NovelToon NovelToon

IBLIS PUTIH

01. Keajaiban

Seorang gadis cilik yang terlahir dengan rambut putih. Perbedaan yang sangat mencolok di masyarakat melahirkan dugaan dan prasangka yang tidak pernah benar. Orang-orang pun mengucilkannya, membuang, dan tidak pernah menganggapnya manusia.

Rambut putih melambangkan musibah, penyakit, dan derita. Itulah sudut pandang yang orang-orang miliki. Gadis cilik itu pun menangis keras dibalik pohon namun tiada yang mau peduli. Mengharap simpati, masyarakat malah membentaknya pergi. Sungguh malam nasibnya.

Dia ingin teman dan sahabat, dia ingin menjadi anak-anak normal. Sayangnya masyarakat tidak menghendaki demikian. Mereka terus melempar caci maki, sampa, buah, dan sayur busuk kepada tubuh gadis yang tiada tahu dimana dia bersalah.

Tumbuh dibawah tekanan seperti itu adalah hal yang berat. Seiring bertambahnya umur, bertambah pula gadis berambut putih itu sakit-sakit. Bertambah pula masyarakat yang beranggapan wabah penyakit akan datang.

Masyarakat pun beramai-ramain ke rumahnya pada malam hari. Menggenggam obor menyala di tangan, bersiap melemparkannya pada rumah yang lebih layak disebut gubuk tersebut. Di rumah itulah si gadis berambut putih terbaring sakit.

Tinggal sedikit lagi sebelum si jago merah dinyalakan, seseorang memberanikan diri memanggil. Masyarakat melirik kepadanya dengan tatapan tidak suka. Beberapa bahkan mengecamnya karena tindakannya mengganggu kegiatan ini.

Dihadapan mereka terlihat sebuah rombongan kecil, sebelas orang yang menunggang kuda bermuatan banyak. Pakaian mereka nampak asing, hal itu langsung memberitahu bahwa mereka adalah pengembara. Lelaki yang sebelumnya memanggil turun dari kudanya, mendekat pada masyarakat dan mengetakan bahwa semua ini sudah kelewatan.

Masyarakat marah, langsung mencacinya dengan umpatan tidak layak dan menyebutnya bersekongkol dengan gadis berambut putih. Kacau, panas, musyawarah tidak mungkin dilakukan, dan betrok akan segera terjadi. Kondisi yang kian tidak stabil itu memaksa sepuluh orang lain turun dari kudanya.

Mereka menarik bilah pedang masing-masing, mengacungkan pada puluhan lelaki dihadapannya dengan wajah mengancam. Masyarakat seketika ciut nyalinya, pada akhirnya mereka memilih menurut pada sebelas orang dihadapannya. Mereka semua pulang tanpa bisa membakar gadis berambut putih.

Habis massa yang akan bertindak ekstrim itu, lelaki yang pertama menyeru segera mendekat ke rumah sederhana tersebut. Dia mengetuk beberapa kali dan mengucapkan salam. Tidak ada balasan, hening, hanya suara hewan malam yang terdengar disana.

Lama menunggu membuat sebelah orang itu merasa aneh. Mereka tidak mungkin salah memasuki rumah, ini pasti rumah si gadis berambut putih tersebut. Pintu rumah pun coba dibukan, tidak terkunci. Tiga orang masuk kedalamnya.

Ketiga kaget mendapati si gadis terbaring lemah ditengah ruang. Beralaskan tanah dengan selimut kain yang sangat tipis. Suhu tubuhnya tinggi dan dia tidak sadarkan diri. Cepat-cepat sebelas orang itu bertindak.

Menyiapkan kompres, air hangat, dan racikan obat yang telah di buat. Malam itu, sebelas pengembara tersebut memutuskan menetap disana sementara.

Sementara berarti enam tahun mereka tinggal disana. Selama empat tahun itu mereka memberikan penyuluhan pada masyarakat yang fanatik terhadap ajaran leluhur, rambut putih tidak ada hubungannya dengan kesialan atau penyakit.

