NovelToon NovelToon

KAMPUNG HANTU

PART 1 HANTU PENUNGGU POHON NANGKA

Hai, Kak ...

Selamat datang di novel berjudul KAMPUNG HANTU yang

menceritakan sebuah kampung nan penuh dengan kejutan dan misteri. Siapkan adrenalin Anda!

Oh ya, selain membaca gratis Kakak juga bisa mendapatkan hadiah gratis dari kami dengan mengikuti program give away. Caranya berikan vote sebanyak-banyaknya untuk KAMPUNG HANTU. Peraih vote tertinggi (akumulasi sampai 15 Juli 2020), dialah pemenangnya. Keputusan juri tidak dapat diganggu gugat. Oke???

PROLOG

Di suatu pusat kota, tepatnya di sebuah warung makanan cepat saji yang cukup ramai dikunjungi pembeli, seorang pria tua yang menggunakan topi fedora berdiri di samping salah satu meja. Beberapa pria berdasi sedang asik melahap makanan yang beberapa saat lalu diantarkan oleh pramu saji. Pria tegap tersebut menundukkan kepala sambil menyodorkan tangannya ke depan.

"Punya uang kecil, Bro?" ucap salah satu pria berdasi yang paling dekat posisinya dengan pengemis tua itu kepada teman-temannya yang semeja dengannya.

"Waduh, nggak punya, Bro," jawab pria berdasi yang satunya sambil menggelengkan kepala.

"Kalian berdua punya?" tanya pria yang pertama itu lagi kepada dua temannya yang lain.

"Dompetku ketinggalan di kantor," jawab pria yang ditanya.

"Aku lupa nggak bawa dompet," jawab pria yang satunya lagi.

Pria berdasi yang pertama menoleh ke arah pengemis tua itu seraya berkata,

"Mohon maaf, Pak. Kami tidak ada uang kecil."

Tidak ada reaksi dari pengemis tua itu, ia masih tetap berdiri sambil menunduk seperti semula, seolah tidak menggubris permohonan maaf pria berdasi di depannya.

Pria berdasi merasa tidak enak hati karena pengemis di depannya tidak segera pergi. Ia menoleh ke arah teman-temannya sambil berbicara dengan bahasa isyarat mempertanyakan perilaku pengemis itu, tetapi teman-temannya menjawab dengan bahasa isyarat pula, mereka juga bingung mengapa pengemis itu tak mau pergi. Akhirnya pria yang pertama mengalah, ia merogoh uang duapuluh ribuan dari sakunya dan menyodorkan kepada pengemis tua tersebut.

Pengemis tua tidak segera mengambil uang sedekah paksaan itu, ia tetap menunduk seolah sedang membaca koran yang kebetulan ada di ujung meja, dekat dengan pria tua itu. Namun, beberapa detik kemudian ia mengambil uang kertas itu dan dimasukkan ke dalam saku bajunya.

"Terima kasih," ucapnya dengan suara serak-serak berat.

Setelah mendapatkan apa yang diinginkan, pria tua itupun meninggalkan warung tersebut dengan langkah gontai. Semua orang yang berada di warung tersebut memandang ke arah pria tua itu. Ada yang kasihan, ada pula yang jijik melihat penampilan kotornya. Pemilik warung sempat berteriak keras kepadanya,

"Pak, lain kali kalau minta-minta nggak usah masuk ke dalam. Di luar saja!"

Pengemis tua itu hanya menoleh tajam sesaat, kemudian berbalik pergi. Entah mau menuju ke mana dia.

Kelompok pria berdasi tadi melanjutkan acara makannya kembali.

"Bro, kamu tidak merasa ada yang aneh dengan bapak tua tadi?" tanya salah satu dari mereka.

"Aneh bagaimana maksud kamu?" Salah satu dari mereka balik bertanya.

"Sepertinya bapak tua tadi tidak sedang menunggu pemberian uang dari kita," jawabnya.

"Maksud kamu?" tanya temannya lagi.

"Dia tadi berdiri lama di situ sepertinya sedang membaca surat kabar itu," jawabnya lagi.

"Kamu yakin?" tanya temannya lagi.

"Iya, saya yakin, Bro. Tadi bapak tua itu seperti antusias sekali membacanya." Ia menjawab.

"Mana sekarang korannya, kok sudah tidak ada?" tanya temannya.

