NovelToon NovelToon

To The Point

Langkah pertama

" William Arnando Deggas!!! Akhirnya aku bisa sampai di hadapanmu!!!" suara hatiku berteriak sekeras mungkin saat aku berdiri didepan sebuah gedung pencakar langit itu.

Dadaku mulai bergemuruh, terbakar semangat yang selalu membuatku tak pernah berpaling pada satu titik tujuan yang telah lama ku perjuangkan.

Langkah kakiku begitu ringan saat masuk ke dalam gedung itu dengan keyakinan tinggi bahwa aku akan segera menepati janji pada Arin.

Sejak tiga tahun yang lalu nama itu selalu terngiang-ngiang di otakku.

Meski sangat mudah menemukan sosok pria yang namanya selalu terpampang masuk dalam Top Ten pengusaha paling sukses di negara ini, namun tak ada yang bisa kulakukan untuk mendekat apalagi bertemu dengannya.

" Arin....aku semakin dekat dengannya, apa yang harus kulakukan saat bertemu dengannya? Menghajarnya atau memberinya obat cuci perut saja? Ah.. kenapa kamu tak memberiku petunjuk yang lebih spesifik agar aku bisa memberi pelajaran pada Don Juan pujaanmu itu..."

Setelah berhasil menyelesaikan pendidikan bergelar sarjana dengan predikat cumlaude, aku membulatkan tekad untuk masuk dalam lingkup kerja milik pria itu, sebuah perusahaan ekspor impor The Deggas Corp.

Akhirnya Tuhan mengabulkan doaku, saat Curriculum Vitae yang ku kirimkan tiga bulan yang lalu mendapat respon dan membalas dengan panggilan wawancara yang muncul melalui email milikku.

" Hai...aku Sinta...kamu juga karyawan baru kan? Aku melihatmu pada saat wawancara terakhir" seorang gadis manis tiba-tiba mengulurkan tangannya kepadaku sambil tersenyum.

Wanita yang sepertinya sebaya denganku itu juga terlihat bersemangat dan dia berhasil membuyarkan lamunanku tentang William Arnando Deggas, seorang pria playboy yang sayangnya begitu tampan dan kaya sehingga membuat semua wanita tergila-gila padanya. Termasuk sahabatku Arin....

Memang sebelumnya aku lebih memilih untuk menghindari sosialisasi dengan orang lain, sehingga aku jarang mempunyai teman selain orang-orang panti, karena selama ada waktu luang aku pasti akan berada di tempat kerja sambilan....

" Ah...iya...aku Venna, ayo masuk..." sahutku berusaha ramah padanya.

Kami berdua masuk kedalam lift khusus karyawan.

Setelah perjuangan panjang, aku bisa menggeser ratusan pelamar dengan lima kali tes yang di syaratkan oleh perusahaan itu.

Dan aku salah satu diantara sepuluh orang yang telah diterima.

Hari pertama dengan masa percobaan tiga bulan, aku akan kembali berjuang agar tetap lolos agar bisa bertemu dengan bos utama perusahaan ini.

" Hhh...aku masih saja merasa gugup, bagaimana denganmu?" ucap Sinta sedikit berbisik padaku karena saat itu dalam lift memang cukup penuh dengan karyawan yang sedang mengejar waktu agar terlambat menyentuh finger print.

" Hu um, aku juga sedikit gugup...untung kita berdua dalam divisi yang sama, mohon bantuannya ya..." ucapku mantab sambil tersenyum dan menoleh kearahnya.

Wajah Sinta yang semula kaku, mulai terlihat senyuman melengkung di bibirnya itu.

" Ah...iya, semangat!! semoga kita juga bisa dapat gebetan di kantor ini..he..he... sebenarnya salah satu tujuanku masuk ke perusahaan ini karena penasaran pengen lihat tuan William secara langsung loh!!" kepalan tangannya jelas sekali bisa mewakili pikirannya yang begitu yakin itu.

Eh... jadi ada tujuan itu juga toh!!! Aku terdiam berusaha menutupi keterkejutan ku mendengar ucapannya.

Ternyata kami sama-sama ingin bertemu dengan pria itu, meski dengan ambisi yang berbeda..

Soal gebetan... sepertinya dalam waktu dekat ini, tak akan sempat memikirkan hal itu ..