Namun bukannya dibalas baik, mereka dibalas dengan lemparan kotoran dan buah-buahan busuk. Sebelas pengembara itu tidak menyerah, mereka terus menyebarkan kebenaran sekaligus ilmu kepada masyarakat.

Perlahan-lahan tumbuhlah rasa hormat yang besar kepada mereka. Tetap ada pihak yang membenci, tetapi lewat kasih sayang dan keramahan di setiap senyum, mereka tawarkan ilmu-ilmu untuk menghapus kebodohan yang diwariskan para leluhur.

Lambat laun, enam tahun itu menjadikan perubahan besar bagi warga desa. Sebagian dari mereka bahkan ada yang mulai menunjukkan pertemanan pada gadis berambut putih meski sembunyi-sembunyi. Sadar atau tidak, si gadis berambut putih tetap senang dengan perubahan ini Dunia terlihat lebih indah.

Enam tahun terlewati dan sebelas pengembara itu harus melanjutkan perjalanan. Salah seorang dari mereka memilih tinggal bersama si gadis berambut putih. Bukan hanya itu, dia juga memutuskan untuk menjadikan si gadis berambut putih pendamping hidupnya.

Si gadis berambut putih terlihat berseri-seri sekaligus sangat gugup, dia tidak pernah menyangkan ada kejutan itu. Ia merasa itu adalah hari terbaik dalam hidupnya. Pernikahan pun dilangsungkan, orang-orang berbahagia, orang-orang mengucapkan selamat, namun tidak semuanya.

Masih ada pihak yang tidak mensetujui keberadaan gadis berambut putih tersebut. Mereka menunggu waktu yang tepat untuk membalas. Selanjutnya, mereka tidak akan main-main.

@@@

Itu adalah malam yang begitu berat bagi perempuan berambut putih. Setelah dua tahun membentuk rumah tangga akhirnya perjuangannya mencapai klimaks. Malam itu, malam yang beraingin kencang. Di dalam ruangan yang dulunya adalah tempat yang terbaring demam, si perempuan berambut putih sedang berusaha melahirkan putranya.

Suaminya entah dimana sekarang. Dua hari yang lalu dia pergi ke tempat ibadahnya. Dia dan sepuluh orang lain memang orang yang taat beragama. Dia punya tempat ibadah sendiri di tempat sunyi. Dia berkata bahwa ingin berdoa kepada Tuhan.

Namun entah kenapa dia belum pulang sampai detik ini. Si perempuan berambut putih pun terpaksa melahirkan tanpa kehadiran sosok suami disampingnya. Ini adalah momen terberat dalam hidup, berjuang hidup-mati tanpa sosok penguat disamping.

Si perempuan berambut putih tidak berpikit demikian. Meskipun di dalam ruangannya hanya ada dua bidan dan dua sahabatnya, dia tetap merasa suaminya sedang berada disampingnya. Menggenggam erat tangannya dengan lembut dan membisikkan semangat.

Perjuangan yang melelahkan itu berlangsung sangat lama, disela-sela perjuangan itu dia berdoa untuk keselamatan putranya. Doa yanga pastinya dikabulkan Tuhan Yang Maha Mendengar.

Penghujung perjuangan itu tercapai ketika suara tangis terdengar. Wajah perempuan berambut putih itu penuh keringat, air mata kesyukuran meleleh, jejak-jejak perjuangannya nampak jelas sekali.

Seorang bayi laki-laki, bayi yang sehat. Dia memiliki tanda lahir berucap bercak dibahu kanan. Salah satu bidan mengambil kain lembut kemudian membalut bayi mungil tersebut. Si bidan lantas mendekatkan bayi menggemaskan itu ke wajah ibunya. Perempuan berambut putih itu tersenyum lebar.

