“Giselle Arindra, sini!” titah sang ibu pada anak gadisnya, Giselle.
Sebelum berangkat sekolah Saras harus mengingatkan hal penting pada anak perempuannya ini.
Giselle yang dipanggil langsung memutar badan, dengan bibir mengerucut ia kembali menghampiri sang ibu.
“Apa sih Bunda, Giselle udah mau telat nih,” jawabnya dengan bibir mencebik, ia bahkan memeriksa jam di pergelangan tangan kirinya, jam 7 pagi.
“Dengerin bunda ngomong.”
“Hum.”
“Sekolah yang bener, belajar, belajar, belajar! Jangan kerjaannya ngejar siswa yang ganteng aja!”
Giselle makin mencebik.
“Pas SD dari kelas 1 sampe kelas 6 kamu ngintilin Septian terus, sampai tidak naik kelas. SMP anaknya pak Mamat kamu taksir, nguber sampe bolos-bolos sekolah. Tobat Giselle, tobat! Ini hari pertama kamu injek kali di sekolah SMA, jangan ngincer-ngincer cowok lagi, BELAJAR!” ucap Saras dengan kekesalan yang membuncah, bahkan napasnya memburu seperti banteng yang siap menyerbu.
“Ngerti nggak!”
“Iya Bunda.
“Jangan Iya iya aja!”
“Iya Bundaa,” jawab Giselle pasrah. Sang kakak yang bernama Gilang pun hanya terkekeh, lalu melewati keduanya begitu saja.
“Yasudah sana berangkat!” titah Saras.
Dan Giselle mengangguk, lalu segera kembali mendatangi mobil sang ayah yang sudah menunggu. Sementara kakaknya kuliah menggunakan sepeda motor.
“Loh Sell, katamu ikatan rambutnya dibuat 5, kok itu ada 6?” tanya pak Bambang, ayah Giselle.
Pak Bambang ayah Giselle adalah seorang seorang PNS ( Pegawai Negeri Sipil) di Dinas Pertanahan Jakarta.
Pak Bambang menatap si anak gadis yang kini seperti ondel-ondel, rambut diikat banyak, memakai kalung kardus yang diisi data diri, juga kaos kaki panjang seperti pemain sepak bola.
“Yang satu bonus Yah, kali aja ada kakak senior tampan,” jawab Giselle, ingat cowok tampan ia jadi lupa pesan ibunya barusan.
Sementara pak Bambang langsung memasang wajahnya yang datar.
Wes angel, batin pak Bambang.
Sebelum menuju sekolahnya langsung, Giselle menjemput sang sahabat, Liliana Sanjaya, Lili yang rumahnya tak jauh dari rumah Giselle.
Lalu bersama-sama pergi ke sekolah untuk mengikuti kegiatan MOS (Masa Orientasi Siswa) atau masa pengenalan sekolah.
Datang paling awal, Giselle dan Lili memasang matanya tajam-tajam, memindai setiap siswa yang datang. Menilai ketampanannya dan memilih mana yang akan kelak menjadi suami idaman mereka.
Kata orang-orang masa SMA adalah masa-masa yang paling indah. Cinta semasa SMA akan diingat seumur hidup, bahkan suami idaman pun katanya ditemukan di masa SMA.
Kata-kata orang itulah yang kini di yakini oleh Giselle dan Lili. Memanfaatkan sebaik mungkin masa terindah mereka.
“Cup! Yang itu punyaku!” ucap Giselle setelah ia menemukan incarannya. Menunjuk gemas seorang siswa yang baru saja masuk ke dalam sekolah. Lili pun mengikuti arah telunjuk Giselle dan melihat seorang pria tampan di sana.
Perpaduan antara Septian dan anaknya pak Mamat.
“Busyet! Ganteng banget, kamu emang paling pinter Sell masalah pilih memilih.”
“Iya dong, pokoknya itu cup punyaku!” putus Giselle dengan percaya diri. Bahkan berjingkrak-jingkrak saking gemasnya.
Pria diujung sana yang ditunjuk-tunjuk pun merasa. Ia menatap dingin dan tak suka pada kedua siswi itu.
