalu frontal, aku ingin bangun dari mimpi ini. Tapi mataku enggan terbuka.

Sosok dalam mimpi ini perlahan membuka seluruh penghalang yang ada di tubuhku. Mimpi ini sangat memalukan. Tubuhku teramat malu, aku berusaha menutupinya. Tapi sosok itu memaksaku membukanya.

Dia memeluk tubuh polosku, rasanya hangat, tubuhnya menguarkan keharuman. Napasnya yang cepat terdengar begitu nyata. Dia mencumbui sekujur tubuhku. Aku menggelinjang, perasaan ini ... seluruh rasa ini ... aku bingung mendeskripsikannya.

Mimpi ini benar-benar keterlaluan. Sosok tak nyata ini meraih dan memetik semua hal yang aku jaga selama ini. Segenap hal yang selalu aku sembunyikan dengan pakaian yang longgar dan tertutup.

"Ja-jangan ...."

Lirihku pelan saat sosok dalam mimpi ini akan menyentuh mahkotaku yang masih suci. Tapi ... aku tidak memiliki kekuasaan untuk melawan, tubuhku seolah patuh dan membiarkan tangan asing itu perlahan menjamahnya.

Entah apa yang terjadi, di alam bawah sadarku sepertinya aku sudah gila. Tanganku mengerat pada sprei, aku berusaha membuka mata, aku ingin mengakhiri mimpi yang tak patut dan menjijikkan ini.

Tapi lagi-lagi mataku sulit terbuka. Parahnya, ragaku sepertinya telah terpengaruh dengan keterlenaan dan rasa ini. Tubuhku merespon mimpi gila ini dengan sangat baik. Aku menikmatinya, aku menyukainya. Aku laksana daun kecil yang terbang melintasi awan.

Tanpa bisa ditahan, bibir ini spontan mengeluarkan suara yang memalukan sekali.

Kak Listi, cepat datang kak. Tolong bangunkan aku, aku tidak ingin mendalami mimpi ini lebih jauh lagi.

Saat mimpi seram biasanya aku cepat terbangun. Tapi di mimpi ini sebaliknya, tubuhku malah enggan terbangun dan seolah ingin melanjutkan mimpi ini sampai tuntas.

"Sa-sakiiit ...."

Apa ini? Apa yang terjadi?

Aku merasa tubuhku seakan terbelah menjadi dua. Ada sesuatu yang memaksa memasuki tubuhku.

"Ja-jangan, ti-tidak .... Huuu ... huuks."

Dalam mimpi ini aku menangis. Aku meraih apapun untuk menguatkanku menghadapi kesakitan kini. Kemudian aku merasa seseorang menautkan tangan kokohnya dengan tanganku, menggenggam tanganku erat-erat lalu mengulum bibirku yang nyaris beteriak karena kesakitan.

Adegan ini semakin terasa nyata, rasa sakit ini kian menjadi. Tapi ... aku merasa senang saat tangan hangat ini menggenggam tanganku. Aku juga bahagia saat rasa manis dan hangat dari bibirnya sedikit demi sedikit mengurangi rasa sakit itu.

Perlahan-lahan rasa sakit itu mulai hilang, tergantikan oleh sebuah rasa yang aku sendiri tidak bisa mendeskripsikannya.

Sebuah rasa yang menjeratku dalam pusaran yang membingungkan. Gelenyar rasa ini begitu melenakan, aku terbuai dalam mimpi luar biasa ini. Hingga aku berharap agar mimpi ini tidak lekas berakhir. Jiwa dan ragaku menikmati mimpi ini.

Lucunya, akupun berharap agar sosok tampan dalam mimpi ini bisa kuraih di dunia nyata. Aku memeluk tubuh indahnya yang dipenuhi peluh, aku membelai rambut hitamnya yang lebat dan sedikit bergelombang, aku memagut bibir tebalnya dengan lembut dan perlahan.

Mimpi ini benar-benar menyiksaku dan menghabiskan energiku. Aku janji tidak akan menceritakan bunga tidur memalukan ini pada siapapun.

Aku begitu mendalami mimpi ini hingga tubuhku lemas, letih, lesu, lelah, lunglai, dan kian terlelap.

Ini mimpi, kan?

Ini hanya bunga tidur, kan?

Ini tidak nyata, kan?

Di alam bawah sadar itu aku tiba-tiba ragu.

...🍒🍒🍒...

Mawar (Resepsionis)

Sekitar sejam yang lalu, aku disuruh mengecek kembali persiapan kamar untuk Direktur baru sebuah PT, Tbk yang bergerak di bidang properti.

Kata supervisorku, beliau pengantin baru, jadi kami menyediakan layanan khusus untuk kamarnya. Saat aku cek, kupikir seluruh persipan sudah sempurna. Kamar yang kami siapkan adalah presidential suite room. Unit kamar ini terbatas. Hanya ada 10 unit, yaitu kamar nomor 26 sampai nomor 35.

Namun beberapa saat setelah mengecek kamar itu, aku tiba-tiba merasa ragu.

"Sebentar, kamarnya sudah aku kunci lagi, kan?" gumamku pada saat itu. Alisku sampai mengernyit karena berusaha untuk mengingat-ingat.

Daripada ragu, kuputuskan untuk kembali ke sana dan mengeceknya. Setibanya di sana ternyata pintunya sudah terkunci. Oh, berarti itu hanya perasaanku saja. Akupun kembali ke ruangan resepsionis dan melanjutkan pekerjaanku.

...🍒🍒🍒...