“Arif.” Ucapnya. Itulah nama yang diberikan pada bayi laki-laki mungil tersebut. Malam itu seperti keajaiban baru turun kepadanya.

“Terimakasih, Tuhan.”

02. Segelas Air Keruh

“Wangsa meninggal, Wangsa meninggal!” Seru dua orang penduduk dengan wajah pucat. Dua orang itu berlarian ke setiap sudut desa di bawah langit yang masih remang.

Kabar itu tersebar cepat. Orang-orang seketika tertunduk, menyambut kabar itu dengan kesedihan. Tidak ada yang menyangkan Wangsa akan pergi begitu cepat, padahal rasanya baru kemarin Wangsa bersama sepuluh sahabatnya menyerukan penduduk ke jalan cahaya.

Kabar meninggalnya Wangsa juga sudah sampai pada Hanah, ibu Arif. Kabar tersebut ditambah kondisi tubuhnya yang masih lemah adalah kombinasi paling berat yang pernah ia alami. Lebih berat dari pada menerima cacian penduduk dahulu. Sangat menyakitkan.

Beberapa jam kemudian jasad Wangsa di bawa ke rumah yang sangat sederhana itu, rumah yang hanya berisikan dua buah tembikar besar berisi air dan sebuah pawon kecil di belakang rumah. Selebihnya adalah beberapa buah piring dan gelas dari tanah liat yang dibakar.

Alasnya papan kayu, itu pun hanya sebagian dan hanya untuk tempat tidur. Selebihnya tanah. Memprihatinkan kondisi rumah ini, namun memang begini keinginan Wangsa, kesederhaan. Hanah pun tidak pernah memprotes yang demikian.

Hanah menatap jasad suaminya dengan terpukul, air matanya seakan tidak bisa berhenti. Berputar kembali kenangan masa lalu. Bahagai, susah, senang, semuanya bertumpukan dan mengalir deras di kepala Hanah. Ini menyedihkan, sangat menydihkan.

Penyebab meninggalnya Wangsa tidak diketahui. Wangsa terlihat mematung dalam posisi berdoa di tempat ibadahnya. Saat didekati ternyata dia sudah tidak lagi bernafas, nadinya juga tidak berdenyut. Maut yang datang tanpa aba-aba. Ketetapan umur memang tiada yang tahu kecuali Tuhan.

Arif kecil yang masih dalam pelukan ibunya terbangun. Wajah lucunya terarah kepada bapaknya yang terbaring dingin di depan. Tangan Arif mendadak terangakat-angkat seakan minta mendekat kepada bapaknya, mulutnya juga mengucapkan sesuatu yang belum bisa dipahami.

Hanah yang menyadarinya segera mendekatkan putranya pada Wangsa, itu terasa mengiris hati. Warga yang berkerumun untuk berkabung segera menyingkir. Arif yang berada tepat diwajah bapaknya berusaha menggapai-nggapai. Air mata Hanah semakin deras melihat adegan tersebut.

Dia tidak tahu harus bagaimana ketika Arif bertanya, “Bapak dimana?”

Hanah berusaha menahan isaknya yang semakin besar. Tidak hanya Hanah, orang-orang yang lain pun sama. Mereka mengerti apa yang dirasakan Hanah, kesedihan yang menular-nular. Desa ini berkabung atas meninggalnya sosok paling penting.

@@@

“Ibu, kenapa Arif tidak boleh keluar.” Tanya Arif dengan polos. Anak itu tumbuh seperti dirinya, berambut putih.

Selain rambut putih, Arif juga memilik tanda lahir yang unik. Tanda lahir itu terletak di bahu kanannya dan terlihat seperti luka bakar. Anehnya, tanda lahir itu ikut membesar bersama dengan bertambahnya usia Arif. Kini tanda lahir itu sudah sampai menyentuh leher.

Umur Arif sekarang baru tiga tahun, kelewat muda untuk mengingat dan memahami banyak hal. Arif tumbuh sebagai anak yang ceria dan tangkas. Meski begitu dia selalu berada di dalamnya rumah, hal itu kadang membuatnya merasa terkurung.