"Barangkali terjatuh, Bro," jawabnya.

Temannya memeriksa kolong meja,

"Iya, Bro. Korannya ada di kolong," seru temannya.

"Ambil, Bro!"

Temannya memungut koran dari kolong meja dan memeriksa setiap judul berita yang tercetak di bagian depan dan bagian dalam surat kabar tersebut. Ia sengaja membacanya dengan keras supaya terdengar oleh teman-temannya, mereka semua terkejut ketika pria itu melafalkan dengan keras judul tulisan yang sengaja dicetak paling besar dan paling tebal.

[HEBOH, DITEMUKAN TENGKORAK WANITA DI KAMPUNG JATISARI.]

PART 1 : Hantu Penunggu Pohon Nangka

Seperti biasa, malam itu aku belajar mengaji bersama teman-teman di musala Mbah Nur. Kegiatan mengaji dimulai bakda salat Magrib hingga menjelang salat Isya. Setelah selesai salat Magrib anak-anak biasanya langsung mengambil Al-Qur'an dan juga kattok-nya (alas untuk membaca Al-Qur'an) masing-masing.

Ada yang menarik di tempat aku mengaji ini, yaitu model kattok-nya aneh bin lucu. Ada yang berbentuk kura-kura, ada yang mirip patung, ada yang serupa meja, dan ada yang berbentuk kattok lipat. Khusus kattok lipat sudah ada pemiliknya dan tidak bisa dipakai anak lain. Yang punya, biasanya, anak yang bapaknya berprofesi sebagai tukang bangunan spesialis kayu. Sementara model kattok yang lain biasanya menjadi bahan rebutan teman-temanku. Siapa yang datang lebih awal maka dia yang berhak mengklaim kattok yang dipilih untuk hari itu. Bahkan ketika salat Magrib, kattok yang dipilih ditaruh di depan tempat sujud masing-masing anak, sebagai tanda bahwa kattok tersebut sudah dikuasai hari itu. Anak-anak paling suka dengan kattok model kura-kura karena bisa diputar-putar, meskipun ketika kattok itu benar-benar diputar dan ketahuan Mbah Nur maka telinga kita juga akan ikut diputar sebagai hukumannya.

"Jangan mainan kattok! Itu alasnya Al-Qur'an!" Itulah kalimat yang sering beliau ucapkan.

Hari itu aku datang paling akhir, sehingga aku kebagian sisa kattok yang kakinya sudah kroak. Akhirnya ketika digunakan sebagai alas Al-Qur'an, bagian kakinya harus dipegangi atau diganjal sesuatu. Biasanya kami menggunakan sajadah untuk mengganjalnya. Pokoknya tersiksa sekali jika harus kebagian kattok kroak tersebut. Selain sulit menggunakannya, pemakainya juga akan dijadikan bahan candaan teman-teman yang lain.

Pada saat belajar mengaji, murid perempuan duduk berbaris di sebelah kanan Mbah Nur sedangkan murid laki-laki berbaris di sebelah kiri beliau. Kami bergantian membaca Al-Qur'an dan di-sema' oleh beliau. Murid yang besar-besar di-sema' lebih dahulu agar setelahnya bisa membantu beliau mengajari murid yang kecil-kecil. Jadi, murid yang kecil-kecil itu diajari dua kali, oleh Mbah Nur dan oleh murid yang besar-besar.

Tak terasa semua santri sudah selesai di-sema' malam itu oleh Mbah Nur dan tiba saatnya anak-anak untuk bersiap-siap menunaikan salat Isya. Kami biasanya berwudu di sungai yang jaraknya kurang lebih seratus meter dari langgar beliau. Tetapi, sebelum kami berangkat ke sungai biasanya Mbah Nur memberikan wejangan dulu kepada kami semua.

"Berwudunya gantian, ya! Santri putra duluan. Kalau sudah semua baru santri putrinya. Oh ya, ingat di sungai harus berhati-hati. Jangan membuat kegaduhan dan tidak usah berlama-lama di sana!"

"Kenapa tidak boleh berlama-lama di sungai, Mbah?" tanya kami.

"Sudahlah tidak usah banyak bertanya. Begitu selesai berwudu, segera kembali ke musholla!" Jawab Mbah Nur agak keras.

"Inggih, Mbah, " jawab kami segera.