~Dua Jam yang Lalu~

Zulfikar Saga Antasena

Aku baru memegang jabatan ini selama selama dua minggu, tepatnya dua hari setelah resepsi pernikahanku. Papakulah yang memaksaku menjadi direktur. Papa adalah pendiri salah satu perusahan properti di Jakarta. Perusahaan papa cukup terkenal.

Properti yang kami kembangkan tersebar di beberapa daerah di Pulau Jawa. Belum sampai ke luar Pulau Jawa sih. Tapi, kami sudah sangat bangga dengan pencapaian ini. Jabatan Direktur eksekutif dipegang oleh pamanku, namanya Aryo Antasena. Aku memanggilnya Paklik.

Usiaku 30 tahun, lumayan matang. Aku pengantin baru. Usia pernikahanku baru memasuki minggu kedua. Nama istriku Dewi Laksmi, unik bukan? Dia sangat cantik, berprofesi sebagai guru di sebuah sekolah swasta ternama di Jakarta.

Malam ini, perusahaan mengadakan acara makan malam untuk merayakan suksesnya proyek baru prusahaan kami. Selain itu, dalam acara ini, Paklik Aryo juga memperkenalkanku sebagai direktur baru kepada manajer berikut para karyawannya yang berada di beberapa divisi. Kalau tidak salah ada enam divisi.

Ada banyak sekali pasang mata yang memandangiku, serius aku jadi tidak nyaman.

"Senyum dong, Zul," bisik Paklik Arya, dia menyikut bahuku. Aku terpaksa tersenyum. Senyum seadanya.

Beberapa kali aku memeriksa ponselku untuk mengecek pesan dari istriku. Rencananya dia akan menemaniku, tapi entah kenapa sampai detik dia belum tampak batang hidungnya.

"Acaranya sudah mulai cinta."

"Kamu di mana?"

"Sudah sampai mana?"

"Mas ingin telepon kamu, tapi gak enak sama Paklik dan yang lainnya. Walaupun ini perusahaan papa, tapi Mas kan orang baru. Kamu dimana cinta? Apa kamu sudah berada di kamar? Hehehe, kamarnya nomor 33 ya cinta. Kuncinya Mas titipkan di resepsionis."

Tapi, Dewi belum membalas pesanku, dia tidak mengaktifkan mode centang di pengaturan pesannya. Jadi, aku tidak tahu apakah pesanku ini sudah dibaca atau belum. Namun naluriku berkata jika Dewi sudah berada di kamar hotel untuk memberi kejutan. Kami pengantin baru, jiwa muda kami tentu saja sangat menggelora.

Ehm, di hari pernikahan kami, istriku malah haid, siklus haidnya lumayan panjang. Katanya, bisa 8, 9, atau sampai 10 hari.

Ssst, jadi aku dan Dewi belum melakukan ritual malam pertama. Karena Dewi haid, kami belum merencanakan bulan madu. Aku baru akan mengajukan cuti untuk bulan madu selepas Dewi bersuci.

Tapi tadi pagi dia mengatakan sudah bersuci. Aku senang, jadi bersemangat dan berdebar-debar. Aku sudah tak sabar, malam ini aku akan melepas keperjakaanku. Aku spontan tersenyum. Lagi, Paklik menyikutku. Mungkin bermaksud mengingatkanku agar terlihat berwibawa di hadapan mereka.

Aku kemudian menenggak jus jeruk yang ada di hadapanku. Jus ini disajikan di gelas yang sangat cantik. Kupandangi gelas ini. Kuteguk lagi hingga tak berbekas. Lalu kutebar kembali senyum palsu itu pada karyawan berbagai divisi yang tak satupun aku kenali.

Saat mataku beredar, sekilas aku melihat di ujung sana ada karyawan bejilbab panjang yang pergi begitu saja sebelum acara selesai.

Oh, mungkin dia akan ke kamar mandi, pikirku. Tapi saat ku lirik lagi, dia tak kembali. Lagipula, apa gunanya sih aku melihat dia? Aku kesal pada diriku sendiri. Mungkin karena penampilannya berbeda, mataku spontan meliriknya.

Maafkan Mas, Dewi. Sungguh, Mas tidak melihat wajahnya. Paling juga dia karyawan senior, sudah ibu-ibu dan berbadan gemuk. Dia sengaja memakai baju longgar agar tidak terlihat gemuk.

"Aduh ...." Aku memegang kepalaku, tiba-tiba saja aku merasa pusing. Kenapa ya? Aneh sekali.

"Paklik, a-aku tiba-tiba gak enak badan, aku izin pamit ya," bisikku pada Paklik.

"Lho, buru-buru sekali, memangnya Dewi sudah datang?" tanya Paklik.

"Su-sudah," agar urusan cepat selesai, aku jawab sudah saja. Ya, Paklik tahu kalau Dewi akan datang.

"Ya sudah, kamu cepat ke kamarmu."

Paklik menepuk bahuku, dan entah mataku salah atau tidak, aku melihat Paklik tersenyum saat melihatku. Padahal, jelas-jelas aku sedang menunjukkan ekspresi gelisah dan tidak nyaman.

"Seperti yang kalian ketahui, ponakanku pengantin baru. Hahaha, istrinya sudah datang, kalian mengerti kan? Mohon maaf yang sebesar-besarnya." Paklik bahkan meminta maaf dan memohon izin pamit atas namaku. Aku senang. Setelah menundukkan kepala, akupun pergi.

Aku berjalan cepat menuju resepsionis untuk mengambil kunci. Aku tak mengatakan apapun, namun mereka sudah faham dengan apa yang aku inginkan.