Terlihat barbar dan pembuat ulah.
“Aku harus menjauhi orang-orang seperti itu,” gumam Gala, lalu segera berlalu dari sana. Gala Rudiyanto.
Tapi rupanya kabur dari Giselle bukanlah perkara gampang. Mulai dari hari pertama ia menginjakkan kaki di sekolah SMAN 1 ini, Giselle terus membuntutinya seperti bayangan.
Terus menempel seperti ulat bulu dan selalu ada dimana-mana seperti debu.
Berulang kali Gala membentak namun Giselle tetap tak gentar. Gadis yang nilainya di urutan paling bawah ini paling susah untuk diajak bicara, selalu ada saja jawabannya.
Dan juga banyak drama.
“Giselle stop!” ucap Gala dengan suaranya meninggi.
“Kenapa sih Gal? Jangan galak-galak dong,” jawab Giselle, ia masih setia memegang baju si ketua OSIS ini.
Kini mereka sudah kelas 2 SMA, kemarin ada pemilihan ketua OSIS baru dan Gala yang terpilih.
Menjadi ketua OSIS yang paling tampan sepanjang sejarah membuat Giselle takut suami masa depannya akan diambil orang. Jadilah setelah pemilihan ketua OSIS itu ia juga membuat sebuah pengumuman.
Pengumuman bahwa ia dan Gala adalah pasangan.
Bukannya mendapatkan dukungan dari teman-teman, ia malah di jewer guru BK dan dapat surat peringatan.
Tapi Giselle tidak peduli, yang penting sekarang semua orang tahu jika Gala adalah miliknya.
“Lepas!” titah Gala, ia bahkan menarik tangan Giselle agar melepas pegangannya.
“Kenapa sih! Kamu mau ke mana?” tanya Giselle tidak terima, biasanya juga Gala selalu diam saja meski ia terus mengikuti. Tidak sampai melakukan KDRT seperti ini.
“Aku mau ke toilet, mau ikut?”
“Emang boleh?”
“GISELLE!!!”
“Hehe, iya iya maaf, jangan lama-lama ya?” pinta Giselle.
Dan tanpa menjawab, Gala langsung segera berlalu dari sana.
Bicara dengan Giselle sampai kapanpun tidak akan pernah ada habisnya.
***
Jam pulang sekolah.
Giselle menarik Lili dan mencari kesana kemari sang calon suami idaman. Namun dimana-mana mereka tidak menemukannya.
Bahkan lambat-laun pun sekolah pun jadi semakin sepi, karena siswa dan siswinya mulai pulang ke rumah.
“Mungkin Galak udah pulang duluan Sell, yuk lah kita juga pulang,” ajak Lili yang sudah lelah mencari.
Sementara Giselle belum menyerah, ia masih menajamkan matanya dan memindai apapun yang bisa ia lihat.
“Ayok Sell, nanti bus keburu lewat, kita harus nunggu lagi sampe sore,” ajak Lili lagi, merasa mereka sudah kejar oleh waktu.
“Aku yakin Galak mu udah pulang.”
“Nggak mungkin, biasanya kan Galak bilang sama aku kalo mau pulang, tapi hari ini nggak,” jawab Giselle apa adanya.
Meski tak semuanya benar, bukan Gala yang pamit namun Giselle yang terus bertanya.
Tapi hari ini berbeda, tiba-tiba Gala lebih dulu menghilang dari kelasnya. Saat Giselle menghampiri ke kelas A, Gala sudah tidak ada.
“Kita masuk sekali lagi ya?” tawar Giselle dengan wajah memelas, matanya berbinar seperti anak kucing yang kelaparan.
Membuat Lili menghembuskan nafasnya pelan, tidak tega. Hingga akhirnya iapun menganggukkan kepala.
Sekali lagi, Giselle dan Lili memasuki sekolah.
Mencari di setiap ruang kelas 2 dari A sampai E tapi tetap saja tidak menemukan batang hidungnya si Gala.
