"Loh Mas, kok balik lagi?!" Tanya Karmila mengerutkan keningnya dalam-dalam.
Karmila menatap suaminya melalui cermin violet didepannya penuh keheranan. Aryo tidak menjawab, justru ia langsung memeluk istrinya itu dari belakang. Karmila merasakan suara dengus nafas Aryo begitu santer terdengar jelas ditelinganya dengan perasaan janggal.
"Ini sudah jam tujuh lewat loh Mas, nanti terlambat masuk kantor..." bisik Karmila.
Aryo tetap diam seribu bahasa sambil terus melakukan sentuhan-sentuhannya yang tidak biasa. Karmila sempat kepikiran kalau suaminya berlaku aneh, namun Karmila yang masih handukkan baru saja selesai mandi hanya pasrah saja.
Sebagai pengantin baru hasrat bercintanya sedang menggebu-gebu, Karmila pun jadi ikut terhanyut hingga ia pun hanya diam membiarkan saja saat Aryo menunjukkan tanda-tanda hasratnya.
"Ting tong..."
"Ting tong..."
"Ting tong..."
Karmila terlonjak seketika dari berbaringnya di kursi tamu saking terkejutnya oleh suara bel rumah. Lamunan bayang-bayang peristiwa terkutuk yang terjadi malam kedua ia menempati rumah itu buyar dan lenyap seketika. Bergegas Ia segera beranjak menuju pintu untuk membukanya.
"Assalamualaikum... Permisi..." ucap suara laki-laki diluar pintu.
Ting tong...
Ting tong...
"Waalaikumsalaaam..." sahut Karmila sambil membuka pintu.
"Eh, Pak RT. Silahkan duduk Pak," Karmila mempersilahkan Pak RT duduk di kursi teras.
Tentu saja Karmila mengajaknya duduk di kursi teras depan dan tidak diajak masuk ke ruang tamu. Karena di rumah hanya dia sendirian dan dalam keadaan sepi dan itu sangat beresiko bagi seorang wanita yang sendirian didalam rumah.
Bukan hanya beresiko mendatangkan kejahatan namun juga beresiko mengundang fitnah jika berada didalam rumah hanya berduaan dengan seorang lelaki yang bukan suaminya. Sedangkan Aryo, suaminya dua jam lagi baru pulang dari kantornya.
"Maaf mengganggu bu, ini... e, anu.." ucap pak RT.
Pak RT terlihat kikuk dan gerogi ďitatap Karmila. Padahal Karmila menatapnya hanya tatapan biasa sebagai orang yang menghargai lawan bicaranya. Wajah Karmila memang cantik, berkulit putih, ya mirip-mirip dikit sama wajah Jun Ji Hyun. Itu tuh artis Korea yang melejit namanya di debutnya dalam film My Sassy Girl.
"Apa Pak RT, kok susah sekali ngomongnya?" ucap Karmila membetulkan posisi duduknya dan rok panjangnya.
Pesona Karmila seperti menghipnotis pandangan Pak RT yang matanya terlihat nyalang tak berkedip dalam lirikannya. Buaya darat juga nih Pak RT, mentang-mentang Karmila warga baru ada saja alasannya agar bisa menemui dan memandang Karmila.
Padahal kalau disandingkan dengan suami Karmila, jelas saja tidak ada apa-apanya dari sisi mana pun. Kegantengannya jauuuuuh banget apalagi dari sisi kekayaannya, jadi seberapa pun hebatnya trik-trik gombalan mata keranjang Pak RT, dipastikan Karmila nggak akan tergoda sedikit pun. Terkecuali, mungkin dengan bantuan pelet, pengasihan, guna-guna atau apalah semacamnya.
Seharusnya Pak RT ngaca dulu sebelum menuruti naluri buaya daratnya. Tetapi dasar matanya sudah penuh dengan keranjang, eh mata keranjang tidak ada ukur-mengukur dulu kondisi dirinya. Ya, mungkin dikiranya Karmila seorang wanita gampangan tergoda.
"A... anu bu Aryo. Cuma mau ngabarin aja tentang surat-surat rumah dan tanah ini baru selesai minggu depan," kata Pak RT memberanikan diri menatap wajah cantik Karmila.