Saat tiba di dalam lift, rasa pusingku kian menjadi. Tubuhku panas, jantungku berdebar. Dan ada sesuatu yang baru kusadari. Tiba-tiba saja ada yang terbangun tanpa bisa aku cegah. S i a l, aku yakin ini ulah paklik. Dia memang jahil dan sedikit 'fiktor.'

"Dewi cintaku, Mas dikerjai paklik," gumamku sambil berjalan sempoyongan. Keringat dingin mulai mengalir di pelipis dan punggungku. Kepalaku berkunang-kunang, mataku berbayang.

...~Tbc~...

Salah Mengenali

Zulfikar Saga Antasena

Syukurlah, kamar nomor 33 telah berada di depanku. Tap, aku menempelkan kunci elektriknya dengan tangan gemetar. Aku mulai mabuk, pikiranku melanglang buana.

Yang ada di anganku adalah semua hal tentang Dewi. Dewi, Dewi dan Dewi. Aku tak sabar ingin menumpahkan segenap rasa ini. Aku ingin bercinta saat ini juga, n a f s u ku bergelora. Pandanganku tidak fokus, semua yang kulihat berbayang dan seolah bermutasi.

'Klak.'

Pintu kamar terbuka, aku berjalan sempoyongan sambil memijat keningku.

Deg, jantungku hampir loncat.

Benar kan? Apa kubilang, hahaha.

Dewi ternyata sudah berada di kamar, dia terlentang pasrah di tempat tidur. Resepsionis sepertinya memberikan kunci duplikat pada Dewi.

Oh ... seksinya.

Dia bahkan terlihat jauh lebih cantik dan seksi dari biasanya. Pakaian dalamnya hanya terhalang oleh singlet dan setrit. Sungguh, dia tampak berisi. Aku menatap tubuhnya sambil melucuti pakaianku.

Aku bahkan tak sempat menyapanya. Hasrat ini terlalu kuat. Aku tak bisa mengendalikan tubuhku. Aku merangkak ke tempat tidur dan menindihnya.

Dewi sepertinya kaget, tapi dia juga tak mengatakan apapun. Sekilas, aku melihat matanya terpejam. Apakah dia tidur? Ah, biarkan saja, aku tak peduli.

Kucumbui tubuhnya, aroma tubuhnya berbeda, mungkin dia sengaja mengganti parfumnya untuk membuatku lebih terkesan.

Napasku tak lagi beraturan. Ini kian mendesak dan menuntut, aku memejamkan mata saat menyambar bibirnya. Terasa sedikit kaku. Dewi juga seolah ingin menghindar dari bibirku, jelas aku memaksanya. Toh, ini adalah hakku. Lagi, aroma bibirnya terasa berbeda. Tapi ... aku sangat menyukainya.

Dewi memantik gairahku, dia berakting seolah sangat pemalu dan tak pernah kissing. Hal ini membuatku semakin gemas. Aku menjamah sekujur tubuhnya, tak kulewati satu incipun, dan Dewi mulai terpengaruh. Ia m e n d e s a h - d e s a h. Terdengar syahdu di telingaku.

Saat aku berkelana di sana, lucunya ... tubuhnya menolak, dia bahkan sampai menepis tanganku. Aku jadi semakin penasaran dan nakal.

"Ja-jangan ...." Aku mendengar gumamannya.

Aku terus memaksa, aku jelas tak sabaran, tubuhku telah terpengaruh minuman itu. Aku tak terkendali, hingga akhirnya ....

Aku berhasil meraihnya dengan susah-payah. Dewi cintaku, kamu sekarang milikku seutuhnya.

"Ahh ... hmm ... sa-sakiiit ...."

Dewi kesakitan. Ya, ini pertama kalinya untuk kita berdua. Walaupun aku bukan pria baik, tapi ... tidak ada dalam kamusku teori s e k s sebelum menikah. Dewi terus merintih, bahkan menangis. Tapi aku tak peduli, aku tidak bisa berhenti.

"Ja-jangan, ti-tidak .... Huuu ... huuks." Dewi cintaku menangis. Aku meraih tangannya, aku juga menautkan bibirku agar Dewi tidak kesakitan lagi.

Lama berpacu, Dewi sepertinya jadi terbiasa. Dia memeluk tubuhku yang dipenuhi peluh, dia membelai rambutku, lalu memagut bibirku dengan gaya yang sangat lembut dan tak biasa. Aku menikmati semua ini dengan mata terpejam. Kusalurkan seluruh gelora cinta ini tanpa untaian kata.

Entah sudah berapa lama kami menyatu dan terpaut, hingga akhirnya ... aku mencapai batasku dan menumpahkan seluruhnya. Aku tak mengingat kejadian selanjutnya. Yang jelas, saat ini ... aku tengah terlelap seraya memeluk tubuh polosnya yang kulitnya terasa sehalus sutra.

Aku mengecup puncak kepalanya. Aku baru sadar kalau kulit Dewi sehalus ini. Dewi juga memintal rambut panjangnya. Biasanya, dia selalu menggerai rambutnya.

Terima kasih, i love you, jadilah bidadariku, kataku dalam hati.

...🍒🍒🍒...

Daini Hanindiya Putri Sadikin

"Emmh ...."

Perlahan aku membuka mata, entah ini jam berapa, aku tak tahu. Nyawaku belum terkumpul. Kak Listi sepertinya memelukku. Anehnya, badannya terasa berat. Padahal, Kak Listi kan tinggi dan kurus. Harusnya bobotnya tak seberat ini.

Pandangan pertama yang aku lihat adalah furniture mewah dan televisi super besar yang menempel di dinding kamar ini. Aku baru sadar jika kamar yang ku inapi ternyata semewah ini.