Setelah melewati hari yang panjang, sore itu aku pulang ke panti asuhan tempat tinggal ku selama ini.

Ya..., tiga belas tahun yang lalu, aku adalah salah satu dari puluhan anak yatim piatu dari sebuah desa yang tenggelam oleh abu vulkanik pada saat gunung berapi yang tak jauh dari rumahku tiba-tiba terbangun dari tidur panjangnya.

Entah namanya beruntung atau tidak, saat itu aku dan anak-anak yang masih sekolah dasar, berada di sekolah yang letaknya cukup jauh dari rumah tempat kami tinggal, sehingga hanya anak-anak yang selamat dari musibah itu sedangkan orang tua kami ditemukan dalam keadaan mengenaskan.

" Bunda..."putra kecilku berlarian menyambut kedatanganku.

Meski lelah, melihat putraku yang belum genap berumur empat tahun itu, seakan kembali mengisi daya yang ada dalam tubuhku hingga mengikis rasa lelahku.

"Sayangku...." ku ulurkan tanganku untuk menggendong pria kecil yang tampan itu.

" Venna ...kamu kan bisa menjemputnya nanti, pasti capek kan pulang kerja langsung kemari..." Bu Rima menghampiriku dan segera kucium punggung tangannya.

" Sekarang Venna kerja di kantor yang besar dan nyaman kok Bu, bukan seperti sebelumnya yang harus kerja fisik dah penuh dengan keringat ...." ucapku tersenyum pada wanita paruh baya itu.

Tentu saja aku hanya berbohong, karena semua pekerjaan pasti menyita tenaga dan pikiran. Aku hanya tak ingin Bu Rima, seorang wanita yang mengabdikan diri untuk anak-anak panti itu terlalu khawatir. Beliau sudah kami anggap sebagai ibu kandung yang selalu melimpahkan kasih sayangnya pada kami.

Sebelum diterima di Deggas Corp, aku memang bekerja apapun untuk menyambung hidup dengan putraku, bahkan saat masih kuliah.

" Hhh...baiklah, sekarang kamu harus makan dulu sebelum pulang..."Bu Rima menggandeng tanganku dan mengajakku berjalan menuju panti.

Sejak lulus kuliah, aku bertekad hidup berdua dengan Vano, disebuah rumah kontrakan sederhana yang letaknya dua blok dari panti. Bagaimanapun aku ingin sedikit mengurangi beban finansial panti, apalagi kamar yang ada di panti kecil itupun tak begitu banyak.

Namun selama aku bekerja harus menitipkan Vano di panti, jadi Bu Rima tak bisa menolak sembako yang ku kirimkan untuk panti setiap bulannya dengan dalih kebutuhan Vano.

" Bagaimana hari pertama mu Venna?"tanya Bu Rima saat aku menyuapi Vano yang duduk di pangkuannya itu.

" Sangat menyenangkan Bu, kebetulan atasan dan senior ku menerima kami yang masih baru dengan baik... apalagi ada makan siang gratis di kantin perusahaan, benar-benar nyaman deh..." aku teringat porsi besar yang kuambil saat makan siang tadi.

Aku teringat pak Benny seorang kepala divisi accounting yang sekarang menjadi tempatku bekerja itu, cukup ramah dan mampu membuat suasana kerja lebih seperti satu keluarga yang kompak.

" Syukurlah...karena itulah Venna, nikmatilah dulu kehidupan barumu itu, selama ini kamu hanya fokus pada janjimu pada Arin, hingga tak memikirkan hidupmu sendiri..." Bu Rima tersenyum penuh arti.

" Tentu saja Bu, aku juga berharap ada yang jatuh hati pada ibu satu anak ini...he..he.." sahutku sambil nyengir.

" CK...kamu ini selalu begitu, ibu hanya ingin ada yang akan menjadi sandaran hidupmu kelak...."

" Siap Bu...aku akan terus berusaha kok... terimakasih karena selalu menjadi ibuku.."

" Berjanjilah, sebelum meninggal, ibu akan bertemu dengan suami mu...."

" Eh...kenapa Bu Rima berkata demikian..."protesku cemberut.

Aku sudah berjanji pada Arin dan itupun belum terpenuhi, sekarang aku harus berjanji lagi pada Bu Rima...