"Oh, ya sudah nggak apa-apa Pak RT. Repot-repot kesini hanya mau ngabarin itu," ujar Karmila menyunggingkan bibirnya.
Jantung Pak RT kontan berdegub kencang melihat Karmila melempar senyum yang menurutnya sangat manis. Pikiran kotornya melayang jauh langsung saja bermain-main di kepalanya.
"O, iya bu satu lagi. Selama tiga hari ini apa ibu tidak menemukan hal-hal aneh di rumah ini?" Tanya Pak RT dengan wajah dicemas-cemaskan.
"Maksud Pak RT?" Kening Karmila mengerut heran penuh tanda tanya.
"Oh, nggak. Nggak apa-apa bu, ya sudah kalau begitu saya permisi bu. Nanti kalau surat-suratnya sudah jadi saya akan antar kesini." ucap pak RT kemudian berdiri dari duduknya.
"Iya, iya Pak RT. Terima kasih banyak loh sudah repot-repot datang kesini," ujar Karmila.
Karmila menyambut uluran jabat tangan Pak RT dengan senyum tipis namun cukup membuat hati Pak RT kelepek-klepek. Wajah tuanya terlihat sumringah dengan segala ke-Ge-Er-annya serasa disenyumin artis Korea.
Rumah yang ditempati Aryo dan Karmila baru selesai di renovasi sejak seminggu yang lalu. Namun pasangan pengantin baru itu resmi pindah dan menempatinya baru tiga hari dengan hari ini.
Awalnya, Aryo tertarik membeli rumah yang berdiri megah diatas tanah seluas 120 hingga 150 meter persegi itu karena menurutnya harganya sangat murah. Rumah itu dibelinya satu bulan sebelum pernikahan dengan Karmila.
"Pak Aryo ada rumah lumayan gede dengan pekarangan luas yang dijual dengan harga murah," kata Juki, supir pribadi Aryo.
"Gede dan luasnya seberapa Juk?" Tanya Aryo antusias.
"Mmm, kalau nggak salah luasnya sekitar 150 meter persegi, Pak. Bangunan rumahnya juga lumayan gede Pak, berdimensi 13,5 x 4 meter." terang Juki menoleh lalu kembali fokus ke jalanan.
"Luas juga ya, dijual berapa katanya?" Tanya Aryo kian tertarik.
"Kata teman saya sih dijual hanya dua ratus juta Pak," jawab Juki.
"Dua ratus juta???" Aryo kaget tak percaya.
"Iya pak, kenapa bapak kaget begitu? tanya Juki keheranan melhat reaksi Aryo.
"Soalnya itu murah banget Juk," ujar Aryo mengelus-elus dagunya.
Bagi Aryo sangat tahu betul soal harga tanah dan bangunan. Karena ia sudah sering membeli tanah maupun bangunan untuk kepentingan perusahaannya. Tanah seluas 150 meter persegi plus dengan bangunan rumah bertype 54 pada umumnya berkisar hingga Rp 1 miliyaran lebih.
"Sebentar, sebentar Juk. Itu di daerah mana dijual semurah itu? Tanya Aryo.
"Di dekat simpang lima jalan Hartoyo itu tuh Pak," jawab Juki.
"Mmm.. Simpang lima.. simpang lima.." gumam Aryo mengingat-ingat lokasi jalan itu.
Ingatan Aryo langsung melambung tertuju pada deretan rumah-rumah yang sering ia lewati saat pulang pergi ke kantornya.
"Apakah rumah yang pagarnya tinggi itu Juk, yang sering kita berhenti didepannya pas di lampu merah itu?" kata Aryo.
"Nah, benar Pak. Ya, itu rumahnya." timpal Juki.
"Perasaan rumah itu nggak ada yang menempatinya Juk. Kalau kita pulang malam lewat tuh saya sering melihat rumah itu selalu gelap," ujar Aryo.
"Emang nggak ditempati lagi Pak, sudah lumayan lama. Kata teman saya sih, katanya orangnya pindah ke Jakarta." Ujar Juki.
Siapapun yang kantongnya tebal akan langsung 'deal' saja ketika ada yang menawarkannya. Melihat luasnya tanah dan bangunan rumah bertype 54 dengan dimensi 13,5 x 4 meter, pastilah sangat berani sekali.
......................