Membuat Giselle akhirnya menyerah juga, dengan hatinya yang merana. Seperti ada yang hilang ketika satu kebiasaannya tidak terlaksana. Melihat wajah Gala sebelum pulang sekolah.
“Ya udah lah, ayok pulang,” putus Giselle dengan suaranya yang lirih, merasa kecewa.
“Yaelah Sell, besok juga ketemu lagi sama si Galak, drama bener!” balas Lili, lalu menarik Giselle yang berjalan lesu untuk mengikuti langkahnya.
Namun belum banyak mereka melangkah, lagi-lagi kaki keduanya berhenti.
Akhirnya mereka melihat keberadaan Gala, di ujung sana, keluar dari ruang guru.
Tapi Gala tidak sendiri, ia tersenyum ramah di dekat gadis itu. Gadis yang entah siapa, baik Giselle ataupun Lili sama-sama tidak mengenalnya.
“Galak selingkuh,” gumam Giselle, lirih. Merasakan hatinya yang pedih.
“Belum nikah udah cerai ini mah,” celetuk Lili.
“Siapa dia?” tanya Giselle pada Gala. Bertanya dengan nada tak terima, seolah Gala telah berselingkuh darinya.
Kini ia dan Lili sudah menghampiri Gala, langsung bertanya apa yang bercokol dipikiran mereka.
“Kenalan yang benar Giselle, dia Arumi Hasim, murid pindahan. Mulai besok dia akan sekolah disini.” Bu Tuti, guru BK di SMAN 1.
Membuat Giselle dan Lili kompak ber Oh ria, lalu menatap Arumi dari atas sampai bawah, satu kata yang tiba-tiba muncul di kepala, cantik.
Belum lagi wajahnya yang nampak manis dan lugu, rambut lurus hitam legam.
Giselle dan Lili sadar, mereka kalah cantik dari Arumi.
Menyadari itu, lantas dengan segera Giselle memeluk lengan Gala, tidak ingin suami masa depannya ini di culik.
“Ini pacarku ya, jangan di ganggu-ganggu!” ancam Giselle.
Bukannya takut, Arumi malah mengulum senyum merasa lucu. Lalu senyumannya jadi kekehan saat melihat Bu Tuti langsung menjewer telinga Giselle.
“Aduh-aduh! Ampun Buk!” keluh Giselle, mencoba melepas tangan buk Tuti yang menjewer telinganya.
“Belum ada seminggu ibu kirim surat peringatan sama orang tua mu ya Sell. Jangan buat ibu kirim surat itu lagi!” kesal Tuti, Giselle lah yang selalu membuat pekerjaannya jadi banyak.
Gala yang melihat itu hanya menggelengkan kepalanya seraya menghembuskan napas pelan.
Selesai menjewer Giselle, buk Tuti meminta pada semua anak muridnya untuk pulang.
Giselle dengan sigap segera kembali memeluk lengan Gala erat.
Gala yang sudah biasa ditempeli ulat bulu pun tak bisa menghindar, hanya pasrah dan membiarkan tangan kanannya dikuasi oleh Giselle.
Mereka berempat berjalan beriringan keluar dari sekolah.
“Kalian pulang naik apa?” tanya Arumi.
“Bus!” jawab Lili cepat.
“Kamu juga naik Bus?” Arumi bertanya pada Gala, dan yang ditanya menggelengkan kepalanya.
“Tidak, aku naik motor.”
“Rumahmu dimana?”
“Pondok Indah.”
“Kita searah,” jawab Arumi, ia tersenyum seraya menatap Gala.
“Apa aku boleh ikut pulang bersamamu?” tanya Arumi lagi.
“Tidak masalah,” jawab Gala dengan menganggukkan kepalanya.
Gala dan Arumi terus berbincang seolah dunia hanya milik mereka berdua. Tangan Gala memang didekap oleh Giselle, tapi hati dan pikirannya seolah hanya tertuju pada siswi baru ini.
Membuat hati Giselle merasa berdenyut dan perlahan mulai melepaskan pelukannya di lengan Gala.