" Kamu tahu sendiri kan, riwayat penyakit ku ini tak bisa diprediksi..."

Aku tahu, penyakit jantung Bu Rima yang seharusnya rutin diperiksa dokter itu membuatnya bergantung pada obat saja.

" Pokoknya Venna nggak mau Bu Rima pesimis seperti itu, masih banyak anak-anak panti yang membutuhkan Bu Rima sebagai ibunya...jadi Bu Rima harus kuat..."

" Tentu saja, kekuatan ku akan selalu datang jika melihat anak-anak bahagia...termasuk kamu...aku pasti akan sangat kuat jika membantumu menyiapkan pernikahan..."

Yaaa...kalau sudah begini aku kalah deh, mungkin karena Bu Rima juga berasal dari desa, di umur ku yang ke dua puluh tiga ini sudah masuk dalam wanita siap menikah...

" Iya..iya baiklah Bu, setelah menepati janjiku pada Arin , aku pasti mengenalkan seorang calon suami pada Bu Rima..." ucapku menenangkan hati ibuku tersayang itu.

Kisah masa lalu

Tak terasa sudah satu Minggu aku bekerja di perusahaan ini.

Meskipun aku selalu menikmati pekerjaanku saat ini, namun ada perasaan yang masih mengganjal di hati karena tak pernah sekalipun aku bertemu langsung dengan tuan William.

" Hei apa yang kau lamunkan, sepertinya hari ini tak bersemangat...." ucap Riana padaku saat kami sedang menikmati makan siang di kantin.

Aku pun sedikit tersentak, karena dugaannya itu memang benar. Aku sedang memikirkan bagaimana cara untuk bertemu Direktur utama kami itu.

" Ah...iya juga, aku sedang datang bulan, rasanya sekujur tubuhku pegal jadinya..." sahutku mencoba menutupi. Toh aku tidak sedang berbohong...

" Mau obat anti nyeri haid?....nanti ku belikan untukmu" Sinta menimpali sembari mengaduk minumannya.

" Nggak usah deh, nanti juga baikan ... oh iya, apa kamu sudah berhasil bertemu dengan tuan Willy seperti salah satu alasanmu melamar kemari...?" pancingku dengan nada bercanda, kuharap aku bisa menemukan petunjuk.

" Hhh...mana bisa bertemu, setiap hari kita terus menerus berada dilantai empat, sementara para petinggi perusahaan berada dilantai sepuluh..." keluh Sinta cemberut.

" Hei kalian berdua ngapain membicarakan bos kita itu? Apa kalian belum pernah mendengar kisah percintaan bos Willy ...?" ucap Riana yang merupakan senior kami itu.

Mendengar ucapan Riana itu , Sinta menoleh ke arahku dan ku balas dengan mengangkat bahuku tanda tak mengerti.

Kemudian, Riana mulai berceloteh tentang profil seorang bos Willy di lihat dari mata karyawannya.

William Arnando Deggas. Single, umur tiga puluh dua tahun, selalu ramah pada anak buahnya, dekat dengan banyak wanita cantik namun semua mempertanyakan siapa kekasih yang sebenarnya.

Jelas sekali pria itu play boy kelas atas yang tak sanggup berkomitmen hanya pada satu wanita saja.

Ternyata dia tak seperti bos yang ada dalam bayanganku. Tegas, disiplin, dingin bahkan arogan... Untunglah, jadi tak akan menyurutkan keberanian ku menghadapinya nanti...

Bila sekarang umurnya tiga puluh dua tahun, berarti beda sembilan tahun dengan sahabatku Arin yang memang sebaya denganku.

Arina Dewanti adalah teman sekelas ku waktu di sekolah dasar. Karena persamaan nasib menjadi sebatang kara karena kehilangan keluarga yang menjadi korban bencana erupsi gunung berapi, kami menjadi sahabat melebihi saudara kandung.

Berlindung di panti yang sama, berjuang untuk memperbaiki hidup dan tak mau hanya menyerah pada nasib saja.

Kami juga mempunyai impian untuk membantu kehidupan panti yang memang tak banyak memiliki donatur tetap, sehingga kami harus hidup sangat sederhana.