Esok harinya Aryo langsung menyurvei rumah yang ditawarkan Juki kemarin. Dengan diantar Juki, sopir pribadinya menemui Pak RT yang dititipin oleh pemiliknya sekaligus sebagai perantaranya.
Sebelumnya Juki sudah menghubungi pak RT itu mengabarkan akan melihat-lihat rumah yang ditawarkan.
Mobil Pajero putih yang dikemudikan Juki berhenti tepat didepan pagar rumah yang dituju. Didepan gerbang pak RT nampak berdiri sudah menunggu kedatangan Juki dan bossnya sesuai dengan waktu yang dijanjikan.
Juki dan Aryo turun dari mobilnya lalu Juki menyalami pak RT sekaligus mengenalkan Aryo yang berminat membelinya. Kemudian pak RT membukakan pintu gerbangnya mempersilahkan Aryo dan Juki masuk.
Pertama kali melangkahkan kakinya melewati pagar besi setinggi 2 meter yang berdiri kokoh itu, Juki merasakan merinding disekujur tubuhnya.
Dia merasakan ada hawa lembab yang begitu kental yang menandakan kalau tempat itu memiliki aura negatif. Aura yang menandakan adanya mahluk gaib disekitar rumah itu.
Sebagai seorang sopir tentunya Juki sudah membekali diri dengan ilmu kebatinan untuk berjaga-jaga dirinya dari kemungkinan orang-orang jahat sekaligus bertanggung jawab melindungi bossnya.
Aryo dan Juki menghentikan langkahnya dibelakang pintu gerbang yang dibuka sedikit hingga harus masuk satu persatu.
Aryo memandangi bangunan rumah bergaya modern itu dengan manggut-manggut. Lain halnya dengan Juki, dia merasakan bulu disekujur tubuhnya meremang. Tubuhnya merasakan seperti ada tekanan kuat yang menghalanginya meneruskan melangkah.
Pada saat dirinya dan Aryo memasuki halaman rumah itu Juki merasakan energi yang kuat datang dari rumah itu, namun energi itu terasa kontra dirasakan.
Adanya benturan energi itu cukup bagi Juki untuk menyimpulkan kalau rumah itu sudah di huni oleh mahluk gaib.
"Pak, ini hawanya horor sekali. Sepertinya sudah ditempati mahluk halus," bisik Juki kepada Aryo.
Sayangnya Aryo tidak mengindahkan peringatan Juki. Sebagai seorang bisnisman, ia tidak begitu percaya dengan hal-hal yang berbau mahluk gaib.
Pikiran untung-ruginya lebih mendominasi kalau rumah ini harus dimilikinya karena sangat murah. Jika pun dijual kembali akan untung besar, ya paling kecilnya dapat keuntungan setengah miliyar, begitu pikir Aryo.
Soal mahluk halus, hal-hal semacam itu tidak akan pernah terlintas sedikit pun didalam benak Aryo dan jangan harap menjadi penghalang untuk tidak membelinya.
Ia pikir kalau memang ada mahluk halus, pasti mereka akan menyingkir dengan sendirinya begitu ditempati.
"Sepertinya mahluk gaib yang ada di rumah ini memiliki kekuatan besar," gumam Juki dalam hati kemudian mengedarkan pandangannya.
Juki sudah berpengalaman soal kebatinan. Di kampungnya ia sering diminta tolong kalau ada tetangganya yang kesurupan bahkan warga mengenalnya sebagai paranormal. Padahal Juki sendiri tidak pernah suka jika dirinya sebut paranormal.
"Pak Aryo yakin mau membeli rumah ini?!" Juki berbisik dengan intonasi ditekan.
"Iya Juk. Kapan lagi punya rumah sebesar ini dengan tanah seluas ini. Rumah ini akan saya hadiahkan untuk Karmila setelah menikah nanti." Ujar Aryo tanpa memalingkan wajahnya dari rumah megah itu.
"Tapi Pak..." ucapan Juki langsung dipotong oleh pak RT.
"Gimana Pak Aryo, tertarik membelinya?" sela pak RT.
Pak RT memotong bisikkan Juki yang sedikit terdengar olehnya. Dalam hatinya itu bisa jadi akan menggagalkan niat pembelinya. Komisi puluhan juta sudah terbayang dipelupuk mata Pak RT, andai Aryo benar-benar jadi membeli rumah itu. Makanya ketika mendengar bisikkan Juki yang memperingatkan Aryo, langsung saja ia menyergahnya.