Aku dan semua anak laki-laki berangkat duluan menuju sungai. Secara hitungan jarak, memang hanya sekitar seratus meter akan tetapi medan menuju sungai ini tidaklah mudah, sebelah kiri hanya ada dua rumah penduduk, sedangkan di sebelah kanan hanya ada satu rumah. Sisanya masih berupa tegalan yang banyak ditanami pohon. Jalannyapun masih berupa jalan setapak. Setiap pergi ke sungai, anak-anak selalu berjalan beriringan dan tidak lupa berdoa, karena kami sudah banyak mendengar cerita dari orang-orang tua, bahwa beberapa pohon di dekat sungai ini ada penghuninya. Kami memang belum pernah melihatnya secara langsung, tetapi membayangkan yang diceritakan oleh orang-orang, sudah sanggup membuat bulu kuduk kami berdiri.

Sampailah kita semua di sungai yang airnya sangat jernih tersebut. Irwan dan Zen begitu sampai sungai langsung berwudu dengan gerakan cepat dan langsung lari menuju langgar, kedua temanku tersebut memang terkenal penakut. Beberapa anak yang lain juga melakukan hal yang sama, buru-buru turun ke sungai, bersuci serta kabur ke langgar. Tersisa aku, Doni, Buang, dan Parto. Doni dan Buang buang air kecil dan berwudu, setelahnya mereka berdua bersiap untuk kembali ke langgar.

"Rek, tunggu aku ya. Aku mau BAB, " kataku kepada mereka.

"Aku balik duluan ya, Im? Takut dihukum Mbah Nur kalau kelamaan di sungai," kata Doni.

"Aku juga mau balik dulu soalnya sekarang giliranku mengumandangkan azan, " jawab Buang.

Tinggal satu orang lagi temanku yang belum aku tanyakan.

"Kamu bisa nungguin aku kan, To?" kataku memelas sambil menahan sakit perut.

"Oke. Buruan sana wes!"

Akupun buru-buru menuju sungai, agak ke hilir untuk BAB. Parto berwudu duluan, setelahnya dia duduk-duduk di pinggir sungai yang agak tinggi. Rupanya aku membutuhkan waktu yang agak lama untuk membuang hajat.

"Sudah, Im?"

"Belum, To"

"Ayo, buruan! Nanti kalau berlama-lama, kita bisa dihukum oleh Mbah Nur."

"Sebentar lagi. Tinggal dikit, nih."

Pada saat BAB, tiba-tiba aku melihat Mbah Jun di belakang Parto. Pria yang tinggal sebatang kara itu melangkah menuruni sungai.

"Sampean, Mbah?" sapa Parto kepada Mbah Jun.

Yang disapa tidak menyahut. Sesampai di sungai ia langsung menangkup air dengan kedua tangan dan dibasuhkan ke mukanya. Tidak kurang dari sepuluh kali dia melakukannya. Cara yang ia lakukan terlihat aneh. Kemudian, dengan wajah yang datar pria tua itu naik lagi dari sungai sambil menoleh ke arahku yang sudah selesai BAB. Pria sepantaran Mbah Nur itupun melangkah melewati Parto yang sedang menungguku di galengan. Sekilas tercium wangi bunga kenanga ketika Mbah Jun berlalu. Akupun mulai berwudu, setelahnya aku naik menuju Parto berada.

"Kemana Mbah Jun? Kok, tumben dia nggak nyapa? Apa karena kita ketahuan mencuri salaknya kemarin?" tanyaku.

"Entahlah. Itu orangnya jalan ke utara menuju rumahnya. Ayo kita segera balik ke langgar, " jawab Parto.

Kami berduapun bersiap untuk kembali ke langgar ketika tiba-tiba terdengar suara.

[Krining... Krining ... Krining ....]

Kami dikagetkan dengan bunyi bel sepeda dari arah selatan. Karena hanya diterangi sinar bulan, kami tidak tahu siapa yang sedang menaiki sepeda ontel tersebut. Lambat laun sepeda ontel mendekat dan ketika sudah sangat dekat barulah kami tau siapa yang sedang mengendarainya,

"Oh, dasar anak-anak ini. Minggir! Saya mau lewat, kok malah berdiri di jalan, jangan-jangan kalian sudah mencuri salakku lagi, ya?" omel lelaki tua tersebut dengan suara khasnya yang sangat cempreng. Kutajamkan penglihatan untuk memastikan apakah itu memang benar-benar Mbah Jun.