" Wah ...hebat kamu Rin..." ucapku pada Arin saat melihat piala yang disodorkannya padaku itu.

" Huh... lagi-lagi kamu nggak datang waktu final..." sahabatku yang cantik itu baru saja memenangkan lomba modeling tingkat remaja.

Arin memang berbakat dari kecil, dengan wajah cantik dan kemampuan nya berlenggang di catwalk, dia selalu aktif mengikuti perlombaan modeling dan sering mendapatkan juara.

" Iya maaf deh...kemarin aku kan harus jaga minimarket non...." aku tak mau tinggal diam begitu saja. Bila Arin berusaha mendapatkan uang dari perlombaan yang diikutinya, aku juga bekerja keras untuk mendapatkan uang dengan bekerja sambilan.

" Kamu tuh, kebanyakan kerja sambilan... lihatlah tubuh mu yang kecapekan ini, aku nggak mau ya kamu jadi sakit...!!" celoteh nya yang terdengar persis seperti Bu Rima.

Aku hanya bisa nyengir, mendengar omelan dari sahabatku itu. Dia memang rajin menasehati ku.

" Sudahlah ayo ikut aku belanja, sebagai hadiah dariku atas kemenangan mu kali ini,aku akan masak makanan kesukaanmu..." bujuk ku padanya.

" Wah ...asyik bisa makan masakan mu lagi, gara-gara waktu luang mu yang tersita karena kerja sambilan, kami jarang makan bihun jamur buatan mu yang mantap itu..."dengan riang, tangannya menggandengku dan kamipun melangkah keluar untuk belanja.

Saat itu baru satu bulan kami lulus dari sekolah menengah pertama, dan beruntung dapat melanjutkan jenjang pendidikan selanjutnya tanpa campur tangan pihak panti karena mendapatkan beasiswa.

Arin mendapatkan beasiswa melalui kejuaraan yang sering didapatkannya, sedangkan aku mendapat beasiswa dari nilai akademik yang selalu menjadi juara kelas.

Meskipun kelebihan kami berbeda, namun tak mengubah ikatan persaudaraan kami. Aku yang sudah terbiasa bekerja dengan otak dan fisik, sementara itu Arin yang cantik dan feminim hingga berbakat dalam modelling, sama-sama mempunyai penghasilan yang lumayan menurut kami.

" Gimana Ven...kapan kita mencari tempat tinggal sendiri..." ucap Arin saat berada didalam kamar kami yang sempit itu.

Aku hanya berguman karena masih fokus pada persiapan masuk sekolah besok pagi.

" Hei...jawab dong..."

" Arin...kita pernah mencobanya kan, aku yakin Bu Rima masih melarang kita karena menurutnya belum cukup umur untuk terpisah dari orang tua...." ku toleh wanita yang sedang menyisir rambut panjangnya itu.

" Tapi itu kan setahun yang lalu, kita masih SMP...."guman nya.

" Bu Rima khawatir kalau tidak ada yang melindungi bila kita terlibat dengan cowok..."itulah alasan Bu Rima yang dulu, meski kami telah menjelaskan agar kamar kami bisa digunakan anak lain yang memang lebih membutuhkan.

Sebenarnya dulu ada yang berminat mengadopsi Arin yang memang menonjol karena kecantikannya itu, namun dia bersikeras tak mau berpisah denganku.

Begitupun denganku, seorang guru bermaksud membawaku pindah keluar kota, dan menjamin pendidikan ku, namun aku juga menolak saat Arin menangis keras menahan kepergian ku.

Akhirnya hanya kami berdua yang bertahan di panti, sementara anak-anak yang senasib dengan kami sudah bersama orang tua asuh masing-masing.

Tiba-tiba aku merasa ada sesuatu yang telah terjadi pada sahabatku itu. Kenapa dia begitu berniat hidup mandiri...

Ku hentikan gerakan menata buku pelajaran, dan kembali menoleh kesamping. Ku perhatikan tingkah Arin yang sepertinya berbeda dari biasanya.

" Apaan sih, Ven!! Kenapa melihat ku seperti itu?" ucapnya saat menyadari aku memperhatikan gerak-gerik nya.

" Apa kamu punya pacar?"tuduhku.

" Eh..." Arin jadi salah tingkah.