Aku sampai mengerjapkan mata saking tak percayanya. Tapi, pemandangan di hadapanku tidak berubah. Bukan, kamar ini bukan lagi mewah, tapi ... sangat megah.

Ya ampun, aku tidak salah kamar, kan? Ah, mana mungkin. Salah kamar hanya berlaku di dunia novel, dunia nyataku tidak mungkin seperti itu.

"Uhh ...."

Apa ini? Kenapa badanku terasa sakit? Dan di sana ... ke-kenapa? Ke-kenapa terasa ngilu dan perih?

Jantungku mulai berdegup cepat. Aku yang tidur menyamping dan dipeluk Kak Listi menundukkan kepala perlahan untuk melihat tubuhku.

Deg.

Tidaaak, apa aku tidur tanpa busana?

Segera ku bekap mulutku kuat-kuat. Ku gigit bibirku juga untuk mengendalikan segenap kepanikan ini. Mataku membulat sempurna.

Ti-tidak mungkin.

Tatapanku kemudian turun pada tangan dari sosok yang memelukku.

A-APA?!

Andai teriakanku bisa diutarakan, mungkin suara jeritanku akan menandingi pekakkan halilintar.

Tubuhku spontan gemetar. Dengan mata kepalaku sendiri, aku melihat sebuah tangan besar melingkar di pinggangku, kulitnya kuning langsat dan bersih, dihiasi bulu-bulu ikal yang tampak terawat, serta sebuah jam tangan mahal berwarna dark silver.

Astaghfirullahaladzim ....

Apa gerangan yang telah terjadi? Apa kejadian semalam bukan mimpi? Semalam, aku ... aku telah melakukan sesuatu yang nista dan hina.

A-apa aku telah berzina?

Lalu ... siapa pria jahat ini? Apa dia sengaja menjebakku? Apa aku telah dijual atau dikerjai seseorang? Tapi ... apa alasan dari semua ini? Aku merasa tidak melakukan kesalahan apapun.

Aku tak kuasa menahan seluruh gejolak ini. Aku ingin segera pergi dari pria biadab ini. Aku juga harus membersihkan tubuh kotor ini, lalu melapor pada polisi dan memenjarakan semua orang yang telah berani menjebakku.

"Huuuks."

Aku terisak sambil berusaha melepaskan diri dari pria b r e n g s e k ini. Aku menepis tangannya.

S i a l!

Dia malah mendekapku kian erat. Tangannya bahkan menelusup nakal ke daerah sana.

Menjijikkan!

"Ahh, lepaskan aku! K e p a r a t!"

Aku meraih tangannya, lalu kugigit dengan sekuat tenaga.

"Aaargh."

Dia beteriak, dan terbangun. Lalu duduk, dan meringis. Kemudian mengucek matanya beberapa kali.

Aku beringsut, menarik selimut dan mundur ke ujung tempat tidur. Aku menatap sosok itu seraya membelalakan mata.

Saat dia mengibas rambutnya, aku ingat benar jika pria ini adalah ....

Zulfikar Saga Antasena?

Di-dia?

Dia adalah Direktur baru perusahaanku yang semalam diperkenalkan oleh Direktur Eksekutif, pak Aryo Antesena.

Tubuhku mendadak lemas, aku tidak bisa menyikapi kenyataan ini, aku tak sanggup menghadapi fakta mengerikan ini.

Mataku berkunang-kunang, kepalaku pusing tujuh keliling. Aku shock, jiwa dan ragaku terguncang hebat. Kegelapan tiba-tiba melanda.

Aku ... aku ... terkulai dan melupakan semuanya.

Aku ....

Pingsan.

...🍒🍒🍒...

Zulfikar Saga Antasena

"Aaargh," teriakku.

Bukannya disambut hangat, Dewi malah menggigit tanganku. Entah apa motifnya, aku bingung. Aku duduk, dan meringis. Kemudian mengucek mataku beberapa kali. Malam pertama yang aneh pikirku, aku kan masih mau peluk-pelukan. Selain itu, tubuhku juga lelah. Aku butuh istirahat.

"Sakit tahu cinta. Lihat tangan Mas, sampai merah begini?"

Aku mengulurkan tangan pada Dewi yang tergeletak di ujung tempat tidur, wajahnya terhalang selimut, namun sebagian tubuhnya terekspos, dan itu ... sangat seksi.

Secara naluriah dan fisiologis, sistem hormonku langsung bereaksi. Aku jadi ingin mengulang kembali adegan percintaan itu.

Dewi menggigitku mungkin sebagai ungkapan balas dendam karena semalam aku telah menyakitinya. Aku tersenyum bangga, ku usap titik merah di sprei ini sambil membayangkan kembali kejadian itu.

Aku yakin jika noda merah ini berasal dari Dewi.

"Cinta, maaf ya ... semalam aku sedikit kasar."

Aku merangkak mendekatinya sambil mengusap kaki indahnya yang mengintip di balik selimut.

"Dewi cintaku, sebelum mandi, ayo kita lakukan lagi. Semalam aku agak kasar karena pengaruh obat. Aku yakin paklik dalangnya. Sekarang aku akan melakukannya dengan lembut, mau ya ...," bisikku.

Aku menempelkan bibirku di cuping telinganya.

Perlahan, aku membuka selimut yang menutupi wajahnya. Kali ini, Dewi sedikit aneh, apa maksudnya coba? Masa dia tidak merespon ucapanku? Dewi seolah-olah tak peduli dengan apapun yang ku ucapkan.

"Dewi cintaku, Mas mau ---."