Bahkan hingga pelukan itu terlepas, Gala seolah tak merasakan apa-apa. Tidak merasakan rasa kehilangan seperti yang Giselle rasakan.
Lili yang memahami perasaan sang sahabat pun menghentikan langkahnya, memeluk lengan Giselle dan sama-sama menatap kepergian Gala dan Arumi.
“Tenang Sell, kalau Galak bukan your Future Husband, nanti kita cari lagi pas kuliah,” ucap Lili, mencoba menenangkan.
Namun Giselle tetap gamang.
Saat SD dulu ia bisa dengan mudah melupakan Septian karena dia belum tahu apa artinya cinta, dan saat SMP Giselle pun dapat dengan mudah melupakan anak pak Mamat karena saat itu masihlah cinta monyet.
Namun kini ia tak bisa dengan mudah melupakan Gala, karena ia sudah mengerti tentang cinta dan perasaan yang dalam. 2 tahun mengincar Gala dan 2 tahun pula ia meyakini jika Gala adalah suami masa depannya.
Tidak, Giselle tidak bisa melupakannya semudah itu.
“Masih ada satu tahun lagi Li, siapa tahu Galak berubah pikiran, siapa tahu Galak bakal balas perasaanku,” jawab Giselle lirih.
Lili tidak menjawab lagi, lebih tepatnya bingung mau menjawab apa. Karena kisah cintanya sendiri pun sama susahnya seperti Giselle. Cinta yang sama-sama bertepuk sebelah tangan.
“Kita kurang cantik apa ya? Kok cowok-cowok nggak mau sama kita?” tanya Lili.
Mereka berdua kembali melangkah, keluar dari gerbang sekolah dan menuju halte Bus.
“Mungkin kita kurang Glowing,” jawab Giselle asal.
Kedua gadis ini terus saling bertukar canda dan tawa, sampai akhirnya Bus yang mereka tunggu tiba juga.
***
Hari berlalu.
Ucapan bu Tuti ternyata bukan main-main, keesokan harinya Arumi benar-benar sekolah si sekolah mereka.
Mendadak jadi gadis populer karena kecantikannya, tapi tetap saja tidak bisa menggeser kepopuleran Giselle sebagai murid pembuat ulah.
Hari demi hari hubungan Arumi dan Gala pun semakin terlihat dekat di mata Giselle. Bahkan Arumi tidak hanya dekat dengan Gala saja, juga dekat dengan teman-teman Gala yang lain, Robbi, Anjas dan Usman.
Sementara ia dan Lili makin tersingkir.
Hingga akhirnya ujian kenaikan kelas 3 di mulai.
Kegalauan yang tengah di rasa Giselle membuatnya tak fokus belajar. Banyak yang tiba-tiba hilang dari otaknya.
Membuat Nilai ujiannya jadi sangat buruk. 3 diantaranya bahkan remedial. Sampai-sampai dia harus kembali mengikuti ujian ulangan. Demi mendapatkan nilai yang bisa di katakan layak, 6.
Dan hari ini, adalah ujian remedial Giselle yang terakhir, di jam pulang sekolah ia mendatangi ruang guru untuk mengerjakan soal itu.
Sementara Lili menunggu seorang diri di depan ruang guru.
“Li!” panggil Anjas. Membuat Lili yang sedang berjongkok mendongakkan kepalanya dan melihat siapa yang datang.
Si pujaan hati, Anjas.
Tapi kini Lili sudah tidak bernafsu untuk mendekati Anjas, melihat sang sahabat yang sedang susah membuatnya tak ingin senang-senang sendiri.
Lili kembali menunduk tanpa menjawab panggilan Anjas.
“Lili!” panggil Anjas lagi, membuat Lili berdecak kesal.
Dulu di ganggu tidak mau tapi sekarang malah mengganggu.
“Apa sih! Pergi sana! Aku lagi sibuk!” ketus Lili.
Sebuah jawaban yang membuat Anjas mengulum senyum.
“Sibuk apa?”
“Sibuk mengubur masa lalu!” jawab Lili ketus dan Anjas akhirnya tergelak juga.