Aku menarik sudut bibirku karena tebakanku benar. Jadi Arin ingin lebih bebas karena sudah memiliki kekasih.

" Hayo... beraninya kamu menyembunyikannya dariku..." ku gelitik pinggangnya hingga dia terjungkal di kasur kami yang lesehan itu.

" Venna !!! Hentikan...!!Ha..ha..!" sahutnya sambil tertawa menahan geli.

" Nggak akan ku hentikan bila kamu tak menceritakannya sekarang juga..."

" Iya...iya aku menyerah, sekarang hentikan!!! Ha..ha.."

Aku pun mundur lalu duduk dengan bersila dihadapannya.

" Hei...kamu seperti orang yang akan menghakimiku!!!" ucap Arin yang sedang mencari tempat nyaman untuk bercerita.

" Memang!!!" sahutku tegas.

Kemudian Arin bercerita tentang seorang pria memang telah merebut hatinya, dia salah satu dewan juri dalam suatu perlombaan yang diikutinya.

Katanya dia juga seorang model senior dengan jam terbang tinggi. Sosoknya yang tampan dengan wajah campuran indo Jerman, dan semua perhatian khusus yang diberikannya pada Arin, membuat hati remaja itu meleleh...

" Karena dia punya kesibukan yang padat, kami jarang sekali bertemu, dia bilang waktu luangnya tak banyak, tapi di saat waktu luangnya ingin bertemu denganku, aku tak mungkin menemuinya karena jam malam panti..." curhatnya kemudian.

" Maksudnya dia hanya punya waktu malam hari?"

" Seringnya begitu, apalagi agensinya di kota lain yang jauh dari sini kan..."sahut Arin.

" Apa dia tahu kalau kamu masih berusia enam belas tahun?"

" Tentu saja, kenapa kamu menanyakan hal itu!!" tanyanya heran dengan pertanyaanku.

" Jadi seharusnya dia tahu kalau kamu tuh masih ABG labil, jadi nggak boleh keluar malam!!" sekarang gantian aku yang mengoceh seperti Bu Rima.

" Idiih ... kok kamu nggak mendukung ku sih..."

" Aku hanya ingin ikut melindungi mu , Non..."

" Tapi kami hanya ingin sesekali bertemu, Ven... ayolah kita mencari kontrakan sendiri...pliss!!"

" Gimana ya..." aku masih saja berpikir bahwa kami akan lebih aman disini, tapi jika kami pindah ada anak lain yang dengan senang hati mendapatkan kamar ini dan kami juga bisa mengurangi beban panti.

" Kita sudah SMA Ven...jadi sudah saatnya kita harus belajar mandiri kan...."

Aku hanya menipiskan bibir mendengar ucapannya itu. Dasar... remaja labil yang jatuh cinta, pandai benar cari alasan.

Tersangkut restu

Akhirnya Arin berhasil membujukku untuk pindah dari panti. Tentu saja kami harus meyakinkan Bu Rima bahwa kami sudah siap hidup mandiri dan berjanji akan saling menjaga satu sama lain.

Sudah satu bulan kami menempati sebuah perumahan sederhana di pinggiran kota.

" Jadi mau ketemuan nanti malam Rin..." tanyaku saat bersandar di pintu kamar sahabatku itu.

" Hmm...iya..." dia tersenyum padaku, dan terlihat binar dimatanya hingga siapapun yang melihatnya pasti tahu bahwa dia sedang jatuh cinta.

" Mm... kalau bisa jangan kemalaman ya..." bagaimana pun aku sudah berjanji pada Bu Rima untuk selalu menjaganya.

Arin terlihat berpikir sejenak...

" Ah iya, apa kamu mau ikut menemaniku?" tanyanya padaku.

" Apa kamu pikir aku mau jadi obat nyamuk heh!!" sahutku sewot.

" He..he...bukan begitu neng, kebetulan nanti dia datang bersama asisten nya, jadi kamu bisa ngobrol dan menemaninya...soalnya nanti malam, mereka harus terbang ke Bali..."

Sebenarnya aku juga ingin sedikit tahu tentang pria yang dekat dengan Arin, tapi nanti malam aku ada jadwal kerja sambilan disebuah kafe.

" Nanti aku harus kerja , jadi tak bisa menemanimu..." sahutku.