"Ya Tuhan! Ternyata pengendaranya beneran Mbah Jun."

Aku dan Parto saling bersitatap keheranan, kami sempat berpikir, kok Mbah Jun bisa jadi dua, sih? Yang satu baru saja berjalan ke utara, sedangkan Mbah Jun yang ini baru datang dari arah selatan.

"Kenapa bisa seperti itu?"

Nalar kami tidak mampu menjangkaunya, sehingga kami lari tunggang langgang meninggalkan Mbah Jun yang ini bersama sepeda kumbangnya. Yang mana yang asli dan yang mana yang palsu kami berdua tidak tahu. Yang jelas, setahu kami Mbah Jun itu tinggal sendirian dan tidak memiliki saudara kembar.

-Bersambung-

PART 2 KESAKSIAN LEK NISA

Sebagian anak tidak percaya dengan kejadian yang menimpa aku dan Parto malam itu, tetapi sebagian yang lain percaya. Bahkan isu adanya hantu tersebut dengan cepat menyebar ke kalangan orang dewasa. Bibiku, Lek Nisa pagi harinya mewawancaraiku,

"Im, aku dengar kamu tadi malam ketemu hantu di sungai, ya?" tanya Lek Nisa.

"Iya, Lek. Aku dan Parto sampai ketakutan tadi malam nggak bisa tidur," jawabku.

"Aku juga pernah loh ngalamin kayak kamu," ujar istri Lek Didik itu dengan wajah tegang.

"Oh iya tah, Lek?" Aku penasaran.

"Iya. Seminggu yang lalu, pas aku beol di sungai diantar Lek Didik (suaminya), tiba-tiba ada kain putih bergelantungan di pohon nangka, " lanjut perempuan tambun itu.

"Kain putih gimana, Lek? Ada wajahnya begitu?" Aku semakin penasaran.

"Tidak. Kain putih tersebut hanya berupa buntelan panjang seukuran orang dewasa, berayun-ayun begitu saja seperti buah nangka," pungkasnya.

"Terus gimana, Lek? Apa sampean nggak takut?" tanyaku sambil bergidik ngeri.

"Jangan ditanya kalau aku, Im. Aku langsung nggak kuat bergerak, aku jadi gagap mendadak. untung saja Lek Didikmu tanggap. Dia melompat ke arah sungai ke tempat aku duduk, dia mengusapkan air ke wajahku sambil membaca-baca doa, dia juga yang melempari buntelan putih itu dengan batu sambil membaca takbir hingga buntelan itu menghilang, " jelasnya.

"Serem sekali, Lek. Lek Didik kok berani, ya?" Aku masih merinding.

"Kalau dia nggak usah ditanya, lha wong kerjanya tiap malam mengairi sawah sendirian. Pasti ia sudah sering ketemu begituan. Kalau dia nggak berani, ya, nggak bisa kerja, lah" tegasnya.

Malam harinya

Aku tetap mengaji, tetapi tidak pergi ke sungai. Aku masih takut bertemu dengan penampakan Mbah Jun kemarin.

Setelah menunggu kurang lebih limabelas menit, anak-anak hampir semuanya sudah kembali dari sungai, baik laki-laki maupun perempuan. Tiba-tiba terdengar kegaduhan dari arah sungai.

"Tolooooong!!!!! Toloooolong!!!!!" terdengar teriakan anak perempuan dari arah sungai.

Semua anak berlarian menuju sungai, penghuni rumah di sekitar sungai juga keluar dari rumah mereka menuju sungai. Akupun ikut berlari bersama anak-anak. Sesampai di lokasi, kami baru mengetahui ternyata yang berteriak adalah Yuli dan Anik, kakak beradik teman mengajiku. Mereka berdua tidak berada di sungai yang biasa kita gunakan untuk berwudu, tetapi mereka agak ke utara sedikit, tepatnya berada di bawah pohon nangka yang diceritakan Lek Nisa pagi tadi.

"Ada apa kok teriak-teriak, Nduk?" tanya Lek Tik, penghuni rumah di sebelah kiri jalan setapak.