DEG, jantungku bak dihantam gada. Tanganku gemetar, wajahku pastinya pucat pasi. Tubuhku kaku dan membantu. Saat selimut itu ku buka, yang ku lihat bukanlah Dewi.

Lalu ....

Siapa? Siapa wanita ini?

"Ti-tidak mungkin, ini pasti salah, ini pasti mimpi."

Aku mengelak dan sangat berharap jika yang ku lihat saat ini hanyalah fatamorgana. Ku pukul pipiku kuat-kuat. Aku ingin segera bangun dari mimpi buruk ini.

'PLAK.'

'PLAK.'

Dua kali pukulan di pipi kiri dan kanan. Pukulan tanganku sangat kuat hingga telingaku berdenging.

Tapi ... apa yang terjadi?

Wanita j a l a n g itu masih tergeletak di tempat tidurku. Berarti, ini bukan mimpi?

"Tidaaak."

Aku mundur beberapa langkah untuk menjauh dari wanita terkutuk itu. Ku raba tubuhku sambil becermin. Jelas, yang aku kenakan hanya pakaian dalam bagian bawah.

"Astaghfirullahaladzim, kenapa jadi seperti ini? Kenapaaa?" teriakku.

Dadaku panas seketika, aku yakin wanita ini sengaja masuk ke kamarku untuk mendapatkan uang.

Atau ... dia sengaja dikirim oleh rivalku untuk menjatuhkan nama baikku dan nama baik perusahaan. Itu artinya, yang menaruh perangsang di jus jeruk itu pasti bukan paklik.

"K u r a n g a j a r!"

'PRAK.'

Aku meninju cermin. Pecahannya berhamburan ke lantai, buku tanganku terluka. Tapi aku tak peduli.

Aku harus memberi pelajaran pada wanita ini. Dia harus bertanggung jawab dan mengakui kesalahannya. Kalau perlu, aku akan merobek mulutnya agar dia mengatakan motif bulusnya hingga berani naik ke ranjangku, mengorbankan keperawanannya, dan mengambil keperjakaanku.

Aku memakai kembali pakaianku yang bececeran dengan tergesa. Wajahku merah padam, amarahku memuncak hingga ubun-ubun. Aku harus segera memberi pelajaran pada j a l a n g ini.

"Bangun kamu! Bangun!" teriakku. Sambil melempar bantal dan guling ke wajahnya. Tapi dia diam saja, tubuhnya bergeming bak orang pingsan.

"K u r a n g a j a r!" Aku mengatur napas.

Mungkin i b l i s baru saja mengendalikan emosiku. Tadi sepintas terbesit ingin membunuhnya dengan cara menyekapnya dengan bantal, lalu merusak wajah cantiknya itu agar aku puas.

"Bangun kamu!"

Aku merangkak, lalu menarik kaki jenjangnya dengan kasar hingga tubuhnya terjatuh dari ranjang. Aku bertolak pinggang, lalu melempar selimut agar tubuhnya tertutupi.

Aku mencari apapun untuk membuatnya bangun dan sadar akan kesalahannya. Ku lihat ada teko air. Segera ku ambil, dan ....

'Syuuur.'

Aku menyiram wajahnya saat ia menggeliat dan meringis-ringis.

Dia terbangun, langsung mengusap wajahnya dengan tangan yang gemetar. Aku memelototinya dengan tatapan membara.

Akting dia sangat bagus. Dia seolah ketakutan dan tak ingin bersitatap denganku. Dia memeluk tubuhnya dan langsung menangis. Benar-benar profesional!

"Siapa yang menyuruh kamu, hah? Siapa?!"

Aku yang sudah dipenuhi amarah segera mendekat dan menjambak rambutnya.

"JAWAB!" bentakku.

"Huuu ... le-lepas ... ss-sa-sakit ...."

Dia malah berusaha menepis tanganku. Aku kian naik darah. Ku cengkram kuat rahangnya hingga pipinya memerah. Andai aku tidak menahan diri, kepala wanita ini sudah aku benturkan ke lantai, atau aku cekik saja lehernya.

"Cepat jawab! Dasar p e l a c u r! Beraninya kamu masuk ke kamarku!"

"To-tolong ... ha-harusnya a-aku yang marah pada Anda. Ke-kenapa Anda masuk ke ka-kamarku dan emm ... kenapa A-Anda me-meniduriku?"

Ku biarkan dia bicara, aku berusaha sekuat tenaga untuk menahan emosi.

"Anda su-sudah menghancurkan masa depanku. Tak peduli jabatan Anda apa, aku akan melaporkan perbuatan Anda pada polisi, huuu ... huuuks."

"APA KATAMU?!"

J a l a n g ini pandai sekali berkilah. Dia malah menyalahkanku, dia menjawab pertanyaanku sambil memalingkan wajah dan terus menangis. Air mata buayanya bercucuran dengan derasnya. Aku sangat muak! Aku benar-benar membenci wanita ini.

"Kamu bilang aku masuk ke kamarmu?! Apa kamu yakin, hahh?!"

Karena emosi, aku menoyor kuat pelipisnya hingga ia tersungkur dan tangisannya semakin kencang.

"Huuu, a-aku tidak memiliki niat apapun, aku hanya ingin tidur di kamarku, i-itu saja ... huuks," kilahnya lagi sambil merangkak pelan memunguti pakaiannya.

Aku kembali terhenyak. Yang dia punguti sepertinya jibab dan rok panjang yang aku pribadi merasa dejavu saat melihatnya.

"Sekarang katakan! Berapa nomor kamarmu, hahh? Buktikan! Aku atau kamu yang salah masuk kamar?!"

'Tak.'