"Silahkan masuk Pak Aryo melihat-lihat dalamnya," ucap Pak RT semakin meyakinkan minat belinya Aryo.
Kreteeeeeekkk...
Suara derit pintu yang dibuka oleh Pak RT menandakan kalau rumah itu sudah lama tidak ditinggali. Dan bagi Juki suara deritan pintu itu seperti irama yang dimainkan oleh mahluk gaib yang menghuninya. Juki sangat yakin sekali kalau rumah itu sudah menjadi rumah bagi mahkuk halus yang memiliki energi berkekuatan besar.
......................
LANUUT....
Matahari siang sangat terik menyengat karena baru saja berada dipuncak kulminasinya. Namun sengatan panasnya sinar matahari tak menyurutkan langkah kaki seorang anak berseragam putih biru tua menuju rumahnya yang hanya berjarak 500 meter sepulang sekolah.
Sudah menjadi kebiasaannya semenjak sekolah dasar, anak itu kalau berjalan selalu tertunduk menekuri jalan. Yang ia lihat hanya ayunan kaki kiri dan kanannya yang seolah berlomba-lomba saling susul menyusul.
"Itu Guntur! Itu Guntur...!
"Sikaaaaaatttt...!!!"
"Ayo hajaaaarrrr...!"
"Ayooooo....!!!"
Dari kejauhan serombongan anak-anak yang juga berseragam SMP meneriaki dari atas sepeda motor sembari menggerung-gerungkan gas. Tetapi anak berseragàm SMP yang dipanggil Guntur itu terus saja berjalan menunduk menekuri jalanan tanpa menghiraukan teriakan-teriakan ancaman dari arah belakangnya.
Tiga sepeda motor masing-masing membonceng dua anak mengacung-ngacungkan sebatang kayu balok ditangan para pemboceng. Wajah-wajah mereka terlihat beringas, matanya nyalang melihat mangsanya didepan mata.
"Rasakan ini Guntur!" Teriak salah satu anak yang duduk di boncengan sambil mengayunkan balok kayu ditangannya ke kepala Guntur.
"Braaakkkkk!"
"Braaakkkkk!"
"Braaakkkkk!"
"Braaakkkkk!"
Tiga balok kayu menghantam dua kali di kepala dan dua kali di tengkuk Guntur. Balok-balok kayu itu seketika hancur bercerai-berai menyerpih ke berbagai arah.
Sontak saja Guntur terkejut bukan main, bukan karena merasakan hantaman-hantaman balok melainkan karena suara berisik. Guntur menghentikan langkahnya dan spontan menengok kearah samping kiri bersamaan tiga sepeda motor melintas pelan dengan suara raungan knalpot yang sengaja memainkan gasnya hingga memekakkan telinga. Tubuh Guntur masih tegak berdiri, harusnya hantaman empat balok kayu itu sudah cukup membuatnya tersungkur ambruk atau minimalnya mengucurkan darah ďi kepalanya.
Terkejutnya Guntur bukan saja karena suara bising namun juga karena melihat serpihan-serpihan kayu yang tiba-tiba melenting berjatuhan diatas sepatunya yang sedang mengayun langkah. Guntur pun menoleh mencari tahu darimana serpihan-serpihan kayu itu datang.
"Ciiiiiiitttt..."
"Ciiiiiiitttt..."
"Ciiiiiiitttt..."
Tiga sepeda motor langsung mengerem mendadak sebab orang yang mereka hantam barusan sama sekali tidak berpengaruh apalagi terluka. Akibat mengerem mendadak itu membuat dua anak yang berada di boncengannya masing-masing tubuhnya meluruk kedepan hingga mendorong anak yang pegang setir sampai dadanya membentur stang.
"Aaakhh!" Teriaknya kesakitan.
Enam anak SMP yang barusan menghajar Guntur melongo tidak percaya melihat Guntur nampak sehat wal afiat tidak terluka sedikit pun. Bukannya ciut nyali, enam anak itu malah dibuat penasaran. Jiwa brandal keenam anak itu memuncak dan secara serentak mengurung Guntur dan siap menghajarnya.
"Ada apa kalian?" Tanya Guntur heran.