Hanah punya alasan tersendiri atas tindakannya melarang Arif keluar. Hanah sangat bersyukur karena Arif adalah anak yan penurut, dia tetap menuruti perintah ibunya apapun yang terjadi. Hanah tidak ingin membiarkan Arif mengetahui dunia luar yang kejam. Begitu pun hari ini, Hanah ada perlu untuk membeli sesuatu.

Biar dirinyalah yang dicaci maki, di lempari kotoran dan sampah. Sepanjang perjalanan menuju pasar, Hanah dihina habis-habis. Orang-orang membicarakan dengan lisan yang tajam, saling berbisik satu sama lain sambil memberikan tatapan tidak suka.

Sesekali telunjuk mereka menunjuk Hanah yang jalan setengah tertunduk. Hanah pura-pura tidak mendengar itu semua, ada hal yang lebih penting, membeli persediaan makanan.

Di depan pedagang buah pun Hanah tidak disambut hangat. Oleh beberapa pedangan dia diusir, pedagang itu tidak mau melayani manusia berambut putih. Hanah berpindah dari satu lapak ke lapak lainnya. Semuanya sama, mengusirnya dengan kejam.

Hati Hanah sangat terlukai, bisa kalian bayangkan seorang ibu yang ingin membeli sekantung pir di pasar sedangkan orang-orang di pasar tidak memanusiakannya? Hanah berkali-kali menahan malu dan membuang muka dari orang-orang.

Akhirnya, Hanah menyerah dan kembali dengan tanag kosong. Bukan karena Hanah menyerah, dia risau akan kondisi putra semata wayangnya. Arif sendirian di rumah yang lebih layak disebut gubuk itu. Hanah menghembuskan nafas berat. Hari ini sampai disini saja, mungkin besok-besok ada yang bersedia.

Di belakang, Hanah masih bisa mendengar beberapa orang yang menyuruhnya pergi dari pasar. Seorang ibu-ibu bertubuh gempal, pedangang buah yang mengenakan kaos dan topi jerami, remaja-remaja yang tongkrongan di sudut pasar. Mereka merasa senang Hanah akhirnya pergi. Manusia berambut putih adalah sumber petaka.

Di tengah perjalanan menuju rumah pada sebuah tempat yang tidak terlihat orang-orang. Seseorang berusaha menyulam lukanya yang nampak jelas di wajah. “Hanah.” Panggil seseorang wanita seusianya. Suaranya terdengar lembut dan bersabat. Hanah menoleh dengan wajah rindu.

Rambut wanita itu sebatas telinga, hitam kecoklatan. Bola matanya memunculkan aura semangat dan senyumnya selalu bisa membuat hati Hanah merasa lebih baik. Namanya Nilam.

Nilam memberikan sekantung pir kepada Hanah, pir adalah buah favorit Hanah. Wajah Hanah yang semula mendung menjadi lebih terang. Hanah menerima dengan hati yang bermekaran.

“Terimakasih sekali.” Balas Hanah gembira sambil sedikit menundukkan kepala.

“Tidak perlu berterimakasih. Anggap saja itu untuk membalas hutangku.” Kata Nilam dengan senyum hingga nampak deret gigi putihnya.

“Tenang saja, kalau butuh bantuan panggil saja aku. Aku pasti membantu.” Lanjutnya.

Hanah tersenyum kecil. Dia kembali putar ingatan masa kecil itu, ketika orang-orang memanggilnya monster berambut putih termasuk juga Nilam.

Ingatan yang begitu menyakitkan dan menguatkan. Semenjak kedatangan Wangsa dan sepuluh sahabatnya, Nilam adalah orang yang pertama menyatakan persahabatannya kepada Hanah.