Aku melempar kunci kamar ke wajahnya. Ternyata mengenai pipinya, dia meringis. Pipinya memerah. Aku sebenarnya tidak bermaksud melempar sekuat itu. Dan dia terkejut saat melihat nomor pintunya.

"A-apa, ti-tidak mungkin, a-aku tidak mungkin salah kamar. Saat aku ke sini, pintu kamar ini terbuka, tolong percayalah, a-aku tak bermaksud apa-apa."

Tubuhnya gemetar saat melihat nomor yang tertera. Perlahan, dia menengadahkan wajah untuk sejenak menatapku, dari bola matanya jelas sekali jika dia ingin dikasihani. Tapi, aku tidak sebodoh itu.

Jangan harap aku akan iba padamu!

"Hahaha, alasan macam apa itu, hah?! Kamu dan seseorang pasti sengaja menjebakku dengan obat p e r a n g s a n g! Mana ada orang bisa masuk ke kamar hotel tanpa kunci! Kecuali kalau kamu i b l i s!" bentakku.

"To-tolong dengarkan dulu pen ---."

"Cukup! Pokoknya, aku akan melaporkan kamu ke polisi! Apa kamu tahu?! Aku sudah memiliki istri!"

"Coba kamu bayangkan bagaimana sakitnya dia kalau sampai tahu suaminya tidur dengan wanita lain! Aku bahkan belum melakukan hubungan itu dengan istriku. Tapi ... kamu tiba-tiba ada di ranjangku dan menggodaku. Aku mengira kamu adalah istriku."

Aku berbicara dengan menggebu-gebu. Tak sadar tubuhkupun bersimpuh di lantai karena teramat menyesali kejadian ini. Dadaku sesak, sakiiit. Aku memukul dadaku. Dan wanita itu, dia menatapku sekilas lalu menunduk.

Aku terjebak dalam kebingungan yang mendalam. Jika aku melaporkan wanita ini ke polisi, maka ... mau tidak mau, kasus ini akan menjadi konsumsi publik dan tentu saja akan berdampak pada perusahaan papaku.

Selain itu, wanita ini juga pasti akan jujur pada publik kalau aku telah mengambil kesuciannya.

Dan ada satu hal lagi. Dewi pasti akan sangat terluka jika mengetahui kejadian ini. Jika hubunganku dan Dewi memburuk, maka hal ini akan berdampak pula pada perusahaan. Papanya Dewi dan papaku berteman baik. Papa dan keluarga Dewi merupakan pemegang saham di perusahaan papaku.

Aku bangkit, lanjut menonjok kembali cermin dan menendang meja.

"ARGH."

Aku memasygul rambutku. Aku sangat putus asa.

"Huuu ... de-demi Allah, a-aku tidak sengaja masuk ke kamar ini. Setelah minum air putih ak ---."

"Diam kamu! Diam! Beraninya sekali kamu membawa nama Tuhan!"

Aku menunjuknya dan semakin marah. Wanita itu terdiam, memeluk lututnya, kepala menuduk, pundaknya begerak-gerak. Dia telah memakai kembali jilbabnya.

Deg, dan aku teringat pada wanita yang ku lihat saat itu. Jibabnya mirip sekali dengan wanita ini.

Apa dia orang yang sama? Apa dia karyawanku?

"Aaargh," aku kembali beteriak.

Bagaimana aku menyelesaikan masalah ini? Bagaimana aku menjelaskan ini pada Dewi?

Lalu tiba-tiba pintu kamar diketuk dari luar. Aku dan wanita itu terkejut.

"Assalamu'alaikuum, Mas," sapa seseorang dari luar.

Aku mematung, aku mengenal dengan baik suara itu, itu suara wanita yang sangat aku cintai, Dewi Laksmi. Ingin rasanya aku menghilang dari muka bumi ini detik ini juga.

Tolooong, aku harus bagaimana? Wanita ini benar-benar simalakama.

"A-aku akan bersembunyi," lirih wanita itu, dia merangkak ringkih menuju lemari sambil memeluk pakaian yang belum sempat ia kenakan.

"Tunggu."

Aku menahannya dengan cara menjambak jilbabnya. Dia benar-benar munafik. Dia menutupi jiwa j a l a n g nya dengan hijab dan busana syar'i.

"Kenapa? Tolong jangan kasar, tubuh sudah sakit akibat ulah Anda," ratapnya. Matanya memerah, kelopak matanya sembab. Wanita itu terlihat menyedihkan.

"Maaas." Dewi kembali memanggil.

"Bagaimana dengan darah itu?! Bagaimana caranya aku menyembunyikan darah itu dan merapikan tempat tidur, hahh?!" desakku.

"Tu-tutupi pakai bed cover saja," sarannya. Dia benar-benar masuk ke dalam lemari.

"Cepat kunci, Anda juga harus menyembunyikan kuncinya." Dia kembali memberi saran.

Aku yang panik segera mengikuti saran wanita itu. Menguncinya, lalu menyimpan kuncinya di bawah spring bed.

...~Tbc~...

Simalakama

Dewi Laksmi

"Assalamu'alaikuum, Maas," panggilku sambil mengetuk pintu kamar hotel.

Aku benar-benar menyesal. Bisa-bisanya aku ketiduran setelah meminum obat flu. Padahal dari jam delapan malam aku sudah siap-siap. Sudah dandan cantik dan modis. Rencananya sih mau malam pertama.

Saat aku bangun ternyata sudah jam satu malam lewat dua belas menit. Awalnya iseng sih mau tidur dulu sepuluh menit karena ngantuk berat. Sengaja menyalakan alarm agar tidak ketiduran. Eh, ujung-ujungnya malah ketiduran.