Guntur belum menyadari sepenuhnya dirinya sedang dalam ancaman bahkan sudah dihantam tiga balok di kepala dan tubuhnya. Justru ia menatap keenam anak satu sekolahnya itu dengan tatapan bingung tak mengerti dengan situasi yang ada dihadapannya.
"Halllah, banyak bacot lu!" Seru salah satu anak.
Ayunan tangan menyasar muka Guntur secara tiba-tiba, lalu disusul ayunan dua tangan lainnya kearah perut. Guntur terkejut bukan main mendapat pukulan tiba-tiba seperti itu. Dia reflek mengangkat kedua tangannya bermaksud untuk melindungi kepalanya.
Diisaat bersamaan bergeraknya tangan Guntur keatas hendak menutup mukanya, keenam anak itu langsung berpentalan dan jatuh terpelanting keatas aspal jalan. Guntur yang sudah kadung menutup kepalanya hanya bisa pasrah menunggu pukulan-pukulan itu mendarat. Namun beberapa saat lamanya setelah ditunggu-tunggu datangnya pukulan-pukulan itu, ternyata tidak ada satupun pukulan yang menyentuh tubuhnya, kemudian perlahan-lahan ia pun membuka tangannya dengan raut wajah penuh kebingungan.
Wajah polosnya terperangah penuh keheranan melihat teman-teman sekolahnya itu sedang mengerang kesakitan bergeletakkan diatas aspal dengan beragam luka di lutut, tangan bahkan wajahnya.
Guntur melangkah bermaksud menolong tetapi baru saja satu kakinya melangkah, keenam anak-anak yang memukulinya itu sudah merasa ketakutan lebih dulu sehingga mereka berhamburan kabur meninggalkan sepeda motornya. Guntur hanya melongo saja tak mengerti dengan apa yang barusan terjadi.
"Kenapa ya...?"
Hanya pertanyaan itu yang terucap dari bibirnya. Kemudian Guntur pun tidak peduli lagi dengan barusan yang terjadi, ia meneruskan kembali langkahnya pulang.
Namun kejadian dikeroyok enam anak-anak teman sekolahnya dengan muka bengis yang membencinya itu hanya membekas sebagai rangkaian kisah memori masa lalunya yang menggambar kembali diingatannya.
......................
"Anak setan...."
"Anak setan...."
"Anak setan...."
"Anak setan...."
Sekitar 12 anak-anak mengolok-olok Guntur sahut menyahut dibelakangnya begitu keluar dari pintu kelas 2 Sekolah Dasar Negeri Nusa 2 usai pelajaran terakhir.
Guntur, bocah yang mendapat bully-an teman-teman satu kelasnya itu hanya tertunduk muram sambil terus berjalan cepat-cepat pulang. Kenapa hanya karena tompel hitam dan berbulu di tangan kirinya itu mereka memperolok-olok dengan menyebutnya anak setan?
Seribu luka dihatinya sekaligus seribu tanda tanya terus terngiang-ngiang di kepalanya. Lalu kenapa dirinya berbeda dengan teman-temannya? Pertanyaan-pertanyaan itu terus membayangi Guntur setiap kali mendapat perlakuan kejam dari teman-teman sekolahnya.
Ting... tong...
Ting... tong...
Ting... tong...
Ting... tong...
Karmila lekas-lekas membuka pintu rumah dan seketika wajah cantiknya langsung muram melihat Guntur pulang sekolah dengan wajah nampak bersedih. Ibu mana yang tidak terenyuh melihat anaknya pulang sekolah selalu dengan menunjukkan gelagat tidak mengenakan yang dirasakan anaknya.
"Sayang, kamu diolok-olok lagi sama teman-temanmu di sekolah?" Tanya Karmila penuh kasih sayang.
"Iya Mah... Kenapa mereka seperti membenci karena aku punya ini Mah?!" Ucap bocah berusia 8 tahun itu sambil menunjukkan tompel hitam dan berambut halus di tangannya.
Karmila langsung memeluk Guntur dengan perasaan bercampur aduk antara sedih, marah, jengkel serta gemas ingin rasanya memberi pelajaran pada anak-anak yang mengolok-oloknya. Namun sekejap berikutnya wajah Karmila surut dari raut kesalnya dan berganti menunjukkan rasa bersalah, "Maafkan Mamah nak..." ucap Karmila dalam hati.