“Bangun sih, jangan jongkok terus. Giselle masih lama ujiannya?”
“Masih! Dah lah pergi sana!”
“Aku mau ketemu bu Tuti kok, bukan mau nemuin kamu,” balas Anjas, menggoda. Yang digoda mengerucutkan bibirnya, lalu memilih diam dari pada menjawab.
Dan Anjas makin terkekeh dibuatnya.
Anjas lalu benar-benar masuk ke ruang Guru dan menemui Bu Tuti, Anjas juga sempat melihat diujung sana Giselle yang sedang mengerjakan ujian susulan.
“Anjas, ibu boleh minta tolong nggak?” tanya bu Tuti saat Anjas yang di panggil sudah duduk dihadapannya.
“Apa Bu?”
“Kamu tolong dong, bantu Giselle dan Lili belajar, di jam istirahat kan kamu bisa ajari mereka. Sebentar lagi kalian kelas 3, sebentar lagi ujian kelulusan, lalu kuliah. Kalau nilai kelulusan Giselle dan Lili pas-pasan, nanti mereka sulit untuk masuk ke Universitas yang bagus,” jelas bu Tuti panjang lebar.
Anjas adalah salah satu siswa terpandai di SMAN 1, yang menurut bu Tuti paling bisa menjadi pembimbing belajar Giselle dan Lili.
“Baik Bu, saya mau,” jawab Anjas langsung, tanpa banyak berpikir.
Bu Tuti yang mendengarnya pun lantas tersenyum lega. Seolah beban hidupnya berkurang 1.
Ujian kenaikan kelas sudah usai, penerimaan raport juga sudah. Kini murid SMAN 1 sedang menikmati liburan sekolah mereka selama 2 minggu.
Giselle dan Lili hanya menghabiskan liburan ini di rumah, tidak seperti teman-teman mereka yang lain yang rata-rata pergi berlibur.
Bahkan selama libur pun Giselle harus kuat-kuat menahan rindu, karena tidak bisa bertemu dengan sang pujaan hati.
“Bunda, minta uang jajan dong?” pinta Giselle pada sang ibu. Saat ini keluarga pak Bambang sedang berkumpul di meja makan, baru saja selesai sarapan.
“Kamu kan libur, kok minta uang jajan?” tanya Saras seraya menatap curiga sang anak.
“Giselle mau beli MG Glouw Bunda, biar Giselle makin cantik mempesona.”
“Kamu nggak malu minta uang jajan sama bunda buat beli MS Glouw itu? Inget nggak kamu berapa nilai raport mu? Hah? Dari kelas 1 sampe kelas 3 kok betah banget di kelas E, orang itu ada kemajuan, kelas 1 di kelas E, kelas 2 naik ke kelas D, kelas 3 naik ke kelas C, nggak usah muluk-muluk mau kelas A, C aja bunda sudah syukur minta ampun... bla bla bla,”
Urutan kelas di SMAN 1 memang berdasarkan kemampuan murid, semua murid pintar akan berada di kelas A, sementara Murid yang membutuhkan bimbingan lebih berada di kelas E.
Pak Bambang menutup telinganya rapat-rapat, sementara Gilang melipir pergi dari meja makan, sedangkan Giselle mencebik dengan merunduk. Niat hati hanya ingin meminta uang jajan, tapi malah berakhir diceramahi panjang lebar seperti ini.
Ceramah panjang lebar, semua kesalahan Giselle disebutkan secara rinci satu per satu. Bunda nya itu memang memiliki ingatan yang sangat baik ketika sudah membicarakan tentang kesalahan si anak bungsu, Giselle.
“Bunda, sudah bundaa, yang penting kan Giselle naik kelas,” bela pak Bambang pada si anak bungsu. Kasihan juga melihat Giselle yang menunduk seperti itu.
“Terus saja Ayah belain, gara-gara Ayah selalu manjain Giselle ya gini jadinya, dia bla bla bla”
Kini giliran pak Bambang yang diceramahi, Giselle yang melihat ada celah untuk kabur pun tidak menghilangkan kesempatan.