"I-i-i-ini Lek .... Aku dan Yuli tadi habis berwudu, tanganku ditarik sama Yana menuju ke langgar, kita ikuti saja, tapi kami merasa kok nggak nyampek-nyampek, dan secara tiba-tiba Yana sudah nggak ada. Anehnya lagi, kita bukannya sampai ke langgar, malah ternyata kita ada di sini, " jawab Anik terbata-bata. Sementara Yuli, adiknya masih menggigil ketakutan.

"Astaghfirullah! Ayo, kita kembali ke langgar!" kata Mbah Nur sambil mengusap kedua wajah dan kepala mereka berdua.

Anak-anakpun kembali lagi ke langgar bersama Mbah Nur meninggalkan orang-orang dewasa yang tetap berbincang di tempat tersebut. Mungkin sebagian dari mereka ada yang tidak percaya dengan cerita Anik dan Yuli dan menganggap itu sebagai keisengan anak kecil saja. Tetapi saya yakin sebagian yang lain ada yang percaya.

Selesai salat Isya, Mbah Nur berpesan kepada anak-anak bahwa besok akan diadakan doa bersama di langgar. Jadi, anak-anak diminta membawa berkat (kotak nasi). Sebelum pulang, Mbah Nur berbisik di telingaku dan Parto.

"Besok malam ikut saya!"

"Inggih, Mbah, " jawab kami pelan dengan penuh tanda tanya.

Keesokan Harinya

Seperti biasa, pukul empat sore anak-anak sudah datang ke langgar dan bermain di halaman. Anak laki-laki bermain bentengan, sedangkan anak perempuan bermain bola bekel. Saat asik bermain bentengan, Mbah Nur memanggilku dan Parto ke rumah beliau.

"Apa teman-teman kalian tidak lupa kegiatan doa bersama hari ini?" tanya Mbah Nur.

"Mboten, Mbah. Anak-anak sudah membawa berkat masing-masing untuk acara nanti. Kecuali Yanto tidak membawa karena neneknya sakit." Jawab Parto.

"Kalau Yanto memang seharusnya tidak usah membawa berkat. Dia itu anak yatim. Justru nanti dia salah satu yang akan diberi berkat," ucap guru ngaji kita itu.

"Inggih, Mbah" jawabku.

"Nanti selesai doa bersama, Kalian berdua bantuin saya, ya?" seloroh Mbah Nur kemudian.

"Bantuin nopo, Mbah?" tanya kita kompak.

"Kita ke rumah Mbah Mi, " jawab Mbah Nur.

"Mbah Mi yang rumahnya di sebelah Mbah Jun?" tanyaku sedikit heran.

Mataku tertuju ke Mbah Nur dan berakhir bertemu dengan mata Parto. Kita sama-sama bertanya-tanya dalam hati.

"Iya. Kita ke sana mengantar berkat dan bersilaturahmi. Ada hal penting yang ingin saya bicarakan dengannya." Ujar Mbah Nur.

Aku dan Parto semakin kebingungan.

"Kalau hanya ingin bersilaturahmi dengan Mbah Mi, mengapa harus mengajak kami? Pasti ada sesuatu hal yang penting yang masih dirahasiakan Mbah Nur, tapi kami berdua sungkan untuk menanyakannya."

Kegiatan doa bersama malam itu berjalan dengan lancar. Mbah Nur mengatakan bahwa doa bersama tersebut digelar sebagai wujud syukur, kita masih diberikan kesempatan untuk belajar mengaji bersama. Selain itu, juga untuk mendoakan para leluhur kampung, terutama yang sudah babad alas kampung ini, serta memohon kepada Allah SWT supaya warga kampung ini terhindar dari mara bahaya dan gangguan apapun serta diberikan kekuatan iman dan Islam.

Setelah selesai doa bersama, sebagian berkat dibuka di langgar untuk dimakan bersama oleh anak-anak, sebagian yang lain dibagikan kepada warga sekitar. Anak-anak berbagi tugas untuk membagikan berkat-berkat tersebut, untuk rumah Mbah Jun dan Lek Tik, anak-anak memilih berangkat bersama-sama. Mbah Nur meminta anak-anak yang besar yang berangkat ke rumah Mbah Jun dan Lek Tik. Sekitar lima orang yang berangkat ke sana, kita yang di langgar mendengar lima anak tersebut sepanjang jalan setapak berselawat ria, pasti mereka sengaja melakukannya untuk mengusir rasa takut. Bahkan ketika mengucap salam di rumah Mbah Jun, mereka mengucapkan salam bersama-sama dengan suara keras. Ya, saking kerasnya, aku juga mendengarnya dari langgar ini. Ketika mereka kembalipun, napas mereka terlihat ngos-ngosan. Mungkin karena mereka habis berlari.