"Acaranya sudah mulai cinta."

"Kamu di mana?"

"Sudah sampai mana?"

Aku membuka dan membaca kembali pesan dari Mas Zul. Serius, aku merasa berasalah.

Dia bakal marah tidak, ya?

Aku ragu, batinku kalut. Karena tidak ada sahutan dari dalam, akupun menelepon Mas Zul. Sampai tiga kali panggilan tapi tetap tidak diangkat.

Dia pasti sudah tidur.

"Maas."

Tak putus asa, aku kembali memanggilnya. Lagi-lagi tidak ada sahutan. Aku akhirnya kembali ke resepsionis untuk meminta bantuan.

"Ya, Bu. Ada yang bisa kami bantu?"

"Maaf Kak, bisa tolong telepon kamar nomor 33? Aku istrinya pak Zulfikar Saga Antasena. Aku sudah ke unit kamarnya tapi tidak ada sahutan," keluhku pada resepsionis.

"Oh, oke. Baik Bu, mohon tunggu sebentar ya."

"Ya," aku mengangguk.

"Kalau sudah tersambung, aku mau bicara," sambungku.

"Baik," jawab resepsionis tersebut.

Rupanya, ditelepon menggunakan telepon pararelpun, suamiku sulit bangun. Kulihat resepsionis telah melakukan pangilan sebanyak tiga kali.

Higga akhirnya pada panggilan keempat, aku melihat ada titik terang. Resepsionis melambaikan tangan padaku. Aku bergegas menghampirinya dengan berlali.

"Hallo Mas, maaf Mas aku ketiduran. Aku tak sengaja Mas. Aku menyesal, aku minta maaf ya Mas. Please...."

Langsung memberondong dia dengan kalimat permintaan maaf sebelum Mas Zul bertanya ataupun mengatakan apapun.

"Oh, tidak apa-apa cinta. Mas juga minta maaf. "

Sura Mas Zul terdengar lemah dan gemetar, mungkin karena baru bangun tidur.

"Mas, aku ke kamar sekarang ya, aku sudah panggil-panggil Mas lho dari tadi, tapi Masnya gak bangun-bangun."

"Ya cinta, Mas ke-kelelahan, emm ... mungkin karena banyak yang Mas harus kerjakan," lirihnya. Lagi, suaranya lemas. Padahal, aslinya suara Mas Zul itu berat dan seksi.

"Oke." Aku menutup telepon.

"Terima kasih ya, Kak," ucapku pada resepsionis.

"Sama-sama, Bu."

Aku beranjak dengan semangat menggebu. Semoga saja Mas Zul masih bersemangat untuk melakukan malam pertama kita. Kalaupun tidak sekarang, ya ... kita bisa melakukan itu pada pagi harinya.

Di dalam lift aku tersipu karena membayangkan hal itu. Bahkan senyum-senyum sendiri sampai tak terasa sudah tiba lagi di depan kamar yang kumaksud. Aku lantas mengetuk pintu.

'Klak.' Pintu terbuka.

"Mas, maaf."

Langsung berhambur memeluknya saat Mas Zul membuka pintu. Entah kenapa, aku merasa dia kurang merespon pelukanku. Oh, mungkin suamiku masih mengantuk.

"Cantik sekali," pujinya. Menatap penampilanku.

"Ya dong, kan kamunya juga ganteng."

Aku balik memujinya sambil mengusap dada bidangnya yang masih bebalut kemeja kantor yang terlihat sudah kusut.

"Kamarnya bagus banget Mas."

"Ya cinta, inikan kamar kelas presiden," jelasnya sambil duduk di tempat tidur yang digelari bed cover.

Akupun duduk di sisinya dan memeluk bahunya. Mau menagih malam pertama, tapi malu. Lagipula, Mas Zulnya juga terlihat tidak bergairah.

"Mas, kok tempat tidurnya digelari bed cover segala?" tanyaku.

Sebenarnya tidak apa-apasih, hanya saja aku melihatnya sedikit aneh. Biasanya kan bed cover digelar di bagian ujung tempat tidur.

"O-oh, i-ini sengaja cinta, biar semakin hangat dan kasurnya makin tebal," jawabnya.

"Hehehe, dan sekarang Mas akan semakin hangat karena ada aku," rayuku. Kembali bergelayut di bahunya. Semoga saja Mas Zul mengerti kalau aku ingin segera melakukan itu.

"Cinta, emm ... a-anu ma-maaf ya, malam ini ... kita tunda dulu ya malam pertamanya, Mas lelah," katanya. Sungguh, ini kalimat yang sangat mengecewakan, tapi aku berusaha biasa saja dan baik-baik saja. Toh, ini memang salahku.

"Tidak apa-apa Mas, hehehe. Tapi, kalau pagi-pagi, boleh ya," tawarku sambil membelai rambutnya yang terlihat kusut.

"Ehm, bo-boleh," jawabnya seraya membaringkan diri.

Aku duduk di sisi tempat tidur sambil menatapnya. Mungkin hanya perasaanku saja, aku merasa Mas Zul mengatakan 'boleh' dengan sedikit ragu.

Aku kemudian mengganti busanaku dengan piyama super seksi. Lalu merebahkan kepala di lengan kokohnya, memeluk tubuhnya.

Sabar Dewi Laksmi, kamu harus sabar.

Aku mensugesti diriku sendiri. Ya, aku memang harus bersabar. Seperti halnya dulu aku bersabar saat berusaha keras untuk mendapatkan hatinya.