" Mm...kerja di cafe itu ya, baiklah kalau gitu kami akan makan malam di tempatmu saja , aku ingin kalian saling kenal, boleh kan?"

" Eh...jangan, Rin..maksudku kamu boleh datang bersamanya, tapi mendingan kita pura-pura tak kenal, gitu ya!!" sahutku tegas.

" Kenapa memangnya?"

" Udah pokoknya begitu aja...oke!! udah ya aku berangkat dulu..." aku pun meninggalkan Arin yang masih bingung dengan ucapan ku.

Tentu saja aku tak mau mempermalukan Arin karena penampilan ku sebagai pelayan.

Hampir pukul delapan malam, mataku menangkap sepasang kekasih yang terlihat sangat bahagia masuk ke dalam kafe tempatku bekerja.

Aku pun segera menghampiri mereka yang telah duduk di salah satu sudut yang memang nyaman untuk pasangan seperti mereka.

" Selamat malam, silahkan menunya..." ucapku tersenyum ramah pada mereka.

" Terima kasih, kami akan langsung pesan saja ya..." sahut Arin yang membalas tatapanku dengan menahan tawanya sendiri.

Ku perhatikan pria bernama William itu memang terlihat gagah dengan rambut ikal kecoklatan membingkai wajah tampannya. Sepertinya dia juga terlihat sayang sekali pada Arin...

Sangat serasi dengan Arin yang juga cantik ... semoga mereka berdua bisa sampai ke pelaminan, karena kulihat pria itu sudah dewasa dan mapan.

Setelah menyerahkan pesanan, aku kembali berjalan menuju ke meja yang baru saja diduduki oleh seorang pria muda.

" Selamat malam, mau pesan langsung atau saya tinggal dulu?" tanyaku pada pria berjaket bomber warna armi itu.

" Langsung saja ..." sahutnya datar sambil membuka menu yang kuberikan tadi.

Kutunggu pria itu memesan sambil melirik kearah Arin dan kekasihnya.

" Apa kau mengenal mereka?"

Aku segera menoleh mendengar suara itu, ternyata pria di hadapanku sedang memperhatikan gerak-gerik ku...

" Ah tidak ... saya hanya terpesona, karena mereka begitu serasi, seperti Romeo dan Juliet" sahutku.

" Hmm...kamu benar, mereka memang seperti Romeo dan Juliet yang tak direstui oleh keluarganya...."

" Eh...apa anda mengenal mereka?" tanyaku dengan nada terkejut saat mendengar ucapannya itu.

" Aku hanya asisten dari pria itu...." ucapnya sambil menyerahkan menu dan menunjuk salah satu menu sebagai pesanannya...

Meski dengan pikiran yang berkecamuk di kepalaku, aku segera membawa pesanan pria tadi ke dapur.

Bagaimana ini ? Apa Arin tahu tentang keluarga kekasihnya yang tak merestui hubungan mereka berdua...

Bahkan dengan tubuh terasa sangat lelah saat sampai di rumah, mataku tak bisa langsung terpejam seperti biasanya.

Saat terdengar suara pintu terbuka, ku lihat jam di ponselku. Hampir tengah malam...

Apa aku harus memastikan ucapan dari asisten dari William, sekarang juga? Ah sebaiknya besok saja, biarlah Arin menikmati kisah cintanya yang baru saja berbunga-bunga.

" Ven...Venna!!!" pagi itu suara Arin membangunkan ku sambil menepuk-nepuk bahuku.

Dengan malas karena pusing, aku mencoba untuk duduk. Semalam entah jam berapa aku baru bisa terpejam.

" Hampir jam tujuh Ven, tumben kamu belum bangun. Apa kamu sakit?" kalimat bernada cemas itu memaksaku untuk membuka mata.

" Eh...jam tujuh?!? CK.... bagaimana bisa!!!!" setelah kesadaran ku terkumpul sepenuhnya, kakiku berjingkat menuju kamar mandi.

Kurang dari sepuluh menit kemudian, kami berdua sudah berada dalam sebuah angkutan umum menuju SMA 2, tempat kami belajar.

Sepanjang perjalanan, Arin begitu antusias menceritakan kencannya semalam.