"Gimana, tadi keliatan lagi?" tanya Irwan kepada mereka yang baru datang.

"Alhamdulillah. Nggak ada, Wan. Lebih tepatnya kami nggak tolah-toleh karena takut, " jawab Cak Hafid, salah satu anak yang paling besar di antara kami.

"Semua tetangga sudah dikasih, Fid?" tanya Mbah Nur.

"Alhamdulillah, sudah Mbah. Cuma Bu Sinta yang menolak, alasannya sekeluarga nggak bisa makan makanan orang mati." Jawab Cak Hafid lagi.

"Loh, ini kan bukan selamatan orang mati?" ucap Mbah Nur.

"Iya Mbah, sudah saya bilang begitu, tapi mereka tetap menolak. Katanya biar dimakan anak-anak santri saja," jawab Cak Hafid. Mbah Nur manggut-manggut.

"Ayo, kita mulai makan bareng! Jangan lupa baca doa dulu," kata Mbah Nur menghentikan obrolan kami.

Anak-anakpun langsung bergerombol menyantap berkat bersama-sama. Laki-laki membentuk lingkaran sendiri, perempuan juga melakukan hal yang sama. Jika sudah makan bareng begini, kami bisa melupakan segala hal. Bahkan kisah tentang hantu pohon nangka tersebut.

-Bersambung-

PART 3 RUMAH MBAH MI

Selesai acara makan-makan, anak-anak bersalaman dengan Mbah Nur dan pulang ke rumah masing-masing. Tinggal aku dan Parto di langgar Al-Ikhlas.

"Ayo, kita berangkat ke rumah Mbah Mi! Jangan lupa berkatnya dibawa!" ucap Mbah Nur.

"Monggo, Mbah, " jawab kami berdua.

Kami bertiga berjalan menyusuri jalan setapak. Mbah Nur berjalan di depan, aku dan Parto di belakangnya sambil berpegangan tangan. Kita sengaja tidak jauh-jauh dari Mbah Nur karena bersama beliau rasanya lebih tenang.

Seperti yang saya bilang, rumah Mbah Mi sebenarnya tidak jauh dari langgar, sekitar delapanpuluh meter saja, akan tetapi, karena penerangan yang minim dan masih banyak pohon di sana-sini maka terasa jauh juga. Aliran listrik memang belum masuk ke kampung kami, jadi masyarakat masih mengandalkan lampu templek sebagai sumber penerangan.

[Tok tok tok]

"Assalamualaikum ..."

Tidak ada jawaban.

[Tok tok tok]

"Assalamualaikum ..."

"Waalaikumsalam. Siapa, ya?" jawaban dari dalam rumah.

"Kulo. Nur sareng lare-lare (Saya. Nur bersama anak-anak)," jawab Mbah Nur.

Pintu dibuka oleh Mbah Mi.

"Oalah. Sampean, Nur? Monggo masuk! " ujarnya kemudian.

"Terimakasih."

Kamipun duduk berempat di ruang tamu Mbah Mi. Ada kursi kayu yang sudah cukup usang di sana. Aku dan Parto duduk menghadap utara, berhadapan dengan Mbah Mi, sedangkan Mbah Nur duduk di kursi sebelah timur menghadap ke barat. Mbah Mi tinggal sendirian, anak-anaknya tinggal di luar kampung semuanya. Usia Mbah Mi ini kurang lebih sama dengan Mbah Nur.

"Ada perlu apa Nur? Tumben?" tanya Mbah Mi.

"Begini Mi. Yang pertama, saya mengantar anak-anak untuk memberikan berkat, yang kedua ada hal yang ingin saya sampaikan terkait beberapa kejadian yang dialami anak-anak di sungai, " jawab Mbah Nur. Aku pun menyodorkan berkat kepada Mbah Mi dan diterima oleh Mbah Mi. Berkat tersebut ditaruh di amben.

"Terima kasih berkatnya ya, Le," ucap Mbah Mi.