Aku dan Mas Zul dijodohkan. Saat pertama kali melihatnya di acara perjodohan itu, aku langsung jatuh cinta padanya pada pandangan pertama. Siapa sih yang tidak suka dengan pria setampan ini? Aku mengelus dadanya.

Aku percaya diri bisa mendapatkan hatinya. Kenapa? Pertama, karena banyak yang mengatakan kalau aku cantik. Kedua, aku berasal dari keluarga kaya-raya. Dari segi harta orang tua, aku dan Mas Zul sepadan. Ketiga, aku mendapatkan dukungan dari orang tua Mas Zul dan seluruh keluarga besarnya.

Papanya Mas Zul adalah kolega bisnis papiku. Mereka telah bekerja sama dalam waktu yang lama.

Mas Zul sebenarnya sempat memiliki kekasih, tapi diputuskan oleh Mas Zul karena dia gila harta. Mas Zul sering dijadikan bahan pamer oleh mantan kekasihnya. Walaupun kaya-raya, Mas Zul sangat menyukai kesederhanaan. Ia tentu saja tidak menyukai wanita sombong seperti mantan kekasihnya.

Setelah aku telusuri, mantan kekasih Mas Zul ternyata berasal dari keluarga sederhana. Hal ini membuatku semakin jatuh cinta. Mas Zul tidak sombong dengan kekayaannya. Dia menyikapi setiap perbedaan sebagai nikmat Tuhan yang harus disyukuri.

Setelah resmi melajang, ia akhirnya menerima perjodohan denganku. Kami dijodohkan oleh kedua orang tua kami. Saat pertama kali aku bertemu dan berbicara dengannya, Mas Zul berkata ....

"Maaf, aku belum mencintai kamu. Tapi aku akan berusaha. Aku sangat mencintai keluargaku. Jadi, aku tidak akan mengecewakan mereka. Jika kamu menyukaiku, mari lanjutkan perjodohan ini dan berusahalah agar aku jatuh cinta padamu."

Aku masih mengingat kalimat yang ia utarakan pada saat itu. Masih ingat jua bagaimana dinginnya mata indah ini saat menatapku.

Cup, aku mengecup kelopak matanya yang terpejam.

"Mas, gak ganti baju dulu? Aku kan bawa baju gantinya," bisikku. Dia membuka mata, lalu menarikku ke dalam dekapannya.

"Besok saja ya cinta gantinya, tidak apa-apakan?" katanya.

Ia mengelus rambutku lalu mengecup puncak kepalaku berkali-lali. Aku bahagia, aku menghidu aroma dadanya. Mungkin aku salah, aku merasa ada aroma lain yang menempel di dada suamiku.

Ah, wajar pikikirku, kan Mas Zul baru selesai acara makan malam, ia pasti bersalaman dan berdekatan dengan banyak orang.

"Dewi ...," tiba-tiba memanggilku dengan suara lirih.

"Ya Mas, kenapa?"

Aku menengadahkan kepalaku untuk menatapnya. Dan aku terkejut. Aku melihat bibir Mas Zul gemetar. Aku juga melihat mata Mas Zul berkaca-kaca.

"Mas, kenapa?" Aku menangkup pipinya.

"Cinta ... maafkan Mas ya," dia membelai pipiku.

"M-Mas?" Aku jadi terbata-bata, aku heran pada sikapnya.

"Kenapa?" Aku bertanya lagi.

"Ti-tidak apa-apa Dewi .... Mas hanya merasa tidak pantas mendapatkan cinta dari kamu. Mas merasa belum bisa menjadi suami yang baik untuk kamu. De-Dewi ...." Dia mendekapku erat-erat. Aku semakin kebingungan.

"Mas ... kenapa berbicara seperti itu? Mas, usia pernikahan kita belum genap dua minggu, kalaupun Mas merasa belum bisa jadi suami yang baik, ya wajar. Kita masih sama-sama belajar, aku juga belum jadi istri yang baik kok," ucapku. Seraya mengecup bibirnya yang malam ini terlihat lebih merah dan tebal dari biasanya.

"Wi ... maafkan Mas jika suatu saat Mas menyakiti perasaan kamu dan mengecewakanmu."

Dia mengatakan itu sebelum memagut bibirku. Aku memejamkan mata untuk menikmatinya.

Lumayan lama kita saling terpaut, hingga aku menyadari ada sesuatu yang basah menetes ke pipiku.

Apa ini?

Aku mambuka mata perlahan. Deg, batinku terhenyak. Aku melihat sudut mata Mas Zul yang terpejam mengalirkan air mata. Ternyata ... dia menciumku sambil menangis. Aku baru kali ini melihat dia menangis.

Mas, kamu kenapa? Batinku bertanya-tanya.

Walaupun penasaran, untuk saat ini, aku akan pura-pura tidak melihat tangisannya. Aku sangat merindukannya. Sudah lama sekali aku mendamba semua hal yang dimiliki suamiku ini. Perlahan namun pasti, akupun memberanikan diri untuk membuka kancing bajunya.

"Uhhuk." Sayup kudengar suara batuk.

Aku kaget, dan Mas Zul tampak lebih kaget lagi. Kami saling menatap. Aku melihat dengan jelas dada Mas Zul terengah-engah, dan wajahnyapun memucat.

Aku jadi bingung, sedari awal Mas Zul memang terlihat aneh.

"Mas, aku mendengar su ---."

Aku tidak jadi mengutarakan apa yang kudengar karena Mas Zul tiba-tiba menyerangku. Dia menindihku dan ....

Dan sepertinya ... kami akan melakukan malam pertama kami saat ini juga. Aku pasrah dan mencoba melupakan semua hal aneh yang terjadi pada suamiku.

...~Tbc~...

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!