Tiiiin... tiiiin...!
Lamunan Guntur buyar seketika oleh suara klakson sebuah mobil dari arah depan. Ia nyaris tertabrak andai mobil itu tidak berhenti. Oops! Lebih tepatnya berhenti tidak di rem.
Guntur terkesiap kaget spontan mendongakkan kepalanya. Ia baru sadar kalau langkah kakinya agak sedikit ketengah jalan, buru-buru ia menepi. Mobil sedan didepannya mengeluarkan asap berasal dari roda belakang yang berputar ditempat dengan kencang namun tidak bisa melaju.
"Aneh! Kenapa mobil saya ini?! Padahal saya tidak menginjak rem tapi mobil tiba-tiba berhenti bahkan tidak bisa jalan."
Sopir itu penasaran, diinjaknya lagi pedal gas hingga nyaris mentok namun hanya raungan mesinnya saja yang kencang dan asap tebal dari gesekkan ban dan aspal pun langsung menyelimuti mobilnya.
Guntur mendekat ke jendela sebelah kiri mobil lalu mengetuk-ngetuknya. Beberapa saat kemudian jendela itu terbuka hingga asap pun berseliweran masuk kedalam mobil.
"Pak, jangan injak gasnya dulu. Lepaskan pedal gasnya lebih baik injak rem saja!" Seru Guntur dari balik pintu mobil.
Tidak lama kemudian raungan suara mesin mobil pun memelan, rupanya si sopir menuruti saran Guntur. Asap dari roda belakang pun sudah tidak keluar lagi seiring roda ban berhenti berputar.
"Sekarang injak pedal gasnya pelan-pelan Pak, jangan lupa hati-hati jangan ngebut!" ucap Guntur lalu meneruskan kembali mengayun kakinya melangkah pulang.
"Loh, kok ini normal? Tadi di gas mentok malah nggak bisa jalan..."
Si sopir lekas-lekas menghentikan mobilnya untuk melihat anak SMP yang tadi hanpir ditabraknya sekaligus memberikan saran anehnya. Tetapi dilihatnya dari kaca spion, Guntur sudah jauh berjalan dibelakang mobil.
"Benar-benar aneh! Padahal tinggal satu meteran lagi bocah itu tertabrak tapi mobil ini tiba-tiba langsung berhenti sendiri seperti tertahan. Bahkan tadi di gas sampe mentok pun tetap nggak bisa jalan. Ck, ck, ck..."
Sopir berpakaian ASN itu tidak henti-hentinya menggeleng-gelengkan kepala disepanjang jalan mengingat kejadian itu.
......................
......................
Seperti biasa Mamah Karmila menyambut Guntur pulang sekolah dengan senyuman hangat dan pelukkan kasih sayang saat membuka pintu besar itu.
"Jalan kaki lagi?" Tanya Mamah Karmila.
"Iya Mah, enakan jalan kaki..." ujar Guntur.
Ibu dan anak itu kemudian masuk setelah Mamah Karmila menutup pintunya kembali.
"Gimana tadi disekolahnya Gun?" Tanya Mamah Karmila berjalan beriringan dengan putranya.
"Baik-baik saja Mah, tapi...." Guntur ragu hendak menceritakan dua kejadian di jalan tadi.
"Tapi apa?" Desak Mamah Karmila.
"Ah, nggak penting Mah. Makan yuk Mah, Guntur laper nih," ucap Guntur sedikit merajuk.
"Kamu diejek teman-teman sekolahmu lagi?!" Tanya Mamah Karmila penasaran.
"Nggak Mah, kalau pun ada yang mengejek juga saya nggak ladenin Mah. Biarkan saja mereka nggak menyukai saya, bodo amat sekarang sih Mah," ujar Guntur.
Mamah Karmila tersenyum haru memandang putra semata wayangnya dengan berjuta perasaan misteri yang tersimpan rapat didalam hatinya terdalam.
"Papah tadi malam nggak pulang ya Mah?" Pertanyaan Guntur mengagetkan Mamah Karmila yang sedang merutuki perasaannya.
"Iya, katanya lagi menangani perusahaan cabang di Surabaya." Ujar Mamah Karmila mendadak raut wajahnya berubah muram.