Aku dan Parto mengangguk hormat sambil tersenyum.

"Apa hubungan kejadian di sungai denganku, Nur?" tanya Mbah Mi.

"Begini, Mi. Sebelumnya saya minta maaf yang sebesar-besarnya sama kamu. Apa benar kamu masih sering menaruh sesaji di bawah pohon nangka itu?" ujar Mbah Nur.

Mbah Mi agak terkejut dengan ucapan Mbah Nur.

"Bukan sesaji, Nur. Nasi telor ceplok, kopi pait, dan sebatang rokok kesukaan almarhum suamiku. Bahkan malam ini sudah jadwalnya saya menaruh makanan di sana."

"Untuk apa Mi, kamu menaruh makanan-makanan itu di sana?"

"Kamu tau kan, Nur, suamiku, Min terpeleset di sana sebelum meninggal?"

"Iya saya tahu, tetapi bukan berarti kamu harus menaruh makanan di sana untuk menghormati suamimu. Alangkah lebih baik makanan-makanan itu kamu berikan kepada anak yatim dan pahalanya diniatkan untuk almarhum Min, daripada kamu taruh makanan di bawah pohon nangka itu, yang ada malah dimakan tikus sawah dan mengundang makhluk halus."

"Min yang menyuruhku, Nur."

"Maksudnya gimana, Mi?"

"Pada hari kematian Min yang ke-100 hari, Min datang kepadaku melalui mimpi. Dia menyuruhku untuk secara rutin seminggu sekali menaruh makanan kesukaannya di bawah pohon nangka itu. Setelah saya turuti besoknya saya mimpi lagi melihat Min dengan lahapnya memakan makanan yang saya taruh di sana."

"Astaghfirullah. Ingat Mi! Kamu sudah diperdaya oleh jin. Itu bukan Min, manusia yang sudah meninggal tidak butuh makanan manusia, mereka butuh doa dan sedekah kita, Mi. Tolong hentikan itu ya, Mi supaya kamu tidak menjadi musyrik!"

"Ya Allah! Iya, saya baru sadar, Nur. Saya sudah dibutakan oleh rasa rindu saya terhadap Min, sehingga saya berbuat di luar akal sehat. Bukankah waktu kita mengaji dulu sudah dikatakan oleh Pak Kyai untuk tidak menaruh makanan di jalan-jalan? Astaghfirullah!"

[KROMPYANG]

Terdengar suara keras dari dapur Mbah Mi. Mbah Mi sedikit berlari menuju ke arah dapur, mungkin makanannya dijatuhkan kucing.

"Min .... Min ....Min ...." Terdengar suara teriakan Mbah Mi dari arah dapur, Mbah Nur berlari ke arah dapur diikuti oleh kami berdua yang ikutan berlari dengan rasa ketakutan.

Di dapur, kami melihat Mbah Mi jatuh terjerembap di lantai tanah, sementara di depan Mbah Mi ada sosok pria tua dengan pakaian compang camping sedang membanting-banting nampan berisi makanan ke lantai. Nasi dan telor ceplok bertebaran di lantai.

Mbah Nur sibuk membacakan ayat-ayat suci. Mbah Mi masih terus berteriak memanggil nama suaminya, sosok pria itu semakin dilihat semakin menyeramkan. Tubuhnya yang awalnya aku lihat berkulit seperti biasa, lama-lama kulitnya seperti berlendir dan bola matanya tiba-tiba keluar. Kami berdua memeluk tubuh Mbah Nur, kami tak berani melihat sosok itu lagi.

Tubuh kami berkeringat, jantung berdegup dengan kuat. Kami berdua menangis, pelukan kami semakin erat ke Mbah Nur. Kami masih terlalu kecil, kami belum mampu menghadapi situasi seperti ini. Tapi, dalam keadaan ketakutan seperti itu, aku membaca surat An-Nash dengan keras berkali-kali, Parto mengikutiku membaca dengan keras. Kami memejamkan mata, kami tidak tahu apakah bacaan kami mempan untuk mengusir makhluk tersebut. Itu mungkin semacam gerak refleks tubuh kami, ketika menghadapi gangguan dari luar. Anehnya meskipun mataku terpejam, aku masih bisa merasakan betapa silaunya sinar di sana waktu itu, entah sinar dari mana. Aku tidak bisa mengingat berapa puluh kali membaca An-Nash, aku baru berhenti ketika Mbah Nur berhenti membaca ayat-ayat suci. Tercium bau seperti kayu hangus, langun sekali.