Sampai sekarang pun Nilam masih menganggap Hanah sahabat dekat. Semenjak meninggalnya Wangsa, tersebar berita-berita tidak benar mengenai Hanah. Itu merusak harga dirinya yang pada akhirnya membuat sebagian besar warga kembali memusuhinya.

“Maaf ya, aku tidak bisa lama-lama. Dadah.” Nilam melambaikan tangan, pergi.

Percakapan singkat itu berakhir dengan saling melambai tangan. Hanah menatap sekantung yang penuh pir-pir segar pemberian Nilam, kemudian menengadah ke langit untuk mengucap syukur. Kehadiran Nilam disisinya adalah karunia yang sangat besar.

Hanah tiba di rumah sebelum mentari terbenam. Di dalam rumah terlihat Arif sedang bermain-main dengan tanah dan batu. Menyadari kepulangan ibunya, Arif langsung menunjukkan wajah senang dan mengangakat kedua tangan karena sangat senang. “Ibu pulang, ibu pulang.” Teriaknya dengan suara yang lucu.

Hanah tersenyum kepada putranya, meletakan sekantung pir dan mendekat kepada Arif. Hanah beberapa saat menemai Arif bermain tanah. Keduanya saling cakap, saling tertawa, saling membagi bahagia. Ibu-anak itu kemudian membuat bulatan-bulatan dari tanah, Arif terlihat senang sekali.

Habis bermain tanah, Hanah membasuh tangan dan kaki putranya dengan air dalam tembikar. Kuku Arif hitam-hitam terisi tanah, begitu juga dengan kuku Hanah. Hanah membasuh dengan hati-hati, menyela-nyela jemari Arif dan menggosoknya dengan penuh kasih sayang seorang ibu.

Hanah rasakan kulit Arif yang begitu halus, kulit yang belum ternoda dosa. Hanah lalu berjongkok untuk membasuh kaki Arif yanh penuh tanah. Arif kegirangan dengan itu, bagi anak seusianya hal ini menyenangkan.

Makan malam pun datang kemudian, sederhana tentunya. Beberapa umbi-umbian yang kemarin Hanah kukus bersama Arif di pawon kecil belakang rumah. Sekarang sudah dingin tetapi masih layak untuk dimakan. Ibu-anak itu makan saling hadap disamping sebuah lampu yang menyala. Hari sudah gelap.

Hanah sebenarnya merasa sedikit bersalah dalam hal ini, dia tidak bisa memenuhi nutrisi putranya. Umbi-umbian kukus memang makanan keduanya sehari-hari, ini pun masih lebih baik daripada tidak ada sama sekali. Terkadang Hanah juga semalam merasa gagal menjadi ibu karena membuat Arif menangis kelaparan.

Setiap tangisan dan teriaka Arif yang kelaparan adalah bayangan paling mengerikan dalam setiap helaan nafasnya. Bayangan itu seakan bisa bermanifestasi menjadi pisau yang menusuk tubuh Hanah. Demi mencegahnya, Hanah bekerja sangat keras, bahkan melebihi kodratnya sebagai wanita.

“Ibu, Arif mau makan yang lain.” Ucap Arif sambil memegangi umbi dingin yang belum habis separuh. Wajahnya nampak bersedih dan tertunduk.

Hanah seketika teringat dengan pir pemberian Nilam. Hanah mengambil satu buah dan memberikannya kepada Arif, enam sisa lainnya Hanah simpan bila-bila Arif meminta buah pir lagi. Arif menerima dengan kegirangan, wajahnya yang bersiap menangis seketika menguap menjadi senang.

Hanah memperhatikan putranya yang makan dengan lahap, Hanah tersenyum. Sebenarnya Hanah juga ingin makan pir itu, tetapi hatinya mengatakan pir itu selayaknya diberikan kepada Arif. Ini adalah tindakan yang memang seharusnya diambil seorang ibukan?

Hanah kembali melanjutkan makan umbi kukusnya. Di kepala Hanah kini terbayang wajah Wangsa, lelaki yang sangat berarti baginya itu. Air mata Hanah mendadak terburai, ini biasa tetapi tidak mungkin dia perlihatkan di depan putranya. Hanah segera memikirkan hal lain untuk mencegah air mata keluar.