"Mamah baik-baik saja kan sama Papah?" Tanya Guntur polos.
Kali ini Mamah Karmila benar-benar tertegun dan kaget dengan pertanyaan putranya. Ia memang tidak dalam kondisi baik-baik saja dengan Aryo. Suasana rumah yang besar itu tidak lagi sehangat dan sebahagia saat pertama kali menempati atau tepatnya semenjak kelahiran Guntur, Aryo sepertinya tidak kerasan berlama-lama di rumah.
Tetapi Karmila tidak mengetahui pènyebabnya secara pasti kenapa Aryo lebih sering menginap di kantornya. Bahkan Karmila tidak mengetahui kalau Aryo sengaja membeli sebuah rumah di BTN hanya untuk menghindar berlama-lama melihat Guntur di rumahnya.
Aryo sangat kecewa kalau keturunannya memiliki kelainan padahal tidak ada seorang pun didalam anggota keluarga dirinya ataupun keluarga Karmila yang memiliki riwayat tompel seperti itu. Sikap Aryo yang jarang pulang menimbulkan kecurigaan Karmila. Berbagai prasangka buruk sempat meracuni pikiran Karmila hingga kini yang salah satunya Aryo memiliki WIL, wanita idaman lain! Namun untungnya kecurigaan itu tidak pernah ia ungkapkan, ia simpan saja didalam hatinya.
"Mamah sama Papah baik-baik saja kok, kenapa?" Mamah Karmila mampu berakting menutupi perasaan pahitnya didepan Guntur.
"Guntur heran, Papah sepertinya enggak mau melihat Guntur apalagi sekedar mengajak jalan-jalan di akhir pekan seperti teman-teman Guntur. Kenapa ya Mah, sepertinya Papah nggak sayang sama Guntur..." ucap Guntur namun dengan ekspresi cuek.
"Kata siapa Papah nggak sayang Guntur? Papah sayang kok, ya mungkin karena Papah sibuk dengan masalah pekerjaan kantornya jadi nggak kelihatan sayangnya." Terang Mamah Karmila dengan perasaan terenyuh mengatakan itu.
Jauh didasar hatinya, Karmila merasakan sakit yang ditahannya pada saat mengatakan itu. Tergambar kembali di ingatan Karmila mengingat sikap-sikap Aryo kepada Guntur semenjak dia terlahir dengan memiliki kelainan yang tidak wajar.
"Tapi masa sih Papah jarang sekali pulang dan berlama-lama di rumah, kaya nggak pernah kangen sama anaknya gitu..." Kata Guntur masih cuek sambil mengunyah nasinya.
Karmila tersenyum masam tapi ia sembunyikan dengan berpura-pura menoleh kearah lain. Ingin rasanya menangis karena harus berpura-pura bahagia didepan putranya. Karmila mengingat-ingat kembali awal-awal merasakan perubahan sikap Aryo.
Kesakitan yang teramat sangat saat melahirkan Guntur dengan normal membuatnya merasa trauma untuk kembali memiliki anak. Bayangan lima belas tahun yang lalu saat dirinya melahirkan Guntur kembali membentang di ingatanya. Keanehan putranya sudah terasa pada saat Karmila melahirkannya dengan susah payah dan butuh perjuangan yang ekstra.
"Ayo bu... ngejan yang kuat.... tarik nafas dalam-dalam lagi... iya.. iya... lalu ngejan sekuatnya bu..." ucap Bidan yang mendampingi Karmila melahirkan.
"Saaaaakkkiiitttt.... buuuu..." seru Karmila lirih.
"Ayo bu Mila, sedikit lagi. Kepalanya sudah terlihat. Ngejan yang kuat buuu..."
Entah apa yang menyebabkan bayi Karmila begitu sulit untuk keluar dari rahimnya. Rasa sakit yang berkepanjangan selama proses melahirkan itu Karmila sempat berucap dalam hatinya, nggak mau hamil lagi, Kapok!
Sampai pada akhirnya dengan sisa-sisa tenaganya Karmila mengejan dengan sekuat-kuatnya hingga pinsan bersamaan bayinya keluar.
"Owa.. owa.. owa..."
Tangisan bayi Karmila terdengar sangat berbeda ditelinga Bidan dan seorang perawat yang mendampinginya. Suara tangisan bayi itu mendirikan bulu kuduk mereka.