"Im ... To .... Bangun!" Mbah Nur mengusap kepala kami.

"Inggih, Mbah."

"Sudah nggak ada demitnya. Sana bantuin Mbah Mi berdiri!"

Aku dan Parto membantu Mbah Mi berdiri, tubuhnya lemas sekali. Kami memapahnya sampai di kasur kamarnya. Kami memberinya minum.

"Kalian hebat, sudah bantuin berdoa."

"Hantunya hangus ya, Mbah?"

"Hus .... Kita nggak boleh sombong, jin itu pandai menghasut manusia. Mereka melakukan segala cara untuk menjerumuskan kita."

"Siap, Mbah."

Mbah Mi sudah mulai menemukan kesadarannya.

"Terimakasih Nur, sudah menyadarkanku, mulai saat ini aku akan lebih banyak berdoa dan bersedekah untuk suamiku."

"Iya, Mi. Jangan ngasih-ngasih sesajen lagi, ya?"

"Iya, Nur. Aku bisa minta tolong sama kamu?"

"Apa, Mi?"

"Aku ingin mengadakan doa bersama di rumah ini besok malam, biar murid-muridmu semua yang mengaji dan berdoa di sini dan aku akan meminta Jun untuk menebang pohon nangka itu."

"Kalau masalah doa bersama, saya sanggupi supaya rumah ini lebih adem. Tapi ada syaratnya, tiap menjelang isya' tolong kamu buka pintu rumah ini supaya anak-anak lebih berani ketika pergi ke sungai dan kamu harus tambah rajin mengajinya. Masalah pohon nangka saya rasa tidak perlu ditebang."

"Kalau itu saya siap, Nur. Bila perlu saya akan membantu mengawasi anak-anak di sungai, pohon nangka itu sudah saatnya ditebang karena sudah lapuk dan supaya lebih jembar dan tidak seram"

"Oke kalau begitu, tinggal ngomong sama adikmu, Jun."

Setelah itu kami pamit pulang. Mbah Mi tidur dengan mendekap Al-Qur'an, untuk ketenangan katanya.

Keesokan harinya pohon nangka itupun ditebang dengan persetujuan Mbah Jun. Pemandangan menjadi lebih luas. Secara kasak-kusuk, aku mendengar beberapa warga yang bercerita bahwa mereka pernah melihat seseorang merokok di dekat pohon nangka itu, tetapi ketika disamperin orangnya tidak ada. Tentunya yang bercerita seperti itu adalah bapak-bapak yang memang sudah terbiasa ke sawah malam-malam melewati pinggiran sungai itu.

Malam harinya anak-anak mengaji dan berdoa bersama di rumah Mbah Mi. Mulai malam itu tidak pernah terjadi kejadian aneh lagi di sungai, anak-anak sudah berani pergi ke sungai, terlebih Mbah Mi sering pergi ke sungai juga mendampingi anak-anak dan menaruh oncor di pinggiran sungai untuk penerangan.

"Juari dan Satuni lama nggak mengaji, ya?" kata Irwan.

"Kenapa kok nggak masuk, Wan? " kata Zen.

"Nggak boleh sama ibunya," jawab Irwan.

"Kenapa, Wan?" tanyaku keheranan.

"Ibunya takut sendirian di rumahnya kalau malam," jawab Irwan lagi.

"Kenapa takut?" tanyaku lagi.

"Katanya sih, pas malam-malam di belakang rumahnya, kan ada pohon kelapa banyak sekali. Ada suara kelapa jatuh dan menggelinding membentur pintu dapurnya. Naluri ibu-ibu otomatis membuka pintu belakang terus memungut buah kelapa yang jatuh itu, pas diambil ternyata ..." Irwan bercerita.

"Ternyata kenapa, Wan?" Aku dan Zen bertanya berbarengan.

"Kelapanya tersenyum menyeringai, " jawab Irwan enteng.

"Maksudnya?" tanya kami kembali.

"Ya, itu bukan kelapa ternyata, tetapi kepala orang?" Tegas Irwan.

"Hantu?" tanya kami.

"Iya" jawabnya.

"Hiiiiiiii ...."

-Bersambung-

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!