Ketika sibuk memikirkan hal lain Arif kecil menarik-narik lengan ibunya. Hanah menghadap putranya dan nampak terkejut dengan apa yang dilakukan Arif.

“Buat ibu.” Arif memberikan potongan pir yang belum dia cicipi kepada ibunya. Hanah tidak sempat melihat apa yang terjadi dan hanya menerima dengan kebingungan, bagaiamana Arif yang belum genap empat tahun bisa memoton daging pir hanya dengan tangan? Untuk orang dewasa pun hal ini tidak mudah dilakukan.

Hanah tidak ambil pusing, dia berucap terimakasih dan menikmati potongan daging pir bersama-sama dengan putranya. Permintaanya untuk makan pir bersama putranya terkabul. Permintaan yang sangat sederhana dan sangat berarti bagi Hanah.

Arif lantas mengambil gelasnya dan mengambil air untuk minum dari dalam tembikar yang tertutup. Hanah yang melihat itu kaget karena ia baru ingat air dalam tembikar itu belum dimasak dan sudah lama ada disana. Airnya kotor dan sudah keruh. Hanah terlambat, Arif sudah meminum air itu dengan polos.

Hanah merasa bersalah lagi, tubuhnya mendadak menjadi sangat lemas. Adegan dimana Arif meminum segelas air keruh itu terbayang dalam benak sekaligus bayangan Wangsa yang menegurnya dengan karena menjadi ibu yang buruk. Hanah menutup telinga sambil tertunduk. Ketakutan.

Hanah merasa pundaknya ditepuk lembut, dia mendongak. Dihadapannya Arif tersenyum sambil memegang gelas yang tadi. “Arif tidak apa-apa bu.” Jawabnya seakan tahu apa yang sedang dipikirkan ibunya. Senyum Arif juga semakin melebar, menampakkan giginya yang masing ompong.

Hanah berusaha mengendalikan diri, menghembuskan nafas perlahan, dan menunjukkan wajah berseri kepada Arif. Tidak ada ibu manapun yang mau putranya risau karenanya. Kehidupan ini memang keras sebagaimana air keruh tersebut.

Demi menjadikannya air bening yang menyehatkan tentunya proses diperlukan. Sama halnya dengan Hanah dan Arif agar diakui sebagaimana manusia keduanya harus berjuang dan menghadapi berbagai persakitan untuk membuktikan bahwa manusia berambut putih tidaklah membawa petaka.

Tidak ada lagi Wangsa di sampingnya, tetapi Wangsa mewariskan Arif padanya. Itu lebih dari cukup. Hanah menatap Arif sekali lagi, sebagai ibu ia akan memperjuangkan masa depan putranya meskipun masyarakat menolak.

Hanah bertekad membuat masa depan yang indah untuk Arif berapapun harganya. Itulah seorang ibu, sosok yang mau merelakan apapun demi kebahagiaanmu.

03. Kebun Ketela

Hari itu, seminggu semenjak meninggalnya Wangsa, orang paling di cintai seluruh penduduk.

Kepergiannya meninggalkan kesedihan yang mendalam. Dimata penduduk Wangsa adalah sosok pekerja keras, senang membatu, peduli, ramah, dan senang bergaul dengan penduduk. Bagi sebagian penduduk desa kehadiran Wangsa adalah sebuah berkat. Anugrah yang luar biasa.

Namun, ketika manusia paling di muliakan itu pergi selamanya, para penduduk pun terguncang hebat seakan tidak percaya. Kesedihan berlarut-larut memenuhi penjuru desa. Para remaja, orang tua, anak-anak, dewasa, kesemuanya merasa sukar merelakan Wangsa.