Pelan-pelan ia melipir dan meninggalkan meja makan, menjadikan sang ayah jadi tumbal.
Anak durhaka, batin pak Bambang saat melihat Giselle yang pergi.
Setelah cukup akan Giselle mempercepat langkahnya, bahkan sedikit berlari mendatangi kamar sang kakak dan mengunci pintunya rapat-rapat, mencari perlindungan di sana.
“Huh!” Giselle menghela napas lega dan lalu menghampiri sang kakak yang tengah duduk di meja belajarnya.
“Abang lagi apa?” tanya Giselle, ia memilih untuk duduk disisi ranjang dan memperhatikan.
“Koreksi nilai Dek,” balas Gilang apa adanya, Gilang adalah seorang mahasiswa semester 5, menjabat pula sebagai asisten dosen untuk beberapa mata kuliah.
“Kamu mau beli bedak?” tanya Gilang, ia menghentikan pekerjaannya dan memutar kursi, menatap sang adik yang usianya lebih muda 3 tahun.
“Bukan bedak Bang, Cream.”
“Berapa harganya?”
“1 paket 300 ribu.”
Gilang membuka laci mejanya dan mengambil uang 400 ribu, lalu memberikannya pada sang adik. Uang itu adalah gajinya sebagai Asisten Dosen.
“Ha? Buat aku Bang?” tanya Giselle tidak percaya, bahkan mulutnya menganga saat menerima uang itu.
“Iya, tapi ada syaratnya.”
“Apa?” tanya Giselle cepat, mendadak cemas.
“Belajar yang bener, kamu sekarang sudah kelas 3, harus pikirkan apa yang jadi prioritas untuk kamu. Harus memikirkan nanti setelah lulus mau lanjut kuliah di universitas mana. Harus apa untuk bisa mencapai itu,” jelas Gilang dengan suaranya yang pelan, mencoba memberikan pengertian pada sang adik.
“Setelah lulus dan kamu dapat nilai jelek, kamu tidak akan bisa mengulang lagi, seumur hidup nilai itulah yang selalu dilihat untuk menilai kualitas diri kamu,” timpal Gilang lagi.
Membuat Giselle menelan ludahnya dengan susah payah, dan meremat uang 400ribu di tangannya.
Ucapan sang kakak membuatnya mati kutu, membuatnya bungkam seribu bahasa.
Ucapan yang menusuk tepat di jantung hatinya.
Liburan kenaikan kelas kali ini adalah liburan terburuk yang pernah dijalani oleh Giselle.
Tidak ada bersenang-senang, tidak ada tawa yang menggelegar.
Dia hanya diam, merenungi hidupnya sendiri.
Menukarkan masa depannya dengan 1 paket cream pemutih MS Glouw. Dulu dia berniat membeli cream ini untuk membuatnya semakin cantik. Jadi setelah liburan usai ia bisa tampil lebih percaya diri dihadapan Gala.
Namun kini rasanya niat itu urung.
Karena setiap hari semua keluarganya mengingatkan untuk dia berhenti bermain-main. Berhenti mengejar seseorang yang selalu Giselle sebut sebagai My Future Husband. Karena kini yeng terpenting adalah Giselle memikirkan hidupnya sendiri, your future life.
“Banyak banget yang nggak restuin hubungan kita Gal, apa aku harus bener-bener lupain kamu?” gumam Giselle. Menerawang masa depannya dengan Gala yang nampak suram.
Kini ia dihadapkan pada 2 piilihan.
Membeli Cream MS Glouw atau membeli buku-buku mata pelajaran yang selama ini ia acuhkan.
“Jangan galau Sell, kita beli dua-duanya, kamu beli buku pelajaran dan aku yang beli Cream MS Glouwnya, nanti kita kongsi,” putus Lili dengan senyum kudanya.
“Sip!” balas Giselle setuju. Semudah itu ia kembali ceria dan langsung lupa dengan semua kegalauannya.
Dua anak remaja ini lantas melanjutkan langkahnya untuk masuk ke toko kecantikan itu, lalu setelahnya menuju toko buku.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!