Hari berganti, namun aku masih saja pura-pura tak tahu akan perkembangan dua sejoli itu.

Puncaknya pada awal tahun, saat kami sudah kelas tiga SMA akhirnya bom waktu yang selama ini tertidur, mulai terbakar sumbunya.

Tahun yang seharusnya menjadi waktu tersibuk karena persiapan ujian kelulusan dan kupikir aku dan Arin punya tekad yang sama yaitu berjuang memperoleh beasiswa untuk melanjutkan ke perguruan tinggi...

" Arin...sudah pulang ya? kupikir kamu ada acara..." sapa ku saat masuk kedalam rumah setelah pulang dari mengajar les anak-anak sekolah dasar.

Kulihat sahabatku itu sedang melihat layar televisi dengan tatapan kosong. Sejenak dia menoleh mendengar suaraku, namun dengan lemah dia kembali pada kegiatannya tadi.

" Iya, Ven...lagi males ngapa-ngapain..."

" Sepertinya kamu pucat, ku antar ke dokter yuk..."

" Nggak usah Ven...aku hanya lelah..."

Aku mendekat dan duduk disampingnya, mencoba untuk mencari tahu apa yang membuatnya tampak lesu itu.

" Ada yang mau diceritain ?" kutatap matanya.

Beberapa saat wanita itu membalas tatapanku, namun suaranya seperti tercekat tak mampu berkata-kata.

" Nggak apa-apa kalau kamu belum siap, aku akan selalu ada untukmu kapanpun membutuhkan ku..." ku usap lengannya dengan sayang.

Lalu aku pun beranjak berniat masuk kedalam kamarku sendiri.

" Ven...aku hamil..." suara kecil itu terdengar seperti sebuah bom atom yang meledak ditelinga ku.

Tubuhku kembali memutar langsung duduk disampingnya, sementara itu bibirku hanya bisa bergetar seakan tak siap menghadapi masalah ini.

Hanya kurang dari satu semester kami akan lulus .... aku tak bisa membayangkan Arin mengerjakan soal ujian dengan perut buncitnya ...

"William ?" hanya nama itu yang kusebut.

Dan Arin menjawabnya dengan anggukan..Meski tanpa suara, telah keluar air mata yang mengalir dikedua pipinya.

Aku pun menahan nafas, saat mengusap air matanya dengan kedua ibu jariku.

" Dia tahu kan...?" tanyaku lagi.

Dan lagi-lagi hanya anggukan kepalanya untuk menjawab ku.

Setelah beberapa saat Arin lebih tenang, perlahan dia menceritakan awal dari semua ini.

Beberapa bulan yang lalu akhirnya Arin tahu bahwa keluarga William sama sekali tidak menyetujui dengan hubungan mereka berdua karena sudah ada calon menantu yang lebih pantas bagi calon pewaris The Deggas Corp itu.

Setelah melalui perdebatan yang panjang dan tidak mencapai titik temu, Arin dan William memutuskan membuat jalan pintas. Mereka mengira hadirnya seorang anak akan meluluhkan keluarganya.

Setelah Arin mengabarkan bahwa dia benar-benar hamil, William yang saat itu mengetahuinya lewat telepon terdengar sangat senang dan antusias untuk segera kembali dari perjalanannya ke luar negeri.

Namun hari dimana mereka berjanji akan bertemu, tak ada kabar apapun dari William. Bahkan semua kontaknya tak bisa dihubungi.

Kini janin dalam kandungan Arin berusia dua bulan dan seperti bayanganku sebelumnya saat ujian kelulusan lima bulan lagi, Arin akan mengerjakan ujian dengan kandungan yang berusia tujuh bulan.

" Maaf Venna...aku...aku...tak menghiraukan nasehatmu agar tak serius berhubungan dengan pria..." ucapnya masih dengan sesenggukan.

" Sudahlah...kita akan menghadapinya bersama, aku akan mencari William hingga bertemu langsung dengannya..."

" Hari ini aku menerima pesan dari nomor yang tak dikenal yang mengaku dari ibunya, yang telah mengirim ratusan juta di rekening milikku, sebagai kompensasi dan biaya untuk menghilangkan janin ini..."

" Astaga, benar-benar keterlaluan....!!!" aku mulai geram pada orang kaya tak berakhlak itu.

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!