Dibalik itu semua tersisa sekelompok yang menggunakan kesedihan ini untuk membalikkan keadaan. Mereka menyebar kabar jahat, menebar fitnah dan permusuhan. Hampir saja terjadi perpecahan besar-besar diantara penduduk desa karena orang-orang tidak bertanggung jawab tersebut.

Hanah merangkul putranya erat-erat saat itu dengan air mata yang deras mengalir. Siapa lagi kalau bukan dirinya yang difitnah kala itu. Sekelompok orang mengatakan bahwa kepergian Wangsa, orang yang dicintai seluruh penduduk karena menerima kutukan dari Hanah yang merupakan manusia berambut putih.

Tentunya Hanah membalas mati-matian, air matanya mengalir, suaranya sampai serak, tubuhnya terkulai lemas. Tindakan Hanah membela adalah keputusana yang benar, sayangnya tindakannya itu tidak bisa merubah hati yang sudah berkarat. Hanah sangat terlambat menyerukannya, orang-orang sudah berpindah pihak, tidak mau berada disisi manusia berambut putih.

Mereka menunjukkan tatapan itu lagi padanya, tatapan tidak peduli, benci, dan jijik seakan-akan Hanah adalah monster yang tidak patut di dekati. Hanah tidak bisa berbuat banyak, pilihannya adalah kesabaran dan kepasrahan. Hanah pulang dengan hati penuh luka.

Hanya kehadiran Arif yang bisa menghiburnya kala itu. Hanah bisa mengusap air matanya ketika Arif mendadak ikutan menangis seakan tahu kesedihan ibundanya. Hanah langsung menghibur Arif dan menina-bobokannya dalam pelukan penuh kasih.

Masih di hari yang sama ketika gelap membungkus langit dan bulan bersemayam di angkasa. Terdengar beberapa kali ketukan pintu. Hanah yang kala itu sudah terlelap terbangun demi membukakan pintu.

Sebenarnya Hanah enggan melakukan ini, kejadian tadi siang membuat sebagian dirinya berseru untuk membiarkan tamu tetap di luar. Bagaimana kalau yang datang adalah orang yang ingin membuat keributan dengannya, pastinya urusan menjadi sangat membingungkan.

Kendati demikian, Hanah tetap membukakan pintu untuk si tamu. Itu adalah adap, tidak selayak seorang tuan rumah pura-pura tidak tahu ada tamu yang datang. Menyambut tamu adalah kemuliaan, itulah yang diajarkan Wangsa.

Hanah membuka pintu perlahan agar tidak menganggu Arif yang sudah lelap. Dengan lampu minyak yang kembali dinyalakan, Hanah memperjelas wajah tamu yang datang padanya. Itu adalah Nilam.

Nilam datang dengan senyum dan keramahan. Berbeda dengan penduduk yang datang padanya dengan kebeciand an permusuhan. Tidak cuma itu, Nilam juga membawa beberapa buah tangan untuk Hanah. Katanya untuk menghibur Hanah.

Tindakan Nilam sebenarnya sangat beresiko, jika ada yang tahu bisa-bisa diacap sama sebagaimana Hanah. Namun bersahabat keduanya meniadakan ketakutan tersebut, bahkan Nilam berkata lantang dihadapannya jika hal itu sampai terjadi, Nilam akan tetap berada disisinya.

Hanah sangat bersyukur sampai-sampai air matanya kembali mengalir. Hanah sadar, Tuhan tidak akan pernah meninggalkannya. Melalui perantara Nilam, Tuhan sampaikan kasih, sayang, dan kesempatan untuk terus berjuang.

@@@

Hari ini umur Arif hampir satu tahun. Arif berada di rumah bermain bersama dengan Nilam, sementara Hanah berada di ladang ketela warisan Wangsa. Ladang itu baru saja panen dan hasilnya dijual lewat perantara Nilam, kalau Hanah yang menjual mungkin tidak ada yang mau membeli.