"Kok merinding ya bu dengar tangisan bayi itu.." bisik Suster.
"Iya, saya juga merasakannya Sus." timpal Bidan.
"Apa karena ada tompel di tangannya ya," ujar Suster lancang.
"Hussssttt...!"
Suara tangisan Guntur bayi seperti mengandung kekuatan gaib hingga membuat Bidan dan perawat itu sesaat saling berpandangan tersirat pertanyaan yang sama soal keanehan bayi itu.
"Mah, saya ke kamar ya..." ucap Guntur beranjak meninggalkan meja makan.
Memori saat proses melahirkan Guntur itu langsung hilang oleh ucapan Guntur, "Iya sayang," sahut Mamah Karmila tersenyum pahit memandangi punggung Guntur menuju kamarnya.
Karmila masih terhanyut dengan pikirannya yang masih dipenuhi dengan terkaan-terkaan penyebab Aryo berubah sikapnya setelah kelahiran anak pertamanya. Guntur BALITA memang berbeda dengan anak-anak seusianya. Ia cenderung pendiam namun sangat penurut sama kedua orang tuanya, tidak pernah meminta macam-macam.
Aryo sendiri sudah berusaha untuk bisa menerima kenyataan dengan keadaan Guntur dengan segala tingkah laku anehnya. Tetapi upayanya agar ia ikhlas dan menyayangi putranya itu selalu saja kandas.
"Guuuun, lihat Papah bawa apa...?" Aryo menyodorkan mainan mobil-mobilan remot dengan berharap putranya akan sangat senang.
"Ayo nak, terima itu. Mobil-mobilannya bagus loh..." ucap Mamah Karmila.
"Mainan apa ini Pah, Guntur nggak suka!" Guntur melempar jauh mobil-mobilan remot yang dibeli Aryo dengan harga mahal.
"Naaak, nggak baik seperti itu.." ucap Mamah Karmila lembut.
Raut wajah Aryo seketika terenyuh, ada perasaan sakit yang menusuk hatinya. Upaya untuk membuat putranya senang akhirnya sia-sia. Usahanya agar bisa menyayangi Gubtur itu justru malah membuat Aryo benar-benar frustasi ternyata sia-sia.
"Anak yang aneh," gumam Papahnya dalam hati.
Mendapati kenyataan memiliki anak seperti Guntur yang dipandang aneh, membuat Aryo merasa kecewa dan terpukul. Bahkan ia merasa malu jika harus memperlihatkannya kepada karyawan-karyawan kantornya apalagi dengan relasi-relasinya. Karena itu keberadaan Guntur selalu disamarkannya dengan mengaku belum memiliki keturunan padahal usia pernikahannya sudah menginjak tahun ke-16.
Ada kisah yang disembunyikannya dibalik raut wajah Karmila yang masih nampak cantik meski sudah melahirkan satu putra bernama Guntur Gumilang Satriaji. Bahkan Aryo Satriaji, suaminya pun tidak mengetahuinya kalau Karmila memiliki kisah terkutuk semenjak menempati rumah ini. Karmila mengalami peristiwa terkutuk yang sama sekli tidak dikehendakinya.
Dan Karmila berjanji kisah suram itu tidak akan diceritakannya pada siapapun, ia akan simpan rapat-rapat didalam hatinya tanpa ada seorang pun yang tau termasuk suaminya. Bila mengingat itu ada perasaan ngeri namun juga sejujurnya Karmila merasakan sensasi yang membuatnya terpuaskan. Namun terkadang muncul pènyesalan manakala mèlihat Guntur menderita karena ia memiliki tompel hitam berbulu di lengannya.
Guntur memiliki wajah ganteng diatas rata-rata khas orang Indonesia banget. Wajahnya lebih condong mirip dengan wajah ibunya yang cantik. Tapi bukan berarti Guntur keibu-ibuan loh ya, dia asli lelaki tulen. Namun yang menjadi ganjalan dihatinya hanya satu, yakni di tangan kirinya terdapat tompel hitam ditumbuhi rambut halus yang sangat besar melingkar dipunggung tangannya.
Sampai usianya yang menginjak 15 tahun, ganjalan dihati Guntur masih belum mendapatkan jawabannya.
......................
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!