Sebagian ketela dia simpan untuk persediaan makanan dan sebagian yang lain Hanah berikan kepada Nilam sebagai rasa terimakasih. Nilam menerima dengan suka cita, kondisi ekonomi keluarganya memang pas-pasan, sedikit lebih baik dibanding Hanah.

Di ladang itu Hanah bekerja sangat keras. Tidak mungkin dia mengajak Nilam karena akan membahayakan posisinya di mata penduduk. Hanah yang seorang ibu rumah tangga bekerja sendirian di ladang tanpa alas kaki dan alat seadanya. Hanah sudah terbiasa dengan semua keterbatasan ini.

Lengannya bermandikan keringat dan tanah. Tangannaya cekatan menggali lubang demi lubang untuk menanam batang ketela yang telah dia setek. Hanah bisa melakukannya dengan cepat, Wangsa yang mengajarinya cara berladang yang baik.

Di ladang juga ada sebuah sumur tua. Tidak ada yang tahu milik siapa, sumur itu sudah ada disana sejak lama bahkan sebelum Hanah lahir. Orang-orang tidak mau menimba air disana meski Hanah mempersilahkan. Itu pasti, penduduk desa beranggapan sumur itu pun sudah tercemar oleh kutukan Hanah.

Kedua tangan Hanah mencangkul ladang yang belum sesuai tatanan. Tangan Hanah sudah terasa lelah semenjak tadi tapi itu tidak dia hiraukan. Dari ladang inilah makanan Hanah dapatkan, dari ladang ini Hanah bisa hidup mandiri. Tidak mungkin Hanah membebankan hidup pada Nilam. Harus bekerja keras, apapun yang terjadi.

Hanah tiba-tiba berhenti ketika mengurus tepian ladang. Ladangnya dibatasi dengan pagar anyaman bambu dari ladang tetangga. Dia melihat seorang lelaki tua yang mengenakan camping berkaos dan bercelana pendek menatapnya dengan sebal. Wajahnya sangat tidak ramah.

Lelaki tua itu meludah kedepan walau tidak sampai terkena Hanah. “Dasar kau, jangan dekat-dekat ladangku. Bisa mati semua tanamanku nanti.” Ucap lelaki itu setengah berteriak. Dia meruncingkan alis dan menatap tajam kepada Hanah, kemudian berlalu sambil menggendong cangkul

Ini hanyalah sebagian kecil dari gangguan yang Hanah terima. Pernah sekali penduduk beramain-ramain menganggunya yang sedang bekerja dari luar ladang. Mereka lempar umpatan tidak patut dan bermacam perkataan buruk yang intinya Hanah harus pergi, angkat kaki dari desa ini.

Hanah tidak menghiraukan dan menutup telinga hingga orang-orang berlisan pisau itu pergi dengan sendiri. Di kasus terburuk tanaman Hanah pernah sampai dicabuti, dirusak, dan ladangnya dijadikani tempat menimbun sampah.

Hanah marah tapi lebih memilih kendali diri.

Penduduk tidak akan berubah pikiran hanya karena dia berteriak-teriakan menyerukan bahwa manusia berambut putih adalah manusia yang sama sebagaimana manusia normal. Dalam hal ini, hati manusia sulit condong kepada hakikat kebenaran.

Hanah membuang muka dari lelaki tua itu dan beralih menggarap ladang yang berada di tengah-tengah. Dia tidak mau ambil pusing hanya kerana ucapan lelaki tua tersebut. Hanah kembali sibuk mengurus ladangnya. Bermandikan sinar yang semakin panas dan keringat membuat Hanah beristirahat sementara.

Hanah duduk di salah satu sudut ladang sambil menegak kantung kulit yang berisi air bening. Dia mengusap keningnya yang basah oleh keringat. Pekerjaan ini sebentara lagi selesai dan Hanah bisa bertemu lagi dengan putranya, Arif.

“Tunggu ibu Arif, ibu sebengtar lagi pulang.” Hanah menatap ladang di depannya dengan semangat yang telah kembali.

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!